Candra Kusuma
Pengertian transdisipliner
Menurut Balsiger (2004; yang
dikutip Lawrence dalam Brown, 2010:17), tidak ada sejarah lengkap dari istilah
atau konsep transdisipliner (seperti halnya istilah cross-disciplinary, multidisipliner, dan interdisipliner), dan tampaknya
juga ada tidak ada konsensus tentang maknanya.
Dari sejumlah referensi, saya memberanikan diri untuk mengusulkan pengertian
dari beberapa jenis pendekatan penelitian yang bukan merupakan
kajian/penelitian satu disiplin ilmu (monodisipliner), yaitu:
- Cross-disciplinary, yaitu
pendekatan lintas disiplin, berupa modus “meminjam” teori, metode atau pendekatan dari disiplin
ilmu lain;
- Multidisipliner
(multidisciplinary), yaitu
pendekatan di mana dua atau lebih disiplin ilmu bersama-sama mengkaji
suatu topik atau isu tertentu, namun menggunakan metode dan menganalisis
berdasarkan disiplin ilmunya masing-masing. Hasil akhir kajian kemudian
dihubungkan dan dibandingkan untuk saling memperkuat atau menyanggah hasil
analisis masing-masing;
- Interdisipliner
(interdisciplinary), yaitu
pendekatan di mana dua atau lebih disiplin digunakan untuk mengkaji suatu
topik atau isu tertentu, di mana terjadi komunikasi, kolaborasi dan
integrasi mulai dari definisi, tujuan, proses, pengumpulan data sampai
analisis dan penarikan kesimpulan;
- Transdisipliner
(transdisciplinary), yaitu
pendekatan lintas disiplin dan lintas aktor/stakeholder, yang bertujuan yang mencari pengetahuan kritis
dan transformatif atas isu atau masalah mendasar bagi kehidupan manusia (lihat
Kusuma, 2013:43).
Berkenaan
dengan istilah transdisipliner, para ahli juga membedakan antara
transdisipliner sebagai “pendekatan atau cara memperoleh pengetahuan” dan
sebagai “pendekatan penelitian” (lihat Kusuma, 2013:36-39), yakni:
Pendekatan transdisipliner:
- Miller (1982:6) berpendapat bahwa pendekatan transdisciplinary atau transdisipliner
menampilkan model pemikiran menyeluruh yang bertujuan untuk menggantikan
pandangan dunia yang ada pada masing-masing disiplin;
- Klein (1990, yang dikutip Choi dan Pak, 2006:355)
mengemukakan bahwa pendekatan transdisciplinarity
menyediakan skema holistik di mana disiplin subordinat (lebih rendah)
melihat dinamika seluruh sistem yang ada;
- Gibbons et. al. (1994, yang dikutip Grigg, Johnston dan Milsom, 2003:9) menyatakan bahwa transdisciplinarity melibatkan upaya
membentuk kembali praktik kognitif dan sosial yang tepat, dengan cara yang
melibatkan konteks aplikasi dalam membentuk upaya penelitian dari awal,
dan dengan cara yang dinamis melanjutkan. Selain kontribusi yang
dihasilkan untuk pengetahuan mungkin tidak dalam bentuk disiplin, dan
dapat ditransfer langsung ke stakeholder;
- OECD (1998:4, yang dikutip Grigg, Johnston dan Milsom, 2003:8-9) mengemukakan bahwa transdisciplinarity merujuk pada
apa yang sekaligus berada diantara disiplin ilmu, di seluruh disiplin ilmu
yang berbeda, dan di luar semua disiplin ilmu;
- Klein (1990)
berpendapat bahwa transdisciplinarity
pada awalnya didefinisikan sebagai perspektif meta-teoritis
interdisipliner, seperti strukturalisme dan Marxisme. Belakangan, Gibbons
et.al. (1994) menggunakan konsep transdisciplinarity
dengan cara yang berbeda. Dalam pandangan mereka, pendekatan
interdisipliner ditandai dengan formulasi eksplisit yang seragam, disiplin
yang melampaui terminologi atau metodologi umum. Pendekatan transdisciplinary berjalan satu
langkah lebih jauh, karena didasarkan pada pemahaman teoritis umum, dan
harus disertai dengan saling interpenetrasi dari epistemologi disiplin.
Dalam pandangan ini, van den Besselaar dan Heimeriks (2001:2) berpendapat bahwa
bidang transdisciplinary
memiliki teori yang telah terhomogenisasi (homogenized);
- Tress et.al. (2006:16) memaknai transdisiplinary sebagai pendekatan yang melampaui batas-batas
disiplin ilmu dan dunia akademik, melalui integrasi partisipan dari disiplin
akademik dan non-akademik, di mana dilakukan perumusan tujuan bersama,
dengan tujuan pengembangan pengetahuan dan teori yang terintegrasi antara
sains dan masyarakat.
Penelitian transdisipliner:
- Defila dan Di Giulio (1999:13, yang dikutip Pohl et.al.,
2010:4) berpendapatan bahwa dalam penelitian transdisciplinary menunjukkan adaya kerjasama lintas disiplin,
yang melibatkan tidak hanya para ilmuwan tetapi juga praktisi dari luar
bidang ilmu (misalnya, pengguna) dalam pekerjaan penelitian;
- Stokols
et.al. (2003:24, yang dikutip Pohl et.al., 2010:3) memaknai transdisciplinarity sebagai suatu
proses di mana peneliti bekerja bersama-sama untuk mengembangkan dan
menggunakan kerangka konseptual bersama yang menjalin teori, konsep, dan
metode dari beberapa disiplin-spesifik untuk mengatasi masalah bersama;
- Kerne (2006, yang
dikutip Choi dan Pak, 2006:357) berpendapat bahwa “Trans-“ berarti "di,
atau pada sisi jauh, di luar, lebih." Untuk dapat melampaui
batas-batas disiplin, melalui proses merakit disiplin ilmu dan informasi
bergabung kembali. Penjajaran (juxtaposition)
adalah titik awal untuk integrasi. Penjajaran dan rekontekstualisasi
menarik pikiran untuk teka-teki tentang koneksi potensial antara elemen
informasi. Langkah selanjutnya adalah rekombinasi informasi, yaitu "proses mengambil kode komposisi yang
ada, memecah dan membawa mereka kembali ke elemen-elemen penyusunnya, dan
mengkombinasikan unsur-unsur untuk membentuk komposisi yang baru",
atau pengetahuan baru;
- Davies dan Devlin (2007, yang dikutip Bolitho dan McDonnell, 2010:6),
transdisciplinarity mungkin
dapat dipandang memiliki nilai tertentu dalam mengembangkan strategi
penelitian masa depan, berdasarkan cara memposisikan penelitian dalam
kaitannya dengan apa yang disebut Klein (2008) sebagai bersifat “trans-sektor, penelitian berorientasi
masalah yang melibatkan partisipasi pemangku kepentingan dalam masyarakat”.
- Häberli et.al. (2001, yang dikutip Zierhofer dan Burger, 2007:51)
menyatakan bahwa transdisipliner adalah bentuk baru dari belajar dan pemecahan
masalah yang melibatkan kerjasama antara berbagai bagian masyarakat dan
akademisi dalam rangka memenuhi tantangan yang kompleks masyarakat.
Penelitian transdisciplinary
mulai dari hal yang nyata, yaitu masalah di dunia nyata. Idealnya, setiap
orang yang memiliki sesuatu untuk dikatakan tentang masalah tertentu dan
bersedia untuk berpartisipasi dapat berperan dalam proses tersebut.
Melalui proses saling belajar, pengetahuan dari semua peserta
ditingkatkan, sehingga pengetahuan yang diperoleh akan lebih besar dari
pengetahuan dari setiap disiplin atau peserta tunggal. Dalam proses ini,
bias dari perspektif masing-masing juga akan diminimalkan.
- Krishnan (2009:5-6) berpandapat bahwa transdisciplinarity dapat dimaknai sebagai bekerja sama dengan
stakeholder penelitian dari
non-perguruan tinggi. Sebuah strategi yang berbeda untuk melakukan
penelitian interdisipliner adalah mencari kolaborator penelitian di luar
konteks akademik/universitas. Tujuannya adalah untuk menghasilkan produk
penelitian yang terutama berorientasi pada hasil yang bersifat aplikatif,
misalnya perkembangan teknologi baru atau perumusan kebijakan. Jenis
penelitian ini merupakan kecenderungan utama dan telah disebut “mode kedua
produksi pengetahuan” oleh Michael Gibbons dkk., yang menganggapnya
sebagai produksi pengetahuan transdisciplinary,
yang dianggap berbeda dengan produksi pengetahuan dari satu disiplin
tertentu saja. Fenomena riset kolaborasi antara universitas dengan
industri dan organisasi non-perguruan tinggi lainnya semakin penting,
terutama dalam konteks kontrak konsultasi dan pengembangan teknologi.
Meskipun penelitian kolaborasi dengan stakeholder
non-perguruan tinggi paling umum terjadi pada disiplin ilmu-ilmu alam,
teknik dan ilmu komputer, namun terlihat juga adanya peluang pengembangannya
pada akademisi dari ilmu-ilmu sosial untuk bekerjasama dengan pihak dari
luar universitas, seperti sektor
swasta, LSM dan institusi sukarela dan, tentu saja, sektor publik atau
pemerintah.
Lawrence (dalam Brown, 2010:17)
berpendapat bahwa ciri-ciri dari transdisipliner diantaranya sebagai berikut:
- Transdisipliner menangani
kompleksitas dalam ilmu pengetahuan dan tantangan fragmentasi (Sommerville
dan Rapport, 2000). Ini berkaitan dengan masalah penelitian dan organisasi
yang didefinisikan dari domain yang kompleks dan heterogen, seperti
perubahan iklim atau perumahan dan kesehatan (Lawrence , 2004). Serta
dengan kompleksitas dan heterogenitas, cara produksi pengetahuan juga
dicirikan oleh sifat hibrida, non-linear dan refleksivitas, serta melampaui
setiap struktur disiplin akademik (Balsiger , 2004).
- Penelitian transdisipliner
menerima konteks lokal dan ketidakpastian, yang merupakan negosiasi
spesifik dalam konteks pengetahuan (Klein, 2004).
- Transdisipliner berarti
tindakan inter-komunikatif. Pengetahuan transdisipliner adalah hasil dari
inter-subjektivitas (Despres et.al., 2004; Klein et.al., 2001). Karenanya,
penelitian dan praktek transdisipliner memerlukan kerjasama yang erat dan
berkesinambungan dalam semua fase dari proyek penelitian - apa yang disebut
'mediasi ruang dan waktu' ( Despres et.al., 2004) atau 'kerja perbatasan'
(Horlick - Jones dan Sime 2004 ).
- Penelitian
transdisciplinary sering berorientasi tindakan (Despres et.al., 2004 ).
Hal ini menuntut untuk membangun hubungan tidak hanya melintasi
batas-batas disiplin, tetapi juga antara pembangunan teoritis dan praktek
profesional (Lawrence, 2004 ). Kontribusi transdisipliner sering berurusan
dengan topik dunia nyata dan menghasilkan pengetahuan yang tidak hanya
menangani masalah-masalah sosial , tetapi juga memberikan kontribusi
solusi mereka (Pohl dan Hirsch Hadhorn, 2007).
Dari definisi dan cirri-ciri yang dikemukakan para ahli tersebut, saya
mengusulkan untuk memaknai transdisipliner (transdisciplinary)
sebagai pendekatan lintas disiplin (melibatkan sejumlah ahli, peneliti, analis,
dan perencana dari disiplin ilmu berbeda) dan lintas aktor/stakeholder (gabungan sejumlah unsur dari perguruan tinggi,
pemerintah, perusahaan, NGO,
masyarakat, media massa, dll.), yang bertujuan yang mencari pengetahuan kritis
dan transformatif (melalui penelitian, kajian dan analisis), yang keluarannya
dapat berupa rekomendasi strategis, kebijakan dan program tertentu yang
bersifat holistik dan komprehensif, dengan tujuan untuk mengurangi dan/atau menyelesaikan isu-isu atau masalah-masalah mendasar bagi
kehidupan manusia (bukan masalah yang umum).
Saya memaknai
frase “isu-isu atau masalah-masalah mendasar bagi kehidupan manusia” sebagai wicked
problems (lihat tulisan sebelumnya dan ). Memang ada sejumlah ahli yang berpandangan bahwa wicked problems tersebut dapat pula
dikaji dengan pendekatan multidisipliner dan interdisipliner (diantaranya lihat
Balint, 2011). Namun saya pribadi cenderung memandang bahwa dalam kedua
pendekatan tersebut titik berangkat dan titik beratnya masih pada peran dari
tiap disiplin ilmu yang terlibat. Sementara dalam pendekatan transdisipliner,
titik berangkat dan titik beratnya adalah pada masalah mendasar yang ingin
dikurangi/diatasi, dan bagaimana semua sumberdaya yang ada (teori, metode,
referensi, orang, institusi, dana, dll.) dapat berperan dalam upaya tersebut.
Relevansi pendekatan
transdisipliner untuk menjawab wicked problem
diulas oleh Brown et.al. (dalam Tackling
Wicked Problems: Through the Transdisciplinary Imagination, 2010). Dia
merujuk pada analisis tentang kompleksitas masalah yang dikategorikan sebagai wicked problem dari Rittel dan Webber (1973).
Menurutnya, tingginya urgensi untuk mencari penyelesaian wicked problem menuntut diterapkan pendekatan baru dalam melakukan
penelitian dan pengambilan keputusan strategis berdasarkan hasil penelitian
tersebut. Pendekatan tersebut harus bersifat inklusif terhadap berbagai
disiplin ilmu maupun para pihak (stakeholders)
yang terkait. Dari berbagai pendekatan yang dikenal, Brown dkk. berpendapat
bahwa pendekatan transdisipliner-lah yang paling tepat. Hal senada juga
disampaikan oleh Cassinari et.al.
(lihat Transdisciplinary Research in
Social Polis, 2011:8 ).
Penelitian dan perumusan kebijakan dengan pendekatan
transdisipliner
Menurut Morse et.al. (2007, yang dikutip Kusuma, 2013:42), spektrum
integrasi dari penelitian yang bersifat transdisipliner mencakup beberapa isu
berikut:
- Integrasi istilah: Istilah dikombinasikan secara bersama,
berbagi, kolektif, dan melampaui (transcending);
- Tingkat
interaksi: Anggota tim bertindak, merencanakan, dan mengkombinasikan
penelitian sebagai kolektif;
- Definisi
masalah: Melampaui batas-batas disiplin, di mana konteks masalah disusun
secara spesifik dengan perspektif beberapa stakeholder;
- Epistemologi:
Anggota tim bergantung pada epistemologi transenden yang mencerminkan
sifat dari definisi masalah;
- Desain,
pertanyaan penelitian, metode dan teori: Anggota tim mengembangkan
kerangka konseptual baru yang melampaui batas-batas disiplin; Desain
penelitian, pertanyaan, metode, dan skala dikembangkan secara kolektif.
- Pengembangan
pengetahuan: Pengetahuan direstrukturisasi melalui penciptaan pengetahuan
baru yang saling berbagi; Kesimpulan mendorong kerangka teoritis baru dan
bidang penelitian.
- Produk: Berupa
sintesis naskah bersama yang melampaui orientasi disiplin.
Pohl dan Hadorn, dalam Principles for Designing Transdisciplinary Research (2007:36) berpendapat bahwa dalam
penelitian transdisipliner ada tiga jenis pengetahuan dan pertanyaan penelitian
yang umum diajukan:
- Pengetahuan sistem-sistem
(systems knowledge): Pertanyaan-pertanyaan
tentang asal-usul dan kemungkinan pengembangan bidang masalah, dan
interpretasi terhadap masalah dalam dunia-kehidupan.
- Pengetahuan target (target knowledge): Pertanyaan-pertanyaan
yang berhubungan dengan menentukan dan menjelaskan tujuan berorientasi
pada praktek.
- Pengetahuan transformasi (transformation knowledge): Pertanyaan-pertanyaan
tentang teknis, sosial, hukum, budaya dan lainnya yang mungkin bermakna,
yang bertujuan untuk mengubah praktek-praktek yang ada dan memperkenalkan
praktek yang diinginkan.
Wiesmann et.al. (dalam Hadorn et.al., Handbook of Transdisciplinary Research, 2008:433-441)
mengajukan 15 proposisi berkekenaan dengan penelitian transdisipliner, yaitu
yang terkait dengan lingkup, proses, hasil penelitian, serta hambatan dan
tantangan dalam penelitian transdisipliner. Saya berupaya menyusun ulang gagasan
Weismann dengan sejumlah penyesuaian, sebagai berikut:
- Lingkup,
Proses dan Hasil Penelitian Transdisipliner:
Definisi: Transdisipliner
adalah, di satu sisi, berakar pada munculnya apa yang disebut sebagai
“masyarakat pengetahuan,” yang mengacu pada kondisi semakin pentingnya
pengetahuan ilmiah di segala bidang sosial. Di sisi lain, ia mengakui bahwa
pengetahuan juga ada dan diproduksi di bidang sosial selain ilmu pengetahuan.
Perbedaannya adalah bahwa sistematisasi yang mengarah ke spesialisasi lebih
menonjol dalam ilmu daripada di bidang sosial lainnya. Penelitian transdisipliner
berfokus pada hubungan antara ilmu-ilmu yang berbeda dan antara ilmu
pengetahuan dan bagian lain dari masyarakat.
Proposisi
1:
Penelitian
transdisipliner adalah penelitian yang mencakup kerjasama dalam komunitas
ilmiah dan perdebatan antara penelitian dan masyarakat pada umumnya. Oleh
karena itu penelitian transdisipliner melampaui batas-batas antara disiplin
ilmu, dan antara ilmu pengetahuan dan bidang sosial lainnya, dan termasuk
pertimbangan tentang fakta-fakta, praktik dan nilai-nilai.
Ruang lingkup
dan relevansi: Penelitian transdisipliner muncul dari meningkatnya jumlah masalah
yang kompleks dalam kehidupan dunia, di mana solusi berbasis pengetahuan dengan
hanya bertumpu pada disiplin ilmu tunggal atau bidang sosial tertentu tidak lagi
dipandang memadai.
Proposisi
2:
Penelitian
transdisipliner adalah bentuk penelitian yang tepat ketika mencari solusi
berbasis ilmu pengetahuan untuk masalah dalam kehidupan dunia dengan tingkat
kompleksitas tinggi, berkenaan dengan ketidakpastian faktual, nilai-nilai dan
taruhan sosialnya. Dengan menjembatani berbagai komponen pengetahuan ilmiah dan
sosial yang berbeda dapat secara signifikan meningkatkan kualitas, penerimaan
dan keberlanjutan solusi tersebut. Deliberasi fakta-fakta, praktik dan
nilai-nilai akan bermanfaat dalam kehidupan dunia maupun bagi komunitas ilmiah.
Proses rekursif
(pengulangan atau fungsi memanggil dirinya sendiri): Dalam proses penelitian transdisipliner, penentuan
masalah penelitian merupakan keputusan mendasar dalam hal aspek apa saja yang dianggap
penting, dan apa yang merupakan area yang diperdebatkan. Selain itu, keputusan
harus mencerminkan ketidakpastian dalam pengetahuan seputar masalah.
Tantangan-tantangan ini dapat diatasi dengan restrukturisasi masalah dan memperbaiki
asumsi dalam proses penelitian. Oleh karena itu penelitian transdisipliner
membutuhkan desain penelitian yang pada dasarnya rekursif.
Proposisi
3:
Transdisipliner
menyiratkan bahwa sifat yang tepat dari masalah yang harus ditangani dan
diselesaikan tidak ditentukan sebelumnya (non-predetermined), dan perlu
didefinisikan secara kooperatif oleh para pihak yang terlibat, baik dari
kalangan ilmuwan maupun non-akademisi. Untuk memperjelas definisi masalah serta
komitmen bersama dalam memecahkan atau mengurangi masalah, penelitian
transdisipliner menghubungkan identifikasi masalah dan penataan, mencari
solusi-solusi, dan membawa temuan menjadi hasil dalam proses rekursif dan negosiasi penelitian.
Bentuk
pengetahuan: Penelitian transdisipliner
menganalisis pertanyaan empiris yang kompleks (systems knowledge), yang bertujuan untuk menentukan tujuan yang
lebih baik untuk menangani masalah (target
knowledge), dan menyelidiki bagaimana praktik-praktik yang ada dapat diubah
(transformation knowledge).
Penelitian transdisipliner membutuhkan keterkaitan antara bentuk-bentuk
pengetahuan, termasuk beragam sumber-sumber pengetahuan serta secara iteratif (pengulangan sampai batas tertentu
yang sudah ditetapkan) mengintegrasikan komponen dan bentuk pengetahuan.
Proposisi
4:
Sehubungan dengan
sifat masalah yang dibahas dalam penelitian transdisipliner, norma/aturan dari
partisipasi disiplin ilmu dan kompetensi --dari ilmu-ilmu alam, teknis dan
sosial, dan humaniora -- tidak dapat didefinisikan sebelumnya. Hal ini akan
ditentukan selama proses penelitian, di mana pengetahuan harus diintegrasikan
untuk memperhitungkan , memproduksi dan mengintegrasikan “systems knowledge,” “ target knowledge” dan “transformation knowledge.”
Kontekstualitas
dan umum: Beralih
ke hasil penelitian transdisipliner, kita melihat bahwa sifat dari masalah
ditangani telah mencapai konsekuensi yang jauh. Dalam hal hasil yang nyata dan
kontribusi pemecahan masalah, ini harus dikontekstualisasikan dan mengembangkan
pengetahuan yang dapat disebarluaskan.
Proposisi
5:
Penelitian
transdisipliner harus dididasarkan oleh konteks masalah yang konkret dan
setting sosial terkait, dan hasilnya pada dasarnya berlaku untuk konteks ini.
Namun, dengan mempertimbangkan prasyarat kontekstualisasi, penelitian
transdisipliner juga secara umum bertujuan untuk menyediakan wawasan, model dan
pendekatan yang dapat ditransfer ke pengaturan kontekstual lain setelah
validasi dan adaptasi yang hati-hati.
Spesialisasi
dan inovasi: Penelitian transdisipliner
berkomitmen untuk mengembangkan inovasi ilmiah pada interaksi antara
transdisipliner dan penelitian disiplin. Hal ini didorong oleh ketegangan
antara spesialisasi dalam metode transdisipliner dan memicu transformasi
disiplin ilmu.
Proposisi
6:
Kualitas
penelitian transdisipliner terikat oleh konsepsi mengenai integrasi, dan dengan
demikian memerlukan pengembangan bentuk spesialisasinya sendiri. Namun,
penelitian transdisipliner tidak berarti tanpa kontribusi dari disiplin ilmu
yang terlibat, dan memiliki potensi untuk merangsang inovasi dalam disiplin ilmu
yang berpartisipasi. Mengembangkan potensi ini agar dapat membuahkan hasil
memerlukan sebuah perguruan tinggi yang mampu menjembatani spesialisasi
disiplin dan transdisipliner.
- Batu
sandungan (stumbling blocks) dalam
praktek transdisipliner
Partisipasi dan
saling belajar: Kolaborasi antara ilmu pengetahuan dan masyarakat dalam penelitian
transdisipliner menyiratkan adanya proses partisipatif . Pada saat yang sama
partisipasi merupakan salah satu hambatan utama dalam praktek transdisipliner.
Mengabaikan keragaman tujuan , nilai-nilai , harapan dan konstelasi kekuasaan
terkait di masyarakat dan ilmu pengetahuan mengekspos bahaya bahwa partisipasitersebut
bersifat hanya murni simbolik, yang hasilnya hanya memperkuat peran dan posisi dari
disiplin ilmu, dan rendahnya pengembangan potensi inovatif transdisipliner .
Pengabaian ini dapat mengarah kondisi di mana semua posisi , peran dan
kontribusi kehilangan kredibilitas dan menyebabkan semua pemangku kepentingan
utama dalam masyarakat dan ilmu pengetahuan mulai meragukan relevansi dan
kehilangan minat terhadap proses partisipatif.
Proposisi
7:
Proses
partisipatif dalam praktek transdisipliner memerlukan penstrukturan,
pentahapan, negosiasi dan interaksi yang hati-hati. Sumber daya, tujuan dan
nilai-nilai yang berbeda yang dipertaruhkan, dan representasi sosial mereka
dalam masyarakat dan ilmu pengetahuan juga perlu dipertimbangkan . Membangun
pendekatan saling belajar dengan menjembatani beragam peran dan posisi tanpa
melarutkan mereka, adalah titik masuk yang menjanjikan untuk partisipasi yang
berorientasi pada tujuan.
Integrasi dan
kolaborasi: Terkait
erat dengan partisipasi, fitur inti lain yang juga penting dalampenelitian
transdisipliner, yakni kolaborasi untuk mengintegrasikan perspektif dan pengetahuan
tentang berbagai disiplin ilmu dan stakeholder.
Tantangan integrasi kolaboratif yang idealnya dimulai dengan definisi masalah
dan berlanjut sepanjang proses penelitian secara keseluruhan adalah lagi,
merupakan salah satu esulitan dalam praktek transdisipliner. Ini dapat berubah
menjadi batu sandungan, khususnya, ketika upaya kolaborasi tersebut hanya
terbatas pada tindakan komunikatif saja, atau ketika proses sintesis ditunda
sampai akhir proses penelitian. Kesulitan utama juga muncul jika integrasi
diserahkan kepada salah satu disiplin ilmu yang berpartisipasi saja, atau jika
konsep integratif terlalu ketat dirancang, dan tidak meninggalkan ruang untuk
disiplin ilmu yang berpartisipasi dan peneliti untuk manuver.
Proposisi
8:
Upaya
kolaboratif integrasi harus selalu memperhitungkan sifat rekursif penelitian
transdisipliner. Menggabungkan berbagai cara integrasi , yaitu mengembangkan
kerangka teoritis bersama, model yang diterapkan , dan output umum konkret -
dalam proses berulang-ulang atau melingkar - telah terbukti sangat sukses. Pada
saat yang sama, pola kerja transdisipliner harus diatur dengan cara yang
memungkinkan keseimbangan produktif antara kolaborasi terstruktur dan
kepentingan pribadi oleh mitra dan disiplin yang berpartisipasi.
Nilai-nilai dan
ketidakpastian: Berurusan dengan nilai-nilai dan ketidakpastian adalah salah satu
kesulitan utama dalam penelitian, praktek dan pengembangan kapasitas terkait
transdisipliner. Dalam banyak kasus hal ini ternyata menjadi salah satu
hambatan yang paling penting . Nilai-nilai yang berbeda-beda dan sering
bertentangan diantara peneliti dan pemangku kepentingan yang berpartisipasi adalah
yang paling menentukan dalam definisi masalah transdisipliner. Selain itu ,
mereka sangat mempengaruhi desain dan proses upaya transdisipliner, yaitu apa-apa
yang disertakan atau dikecualikan - serta penafsiran dan penerapan keluaran dan
hasil. Selain itu, landasan ontologis dan epistemologis dari disiplin ilmu yang
berpartisipasi adalah sangat penting (value-loaded).
Jika dimensi nilai ini tersembunyi atau diabaikan, maka kolaborasi
transdisipliner dapat berubah menjadi palsu atau seolah-olah, atau lebih didorong
oleh konstelasi kekuatan yang mewakili nilai-nilai tersebut. Hal yang juga
terkait erat dan perlu dipertimbangkan adalah ketidakpastian yang berasal dari
sifat masalah ditangani, keterbatasan pengetahuan masing-masing sistem yang
terlibat, serta pertentangan nilai-nilai yang mempengaruhi semua tahap proses
transdisipliner. Dalam hal ini juga penting untuk mengingat bahwa penelitian
transdisipliner pada dasarnya terikat dengan konteks sosial politik , sehingga
menimbulkan ketidakpastian mengenai validitas dari hasil di luar konteks ini.
Jika tidak ditangani dengan aktif, ketidakpastian ini dapat menyebabkan hasil yang
sangat melebar, tidak jelas dan terlalu memancing perdebatan, atau --lebih
buruk lagi-- di mana interpretasi hasilnya terlalu berlebihan (over-interpretation) dan terlalu
digeneralisasi (over-generalised).
Proposisi
9:
Dalam rangka
memberikan perhatian yang cukup terhadap nilai-nilai dan tonggak pada semua
tahap dari proses transdisipliner, kolaborasi dan negosiasi harus didominasi
oleh sikap saling belajar, dan bukan semata oleh posisi atau kedudukan
pihak-pihak yang terlibat. Hal ini sebaiknya dipromosikan dengan alokasi waktu
yang cukup, sehingga dapat menciptakan kepemilikan yang luas dari masalah dan
dengan membangun nilai-kesadaran melalui proses refleksif diantara para
peneliti. Refleksivitas juga fitur inti dalam menangani ketidakpastian dan batas
luar pengetahuan (outer boundaries knowledge) yang dihasilkan dari usaha transdisipliner.
Manajemen dan
kepemimpinan (leadership): Struktur proyek dan manajemen dalam upaya
transdisipliner cenderung menjadi kompleks dan kelebihan beban, mengingat penelitian
transdisipliner secara default mencakup berbagai mitra dan lembaga. Karena
sifat rekursif dari definisi masalah dan penelitian, lembaga dan disiplin ilmu yang
berpartisipasi dapat bervariasi dari waktu ke waktu, membuat manajemen dan
kepemimpinan bahkan lebih menantang. Pada saat yang sama, manajemen dan
kepemimpinan dalam proses transdisipliner sering terjebak dalam memperbaiki detil dari proses tersebut. Di satu sisi, itu
adalah masalah yang berhubungan dengan tekanan produksi, di mana hasil dari
proyek yang kompleks dan karena itu menjadi mahal tersebut dipaksa untuk lebih
baik dan bersaing dengan penelitian lain yang bersifat mono-disipliner di pasar
ilmu. Di sisi lain, ada kebutuhan yang besar akan alokasi waktu yang cukup,
ruang dan sumber daya harus disediakan untuk saling belajar dan proses
penelitian rekursif. Konflik dasar ini diperkuat dengan fakta bahwa referensi
dan sistem kontrol peneliti dan stakeholder
yang berpartisipasi umumnya masih dilakukan di dalam institusi disiplin dan
lembaga masing-masing, dan tidak di dalam tim transdisipliner.
Proposisi
10:
Proyek
transdisipliner yang berhasil terutama menyiratkan adanya keseimbangan yang memuaskan antara tahap
kerjasama yang intens dengan output gabungan yang jelas, dan periode di mana memperdalam
kontribusi disiplin dan multi-disiplin dapat dilaksanakan dengan baik.
Keseimbangan tersebut dapat dicapai terutama jika didukung oleh manajemen
proyek yang baik, yang secara bersamaan meringankan tugas-tugas administrasi
bagi peserta, adanya komunikasi yang jelas struktur dan waktunya, integrasi dan
refleksivitas, dan mendukung pengakuan internal dan eksternal dari semua pihak
yang berkontribusi, yaitu melalui penyediaan akses yang luas.
Pendidikan dan pengembangan
karir:
Ketika
mempertimbangkan pendidikan , pelatihan dan pengembangan karir dan untuk
penelitian transdisipliner,hal yang mungkin menjadi batu sandungan awal adalah
kesalahpahaman bahwa transdisipliner adalah merupakan disiplin ilmu tambahan
atau disiplin baru. Posisi ini mengabaikan fakta bahwa transdisipliner adalah
bentuk spesifik dari kerjasama penelitian dan upaya integratif, dan karena itu
berakar pada disiplin ilmu yang berpartisipasi. Masalah kedua muncul ketika
pelatihan dan pendidikan dirancang dengan cara yang mengurangi makna transdisipliner
menjadi hanya sebagai komunikasi dan interaksi sosial. Karena --meskipun sangat
penting-- keterampilan komunikasi dan kompetensi sosial sendiri tidak membuat
transdisipliner menjadi mudah dilakukan. Kompetensi yang berhubungan dengan refleksivitas
pada metodologi disiplin dan interdisipliner atau keterampilan konseptual dan
teoritis adalah sama pentingnya. Namun, batu sandungan yang paling umum dalam
pendidikan , dan khususnya dalam membangun karir masing-masing , adalah yang terkait
dengan sistem rujukan yang saling bertentangan bagi peneliti yang terlibat dalam
penelitian transdisipliner: yaitu dari disiplin ilmu mereka sendiri, dari konteks
penelitian interdisipliner, dan dari masyarakat yang terkait. Untuk para
peneliti perorangan yang bertujuan membangun karir mereka , misalnya menjadi PhD
atau tingkat post-doctoral, hal
tersebut dapat menjadi kendala yang dihadapi.
Proposisi
11:
Pelatihan dan
pendidikan transdisipliner sebaiknya dikembangkan dalam hubungan yang erat
dengan disiplin asal. Selain membangun kapasitas komunikasi dan kolaborasi
melalui paparan praktis, penekanan harus diletakkan pada refleksivitas dan
keterampilan metodologis, konseptual dan teoritis yang memungkinkan eksplorasi
batas-batas dan hubungan antara disiplin ilmu. Pengembangan karir terkait dapat didukung oleh perencanaan
yang matang dan pengaturan waktu yang tepat dalam penyampaian hasil penelitian
untuk sistem referensi pada disiplin asal dan komunitas transdisipliner.
Evaluasi dan
kontrol kualitas: Dari konsep dan proposisi sebelumnya, jelaslah bahwa evaluasi
eksternal dan kontrol kualitas internal dalam penelitian transdisipliner adalah
tantangan besar dan dapat berubah menjadi batu sandungan. Dalam situasi makin
meningkatnya kompetisi pada komunitas ilmiah dan dalam masyarakat ilmu-kritis, maka
evaluasi independen sangat penting untuk meningkatkan kualitas riset
transdisipliner. Jika ketetapan tersebut hanya mengacu ke perbatasan
pengetahuan dalam satu atau beberapa disiplin dan tidak menghormati prestasi integratif
dan spesifik konteks penelitian tersebut, transdisipliner akan didiskreditkan
secara default. Transdisipliner juga dapat didiskreditkan oleh output miskin
dan hasil yang berasal dari kurangnya kontrol mutu internal. Penting untuk
dicatat bahwa wacana dan prosedur yang berkaitan dengan kontrol kualitas sering
terhambat atau bahkan menolak pertimbangan agar tidak melampaui batas ke bidang
mitra lain 'kompetensi dan peran yang ditugaskan.
Proposisi
12:
Evaluasi
penelitian transdisipliner harus melampaui sistem referensi tradisional.
Evaluasi tersebut harus mencakup integrasi kualifikasi dan kolaborasi disiplin
dan pemangku kepentingan, desain rekursif dari proses penelitian, basis dari
proyek, masukan atau kontribusinya terhadap pengetahuan ilmiah dan penanganan
masalah sosial. Dalam rangka memperkuat upaya pengendalian mutu internal,
peneliti harus berkonsentrasi untuk dapat menemukan keseimbangan antara
menggunakan atau mengesampingkan semenetara kompetensi tertentu, dalam dialog
yang konstruktif dan kritis dalam tim transdisipliner.
- Pilar
untuk mengembangkan penelitian transdisipliner
Menghadapi
tantangan ilmiah: Sebagian besar
dari komunitas ilmiah memandang penelitian transdisipliner, --paling buruk--
sebagai aplikasi semi-ilmiah beberapa disiplin, atau, --paling baik-- sebagai
meta-disiplin baru yang menjanjikan. Kondisi tersebut mengabaikan fakta bahwa
transdisipliner adalah mode penelitian yang ditujukan untuk mempertemukan ilmu
pengetahuan dan masyarakat, bertujuan memberikan kontribusi berbasis
pengetahuan untuk menjawab masalah kehidupan dunia dan berakar dalam dan
dibangun di atas disiplin ilmu yang terlibat di dalamnya. Pengaruh dari citra
dominan terhadap pendekatan transdisipliner tersebut setidaknya ada tiga,
yaitu: Pertama, menghalangi pengembangan dan inovasi konseptual dan metodologis
pada pengembangan keilmuan dankolaborasi komunitas ilmiah dengan masyarakat. Kedua,
mencegah pengembangan pengakuan dan referensi sistem antara disiplin ilmu dan upaya
transdisipliner. Ketiga, memberi label “penipuan ilmiah” dengan latar belakang
gambaran akan kebaruan transdisipliner.
Proposisi
13:
Praktek
transdisipliner yang baik dan nyata harus dilengkapi dengan upaya di tingkat
landasan ilmiah dan pengakuan ilmiah. Upaya-upaya tersebut harus melampaui
sistematisasi prosedur penelitian transdisipliner dan bertujuan untuk
pengembangan teoritis, metodologis, topik dan inovasi pada interaksi disiplin
yang terlibat, bagi kepentingan semua pihak. Untuk menjawab tantangan ini
dibutuhkan pengembangandan perluasan jaringan peneliti sejawat dan jaringan
kolaboratif lainnya yang dapat menjembatani referensi transdisipliner dan
disiplin maupun sistem kontrol terhadap kualitas.
Menghadapi
tantangan kelembagaan: Terkait dengan
citranya dalam komunitas kebijakan ilmiah dan ilmu pengetahuan, penelitian
transdisipliner berada pada posisi pinggiran (peripheral) kelembagaan perangkat di akademisi . Hal ini sering diasosiasikan
dengan lembaga penelitian terapan dan lembaga konsultan, atau dikemas dalam
proyek atau program yang bersifat terbatas dan sementara saja. Posisi perifer
ini memiliki keuntungan, yaitu membuat transdisipliner memiliki koneksi yang
lebih langsung dalam hal pertemuan antara ilmu dan masyarakat. Namun, ia
memiliki kelemahan besar yaitu tidak dapat leluasa mempromosikan pengembangan
teoritis, konseptual dan refleksivitas , dan bahkan lebih buruk lagi, bahwa
tidak mungkin untuk merangsang sinergi inovatif antara penelitian disiplin dan
kurikulum disiplin. Salah satu alasan yang mungkin adalah bahwa meskipun banyak
peneliti dan disiplin berpartisipasi dalam upaya transdisipliner, inti dari
sistem referensi mereka memandang partisipasi ini sebagai layanan ilmiah bukan
sebagai minat yang tulus dari disiplin masing-masing. Dengan demikian , posisi
kelembagaan yang lemah tersebut dapat menghalangi atau bahkan dapat mencegah para
peneliti transdisipliner untuk menyadari potensi sepenuhnya dari pendekatan ini.
Proposisi
14:
Dalam rangka
untuk meningkatkan penelitian transdisipliner, harus diperkuat fondasi ilmiah
dan potensi inovatif untuk disiplin ilmu yang berpartisipasi, maupun posisi
kelembagaan ilmu pengetahuan dan akademisi. Ini berarti menggabungkan aspek
transdisipliner ke dalam penelitian, kurikulum dan mengembangkan karir dalam
lembaga disiplin yang mapan, dan mungkin termasuk mempromosikan lembaga
spesialis transdisipliner. Jaringan yang tumbuh dari sejawat peneliti sangat
diperlukan dan memainkan peran kunci, hingga memungkinkan untuk mempromosikan
praktek transdisipliner secara lebih pro-aktif oleh komunitas ilmiah.
Menghadapi
tantangan sosial:
Tugas utama
transdisipliner adalah untuk menjembatani ilmu pengetahuan dan masyarakat, dan mengingatkan
pentingnya peran dan citra ilmu pengetahuan dalam hal masyarakat, seperti
halnya konsepsi masyarakat dalam ilmu pengetahuan. Namun, mempertahankan peran,
gambaran dan konsepsi ini akan dapat bertentangan dengan tujuan penelitian
transdisipliner untuk mengatasi masalah kehidupan dunia yang ditandai dengan
tingkat kompleksitas tinggi dalam hal ketidakpastian faktual, banyaknya nilai-
nilai dan taruhan sosialnya. Jika dibiarkan, konvensi ini dapat mengarah ke kondisi
stagnasi (dead-locks) dan berkembangnya
harapan palsu akan praktek transdisipliner.
Proposisi
15:
Upaya untuk
meningkatkan peran pendekatan transdisipliner harus disertai dengan dan
melibatkannya ke dalam perdebatan di masyarakat mengenai peran ilmu pengetahuan
dalam masyarakat, terutama ketika berhadapan dengan ketidakpastian faktual.
Pada saat yang sama, komunitas ilmiah didesak untuk terus memperbaharui
perdebatan tentang peran nilai-nilai dan kontribusi dalam penelitian.
Berkontribusi untuk memecahkan masalah dunia kehidupan melalui penelitian
transdisipliner membutuhkan ilmu pengetahuan, sehingga dapat menjadi sadar dan
eksplisit dalam hal nilai-nilai dan dalam hal batas-batas pengetahuan dan
temuan, dan membangun gambaran yang
sesuai mengenai peran ilmu pengetahuan dalam masyarakat.
Tulisan lain yang terkait:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar