Candra Kusuma
Harian KOMPAS tanggal 13 November
2015 menurunkan berita bahwa Kementerian Pertahanan tengah menyusun kurikulum
pendidikan Bela Negara. Tiga hal utama yang akan dimasukkan ke dalam kurikulum
tersebut, yaitu: (1) Bidang Studi Dasar, yang mencakup materi tentang
ketatanegaraan seperti wawasan kebangsaan, sistem ketahanan semesta, dan
kepemimpinan; (2) Intelijen Dasar, yang mencakup pendidikan dalam hal kemampuan
mengumpulkan dan melaporkan informasi, termasuk teknik menyusun laporan
intelijen; (3) Konten Lokal, yang muatannya disesuaikan dengan karakteristik
peserta dan lokasi yang diajarkan.
Membaca berita tersebut, saya
lantas segera teringat pada satu buku yang ditulis oleh Abdullah Makhmud
Hendropriyono --atau lebih dikenal dengan nama A.M. Hendropriyono, selanjutnya agar
ringkas saya singkat saja menjadi AMH-- pada tahun 2013 yang kebetulan juga
diterbitkan oleh KOMPAS, berjudul Filsafat Intelijen Negara Republik Indonesia.[1]
Waktu itu saya beli buku ini semata karena didorong oleh rasa penasaran. Di
sampul bagian belakang buku ini AMH meng-klaim bahwa selain negara-negara
komunis, tidak ada negara lain selain Indonesia yang memiliki filsafat
intelijen. Bahkan tidak ada buku lain yang berjudul ‘filsafat intelijen.’ Bisa
jadi benar, karena penelusuran di internet memang tidak ada buku lain baik di
dalam maupun luar negeri yang berjudul demikian.
Intelijen
AMH mengutip teori Ludwig
Wittgenstein (1885-1951) yang menyebutkan bahwa istilah ‘intelijen’ (intelligence) berasal dari kata
‘intelijensia’ yang berarti kecerdasan yang tinggi. Karena itu, agen intelijen
mestilah orang-orang yang mempunyai pikiran atau akal yang tajam. Intelijen
terkait erat dengan informasi dan pengetahuan, di mana intelijen berbasis pada
epistemologi sosial yang memandang pengetahuan sebagai produk dari praktik sosial
(h.26).
Menurut AMH, istilah ‘intelijen’
mencakup pengertian yang sangat luas, dalam banyak kegiatan dan berlangsung
terus menerus. Kata ‘intelijen’ dapat merujuk pada pelaku (orang, lembaga),
pekerjaan, kegiatan, dll. Intelijen dapat dimaknai sebagai subjek, ilmu,
metode, dan sekaligus juga objek. Karenanya cakupan intelijen juga sangat luas,
di mana ada beragam jenis intelijen, contohnya: intelijen pertahanan; militer;
kepolisian/kriminal; ekonomi dan perdagangan, marketing/pemasaran, imigrasi dan kependudukan, kejaksaan, moneter
dan keuangan, fiskal dan perpajakan; bea dan cukai; media massa; ideologi,
politik, doktrin dan pendidikan; diplomatik; kesehatan; nuklir, biologi, kimia
dan radio aktif; seni budaya; penerbangan dan luar angkasa; teknologi dan dunia
maya; dll. (h.28-29)
AMH menyebutkan, bahwa terdapat
perbedaan pengertian antara intelijen negara (state intelligence) dan intelijen nasional (national intelligence), yang berkaitan dengan lingkup sasaran yang
ingin dicapai. Intelijen negara RI adalah menjaga pertahanan dan keamanan dan
mendukung fungsi negara dalam pembangunan, dengan cara menjalankan operasi
intelijen negara dengan siasat yang brilian dan berkeadaban (h.5). Sasaran
intelijen negara terbatas pada pertahanan dan keamanan saja, sementara sasaran
dari intelijen nasional lebih luas mencakup ideologi, politik, ekonomi, sosial
budaya termasuk aspek pertahanan-keamanan tadi (h.10-11).
Selain itu dapat dibedakan pula antara
intelijen militer dan nonmiliter. Fungsi utama intelijen militer terutama dalam keadaan perang, untuk
mempertahankan atau merebut ‘teritori fisik’ (territorial/wilayah) tertentu,
dalam situasi konflik eksistensial membunuh atau dibunuh. Karena doktrin
militer terhadap musuh (personel tempur atau kombatan) adalah: cari, kejar dan
hancurkan, maka watak intelijen militer adalah berupaya mencari informasi
sebanyak-banyaknya untuk menemukan musuh, menghambat serangan musuh dan
melumpuhkan atau menghancurkan musuh, dengan tujuan untuk memenangkan
pertempuran. Dalam intelijen militer lebih banyak dibenarkan penggunaan
cara-cara kekerasan yang nyaris terlarang untuk digunakan dalam pelaksanaan
fungsi intelijen nonmiliter.
Sementara, intelijen nonmiliter fokusnya adalah untuk memperoleh informasi
yang bersifat strategis bagi terlindunginya ‘teritori nonfisik’
(ipoleksosbud). Pihak musuh adalah
nonkombatan, seperti pengusaha agen asing, ilmuwan agen asing, yang berupaya
menggerogoti kedaulatan ideologi, politik, ekonomi, sosial atau budaya sebuah
bangsa. Musuh merupakan ‘medan kritis’ (tempat atau sesuatu yang menguntungkan
jika dapat dikuasai), sebagai sumber informasi yang penting dan harus
diselamatkan agar tetap berguna jika dapat dikuasai. Situasinya bukan konflik
eksistensial, sehingga tujuannya adalah untuk menguasai musuh (friendly enemy). Fungsi intelijen
nonmiliter adalah memberi dukungan terhadap pengguna (user) dengan info yang
bersifat intelijen (yaitu info yang telah diolah dan benar) untuk memenangkan
kompetisi, persaingan ataupun kehendak (h.12-14).
Dengan keragaman tersebut, juga
ada perbedaan terkait agen intelijen yang terlibat. Menurut AMH, agen intelijen
ada dua jenis, yaitu agen intelijen organik dan agen intelijen non-organik. Di
Indonesia, agen intelijen organik diperoleh dari Sekolah Tinggi Intelijen Negara
(STIN) dan Institut Intelijen Negara (IIN). Ada juga direkrut agen intelijen
non-organik dari kalangan mahasiswa, birokrat, pengusaha, wartawan, aktivis,
pengamat, dan kalangan professional. Selain itu, khususnya di Badan Intelijen
Negara (BIN) juga didukung oleh Dewan Analis Strategis (DAS) yang personilnya
adalah para mantan menteri, duta besar, dirjen, dll. JIka di BIN para Deputi
bertugas melakukan analisis dan menghasilkan produk intelijen berdasar data
dari publik berupa perkiraan intelijen (Kirintel), maka DAS bertugas memberikan
menghasilkan ramalan data perkiraan intel strategis (Kirintelstra) bagi Kepala
BIN (h.16-19)
Filsafat Intelijen
Secara teoritis, filsafat dapat
dilihat dari dimensi ontologis, epistemologis, aksiologis dan etika. Pemaknaan
ontologis tentang intelijen adalah pembacaan tentang intelijen dan segala
siasatnya, dalam disiplin filsafat negara (h.10). Dimensi ontologis intelijen (keberadaan intelijen itu sendiri) diibaratkan
sebagai otak dan pancaindera dari tubuh manusia. Dalam bukunya tersebut, AMH
berulang-ulang menegaskan bahwa prinsip dan karakteristik dari institusi dan
operasi intelijen di dunia --termasuk di Indonesia-- sebagai sifat dari ontologis
intelijen ini adalah Velox (dari bahasa
Latin, artinya ‘kecepatan’) dan Exactus (‘keakuratan’). Artinya
intelijen harus mampu secara cepat mendeteksi setiap potensi ancaman,
tantangan, hambatan dan gangguan (ATHG), dan mampu bertindak akurat untuk
mencegah, mengeliminir atau bahkan menghancurkan ancaman tersebut (h. 64, 96, 188,
189).[2]
Epistemologi atau filsafat pengetahuan intelijen adalah bersifat
‘deteksi dini’ dan hasilnya adalah
‘peringatan dini’ dan tindak lanjutnya adalah ‘cegah dini’ (h.191).
Epistemologi intelijen adalah kebenaran yang bersandar pada ilmu pengetahuan (science) dan menolak metafisika.
Kebenaran dalam intelijen ditentukan oleh tinggi rendahnya derajat kebenaran
yang dikandung oleh sumber pengetahuan tersebut. AMH memberi contoh: informasi
dari agen yang ditanam di kelompok teroris memiliki derajat kebenaran tertinggi
(nilai A), sementara informasi dari informan derajatnya lebih rendah (nilai B
atau C), dan informasi dari sumber lain seperti diluar kelompok teroris itu,
misalnya dari pengamat, derajat kebenarannya lebih rendah lagi (nilai C atau
D). Menurut AMH, kebenaran sumber pengatahuan intelijen harus berkorespondensi
dengan pengetahuan yang telah disampaikannya, dan harus koheren atau diperkuat
dengan kebenaran sebelumnya. Karenanya semua pengetahuan intelijen harus dapat
diverifikasi secara empirik (h.193).
Pengetahuan dan kebenaran
intelijen diperoleh melalui penarikan kesimpulan dari sederet informasi yang
diterima. Penarikan kesimpulan intelijen tidak dapat dilakukan secara induktif,
seperti halnya dalam metode penelitan ilmiah di dunia akademis pada umumnya.
Sebabnya adalah karena intelijen tidak dapat mengumpulkan bukti-bukti khusus
secara signifikan dalam waktu yang terbatas, sementara persoalan yang ada harus
segera dianalisis, disimpulkan dan ada solusinya.
Proses penarikan kesimpulan
intelijen menggunakan ‘logika
penyimpulan’ menuju penjelasan terbaik (inference
to the best explanation), yang berangkat dari premis yaitu proposisi
mengenai hasil observasi intelijen mengenai kondisi atau kenyataan tertentu.
‘Penjelasan’ adalah klaim mengenai “mengapa sampai muncul kondisi atau kenyataan
itu?.” Penyimpulan menuju penjelasan terbaik tadi tidak bersifat absolut,
tetapi dapat memberikan argumentasi yang paling kokoh, setidaknya untuk
sementara. Pola penyimpulan ini mirip dengan penalaran ‘induktif enumeratif’
dan ‘induktif analogis.’ AMH memberi contoh pola penalaran ‘induktif
enumeratif’: “Jika X persen anggota grup
A memiliki properti B; maka X persen semua anggota grup A kemungkinan besar
memiliki properti B.” Contoh pola ‘induktif analogis’: “Jika benda A memiliki properti P1, P2, P3
dan P4; dan benda B memiliki properti P1, P2, dan P3; maka benda B kemungkinan
besar memiliki properti P4.” Sementara pola penyimpulan menuju penjelasan
terbaik, contohnya adalah: “Ada fenomena
Q; di mana E memberi penjelasan terbaik tentang Q; maka kemungkinan besar E adalah
benar” (h.194-195).
Sementara dimensi aksiologis dalam intelijen adalah
berupa tindakan atau operasi intelijen yang menggunakan berbagai bentuk dan
tingkatan power (kekuatan atau
kekuasaan). Dalam dunia militer dan politik dikenal adanya tiga jenis kekuatan
atau kekuasaan, yaitu: (a) Kekuasaan keras (hard
power), dengan menggunakan kekuatan fisik militer, kepolisian, kejaksaan
dan pengadilan; (b) Kekuasaan lunak (soft
power), berupa kekuasaan untuk mempengaruhi dan meyakinkan (the power to persuade), yang umumnya
berkenaan dengan dunia gagasan, nilai-nilai, pendidikan, budaya, agama dan
musik; (c) Kekuasaan cerdas (smart power),
berada diantara hard power dan soft power, yang pada umumnya berupa tindakan
memberi imbalan uang, barang, keuntungan materi, pangkat dan jabatan (h.42-43)
AMH juga menyebutkan bahwa secara
umum ada tiga fungsi intelijen, yang merupakan wujud dari unsur aksiologis
intelijen, yaitu: (a) Penyelidikan (detection) berupa kegiatan pengumpulan keterangan-keterangan,
terutama mengenai keadaan dan tindakan apa yang akan dilakuka pihak lawan, yang
setelah diolah dan dinilai dinamakan ‘intelijen’; (b) Pengamanan (security)
terhadap personil, material dan keterangan (termasuk dokumen), yaitu kegiatan
melindungi, mengurangi potensi gangguan dan membatasi ruang gerak dan
kesempatan lawan. Pengamanan juga untuk mencegah pihak lawan dapat mengetahui
keadaan dan rencana pihak kita. Ada tindakan pengamanan aktif (contra intelligence) dan pengamanan
pasif (seperti dengan kamuflase atau penyamaran); (c) Penggalangan (conditioning).
Ada dua jenis. Pertama, ‘operasi penggalangan keras’ berupa serangan
bersenjata, teror, penculikan, sabotase dan subversi. Ada juga ‘operasi
penggalangan cerdas’ atau operasi psikologi (Perang Urat Syaraf/PUS), yang
sifatnya lebih untuk mempengaruhi dan mengubah persepsi orang/pihak lain sesuai
keinginan kita (h.39-41; 207-208). Menurut AMH, pada masa perang melawan teror
saat ini, senjata yang paling ampuh adalah dengan penggalangan, yang harus
dilakukan dengan cepat, tepat dan senyap (h.163).
Operasi-operasi intelijen yang
disebutkan AMH tadi dibedakan menjadi dua, yaitu: (a) Operasi intelijen dengan sasaran
luar negeri atau negara musuh, menggunakan pendekatan keras dan kadang didukung
pendekatan lunak dan cerdas. Operasi pengalangan keras seperti teror,
pembunuhan (assassination) dan
sabotase, termasuk adu domba dan rekayasa. Di Indonesia, operasi intelijen
strategis (Ops. Intelstrat) ditangani oleh Pasukan Sandi Yudha (Passandha)
dalam Komando Pasukan Khusus (Kopassus); (b) Operasi intelijen dengan sasaran dalam negeri, yaitu warga negara yang
menjadi agen atau mata-mata musuh. Di Indonesia, operasi intelijen dalam negeri
ini dijalankan oleh intelijen kepolisian/reserse, yang khusus untuk terorisme
dibantu oleh Bais TNI dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Metode yang digunakan dengan pendekatan cerdas (seperti upaya pendidikan untuk
deradikalisasi) dan pendekatan lunan (seperti membantu memenuhi kebutuhan
hidup, dll.). Namun jika diperlukan juga digunakan pendekatan keras, yang
dilakukan oleh Densus 88 (h.29-31). Langkah pencegahan dan penanggulangan aksi
intelijen disebut operasi kontra-intelijen (counter
intelligence operations). Intelijen dalam negeri ini umum juga disebut
intelijen territorial. Menurut AMH:
“Intelijen territorial juga kerap berfungsi
mencegah meluasnya penyebaran kebencian (spreading hatred) dalam masyarakat oleh
intelijen musuh, yang biasanya melakukan propaganda dan agitasi yang bersifat
menghasut. Musuh dalam intelijen militer pada umumnya bukan bangsa asing saja,
tetapi juga oknum-oknum bangsa sendiri yang menjadi kaki tangan mereka. Dalam
sejarah perjuangan bangsa-bangsa di dunia, mereka biasa disebut sebagai
pengkhianat negara…” (h.39)
AMH juga memaparkan bahwa dalam
dunia intelijen secara umum dikenal tiga metode, yaitu: (a) ‘Metode Putih’ atau
disebut aksi terbuka. Dalam intelijen negara biasanya dilakukan oleh kalangan
diplomat di negara tempat mereka ditugaskan. Sementara dalam intelijen musuh
umumnya menggunakan tangan wartawan, yang baik sadar atau tidak menulis berita
tertentu yang diinginkan oleh musuh, contohnya berita tentang terorisme yang
justru turut menyebarkan ketakutan di masyarakat. Atau memang wartawan yang memang telah dibina
menjadi agen intelijen, karena media massa dipandang sebagai titik kritis (critical point), artinya dapat
memberikan keuntungan bagi siapapun yang menguasainya (h.70). Termasuk dalam
hal ini kalangan NGO yang dapat dipengaruhi dan/atau digunakan musuh untuk
mengangkat isu tertentu yang menguntungkan musuh; (b) ‘Metode Hitam’ atau aksi
tertutup, adalah operasi rahasia, yang dilakukan secara diam-diam dan tidak
diekspose ke publik; (c) ‘Metode Kelabu’ yang menggabungkan aksi terbuka dan
tertutup. Seperti kelompok bersenjata atau teroris (metode putih) yang juga
melakukan gerakan bawah tanah (metode hitam) atau klandestin (clandestine). Intelijen yang melakukan
penyergapan dan sekaligus melakukan upaya penggembosan kelompok bersenjata juga
dapat dikatakan menggunakan metode ini (h.35-36). Kombinasi dari metode putih,
hitam, abu-abu, resmi, illegal, terbuka ataupun senyap sangat umum digunakan
dalam dunia intelijen (h.37).
Filsafat Intelijen Berasas Pancasila
Terkait dengan fungsi intelijen
tersebut, menurut AMH, filsafat intelijen negara RI bukanlah merupakan cabang
dari ilmu filsafat yang berlaku universal, namun suatu dasar pijakan moral
untuk beroperasi di bawah berbagai macam bentuk kekuasaan politik (h.4).
AMH berpendapat bahwa sebagai intelijen
dari negara yang berfilsafat Pancasila, maka intelijen negara RI adalah
intelijen Pancasila, bukan intelijen yang bebas dari nilai dasar (value free). Pancasila sebagai filsafat
negara menjadi panduan moral bagi filsafat dan siasat intelijen negara RI, yang
tertuang dalam kebijakan dan strategi serta “Pola Operasi Intelijen” (taktik
dan teknik intelijen) (h.4, 7).
Secara epistemologis, intelijen
negara RI merupakan derivasi dari Pancasila, bukan hanya sekedar dari perspektif Pancasila. Dengan berpedoman
pada filsafatnya itu sendirilah, maka intelijen negara RI sekaligus juga
mengandung makna sebagai intelijen nasional, yang tidak hanya berfungsi di
bidang pertahanan-keamanan saja (h.7-8).
Dalam melaksanakan norma-norma
hukum, intelijen tetap harus terikat juga pada norma moral dan etika (h.47). Nilai
dasar intelijen negara adalah perasaan untuk bisa merasa, berempati dan tidak
menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya (h.54). AMH berpendapat,
bahwa intelijen Indonesia juga harus menghormati HAM, terlebih karena sejak
tahun 2006 Indonesia sudah menjadi anggota Dewan HAM PBB. Konsekuensinya,
intelijen harus bekerja dalam koridor penghormatan terhadap HAM (h.64). Pendekatan
kekerasan merupakan teori intelijen yang sudah lapuk (h.45).
“Teori intelijen di negara Pancasila, bukan
teori intelijen yang berlaku di negara-negara totaliter yang bersifat
Machiavelistik. Operasi intelijen di dalam negeri, tidak membenarkan
fungsi-fungsi intelijen yang berpendekatan kekerasan. Intelijen telah terbukti
dapat menuai hasil yang jauh lebih baik, tanpa harus menyiksa orang yang
menjadi sasarannya atau membuat derita keluarga mereka” (h.47)
AMH tidak menampik bahwa praktik
intelijen negara di Indonesia kerap kali dipersepsikan sebagai sesuatu yang
“hampa nilai.” Artinya, praktik intelijen dikira dapat menghalalkan segala
cara, demi tercapainya sebuah tujuan. Tujuan itu sendiri dibiarkan tak
terperiksa sehingga rentan untuk ditunggangi kepentingan sektoral, kelompok
atau pribadi (h.57).
“Absennya basis etis bagi intelijen demikian
membuat praktik intelijen seringkali disebut “intelijen-hitam” (bukan metode
hitam). Intelijen hitam adalah operasi yang dilakukan tanpa otorisasi
(self-tasking) maupun kontrol dari otoritas intelijen. Kegiatan ini dilakukan
secara individual, bersifat partisan dan tidak disertai adanya rules of
engagement sebagaimana seharusnya mekanisme dan prosedur intelijen.”
(h.57-58)
AMH menyebut “praktik intelijen negara yang tidak terikat
pada moral Pancasila, merupakan praktik intelijen yang liar” (h.26). Menurutnya,
teori intelijen yang liar, yaitu intelijen yang bebas liar, merupakan akar
penyebab terjadinya berbagai penyimpangan dalam praktik intelijen (h.45-46). Praktek
semacam ini justru akan melemahkan intelijen. Memandulkan intelijen adalah
melakukan aksi intelijen tanpa menggunakan intelijen, contohnya adalah
penggunaan Operasi Khusus (Opsus) pimpinan Ali Murtopo dalam kasus Komando
Jihad (h.52).
“Filsafat intelijen negara juga mengandung
nilai-nilai dasar bagi kontra-intelijen, untuk menghindarkan dirinya secara
permanen dari serangan intelijen musuh dan praktik intelijen liar pihak
sendiri. Praktek intelijen liar terhadap pihak sendiri tersebut merupakan
predator, bagi eksistensi intelijen negara Republik Indonesia yang bersendikan
Pancasila.” (h.214)
Karenanya, intelijen Indonesia
juga harus memiliki legitimasi dan sesuai dengan koridor hukum dalam segala
tindakannya. Karena menurutnya, di negara-negara maju sekalipun, ternyata hukum
masih banyak dijadikan sebagai alat bagi pemerintah demi kepentingan kekuasaan
politik (h.198). Karena itu AMH berpandangan bahwa:
“Kegiatan intelijen yang legitimate bukan
hanya harus berada di bawah payung hukum positif di suatu negara, tetapi juga
harus berada di bawah payung yang lebih besar lagi, yaitu payung hukum moral.
Payung hukum moral adalah etika… Etika umum membahas tentang prinsip-prinsip
moral dasar, sedangkan etika khusus seperti etika intelijen… menerapkan
prinsip-prinsip moral dasar tersebut di bidang intelijen.” (h.198)
Menurut AMH, moral adalah habitat
intelijen negara RI, karena moral menilai apakah seorang intelijen baik atau
buruk (h.200).
Kedaruratan dan ruang hampa hukum
Namun, sesuai dengan dimensi
ontologis dan epistemologis dari intelijen itu sendiri, maka diyakini ada diskresi
atau pengecualian tertentu yang ‘dibenarkan’ dalam dunia intelijen. Prinsip
intelijen yang ‘menjunjung moral dan etika’ dapat berubah menjadi sangat ‘pragmatis.’
Karena, menurut AMH, aksiologi intelijen sesungguhnya merupakan nilai bagi
suatu negara yang bersifat pragmatis (h.200). Dalam situasi semacam ini, hukum
positif dapat dikesampingkan, sebab “mengandalkan
intelijen semata-mata pada hukum positif dapat mereduksi kemampuan intelijen
dalam melakukan deteksi dini, apalagi cegah dini terhadap bahaya yang mengancam
masyarakat” (h.200). Menurut AMH, pragmatisme dalam intelijen ini adalah
untuk kepentingan negara.
“Dalam ranah hukum tidak pernah ada kompromi,
karena yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah… Tetapi dalam
konteks intelijen, kebenaran dam kesalahan kerap kali harus dapat dikompromikan
demi mencapai tujuan… Sikap dasar intelijen yang mandiri di luar ranah hukum,
tetapi tetap dalam ranah moral Pancasila… Pragmatisme dalam intelijen dapat
lebih dimengerti, sebagai sifat yang mengedepankan kepentingan daripada hal-hal
lainnya” (h.48)
Singkatnya, dalam kondisi
darurat, maka hukum dan moral yang berlaku dalam situasi ‘normal’ menjadi tidak
berfungsi, sehingga tercipta situasi atau ruang hampa hukum, di mana intelijen
dimungkinkan untuk bersikap pragmatis dalam menyikapi situasi tersebut (h.54, 64).
Namun disini AMH memberi catatan, bahwa pragmantisme ini adalah dalam konteks
menghadapi musuh dari eksternal, karena intelijen Indonesia tidak boleh
mengorbankan siapapun diantara rakyat sendiri (h.62).
“Kedaruratan dapat memunculkan tindakan yang
tidak masuk akal. Oleh karena itu, dalam suasana kedaruratan, hukum tidak lagi
dikenal. Untuk mengatasi hal ini intelijen tidak perlu bergantung secara kaku
pada hukum positif (iusconstitutum) yang dibuat untuk negara dalam keadaan
normal. Dalam situasi chaos dan anarkis, yang diperlukan adalah kecepatan dan
ketepatan dalam memutuskan dan bertindak untuk menyelamatkan manusia. Langkah
demikian merupakan cikal bakal hukum baru, yang dapat langsung berlaku demi
menyelematkan jiwa manusia. Keselamatan sesama manusia harus selalu lebih
diutamakan, karena situasi darurat tidak mengenal hukum” (h.167).
Terkait dengan hal tersebut, AMH
merujuk pada pandangan Santo Romano (hakim dari Italia di awal abad 20), yang
menolak pendasaran kedaruratan pada hukum, karena kedaruratan adalah dasar
hukum itu sendiri. Ungkapan “necessitas
non habet legem” bermakna bahwa kedaruratan tidak mengenal hukum.
Kedaruratan telah membuat hukumnya sendiri (h.203). Dalam hal ini, kedaruratan
memiliki basis etika yang khusus yaitu utilitarianisme dengan prinsip yang
berbunyi: “kebahagiaan terbesar adalah bagi
sebanyak mungkin orang” (h.214).
Sejarah hukum mengenai
kedaruratan ini dapat dilacak pada hukum bangsa Romawi, yang mengatur mengenai iustitium
(keadaan hampa hukum) dan tumultus (kedaruratan). Kedaruratan ini --dalam
berbagai bentuk dan sebabnya-- merupakan keadaan yang pasti akan dialami oleh
semua negara hukum manapun di dunia. Namun, sebagian besar negara modern saat
ini tidak secara khusus mengatur soal kedaruratan dalam konstitusi mereka.
Contoh negara yang mengatur soal itu dalam konstitusinya adalah Perancis
(h.201-202). Dalam situasi yang ‘darurat’, tindakan pemerintah seperti
membubarkan Parlemen, menindak tegas separatis dan teroris, atau lainnya tidak
tergolong sebagai tindakan diktatorial karena dilakukan pada masa iustitium (h.203).
AMH mengutip Adian (2011) yang
merujuk pandangan Derida, yang menyatakan bahwa ‘keadilan berjalan setapak di
depan hukum tertulis.’ Karenanya menurut AMH, “kebenaran filosofis intelijen
tidak selalu berdasarkan hukum” (h.194). Namun jika kemudian tindakan intelijen
itu dianggap salah dan harus dihukum, maka itu adalah pengorbanan untuk
kebaikan banyak orang.
“Demi kesadaran moral dan hati nurani seorang
warga negara yang bertanggung-jawab kepada keselamatan masyarakat, dalam
prakteknya terkadang terpaksa harus “melanggar” hukum. Apabila karena
pelanggaran itu intelijen yang bersangkutan harus dihukum, sama sekali tidak
berarti intelijen itu buruk… Pengorbanan intelijen yang sampai menjadi seorang
terhukum adalah semata-mata demi tercapainya tujuan hukum itu sendiri, yaitu
menjamin keadilan untuk keselamatan, keamanan dan ketertiban semua orang.”
(h.196)
Kesan pembaca awam
Buat saya, buku AMH ini cukup
informatif, dan dapat memberi sedikit gambaran tentang dunia intelijen bagi
orang awam seperti saya ini. Tapi saya juga tidak tahu pasti, apakah isi buku
ini hanya merupakan ‘karya ilmiah’ dari AMH atau memang merupakan acuan dan
cerminan dari institusi dan kerja intelijen negara di Indonesia.
Menyandingkan Pancasila dengan
institusi dan operasi intelijen --yang kemudian melahirkan apa yang disebut AMH
sebagai ‘filsafat intelijen berasas Pancasila’-- juga rasanya bukan hal yang
aneh dan baru. Melabelkan semua hal yang dianggap benar, sah, penting atau nasionalistis dengan Pancasila sangatlah lazim dilakukan di Indonesia, khususnya oleh para
pejabat sipil maupun militer yang dibesarkan di era Orde Baru.
Namun --sebagai orang awam-- saya
menangkap kesan bahwa keberadaan dan praktik intelijen di Indonesia juga tidak
berbeda dengan intelijen di negara lainnya. Asas dan koridor normatifnya bisa
disebut apa saja --entah moral, kemanusiaan, HAM, Pancasila, hukum nasional,
atau lainnya--, tapi semua itu akan dapat segera disisihkan ketika ada situasi
yang dinilai sebagai kondisi darurat yang menciptakan kondisi hampa hukum dan
menjadi pembenaran bagi intelijen untuk bertindak pragmatis, meskipun itu
melanggar moral dan hukum yang berlaku di masa ‘normal’.
Muncul sejumlah pertanyaan awam: Bagaimana proses penetapan suatu keadaan
dapat disebut sebagai memenuhi unsur kedaruratan?; Siapa yang memberi otorisasi
untuk suatu operasi intelijen, dan bagaimana dapat menjamin bahwa otoritas itu
dijalankan sesuai dengan mandatnya?; Bagaimana menjamin bahwa institusi
intelijen tidak dimanfaatkan oleh kepentingan penguasa dan/atau elit
berpengaruh lainnya?; Bagaimana membedakan suatu operasi intelijen itu ‘resmi’
atau ‘liar’?; Jika kemudian suatu operasi intelijen ternyata merupakan operasi
yang liar, lantas bagaimana pertanggungjawabannya kepada korban dan rakyat?.
Membaca buku ini membuat saya
menjadi sedikit tahu tapi juga merasa semakin tidak tahu. Teringat begitu
banyaknya peristiwa yang menurut banyak orang adalah bagian dari operasi
intelijen di dalam negeri sendiri yang menggunakan pendekatan ‘operasi
penggalangan keras’ dan banyak memakan korban jiwa di kalangan rakyat: G30S,
Tanjung Priok, Talangsari-Lampung, Petrus,
‘Kudatuli’, kerusuhan 1998, penculikan aktivis, Semanggi, Poso, Theys
Eluay-Papua, Munir, dan lainnya. Saya hanya dapat mengira-ngira, apa “logika
penyimpulan menuju penjelasan terbaik” yang digunakan untuk membenarkan semua
operasi intelijen tersebut.
Kembali ke berita KOMPAS mengenai
pendidikan Bela Negara, mungkin ada baiknya bagi siapapun yang akan mengikuti
kegiatan tersebut untuk juga membaca buku AMH ini. Lumayan buat bahan belajar
awal. Siapa tahu, kalau dapat nilai bagus nanti bisa sekalian direkrut jadi ‘agen
intelijen non-organik’, atau sekaligus dapat beasiswa kuliah di STIN, he..he..
-----
Sumber:
- A.M. Hendropriyono (2013). Filsafat Intelijen Negara Republik Indonesia. KOMPAS.
- http://nasional.news.viva.co.id/news/read/502532-hendropriyono-jadi-guru-besar-intelijen-pertama-di-dunia
[1] AMH lahir
tahun 1945 di Yogyakarta, namun sejak kecil tinggal di Jakarta. Lulus AMN tahun
1967. Mengawali karier di Kopassandha (sekarang Kopassus). Pernah menjabat
sebagai Direktur di Badan Intelijen Strategis (Bais), Pangdam Jaya, Komandan
Kodiklat TNI AD, beberapa kali menjadi Menteri, dan terakhir menjadi Kepala BIN
di era pemerintahan Megawati (2001-2004). Selain banyak mengikuti pendidikan
kemiliteran, AMH tampaknya juga ‘rajin kuliah.’ Dia memiliki empat gelar
sarjana (ilmu adminisrasi, hukum, ekonomi dan teknik), dua gelar master
(administrasi niaga dan hukum), dan menjadi doktor filsafat (dengan disertasi
tentang terorisme). Pada tahun 2014, AMH diangkat menjadi Guru Besar dalam bidang
Ilmu Intelijen dari Sekolah Tinggi Intelijen Indonesia (STIN), kampus yang ikut
dirintisnya ketika menjadi Kepala BIN. Konon, AMH adalah guru besar intelijen
pertama bukan hanya di Indonesia, tapi juga di dunia.
[2] Sebagai
contoh, visi BIN adalah “Tersedianya
Intelijen secara CEPAT, TEPAT dan AKURAT sebagai bahan pertimbangan pengambilan
keputusan dalam menentukan kebijakan nasional.” Lihat http://www.bin.go.id/profil/visi_misi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar