Baca

Baca

Jumat, 17 April 2015

"Analisis Institusional terhadap Bantuan Pembangunan" - Clark C. Gibson et.al.



Tulisan ini diambil dari buku karya Clark C. Gibson et.al. yang berjudul The Samaritan’s Dilemma: The Political Economy of Development Aid (2005), pada bagian “What’s Wrong with Development Aid?” (hal. 3-18).


Menimbang Ulang Bantuan Pembangunan

Bantuan pembangunan (development aid) selalu menjadi isu yang hangat dan kerap dikaitkan dengan isu-isu besar lain seperti pembangunan nasional, nasionalisme, kerjasama luar negeri, hutang luar negeri, neo-liberalisme, dll. Menurut Gibson et.al., setelah berlangsung selama beberapa dekade, banyak pembuat kebijakan, praktisi, akademisi, analis dan aktivis yang mempertanyakan efektivitas bantuan pembangunan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, mengurangi kemiskinan, atau meningkatkan pembangunan sosial (Adam dan O'Connell 1999; Burnside dan Dollar 2000a; Cohen et al 1985;. Dollar dan Easterly 1999; Easterly 2001, 2003; Martens et al 2002;. Tsikata 1998; Bank Dunia 1998). Sejaumlah literatur menunjukkan bahwa di tingkat makro hanya ada sedikit bukti bahwa bantuan pembangunan memang meningkatkan kondisi kehidupan. Sementara di tingkat mikro, hanya ada beberapa program yang bertahan hidup lebih lama dari bantuan donor, yang menjadi bahan ejekan bagi lembaga bantuan mengenai kepemilikan dan keberlanjutan bantuan tersebut (Catterson dan Lindahl 1999; Edgren 1995; Elgstrom 1992; Putih 1992, 1998, 1999). Belakangan, banyak kritik yang juga justru muncul dari kalangan “orang dalam” lembaga bantuan pembangunan tersebut.

Gibson et.al. mengajukan pertanyaan mendasar: “Apa yang salah dengan bantuan pembangunan?” Hampir setiap bagian atau proses dari sistem bantuan telah dikritik, diantaranya: berkenaan dengan agenda geopolitik donor; politik distributif di negara penerima; ikatan bantuan yang mengikat bahwa pengadaan barang/jasa harus melibatkan perusahaan-perusahaan swasta di negara donor; kendala birokrasi dan pengambilan keputusan di negara penerima bantuan; jenis bantuan yang diberikan; jenis dan tingkat akuntabilitas yang harus dipenuhi; dll.

Sejumlah penelitian tingkat makro pada 1990-an hanya menemukan sedikit harmoni antara tingkat bantuan dan perubahan yang diinginkan dalam indikator makro (Boone 1994; Burnside dan Dollar 2000a; Devarajan dan Swaroop 1998; Dollar dan Svensson 2000; Easterly 2002b, 2003; Feyzioglu et al 1998;. Pack dan Pack 1993; Putih 1992; Bank Dunia 1998). Tidak semua hasil penilaian makro bersifat negatif, dan banyak penilaian mikro menunjukkan hasil positif. Namun demikian, tampaknya memang persepsi yang meluas bahwa bantuan pembangunan belum mencapai efektivitas yang diharapkan.

Dalam analisis Gibson et.al., pasca Perang Dingin lebih banyak tuntutan terhadap kinerja pemerintah/negara donor dan lembaga keuangan multilateral, yang memunculkan banyak konsep dan istilah baru. Contohnya adalah istilah "Pembangunan" sebagai tujuan bantuan telah berubah menjadi "Pembangunan Berkelanjutan" (diantaranya lihat Pemerintah Perancis 2002; Pemerintah Jepang 2002; OECD 2002; PBB 2002; USAID 2000; WCED 1987). “Pembangunan Berkelanjutan” tampaknya menuntut logika yang berbeda dari upaya pemberian bantuan yang konvensional seperti pembangunan jalan dan pengiriman bantuan pangan. Pembangunan Berkelanjutan memerlukan partisipasi yang lebih besar dari penerima bantuan, yang dalam istilah beberapa lembaga donor, para penerima bantuan (recipients) menjadi pemilik (owners) dari program/proyek tersebut.

Para ahli juga mulai meneliti keterkaitan antara analisis tingkat mikro dan makro yang dapat membantu peningkatan hasil dan manfaat bantuan pembangunan (Hermes dan Lensink 1999). Mereka tidak ingin hanya menyalahkan adanya praktek korupsi terhadap bantuan (baik dari pihak donor, sektor swasta, atau penerima). Beberapa analis mengalihkan fokus mereka terhadap pengaturan kelembagaan bantuan (Easterly 2003; Martens et al, 2002.). Dalam pandangan ini, hasil yang buruk terkait dengan bantuan dapat diprediksi dari preferensi individu yang terlibat dalam pemberian dan pengelolaan bantuan, dan insentif yang dihasilkan oleh cara di mana sistem bantuan itu sendiri terstruktur (Brautigam dan Knack 2004). Dengan kata lain, pendekatan yang cukup banyak dikembangkan belakangan ini adalah analisis institusional (institutional analysis).

Lima konsep kunci dalam analisis institutional terhadap bantuan pembangunan

Gibson et.al. coba menelaah klaim dari banyak lembaga donor saat ini yang menyatakan bahwa penerima bantuan (recipients) perlu menjadi "pemilik" bantuan terbut agar bantuan pembangunan dapat berkelanjutan. Mereka melakukan eksplorasi terhadap dasar-dasar konseptual dari lima istilah kunci terkait klaim tersebut, yakni: lembaga, insentif, pengembangan (dan bantuan pembangunan), keberlanjutan, dan kepemilikan.

1. Institusi

Institusi dapat mengubah insentif (dorongan) individu. Insentif kemudian dapat mendorong individu untuk bertindak dengan cara tertentu, yang mengarah ke interaksi yang mempengaruhi produktivitas dan keberlanjutan upaya bantuan pembangunan. Douglass North mengusulkan pentingnya memisahkan konsep “organisasi” dengan “institusi.” Menurutnya, organisasi dapat dianggap sebagai "kelompok individu yang terikat oleh kepentingan yang sama untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu" (North, 1990:5). Organisasi demikian tim individu yang terlibat dalam tindakan kolektif untuk menghasilkan hasil yang bersama-sama dihargai. Organisasi sederhana dapat dianalisis sebagai situasi tindakan yang terpisah.

Sementara inti dari banyak banyak definisi “institusi” adalah berkenaan dengan gagasan tentang batasan-batasan yang dirancang secara manusiawi (humanly designed constraints) (Hodgson 2004). Dengan membatasi perilaku, institusi meningkatkan prediktabilitas interaksi manusia dan dengan demikian memungkinkan beberapa kegiatan yang sebelumnya tidak ada atau dianggap tidak mungkin. Aspek kunci dari semua institusi adalah aturan bersama mereka mengenai apa tindakan yang harus diambil, aya yang tidak, atau apa yang boleh dalam keadaan tertentu (Crawford dan Ostrom 2005; E. Ostrom 2005). Dengan demikian hal tersebut juga akan berkaitan dengan aturan/hukum/perundang-undangan (yang ditegakkan atau diawasi oleh pihak tertentu, dan ada mekanisme sanksi sesuai aturan yang berlaku), dan norma-norma yang berlaku (mengenai apa yang boleh dan tidak boleh, yang pelanggaran atasnya akan dikenai sanksi sosial, dll.).

Pada akhirnya, institusi juga mendorong individu/kelompok merancang strategi atau rencana aksi berdasarkan persepsi mengenai manfaat atau biaya yang mungkin akan mereka terima jika tujuan tercapai.

2. Insentif

Kebanyakan definisi insentif mengandung dua komponen, yaitu stimulus eksternal dan motivasi internal. Dalam analisis kelembagaan, istilah ini mengacu pada imbalan dan hukuman yang akan diterima berkaitan dengan tindakan mereka dan orang lain. Rangsangan ekternal dapat berupa hasil yang diterima atau biaya yang harus dibayar, rasa hormat yang diperoleh dari orang lain, mendapatkan keterampilan atau pengetahuan baru, dll., yang dapat mempengaruhi beberapa jenis perilaku (Spiller dan Tommasi 2004). Donor menggunakan berbagai rangsangan eksternal dalam upaya mereka untuk mengubah perilaku pejabat dan penerima manfaat di negara-negara penerima. Beberapa donor dapat menarik atau mengalokasikan uang tambahan untuk mengubah insentif. Donor lainnya mungkin membantu menciptakan lembaga yang kemudian akan memberikan insentif untuk beberapa jenis tindakan.

Imbalan dan hukuman dapat memotivasi individu untuk mengambil tindakan yang produktif bagi semua yang terlibat. Namun ada juga insentif negatif, yang dapat  menyebabkan individu menghindar untuk terlibat dalam hasil yang saling produktif, atau untuk mengambil tindakan yang umumnya berbahaya bagi orang lain (de Soto 2000). Sayangnya, mereka yang dituduh melakukan reformasi kelembagaan juga menghadapi keterbatasan pengetahuan dan insentif. Semua lembaga adalah lembaga yang tidak sempurna (Eggertsson 2005).

Banyak insentif yang terlibat dalam program bantuan internasional melibatkan penambahan dana untuk anggaran pemerintah sehingga dapat mendorong lebih banyak belanja dan kegiatan di domain-domain yang donor anggap penting. Pelatihan tambahan, bantuan teknis tambahan, dan peluang wisata ke luar negeri adalah contoh perubahan bantuan kelembagaan yang didanai yang menghasilkan penghargaan dan mengubah perilaku. Analisis kelembagaan dapat membantu menentukan apakah perubahan jangka pendek tersebut adalah nyata, apakah mereka kongruen dengan tujuan donor, apakah perubahan positif dalam perilaku terjadi, dan apakah mereka berkelanjutan.

3. Pembangunan, Bantuan Pembangunan dan Kerjasama Pembangunan

Individu dan kelompok kerja di bidang pembangunan memperdebatkan makna dari konsep "pembangunan" dan "bantuan pembangunan." Umumnya pembangunan dilihat sebagai suatu proses di mana individu, melalui desain dan penggunaan lembaga-lembaga di berbagai tingkatan, meningkatkan kesejahteraan mereka dengan jalan memecahkan lebih banyak masalah tindakan-kolektif secara lebih efektif (lihat Shivakumar 2005).

Pemerintah Swedia dan SIDA (lembaga bantuan internasional milik pemerintah Swedia) telah mendefinisikan pembangunan (melalui bantuan pembangunan) dengan cara memetakan enam hasil yang berbeda, yaitu: (a) pertumbuhan ekonomi; (b) ekonomi dan kesetaraan sosial; (c) kemandirian ekonomi dan politik; (d) perkembangan demokrasi; (e) kepedulian terhadap lingkungan; dan (f) kesetaraan antara perempuan dan laki-laki (Sida 1997). Keenam tujuan ini diharapkan menghasilkan tjuan ketujuh dan "tujuan keseluruhan" dari bantuan pembangunan Swedia, yaitu pengentasan kemiskinan.

4. Keberlanjutan

Konsep kunci lain terkait bantuan pembangunan adalah “berkelanjutan.” Menurut Bell dan Morse (1999), berpendapat bahwa konsep pembangunan berkelanjutan hanyalah slogan kosong untuk istilah normatif yang digunakan terutama untuk tujuan politik.

Pemerintah donor umumnya mengadopsi definisi yang luas seperti yang diberikan dalam Laporan Brundtland: "Pembangunan berkelanjutan berusaha untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi masa kini tanpa mengorbankan kemampuan untuk memenuhi masa depan" (WCED 1987: 40; untuk Jepang, lihat JICA 2001 ; untuk Inggris, lihat _http: //dfid.gov.uk, untuk Amerika Serikat, lihat USAID 2004: 80). Meskipun pada kenyataannya ada banyak variasi makna terhadap istilah ini, bahkan di dalam satu lembaga/pemerintah donor sendiri. Gibson et.al. banyak mengambil contoh dari beragamnya pengertian pembangunan berkelanjutan di dalam SIDA sendiri, yang diantaranya menggambarkan adanya perbedaan penekanan, antara orientasi pada hasil program/proyek, dan orientasi pada proses program/proyek tersebut. Dalam buku ini Gibson et.al. memaknai pembangunan berkelanjutan pada lamanya efek dari bantuan pembangunan (longevity of development aid’s effects).

Gibson et.al. berpendapat bahwa “berkelanjutan” tidak berarti setiap proyek harus dilanjutkan tanpa batas. Dalam hal ini setiap proyek, program, dan modalitas lainnya harus dipandang hanya sebagai sarana dalam upaya untuk mencapai tujuan jangka panjang dari bantuan pembangunan.

5. Kepemilikan

Pada beberapa dekade awal dari bantuan pembangunan di seluruh dunia, ada anggapan bahwa donor harus memimpin dalam merancang dan melaksanakan program dan proyek (Morss 1984). Pada awal 1990-an, ada kesadaran bahwa kondisi tersebut telah membuat donor merampas peran penerima bantuan sebagai pemilik program dan proyek. Ketikabantuan dianggap “milik” donor, maka sangat logis jika program yang dirancang lebih banyak menguntungkan mereka saja (Brunetti dan Weder 1994; Johnson dan Wasty 1993; OECD 1992; van de Walle dan Johnston 1996; Wilson dan Whitmore 1995). Padahal, menurut para ahli, tanpa rasa kepemilikan tersebut akan membuat penerima bantuan tidak memiliki komitmen yang cukup untuk memastikan bahwa program benar-benar direalisasikan, dan dapat bertahan serta memberikan dampak jangka panjang . Kritik telah mendesak lembaga donor untuk mendorong jenis pengembangan kelembagaan yang meningkatkan kemampuan kepemilikan penerima manfaat atau melanjutkan jenis bantuan pembangunan berkelanjutan.

Menanggapi meningkatnya kesadaran akan pentingnya kepemilikan, banyak lembaga pembangunan telah secara resmi mengadopsi ide-ide yang berkaitan dengan kepemilikan penerima bantuan pembangunan. USAID (2000) membahas gagasan "kemitraan" di mana "tugas utama harus dilakukan oleh negara tuan rumah, bukan donor." Badan pembangunan Jepang bahwa kepemilikan "berkaitan dengan kebutuhan untuk negara-negara berkembang untuk menganggap primer tanggung jawab dan peran dalam menangani masalah…"(JICA 2001). OECD percaya bahwa "kemitraan" adalah kunci dalam membuat bantuan lebih efektif: "Kemitraan semakin didasarkan pada prinsip membantu pemerintah dan rakyat negara-negara berkembang memperkuat kapasitas mereka untuk mengarahkan inisiatif pembangunan mereka sendiri. . . pendekatan kemitraan mengakui pentingnya sektor swasta yang dinamis, kepemilikan lokal, dan partisipasi masyarakat sipil "(2002: 66). Sida juga telah menempatkan kepemilikan di pusat filosofi diungkapkan bantuan donor. Menurut Sida, pemilik proyek adalah "pihak yang meminta dukungan dan yang bertanggung jawab atas perencanaan dan pelaksanaan proyek, dengan memiliki, misalnya, organisasi dan staf untuk tugas. Pemilik proyek mendanai sebagian, seringkali sebagian besar, dari biaya proyek"(1997c: 15). 

Rabu, 15 April 2015

"Perspektif Teoritis Corporate Social Responsibility (CSR)" - Subhabrata Bobby Banerjee


Tulisan ini disarikan dari buku karya Subhabrata Bobby Banerjee yang berjudul Corporate Social Responsibility: The Good, the Bad and the Ugly, khususnya pada bagian "Corporate social responsibility: theoretical perspectives" (Pp.15-22)

Menurut Subhabrata Bobby Banerjee, pada masa sekarang korporasi atau perusahaan umum didefinisikan sebagai 'hubungan kontrak' antara aktor-aktor rasional yang bertujuan memaksimalkan kekayaan. Fokusnya adalah pada mengidentifikasi lembaga, pasar dan struktur pemerintahan yang dapat menyelaraskan insentif atau kepentingan manajer dengan pemegang saham (Yingyi dan Weingast, 1997). Munculnya tanggung jawab sosial perusahaan pada pertengahan abad kedua puluh dapat dilihat sebagai upaya untuk berbuat baik (doing good to do good).

Namun, upaya ini tidak berarti diterima secara universal. Beberapa kritikus melihat CSR sebagai 'gerakan ideologis' yang bertujuan untuk melegitimasi kekuasaan perusahaan multinasional (Mitchell, 1989). Lainnya melihat aktivitas CSR sebagai 'pencurian' oleh kelompok pemangku kepentingan utama (key stakeholder) perusahaan, yaitu para pemegang saham, pelanggan dan karyawan (Friedman, 1962).

Banerjee berpendapat bahwa ambiguitas mengenai konsep CSR juga muncul banyak terminologi yang terkait dengan konsep tersebut, dan cukup membingungkan, diantaranya: corporate citizenship, etika perusahaan, tanggung jawab sosial perusahaan, filantropi perusahaan, pemasaran sosial, pemasaran sosial dan keterlibatan perusahaan-komunitas, dll..

Di bagian ini Banerjee memberi contoh beberapa definisi populer CSR, diantaranya:
  • Perhatian dan respon perusahaan terhadap isu untuk dapat mencapai manfaat sosial bersama: “The firm’s consideration of, and response to, issues beyond the narrow economic, technical and legal requirements of the firm to accomplish social benefits along with the traditional economic gains which the firm seeks” (Davis, 1973: 312);
  • Anggapan bahwa masyarakat --sampai tingkat tertentu-- juga dapat dianggap sebagai pemilik organisasi: “Encompassing the economic, legal, ethical and discretionary expectations that society has of organizations at a given point in time” (Carroll, 1979: 500);
  • Tindakan yang berkenaan dengan kebaikan sosial di luar kepentingan perusahaan dan apa yang dituntut oleh hukum: “Actions that appear to further some social good beyond the interests of the firm and that which is required by law” (McWilliams and Siegel, 2001: 117);
  • Cara sebuah organisasi melampauai kewajiban minimumnya: “The ways in which an organization exceeds the minimum obligations to stakeholders specified through regulation and corporate governance” (Johnson and Scholes, 2002:247);
  • Harapan masyarakat terhadap perilaku perusahaan: “Societal expectations of corporate behavior: a behavior that is alleged by a stakeholder to be expected by society or morally required and is therefore justifiably demanded of a business” (Whetten et al., 2002: 374);
  • Komitmen perusahaan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat: “A commitment to improve community well being through discretionary business practices and contribution of corporate resources” (Kotler and Lee, 2005: 3);
  • Komitmen bisnis untuk berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi berkelanjutan bagi kepentingan perusahaan, karyawan dan keluarga mereka, komunitas lokal dan masyarakat luas untuk meningkatkan kualitas hidup mereka: “The commitment of business to contribute to sustainable economic development working with employees, their families, the local community and society at large to improve their quality of life” (World Business Council, 2005);
  • Perusahaan mengintegrasikan kepedulian sosial dan lingkungan dalam operasi bisnis mereka dan dalam interaksi mereka dengan para pemangku kepentingan mereka secara sukarela: “A concept whereby companies integrate social and environmental concerns in their business operations and in their interactions with their stakeholders on a voluntary basis” (European Commission, 2005).

Banerjee kemudian menyimpulkan beberapa tema kunci dari definisi CSR tersebut, yakni:
  1. CSR menyiratkan semacam komitmen, melalui kebijakan dan tindakan perusahaan. Perspektif operasional CSR ini tercermin dalam kinerja sosial perusahaan, yang dapat dinilai dengan bagaimana suatu perusahaan mengelola hubungan sosial, dampak sosial dan hasil dari kebijakan dan tindakan CSR mereka (Wood, 1991). Pelaporan sosial dan audit sosial adalah contoh bagaimana perusahaan dapat menilai kinerja sosial mereka. The Body Shop adalah contoh dari sebuah perusahaan dengan profil CSR tinggi meskipun kekhawatiran tentang kebenaran dari beberapa praktik tanggung jawab sosial perusahaan (Entine, 1995);
  2. Menurut definisi ini kegiatan CSR harus tidak sebatas melaksanakan kewajiban hukum dan dapat melampaui 'kewajiban minimum' yang harus dipenuhi perusahaan. Karenanya, sebuah perusahaan yang memenuhi persyaratan hukum lingkungan dalam hal emisi misalnya, belum tentu juga merupakan sebuah perusahaan yang bertanggung jawab secara sosial, karena hal tersebut semata hanya mematuhi aturan hukum semata. Namun jika perusahaan itu dapat memberikan kontribusi atas sumber daya perusahaan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat seperti menyediakan penitipan anak gratis bagi karyawan atau menurunkan emisi di luar persyaratan hukum, maka tindakan ini dapat disebut bertanggung jawab secara sosial;
  3. Kegiatan CSR adalah bersifat diskresi dan tidak dapat dipaksakan oleh pengadilan hukum. Diskresi dimaksud dapat dimaknai sebagai kebebasan untuk mengambil keputusan sendiri dalam situasi yg dihadapi, di mana aturan hukum yang ada tidak mengaturnya secara ketat, tidak lengkap atau tidak jelas. Perusahaan yang melaksanakan CSR melakukannya secara sukarela mengikuti kode etik di tingkat lokal, regional, nasional dan internasional, namun hal tersebut tidak mengikat secara hukum dengan cara apapun. Dan akhirnya, konseptualisasi 'masyarakat' dan 'sosial', yang menjadi inti dari konsep CSR di tahun 1970-an tampaknya telah menyempit menjadi hanya 'stakeholder' saja, dengan asumsi bahwa para pemangku kepentingan akan mewakili kepentingan masyarakat, dan ada harapan bahwa perusahaan akan menanggapi kepentingan tersebut.

Sejumlah model, kategori dan taksonomi telah dikembangkan dalam upaya untuk mendefinisikan CSR, diantaranya oleh Carroll (1979). Dia menggambarkan tiga elemen yang merupakan model kinerja sosial perusahaan yaitu: (a) definisi dasar CSR; (b) berbagai bidang sosial yang perusahaan memiliki tanggung jawab; dan (c) berbagai respon perusahaan terhadap masalah sosial.

Kategori CSR yang terkait dengan tanggung jawab ekonomi, hukum, etika dan diskresioner dari perusahaan tersebut telah berpengaruh dalam memahami sifat dan jenis kewajiban bahwa bisnis harus bermanfaat bagi masyarakat. Kategori CSR didasarkan pada peran penting dalam evolusi kepentingan mereka. Tanggung jawab sosial yang mendasar bagi setiap perusahaan bisnis dalam kerangka kerja ini adalah berupa tanggung jawab ekonomi, yaitu “untuk memproduksi barang dan jasa yang masyarakat inginkan dan menjualnya untuk keuntungan.”

Tanggung jawab dan peran lain yang diharapkan dilaksanakan oleh perusahaan sesungguhnya dibingkai dari asumsi mendasar ini, yaitu bahwa sambil beroperasi mencari keuntungan, perusahaan diharapkan untuk mengikuti semua hukum yang diperlukan, dan mereka diharapkan untuk berperilaku etis di area yang tidak atau belum diatur oleh hukum. Sementara tanggung jawab ekonomi dan hukum pada umumnya dianggap yang jelas, namun untuk tanggung jawab etis dan diskresi umumnya tidak didefinisikan dengan baik, dan opini tentang kesesuaian dua tanggung jawab yang terakhir tadi sangat beragam, mulai dari anggapan CSR sebagai tindakan 'subversif' (dalam istilah Milton Friedman), sampai pada pemenuhan atas permintaan dari corporate citizen.

Carroll juga berusaha untuk mengklasifikasikan berbagai masalah sosial yang harus coba diatasi oleh bisnis/perusahaan. Isu-isu sosial berbeda untuk jenis perusahaan dan industri yang berbeda, dan juga dapat berubah seiring waktu. Contoh isu-isu sosial yang muncul di berbagai tingkat perhatian selama bertahun-tahun ini diantaranya adalah isu mengenai keamanan produk, pelestarian lingkungan, pengembangan masyarakat, keragaman karyawan dan kesehatan dan keselamatan kerja.

Sebuah bisnis tidak dapat diharapkan mampu mengatasi seluruh masalah yang dihadapi masyarakat. Karenanya perusahaan perlu mengidentifikasi isu-isu tertentu di mana tanggung jawab yang berbeda dapat memberikan dampak positif. Tidak ada kesepakatan universal tentang isu-isu sosial apa yang perlu ditangani oleh bisnis/perusahaan. Banyak perusahaan mulai meninggalkan atau mengurangi model bantuan filantropi dan amal (charity), karena meskipun dapat memberikan citra positif, namun tidak terkait langsung dengan bisnis inti perusahaan dan kepentingan mereka untuk meraih keuntungan ekonomi. Karenanya banyak perusahaan besar terlibat dalam isu-isu sosial namun tetap melekatkannya dengan kepentingan ekonomi perusahaan (Carroll, 1979; Wood, 1991). Hal tersebut merupakan asumsi yang mendasari teori tanggung jawab sosial perusahaan, dan juga merupakan pandangan dominan para praktisi CSR. Sebuah survei dari inisiatif sosial yang dilaksanakan oleh 23 perusahaan menemukan bahwa, sementara inisiatif yang ditargetkan untuk masyarakat, karyawan dan pelanggan, mereka juga terkait dengan bisnis inti perusahaan (Kotler dan Lee, 2005). Beberapa inisiatif, seperti pemasaran sosial perusahaan, juga dirancang untuk memberikan manfaat keuangan khusus untuk perusahaan. Sebagai contoh, sebuah perusahaan asuransi mengembangkan, membiayai dan melaksanakan kampanye keselamatan kebakaran yang komprehensif, dengan asumsi bahwa hal itu akan meningkatkan profitabilitas melalui berkurangnya klaim asuransi akibat kebakaran.

Selain mengidentifikasi berbagai tanggung jawab sosial dan isu-isu sosial yang dihadapi korporasi, perusahaan harus memutuskan bagaimana ia akan mengatasi masalah yang timbul dari tanggung jawabnya. Frederick (2006) membedakannya menjadi dua, yaitu: (a) CSR-1 atau “tanggung jawab sosial” yang memiliki dasar normatif mengenai apa yang harus dilakukan oleh perusahaan; dan (b) CSR-2 atau “tanggung jawab sosial perusahaan yang berkaitan dengan kapasitas perusahaan untuk merespon tekanan sosial” yang memberikan fokus yang lebih strategis dan manajerial mengenai masalah apa yang dipilih untuk ditangani oleh perusahaan dan tindakan apa yang diperlukan untuk mengatasinya.  

Dari uraian tadi, dapat dikatakan bahwa strategi CSR dapat reaktif, defensif atau responsif (Sethi, 1979). Seperti dinyatakan oleh Carroll (1979), model kinerja sosial perusahaan yang dia ajukan tidak menetapkan seberapa jauh suatu perusahaan harus berperan dalam mengatasi masalah sosial, tetapi dengan posisi kewajiban etis dan diskresi dapat berupa 'kerangka ekonomi dan hukum yang rasional' yang memungkinkan manajer untuk mengembangkan perencanaan dan mendiagnostik alat pemecahan masalah.

Perkembangan selanjutnya model Carroll juga mengidentifikasi prinsip-prinsip CSR, proses tanggap sosial perusahaan dan hasil dari perilaku perusahaan (Wartick dan Cochran, 1985; Wood, 1991). Prinsip CSR dapat beroperasi pada tingkat, institusi, organisasi dan manajerial yang berbeda. Pada tingkat kelembagaan CSR berfokus pada legitimasi bisnis di masyarakat bersama dengan kewajiban bisnis untuk masyarakat dan bahwa masyarakat dapat menerapkan sanksi pada bisnis yang gagal memenuhi kewajibannya.

Menurut “Hukum Besi Tanggung Jawab”' (Iron Law of Responsibility), masyarakat memberikan legitimasi dan kekuatan pada dunia bisnis atau perusahaan, namun jika masyarakat menilai bahwa bisnis/perusahaan tidak menggunakan kekuasaan tersebut dengan cara yang bertanggung jawab, maka mereka akan cenderung kehilangan legitimasi dan kekuasaan itu (Davis, 1973: 314). Namun, pandangan ini agak naif karena tidak mengakui bahwa legitimasi sesungguhnya adalah sesuatu yang diperebutkan, dan norma-norma legitimasi merupakan hasil dari hubungan kekuasaan. Sistem ekonomi, pemerintah dan lembaga sering menentukan apa yang dianggap 'sah' (legitimate) dan kekuatan tersebut tidak dapat dengan mudah hilang. Sementara pelanggan, karyawan, pemegang saham dan pemerintah mungkin dapat “menarik legitimasi,” memaksa perusahaan untuk mengubah pendekatan mereka. Pilihannya adalah mencoba menjadi lebih baik, atau binasa.

Konflik yang sedang berlangsung antara masyarakat adat dan perusahaan multinasional berkenaan dengan lahan dan sumber daya di Afrika, Amerika Selatan dan Asia adalah contoh dari perebutan klaim legitimasi dari pembangunan ekonomi. Sebuah tambang uranium misalnya adalah bentuk sah pembangunan yang sesuai dengan norma-norma segmen tertentu dari masyarakat. Namun kelompok-kelompok masyarakat lainnya kemungkinan justru melihatnya sebagai tindakan yang tidak memiliki legitimasi jika dilihat dari perspektif budaya, norma-norma sosial dan ekonomi mereka (Banerjee, 2000). Cara pandang Barat mengenai 'ekonomi', 'sosial' atau 'budaya' dapat sangat berbeda dengan cara pandang dan adat masyarakat, dan dapat menjadi sumber dari banyak konflik antara masyarakat adat, pemerintah dan perusahaan multinasional. Parameter yang digunakan dalam menentukan apa yang dianggap sebagai sah (legitimate) kadang-kadang ditentukan oleh sistem aturan dan pengecualian yang tidak sejalan dengan cara pandang dan kepentingan kelompok marjinal dalam masyarakat.

Banerjee mengutip Preston dan Post (1975) serta Wood (1991) yang menyatakan bahwa prinsip tanggung jawab publik beroperasi pada tingkat organisasi di mana perusahaan bisnis yang “bertanggung jawab publik, untuk hasil yang berkaitan dengan area primer dan sekunder keterlibatan mereka dengan masyarakat”. Prinsip tanggung jawab publik dirancang untuk membuat keprihatinan sosial yang lebih besar menjadi lebih relevan dengan menyediakan parameter perilaku untuk organisasi berdasarkan pada isu-isu yang berkaitan dengan kegiatan dan kepentingan perusahaan. Namun, tanggung jawab sosial juga dipandang harus relevan dengan kepentingan organisasi (Wood, 1991) dan di situlah letak masalahnya: yaitu ketika ini tanggung jawab 'publik' didefinisikan dan dibingkai oleh prinsip-prinsip legitimasi yang lebih besar. Apa yang terjadi jika prinsip-prinsip organisasi ternyata bertentangan dengan prinsip-prinsip kelompok lain dalam masyarakat? Bagaimana seharusnya organisasi mengelola konflik tersebut? Anehnya, literatur yang luas mengenai CSR cenderung tidak banyak berbicara mengenai isu-isu kekuasaan yang terkait dengan prinsip kelembagaan dan organisasi dalam menangani masalah-masalah sosial.

Menurut Banerjee, pada tingkat manajerial prinsip kebijaksanaan manajerial berfokus pada pilihan strategis, keputusan dan tanggung jawab pribadi dari manajer dalam mencapai tujuan sosial kelembagaan dan organisasi. Menurut Wood (1991: 698), manajer aktor moral. Dalam setiap domain tanggung jawab sosial perusahaan, mereka diwajibkan untuk menerapkan opsi-opsi kebijaksanaan yang tersedia, menuju hasil yang bertanggung jawab secara sosial. "Kesalahan manajer sebagai 'aktor moral" mudah diungkapkan oleh gagasan Foucault mengenai subyektifikasi (subjectification), modus yang mengungkapkan bagaimana manajer menjadi subyek yang mengamankan makna dan realitas mereka melalui identifikasi perasaan tertentu mengenai hubungan mereka dengan perusahaan (Knights, 1992). Peran individu manajer dalam mengakomodasi kepentingan stakeholder adalah standar pada tingkat yang lebih tinggi, dan praktek pada tingkat ini diatur dan diselenggarakan oleh wacana organisasi dan kelembagaan. Apakah manajer benar-benar memiliki kebebasan sejati untuk membuat keputusan yang bertanggung jawab secara sosial?


Beberapa penulis membedakan antara masalah 'sosial' dan isu-isu 'stakeholder'. Diantaranya adalah Baron (2001) yang membedakan antara “CSR altruistik” di mana perusahaan melakukan aksi sosial tanpa mengharapkan adanya keuntungan ekonomi (financial return), dan “CSR strategis,” di mana kegiatan CSR juga diarahkan untuk dapat memberikan  keuntungan bagi perusahaan. Dalam sebuah penelitian yang menilai manfaat keuangan CSR, Hillman dan Keim (2001) membedakan antara “CSR stakeholder” yang berkorelasi dengan kinerja keuangan,  dan “CSR sosial” yang tidak terkait dengan hal tersebut. Menurut Clarkson (1995), sebagian masyarakat menentukan apa yang menjadi masalah sosial, dan perwakilan pemerintahan memberlakukan undang-undang yang tepat untuk melindungi kepentingan sosial. Oleh karena itu, yang perlu dicari tahu adalah apakah isu sosial itu ada ketentuan hukum dan perundang-undangannya ataukah tidak. Karena, isu-isu lingkungan, kesehatan dan keselamatan, kesempatan yang sama menjadi isu-isu sosial karena hukum/undang-undang mengaturnya demikian. Jika hal tersbut tidak ada dalam undang-undang, maka masalah ini hanya menjadi 'isu stakeholder' saja, yang hanya ditangani di tingkat perusahaan (Clarkson, 1995). 

Kamis, 09 April 2015

"Wicked Problems dan Upaya Mengatasinya"




Oleh: Candra Kusuma

Di tulisan sebelumnya telah diulas mengenai latar belakang dan pengertian wicked problems (lihat “Wicked Problems: Upaya Mengenali Masalah-masalah Besar dan Kompleks”). Di bagian ini akan dibahas pandangan para ahli mengenai upaya mengatasi wicked problem tersebut.

Balint (2011:31) memetakan kondisi yang berbhubungan dengan wicked problems dengan mengacu pada uraian Rittel dan Webber (1973):


Namun, tentu saja orang berbeda dengan cara pandang terhadap dunia, nilai-nilai, pengetahuan dan pengalaman yang berbeda akan memilih masalah dan cara pemecahan masalah yang berbeda pula (Spratt, 2011:3). Demikian pula respon terhadap wicked problems, di mana preferensi pribadi, latar belakang, pengalaman pendidikan, dan afiliasi organisasi yang berbeda akan membentuk cara setiap orang dalam mendefinsikan, menarik hubungan sebab-akibat, dan menawarkan solusi atas wicked problems (Roberts, 2000:13).

Roberts melihat pentingnya metode lain yang juga diperlukan dalam mengatasi wicked problems, yaitu: otoritatif dan kompetitif. Menurut Roberts, pendekatan otoritatif dapat berguna untuk mengatasi wicked problem ketika kekuasaan untuk memilih definisi yang sesuai dari wicked problem dan solusinya terletak di tangan beberapa orang, atau dapat diberikan kepada kelompok atau badan yang dapat mengambil tindakan. Unsur penting dalam pendekatan ini adalah bahwa para pemangku kepentingan terkait dengan dan/atau dipengaruhi oleh masalah setuju untuk mengijinkan sekelompok orang untuk mengelola wicked problem tersebut (Komisi Pelayanan Publik - Pemerintah Australia, 2007). Sementara dalam hal pendekatan kompetitif/persaingan, Roberts melihat pendekatan ini berguna ketika kekuasaan (power) tersebar dan diperebutkan. Dipandang perlu diciptakan situasi menang-kalah (a win-lose situation). Pendekatan ini bermanfaat karena dapat mendorong inovasi dan penciptaan ide-ide baru dapat terjadi, serta penggunaan potensi sumber daya yang efisien dalam menangani masalah.

Selain itu, Roberts juga berpendapat bahwa pendekatan kolaboratif dapat berguna dalam wicked problem ketika ada kondisi di mana kekuasaan (power) tersebar tapi tidak diperebutkan diantara para pihak (power-holder) yang terlibat dalam upaya mengatasi maslaah tersebut. Pendekatan kolaboratif Roberts mengambil perspektif menang-menang (win-win perspective) dan berbagai pemangku kepentingan yang terlibat dalam bersama-sama memilih definisi potensial dan solusi untuk wicked problems. Untuk masalah pembangunan, power sering diperebutkan, namun pendekatan kolaboratif menawarkan pendekatan peningkatan persaingan dalam bekerja, namun pada saat yang sama melindungi mereka yang kurang mampu menggunakan kekuasaan mereka untuk memperoleh sumber daya yang mereka butuhkan.

Dalam hal ini, Head dan Alford (2008:5) mengingatkan bahwa bahwa upaya untuk mengatasi wicked problems seringkali justru memunculkan konsekuensi yang tak terduga, karena baik ketidakstabilan masalah atau pemilihan metode yang tidak tepat, seperti jika mengandalkan otoritas top-down yang hanya akan menyentuh masalah permukaan dan tidak menyelesaikan akar masalahnya. Karena, menurut Ritchey (2011:20), wicked problems adalah kompleks dan memerlukan perencanaan dan kebijakan masalah sosial dan organisasi dalam jangka panjang.

Ada banyak pendapat mengenai bagaimana cara menangani –dan jika dapat menyelesaikan-- wicked problems ini. Camillus (2008:4-7) berpendapat bahwa strategi yang perlu dikembangkan adalah dengan cara: (a) Melibatkan pemangku kepentingan, pendapat dokumen, dan berkomunikasi; (b) Tentukan identitas perusahaan; (c) Fokus pada tindakan; (d) Mengadopsi orientasi "feed-forward". Sementara Fien dan Wilson (2014) mengembangkan gagasan dari Grint (2008) yang membedakan tiga jenis masalah dan dengan strategi pemecahannya masing-masing, yaitu: (a) Critical problem, yang diatasi dengan komando; (b) tame problem, yang dapat diatasi dengan manajemen; dan (c) Wicked problem, yang diatasi dengan kepemimpinan (leadership), yang didalamnya terkadung unsure kolaborasi, karakter dan komitmen (continuity of commitment).

Penulis lain, Roberts (2000) mengusulkan tiga cara mengatasi wicked problems, yakni: (a) Otoritatif; (b) Kompetitif; dan (c) Kolaboratif. Menurutnya, efektivitas dari semua upaya menangani wicked problem akan tergantung pada tingkat keruwetan masalah, jumlah pemangku kepentingan, dan bagaimana kekuasaan didistribusikan di antara mereka. Secara umum, semakin besar jumlah pemangku kepentingan, dan seimbang kekuasaan dan pengambilan keputusan didistribusikan, model kolaboratif adalah yang paling tepat untuk mengatasi wicked problem  tersebut.

Conklin (2005; yang dikutip Spratt, 2011:7) berpendapat bahwa untuk mengatasi wicked problem diperlukan pendekatan belajar-tindakan (action-learning approach). “Wicked problems demand an opportunity-driven approach; they require making decisions, doing experiments, launching pilot programs, testing prototypes, and so on. Study alone leads to more study, and results in the condition known as ‘analysis paralysis,’… we can’t take action until we have more information, but we can’t get more information until someone takes action” (Conklin, 2005:10). Dengan kata lain, upaya menangani wicked problem melibatkan proses uji coba, di mana ada siklus “tindakan-informasi-tindakan” didalamnya.

Contoh dari pendekatan dan kebijakan dalam upaya mengatasi wicked problem diantaranya dapat dilihat pada pengalaman Pemerintah Australia (2007:35-36). Dari kacamata pemerintah atau lembaga publik, mereka memandang upaya menangani wicked problems harus dilihat lebih sebagai seni (art) dan bukan persoalan teknis semata. Karenanya setidaknya dibutuhkan beberapa pendekatan berikut:
  1. Holistik, tidak berpikir parsial atau linier. Hal ini berkaitan dengan kemampuan berpikir untuk menangkap gambaran besar, termasuk hubungan timbal balik antara berbagai faktor penyebab yang mendasari wicked problem.  Hal ini diperlukan untuk dapat memahami kompleksitas, interkoneksi dan ketidakpastian.
  2. Pendekatan inovatif dan fleksibel. Caranya antara lain dengan: meninvestasika sumber daya dalam inovasi seperti pengembangan R & D di sektor swasta; mengaburkan perbedaan antara pengembangan kebijakan dan pelaksanaan program; dan berfokus pada menciptakan organisasi belajar;
  3. Kemampuan untuk bekerja melintasi batas-batas institusi. Wicked problem melampaui kapasitas satu organisasi untuk dapat memahami, menanggapi, dan menangani mereka. Kerjasama antar institusi termasuk pelibatan masyarakat dan sektor swasta menjadi penting;
  4. Meningkatkan pemahaman dan merangsang perdebatan tentang penerapan kerangka akuntabilitas. Kerangka akuntabilitas diperlukan untuk mempertahankan tingkat akuntabilitas yang dapat diterima, dan meminimalkan sebanyak mungkin hambatan untuk inovasi dan kolaborasi;
  5. Efektif melibatkan para pemangku kepentingan dan masyarakat dalam memahami masalah dan mengidentifikasi solusi yang mungkin. Jika resolusi wicked problem membutuhkan perubahan dalam cara orang berperilaku, perubahan ini tidak dapat mudah dikenakan pada orang-orang. Perubahan perilaku yang lebih kondusif untuk berubah jika masalah dipahami, dibahas dan dimiliki secara luas oleh orang yang perilakunya menjadi sasaran untuk perubahan;
  6. Perlunya keterampilan inti tambahan. Pendekatan tim multi-disiplin adalah cara praktis untuk mengumpulkan semua keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan untuk mengatasi wicked problem;
  7. Pemahaman yang lebih baik tentang perubahan perilaku oleh para pembuat kebijakan. Alat kebijakan tradisional seperti undang-undang, hukuman dan peraturan, pajak dan subsidi umumnya akan membentuk bagian inti dari strategi keseluruhan untuk mencapai luas, perubahan perilaku yang berkelanjutan. Namun, efektivitas mereka dapat menjadi terbatas tanpa beberapa alat tambahan dan pemahaman tentang bagaimana melibatkan masyarakat dalam perubahan perilaku kooperatif tersebut;
  8. Fokus dan/atau strategi yang komprehensif. Upaya mengatasi wicked problem membutuhkan respon yang terkoordinasi dan memerlukan upaya berkelanjutan dan/atau sumber daya untuk membuat kemajuan;
  9. Mentoleransi ketidakpastian dan menerima kebutuhan untuk fokus jangka panjang. Keberhasian mengatasi masalah jahat membutuhkan penerimaan luas dan pemahaman, termasuk dari pemerintahan, bahwa tidak ada perbaikan cepat dan bahwa tingkat ketidakpastian atas solusi untuk wicked problem juga perlu ditoleransi. Upaya mengatasi masalah tersebut membutuhkan waktu dan sumber daya dan mengadopsi pendekatan inovatif dapat mengakibatkan kegagalan, atau kebutuhan untuk perubahan kebijakan atau penyesuaian.
Head dan Alford (2008:15-21) menawarkan metode tambahan dari apa yang dikonsepsikan oleh Pemerintah Australia (2007) tadi, yaitu:
  1. Fokus pada outcomes/systems thinking. Dianggap perlu untuk keluar dari cara berpikir lama yang fokus pada input, proses atau output. Dengan metode systems thinking mendorong cara berpikir yang memerlukan pertimbangan tidak hanya dari hasil tetapi juga dari seluruh rantai, atau lebih tepatnya jaringan ('web'), input, proses dan output yang tidak hanya melibatkan apa yang ada dan terjadi di internal institusi namun juga proses tambahan atau paralel yang terjadi di luar organisasi, dalam organisasi lain atau dalam masyarakat yang lebih luas. Tujuannya adalah untuk mencari, dalam cara yang relatif komprehensif, faktor-faktor yang dapat berkontribusi pada sifat dari masalah yang jahat, atau memberikan kontribusi alternatif untuk yang sedang dibahas.
  2. Kolaborasi dan koordinasi. Kerja kolaboratif terjadi antara berbagai jenis mitra dan memiliki bnayak bentuk (Kickert et al 1997; Wondolleck & Yaffee 2000; Mandell 2001; Agranoff dan McGuire 2003; Goldsmith & Eggers 2004; Imperial 2004). Kolaborasi dapat terjadi antara dua atau lebih organisasi pemerintah (dalam level pemerintaha yang sama atau berbeda), atau antara organisasi pemerintah dan perusahaan swasta dan/atau organisasi/komunitas/non-profit/sukarela. Hubungan kolaboratif dapat meningkatkan pemahaman dan kemampuan dalam mengatasi wicked problems karena ada gabungan pengetahuan diantara para pihak yang terlibat, yang dapat terjadi dalam tiga cara, yaitu: (a) Adanya jaringan kerjasama dapat meningkatkan pemahaman yang lebih baik akan sifat masalah (nature of the problem) dan penyebabnya, karena keterlibatan para pihak yang luas dapat memberikan beragam wawasan mengenai masalah tersebut; (b) Kerja sama meningkatkan kemungkinan bahwa solusi sementara untuk masalah ini dapat ditemukan dan disepakati, bukan hanya karena jaringan yang lebih luas menawarkan wawasan lebih banyak, tetapi juga karena lebih besar kerjasama meningkatkan kemungkinan pihak yang beragam (yang mungkin memiliki kepentingan berbeda mengenai masalah tersebut) dapat sampai pada pemahaman yang sama tentang apa yang harus dilakukan; (c) Memfasilitasi implementasi solusi, bukan hanya karena pihak lebih mungkin untuk menyepakati langkah-langkah selanjutnya, tetapi juga karena memungkinkan saling penyesuaian antara mereka karena ada kemungkinan muncul masalah lain ketika coba mengimplementasikan gagasan solusi dalam praktek.
Xiang (2013: 2) menyimpulkan bahwa wicked problem pada dasarnya adalah "ekspresi nilai-nilai dan kepentingan yang beragam dan bertentangan" (Norton, 2012, hal 450), dan berurusan dengan mereka pada dasanya bersifat sosial, sehingga tidak dapat dijawab dengan cara ilmiah yang konvensional  (Conklin & Weil, 2007). Menurut Xiang, strategi parsial dan linier tidak akan dapat menyelesaian wicked problem. Karenanya dibutuhkan pendekatan yang berorientasi holistik dan proses yang sifatnya “Adaptif, Partisipatif, dan Transdisipliner” (APT). Dalam pendekatan ATP, wicked problem akan ditelaah secara keseluruhan menggunakan lensa panorama sosial (dan bukan dengan miskroskop ilmiah), melalui proses yang terbuka dan heuristik dari proses pembelajaran kolektif, eksplorasi, dan eksperimen. Selain itu pendekatan APT dipandang mampu membina perilaku kolaboratif, mengurangi konflik, membangun kepercayaan di antara semua pemangku kepentingan dan masyarakat yang terlibat, dan akhirnya memberikan hasil yang lebih baik dan lebih memuaskan.

Sementara itu, Ramalingam, Laric dan Primrose (2014:11) berpendapat bahwa ada kesenjangan kompleksitas (complexity gap) di berbagai sektor dan konteks, baik yang berkaitan dengan kajian ilmiah maupun siklus kebijakan. Adopsi dan adaptasi dari berbagai disiplin ilmu berbeda coba diterapkan dalam upaya mengatasi wicked problems dalam kehidupan nyata.

Dari uraian di atas ada beberapa hal penting yang dapat ditangkap. Bahwa wicked problem adalah masalah yang sangat komplek, yang perlu dicermati secara holistik, direspon dengan kebijakan multi institusional dan melibatkan para pihak, yang dalam prosesnya melibatkan uji coba dalam siklus “tindakan-informasi-tindakan” yang panjang, dan selama proses tersebut dibutuhkan kajian/penelitian yang komprehensif (bukan mono-disipliner). Perdebatan selanjutnya adalah apakah wicked problem ini membutuhkan pendekatan multi, inter, atau trans-disipliner.

Selasa, 07 April 2015

"Sistem Kolonialisme Belanda" - Jan Jacob van Klaveren


Sempat membaca sepintas buku ini, dan buat saya cukup menarik untuk menambah informasi mengenai sejarah dan khususnya sistem kolonialisme Belanda (Dutch/Hollandia/Netherland) di Indonesia masa lalu, dari perspektif orang Belanda sendiri. Penulisnya adalah Jan Jacob van Klaveren, seorang dosen ekonomi di Universitas Chulalongkorn-Bangkok.

Buku yang diterbitkan pada tahun 1953 ini mengulas banyak hal --meskipun terasa agak menggantung karena kisahnya berhenti pada saat masuknya Jepang tahun 1942--, diantaranya:
  • Kondisi budaya-sosial-politik masyarakat dan elit di East Indies, seperti pola tanam, komoditas, penguasaan tanah, peran raja/sultan, dll.;
  • Persaingan dengan bangsa Eropa lain dalam memperebutkan komoditas dan wilayah di East Indies, khususnya dengan Portugis;
  • Konteks sosial-politik di Belanda dan Eropa, yaitu perang Eropa, kekuasaan Perancis dan Inggris;
  • Perusahaan dagang Belanda khususnya Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) dan Nederiandsche Handel Maatschappij (NHM);
  • Strategi dan kebijakan kolonialisme Belanda, diantaranya tentang kekerasan, kekuatan militer, pelemahan kekuatan politik lokal, perbudakan, pajak, monopoli, politik etis, cultuur stelsel, dll.;
  • Ekspansi militer dan penguasaan East Indies oleh Jepang tahun 1942.

Berikut adalah beberapa poin dari kesimpulan buku ini. Bagi yang berminat dapat membaca atau membeli buku ini ya…

Sumber:
Jan Jacob van Klaveren (1953). The Dutch Colonial System in East Indies. Bailey & Swinfen.

Link: : 

-----

CHAPTER XXll
CONCLUSION
(Pp.195-199)

  • There could be discerned three big regions with a fundamentally different material substructure, a ladang-region comprising the western Big Sunda Islands, a sawah-region practically restricted to Java and Bali, and a sago-region in the eastern part.
  • Because of their specific economic substructure, the empires of the Outer Possessions lacked a territorial foundation. They were only frequently changing combinations of scattered ports. They did not stand firmly rooted in the soil hut were suspended in the network of trade communications. Very often they were creations of merchant-adventurers. Trade and money came together here, but on Java firm territorially organized feudal states had already developed.
  • They stood nearer to the king than the sparse surrounding population. But money economy did not denote the existence of a numeraus public with a money-demand for articles of trade and consumption or a free supply of market praduce. Only sofar as the King's influence did not reach, merchants, generally foreigners, could mediate in trade. These mercantile foreign colonies were the only freely consuming public in the money sphere. Already in import and still more in export, they were severely restricted by the King's monopoly.
  • The Dutch drove out their rivals and again the system of economic exchange absorbed increasing elements of force and tributes. This could, however, succeed only on Java and in the Moluccas. They were practically all taken over with preservation of the native rulers. This tribute system remained until far into the 19th Century in spite of the Industrial Revolution.
  • How far the culture-system (C.S.) had been suitable to ereate a money demand for textiles and iron mongery was shown by the emergenee of Twente after 1834. The Nederlandsche Handel Maatschappy (N.H.M.), the creation of King William the First, was the bridge struck between the mother country's industry and the colonies' market crops.
  • The C.S. had collaborated with entrepreneurs especially in the manufacturing of sugar. These sugar-contractors desired to take over the role of the government in cultivation. When this transfer was gradually effected after 1878, the elements of force remained.
  • The mountain cultures, coffee and tea, could easily get land in suitable climates against the mountain slopes but free labour was not offered until the population had expanded over the island and against the mountain slopes and unti! enough landless natives were available i.e. after 1890. For this reason the coffee-culture was continued by the C.S. until very late even as late as 1922.
  • In Sumatra, a free tobacco culture had developed in Deli on the excellent andesitic ash-soils and with the use of imported Chinese contract -coolies from 1863 w hen the C.S. still reigned supreme on Java.
  • On Java, "free" cultures, contemporaneous with the C.S., developed mainly in the remaining Sultanates of Djocja and Solo, at first especially coffee but since 1860 predominantly sugar and tobacco.
  • After 1870, tributes dwindled. "Tributation" made way for exploitation. The profits of the tributational C.S. are known, circa one billion guilders. The profits of entrepreneurial exploitation can only be estimated.
  • Since about 1890, the Binnenlandsch Bestuur (BB or Civil Service) withdrew its help from the prospering entrepreneurs. Gradually it even adopted the role of protector of the natives. The socalled "ethical direction" among the B.B.
  • The new "pacte colonial" was palliated in many ways, though in essence it remained. The manufacture of paper, rubber-tires, beer, textiles, cigarettes, soap was begun by Western concerns: e.g. Goodyear, Lever Bros. The war of 1939 brought a new boom of export and a corresponding efflorescence of horne industry until the Japanese occupation in 1942.


Rabu, 01 April 2015

"Perubahan Ekonomi Politik Indonesia dan Pengaruhnya di Sektor Infrastruktur" - Jamie S. Davidson


Beberapa waktu lalu sempat baca sepintas buku ini. Isinya tentang perubahan politikal ekonomi Indonesia khususnya pasca Suharto, dan pengaruhnya terhadap orientasi dan kontestasi kepentingan dari para aktor yang terlibat, khususnya di sektor infrastruktur, lebih khusus lagi di bidang pembangunan dan pengelolaan jalan tol.

Penulisnya, Jamie S. Davidson, menggunakan pendekatan politikal sosiologi dan political ekonomi dalam menganalisis interaksi dan dinamika dari berbagai institusi pemerintahan dan swasta yang terkait. Davidson melihat adanya tarik menarik kepentingan diantara "societal interests, business associations, and rent-seeking." Selain itu Davidson juga melihat adanya proses  "extra-parliamentary lawmaking," di mana internal kementerian terkait (PU) membuat kebijakan tertentu yang memuluskan kepentingan perusahaan tertentu dalam program pembangunan jalan tol, yang sebagian diantaranya bertentangan dengan kebijakan perundang-undangan yang berlaku.

Saya sendiri tidak terlalu terlibat isu ini, namun barangkali ada kawan-kawan lain yang tertarik, serta berminat membeli dan membaca buku ini...

----------------

 Source:
Jamie S. Davidson (2015). Indonesia’s Changing Political Economy: Governing the Roads. Cambridge University Press. (Pp.229-242)

Link:
http://www.amazon.com/Indonesias-Changing-Political-Economy-Governing/dp/1107086884

https://books.google.co.id/books?id=x2i8BQAAQBAJ&printsec=frontcover&dq=Amazon,+Indonesia%E2%80%99s+Changing+Political+Economy&hl=id&sa=X&ei=tF4bVZZtzLW4BLDQgsgI&ved=0CBoQ6AEwAA#v=onepage&q&f=false

----------------

Berikut bagian kesimpulan dari buku Davidson ini:

Infrastructure investment invites controversy. Large projects can acquire a notoriety that even their most irrepressible supporters cannot deny, such as modern highway systems in Germany and Italy and in New York City built by dictators and megalomaniacs; markups in the tens of millions for nuclear reactors in the Philippines; “bridges to nowhere” in Alaska, Japan, and Russia; “white elephant” projects across Africa funded by foreign aid; Boston’s “Big Dig,” years late and billions over budget; glitzy, prestige transportation projects in Beijing and Singapore; the making of “ghost towns” by the opening of bypass highways; enormous dams that uproot millions and that are “massively beneficial to the well-connected construction and engineering companies (domestic and foreign) that build them, to the international development banks that finance them, and to the army of social, economic, and environmental ‘expert’ consultants who plan for and evaluate their wider impacts;”[i] and a superb highway system in a US state (West Virginia) that remains among the country’s poorest.

This infamy, however real, can also sit askance with the conclusions of economists who, through systematic testing, have demonstrated a positive relationship between economic growth and infrastructure. Contrasting conclusions do persist, but a recent state-of-the-field report finds an “increasing consensus around the notion that infrastructure generally matters for growth and production costs, although its impact seems higher at lower levels of income.”[ii]  If this is the case, how are developing countries supposed to go about achieving the goal of improved infrastructure?

For the IFIs, their technocratic strategy revolves around a set of policy guidelines putatively predicated on global success stories (typically from developed economies) that they propose developing countries should adopt and apply. A core feature of this “best practice” approach has been private sector participation. During the latter’s heyday in the 1980s and 1990s, this pro-market perspective saw the state as a provider for an environment of law and order in which property rights and contracts could be enforced reliably. Since the great market failures of the 1997–98 Asian financial crisis, the strategy has undergone some revision, including attempts to enhance institutional capacity in order to regulate market transactions effectively. This involves the implementation of the so-called second generation of reforms with accountability and transparency – in other words, creating good governance. That said, in infrastructure investment, the “best practice” model continues to lay emphasis on engaging the private sector, inducing competition, and allowing for beyond cost-recovery tariffs.

Although in some respects the “best practice” model is a normative and thus an unobtainable ideal, its active promotion by IFIs makes it relevant for developing countries. As this book has shown in considerable detail, this especially has been the case for Indonesia. Since the 1998 downfall of its longtime authoritarian ruler, Soeharto, the country has embarked on wide-ranging IFI-led reform and “best practice” programs aimed at liberalizing (and also reregulating) its economy. Nearly two decades on and some ten years after the World Bank declared Indonesia to be post-crisis, private sector participation in infrastructure has not fared well. Despite concerted efforts, less than 250 km of expressways, for example, have been built in Indonesia since 1999, equivalent to roughly 17 km per year. Even less of this low figure has been built with private sector capital (see Figure 4.1).

This book questioned the efficacy of promoting private sector participation and best model programs in countries that lack key ingredients for their success. Generally speaking, impediments to the wider liberalization of Indonesia’s economy are inter-connected and well known: weak and fragmented state institutions captured by predatory elite interests, ineffective bureaucratic implementation, business–government relations that vacillate from collusive to antagonistic, an incapacitated rule of law, rising economic nationalism, and an uncertain investment climate – in sum, a poor record of economic governance.[iii]

These broad factors accurately depict current conditions in Indonesia. This book argued, however, that these obstacles manifest themselves in key sectors. In other words, analytically it has sought greater specification of the factors that are bedeviling private sector participation in infrastructure projects. To do so, I focused on the curiously understudied toll-road sector. Few sectors were as publicly associated with the cronyism of Soeharto’s New Order regime as this one. Nevertheless, post-Soeharto administrations have believed in the completion of an expressway linking Jakarta to Surabaya, the country’s two industrial centers, as a key component of sustainable future growth.

This book has not been a conventional transport study. It neither presented an econometric model to assess the efficiency of building the Trans-Java Expressway nor employed an economic geography approach to determine the reaction of firms to the toll road and their subsequent investment and location decisions.[iv]  This study has suggested that the intensive efforts of state officials to induce private sector participation in Indonesia’s expressway sector is principally a political endeavor that can shed critical light on the liberalization of the country’s economy and offer a general lessons for reforming the tollway sector in other developing countries.

The Trans-Java Expressway

The building of the Trans-Java Expressway has been riven with inefficiencies in policymaking and implementation. Even this indisputable conclusion requires qualification, however. The trials and tribulations of constructing this extended inter-regional expressway should not be used as a stick with which to beat countries like Indonesia (and others like it) over the head for failing to reform along “best practice” lines or similarly failing to institute strong versions of OECD-style regulatory capitalism. There are “logical limits” to the adoption of “best practice.”[v] State officials have struggled in the shifting of economic governance in Indonesia from being predicated on the ruler – Soeharto as the ultimate dispenser of patronage – to being premised on rules and procedures.[vi] In the making of megaprojects, cost overruns, delays, and other risks (political, currency, commercial, “acts of God,” and so on) are common, even in states with better development and investment track records than Indonesia’s.[vii] This contextual study has highlighted the considerable complexities that surpass the usual challenges and risks associated with toll-road investment like large-scale immobile capital and long payback periods.

Building a new (or “greenfield”) expressway through the densest corridor of the world’s most densely populated island, in a country with a porous rule of law and an economy that crashed less than two decades ago, number among the most significant of these obstacles. The division of the Trans-Java Expressway’s franchises into mini-concessions in the 1990s under an authoritarian regime did not aid matters. In large part Soeharto distributed these licenses to placate pribumi contractors (with ties to the state) as their resentment over the increasing dominance of his children in the sector, and that of Sino-Indonesian conglomerates retained over the economy, brewed. Even in the mid-1990s frenzy of private investment in Indonesia, when foreign investment in tollways wasmaking its first inroads, investors partnered with the palace children (especially Tutut) to protect their property rights. The distribution of these licenses that were devoid of clearly defined responsibilities and obligations made it difficult for a more democratic state to gain control of the concessions subsequently in order to restart construction of the toll roads. This was readily apparent during Megawati’s government (the third post-Soeharto administration), during which the financial crisis’s impact waned and opportunities for increased public and private infrastructure investment seemed possible again. Officials revoked the licenses of a select number of politically vulnerable private concessionaires in order to transfer them to Jasa Marga, the state toll-road corporation. However, the SOE’s management was hesitant to build these routes because of the company’s indebtedness. The latter stemmed from state directives to build loss-making turnpikes in Medan, Cirebon, and Semarang (with the aim of sparking economic growth); lost revenue due to the Asian financial crisis-led downturn in traffic volume; and the KKNrampant in the sector. JasaMarga’s board needed a “push” by Megawati’s administration to construct only the most commercially promising (Cipularang) route outside Jakarta.

With other revocations held up in the courts, domestic (and foreign) investors, including Jasa Marga, balked at investing without the regulatory reforms they and others had been seeking for some time. These reforms materialized only at the close of Megawati’s term with the passing of the 2004 Road Act. The first notable reform was the automatic tariff adjustment mechanism (indexed to inflation every two years), which for investors and market liberals was an advance over the way raises were determined under Soeharto, that is, at the president’s discretion. The second was the establishment of an independent regulatory agency, which stripped Jasa Marga of its dual function as developer and regulator. For market reformers, this was an essential step in levelling the playing field for all investors. For Jasa Marga officials, the jettisoning of the SOE’s regulatory authority would allow it to unleash the company’s commercial energies. Therefore, the passage of the 2004 Road Act, the swift publication of its implementing regulation, and the hosting of the 2005 Infrastructure Summit were supposed to inspire investor confidence. Nevertheless, impediments remained.

One was the stripping of the Toll-Road Regulatory Agency’s (BPJT) real authority via ministerial regulations. It was placed under the auspices of a Public Works Ministry that had little interest in allowing the new body to operate either independently or autonomously. Controversially, the Road Act enabled such former New Order political entrepreneurs as Jusuf Kalla and Aburizal Bakrie to retain their licenses, assuring that rent-seeking in the sector would continue. The 2006 sale by Kalla and Soeryadjaya to PLUS Expressways of Malaysia of their controlling interest in the Cikampek-Palimanan franchise – the bundling of which into a single concession was legally dubious – brought this realization home. Meanwhile, wary of the private sector, Megawati never allocated state monies in support of PPP projects – for example, those in aid of land acquisition. World Bank staffers in Jakarta seethed with frustration as they considered state financial support of PPP projects a staple of international best practice. In other words, the Indonesian government, in their view, was passing too much of the risk onto the private sector. Not until 2007 did Yudhoyono’s administration make government land acquisition funds (named BLU) available. Apart from inter-ministerial disagreement over how to hold stakeholders accountable in their use, the ability of the BLU funds to speed up the process was constrained by the deep-seated problem of the use of eminent domain powers in Indonesia.

Although multifaceted, the land predicament boils down to one inescapable conclusion: For decades the state has either used the law as a blunt instrument to enforce its way or has resorted to extralegal means. Either way, it has run roughshod over citizens’ concerns or rights. With the army currently out of the picture – and paramilitary involvement restricted to exceptional cases – the situation for landowners has improved but only marginally. In Yudhoyono’s 2005 eminent domain decree, the bulk of authority remained in state hands, and his administration tried to replace the coercive use of the army with the undemocratic strong-arming of the courts as a means to impose the state’s will. Civil society groups mobilized to reject the decree, but the 2006 amendments were hardly less state-heavy. It became evident that the debate over the decrees proved pointless as their impact on the ground was minimal. Here a primary cause stemmed from the mismatch of governance-related incentive structures between central government officials (in charge of toll-road policy) and local functionaries (in charge of land acquisition under decentralization). Cautious of being accused of corruption, alarmed at being the face of government in negotiations with angry citizens, and knowing that in many instances BLU funds were not available because recalcitrant license holders had refused to apply for their use, local officials worked cautiously. Stories also circulated about their purchases of strategic land parcels (through proxies) to drive prices up. This was the means by which they, without any ownership in the turnpikes, would obtain rent. A 2003 World Bank-funded “best practice” consultancy report suggested that if the central government ignored the interests of local officials, they could bring toll-road development to a halt. The report proved prophetic.

Energized by the failure of the 2005 Infrastructure Summit, the Indonesian Toll-Road Operators Association (ATI) lobbied for sectorwide reforms. It convinced Public Works, for example, to distribute the BLU funds to concessionaires who were ready to use them, to lower the interest rates the Finance Ministry was charging for their use, and to limit license holders’ exposure to rising land costs (through a policy known as “land capping”). ATI’s composition limited its effectiveness, however. Contract signatories outnumbered operators, which forced ATI to ally with an informal grouping of signatories.More substantially, the association was powerless over massive delays to key links along northern Java’s littoral whose licenses were held by powerful insiders (and non-ATI members) such as Kalla, Soeryadjaya, and Bakrie. With these segments stalled, a swift connection of Jakarta and Surabaya via the Trans-Java Expressway was thwarted. Proponents of the road’s development potential would have to wait and see whether its vaunted multiplier effect would bear fruit. The complicated negotiations over recentralizing the compulsory purchase of land in the public interest via parliamentary statute extended the wait. On paper the 2012 law may have improved compensatory procedures for affected citizens, but the National Land Agency (BPN) has yet to instill confidence outside a few officials in Jakarta that it has the capacity to speed up acquisition in a fair, effective, or just manner.

Still, as the Trans-Java Expressway (between Jakarta and Surabaya) inches closer to completion, it provides evidence against suggestions that Indonesia is a failed or thoroughly emasculated state. In early 2013, construction of its longest turnpike, Cikampek–Palimanan, began in earnest (and is targeted to open in 2015), while thankfully Bakrie had sold some of his licenses to another Indonesian firm (owned by the tycoon Hary Tanosoedibjo). Jasa Marga has finished sections of turnpikes in Central and East Java; full completion is anticipated.

For the now freed-from-regulatory-duties, partially privatized Jasa Marga, government interference has eased, allowing the firm more leeway in the selection of routes it finances. Of course, certain kinds of political intervention, like handing the firm the rights in 2002 to the decidedly profitable Jakarta Outer Ring Road that helped to rescue the firm from its debt-laden burdens, have been exceptionally beneficial. However, the space created by a more profit-oriented Jasa Marga has not led to a proportionate rise in private sector participation, as the pro-market literature might suggest. Private investors prefer profits and many of the country’s choice routes have been built. (Its most profitable, the Jakarta Inner Ring Road, will revert to the state, not to Jasa Marga, in 2023.) Instead, there has been a proliferation of interest in toll roads by SOEs other than Jasa Marga. The main investors behind Jakarta’s latest planned and exorbitantly priced inner ring road are municipality-owned companies. For the planned 2,700-km Trans-Sumatra Highway, in 2013 the central government appointed the construction SOE, Hutama Karya, as the primary contractor, backed by a yet-to-be-determined government guarantee.[viii] (Not all sections of this US$1 billion undertaking will be tolled.) Nor were private investors represented in consortiums behind the 10-km toll-road that opened on Bali in 2013, and behind a planned turnpike outside of Medan.[ix] Finally, in mid-2014 another SOE construction firm, Waskita Karya, stepped in to build and possibly own the Pejagan-Pemalang section of the Trans-Java Expressway.

Other toll roads have needed substantial subsidies, financed by foreign loans in some instances, to attract private sector participation, even on traffic-dense Java (where traffic densities are, in fact, quite uneven). This pertains to two Central Java routes (Solo–Ngawi and Ngawi–Kertosono), and will be the case in East Java (Pandaan–Malang and Pasuruan–Probolinggo–Banyuwangi) if officials desire the Trans-Java Expressway to be a true end-to-end turnpike one day. For “best practice” proponents, these arrangements epitomize the PPP concept – appropriate risk sharing among key stakeholders, which includes public funding contributions, although the majority of the financing and responsibility for the construction and maintenance of the facility is provided by the private sector. Nevertheless, it is difficult to determine when subsidies reach a point where it is more efficient for the state to build the road if it is capable of doing so and subsequently receive the revenue generated from that road.

Beyond tollways, the government has sought to move on from the failures of the 2005 Infrastructure Summit. With multilateral and bilateral support, in 2009 and 2010 it established two investment and guarantee funds that, among others, aimed to lower the cost of infrastructure financing. At about US$230 million, these funds’ capitalization has fallen short of expectations.[x] However, this did not deter the government from launching amid much fanfare its Master Plan for the Acceleration and Expansion of Economic Development in Indonesia (MP3EI)[xi] in 2011. An ambitious plan of some ninety PPP projects valued at Rp. 536 trillion (nearly US$47 billion), MP3EI was intended to signal the government’s commitment to upgrade infrastructure and, importantly, coordinate efforts at the national level as a means to generate growth and improve the economy’s global competitiveness. Not surprisingly, lapses in financing and institutional capacities have dogged project implementation; the year 2014 may witness the groundbreaking of a mere three projects.[xii] MP3EI has sparked discussions about forming a specialized infrastructure bank that would help overcome weaknesses in Indonesia’s capital markets thatmake, for example, securitizing toll-road assets difficult, in contrast to China. Without “fixing” Indonesia’s eminent domain predicament, questions over the need for the bank have been raised. In all, despite the extensive lip service President Yudhoyono paid to infrastructure development as a priority, he had little to show for his efforts after two terms. To leave behind some type of concrete legacy, he had pinned his hopes on at least officiating the groundbreaking ceremony for the 30-km, US$25 billion Sunda Strait Bridge that will connect Sumatra to Java.[xiii] Instead, this task will be bequeathed to Jokowi, Yudhoyono’s successor.

Political sociology of infrastructure development and its lessons

In part, this book was an attempt to put politics back into the study of infrastructure, a topic that has been dominated by econometric or technocratic approaches. The institutionalists contributed by helping us to understand institutions as the political products of conflict and compromise. With conflict contained and compromise locked in, investor confidence over their property right protections is boosted. However, their approach did not go far enough. Plenty of conflict and compromise takes place outside of formal institutional arrangements and therefore exhibit considerable impact on the quantity and quality of a country’s physical stock of infrastructure. Put differently, while the institutionalists showed that we needed to move beyond “getting the prices right” to understand the levels of infrastructure investment, this book has endeavored to demonstrate that we need to move beyond “getting the institutions” right. “Getting the politics right,” which includes state–society and center–local relations, especially in large, sprawling democracies, is of equal importance. As such, I emphasized power relations, history, social conflict, and informal institutions, paying them more heed than mainstream accounts of infrastructure investment do.

There has been an upsurge in interest within comparative politics in explaining which informal institutions matter and why. Two leading proponents note: “Good institutional analysis requires rigorous attention to both formal and informal rules. Careful attention to informal institutions is critical to understanding the incentives that enable and constrain political behavior.”[xiv] In order to show how political “actors respond to a mix of formal and informal incentives, and [that] in some instances, informal incentives trump the formal ones,”[xv] I adopted what I term a political-sociological approach to infrastructure development. To give this framework empirical weight, this study identified three crucial areas where informal institutions have played key roles in the political economy of expressway building in Indonesia.

The first concerned the relationship among societal interests, business associations, and rent-seeking. Consistent with expectations of a sectoral-based association, ATI sought efficiency enhancing reforms. But the mainstream literature less often recognizes that rent-seeking outcomes can vary within a given sector. For starters, there are positive and negative outcomes. The cases of Kalla and Bakrie represent the latter, and Jasa Marga the former. Combining a focus on firm-level incentive structures and that of broader power relations, we saw that Jasa Marga receives almost all of its revenue from tolls, unlike the companies of Bakrie, Kalla, and even Soeryadjaya. This helps to explain why Jasa Marga has proven to be a reasonable builder of turnpikes (although its operational service record for these roads is patchier). While Kalla and Soeryadjaya’s sale to PLUS was a main cause of their route’s delay, this inefficient outcome pales in comparison to the mess Bakrie’s toll-road firm made of its licenses. This difference reflects a second variation – within negative outcomes. After years of delay, construction on the Cikampek–Palimanan turnpike began in early 2013, in part a result of PLUS’s determination to earn long-term revenue from its investment. Bakrie’s toll-road entity lacked such commitment. After hardly making progress with land purchases, and with BPJT powerless to do much about it, Bakrie first resold his licenses in late 2012. If his toll-road firm was (understandably) waiting for through-traffic from an adjacent section (Cikampek–Palimanan) before investing in its own routes, construction could have started in 2013. Construction of only one of these licenses (Pejagan–Pemalang) first began in mid-2014.

Second, using a political sociology approach, I underscored the importance of extra-parliamentary lawmaking in an expansive account of infrastructure politics. I set the regulation-making within ministries, for example, against that of parliament. Even in Indonesia, the latter is a more rational and publically known rule-bound institution compared to ministries. Out of the spotlight of the press and the reach of nosy reformers, arenas within and among ministries – less constrained by formal rules and less influenced by political parties, civil society, or IFIs – are where hard bargaining among powerful vested interests is often conducted. This frequently results in the reinterpretation or watering down of parliamentary statutes. The behind-the-scenes negotiations that produce decrees may lead to suboptimal outcomes, but it does not mean they matter any less for analysis. To the contrary, it makes their very prominence essential. From the undermining of the authority of BPJT from its inception and tussles with the Finance Ministry over allocation of BLU monies to the questionable handling of recalcitrant investors, the (redundant) reevaluation of concession agreements, and the postponing of putatively automatic tariff hikes, ministerial politics and related decrees matter. In Indonesia, this arena of post-statutory enactment, regulation-making is a critical missing link between studies that seek analytical purchase in the variation of policy outcomes and that of implementation in the field (or lack thereof).

Third, the contested nature of eminent domain is a prominent issue where formal and informal institutions intersect in critical ways. Complicated land tenure laws, infused with locally situated customs and norms, and overlapping governmental jurisdictions make the matter messy and cumbersome. From New York City and Tokyo to China’s metropolises, agreeably grounded treatments of infrastructure attest to the contestation intrinsic to the application of eminent domain powers. Because the problem pervades democracies and non-democracies alike, it brings other governance structures, such as central–local government relations, to the fore. As a result of Indonesia’s decentralization program, misalignment of incentive structures between central and local officials have greatly hampered land acquisition in the public interest. Running a national-level project through dozens of newly autonomous districts in charge of land acquisition without providing those local officials with legal and tangible incentives was misguided. After years of frustration, instead of providing those incentives, central officials simply recentralized the authority, placing its responsibility in the hands of a body (BPN) that, as currently constituted, is ill-equipped to handle this gargantuan task. Equally ill-equipped to adjudicate competing claims impartially are Indonesia’s notorious courts. After years of hesitation, state officials are now increasingly relying on them to enforce eminent domain claims. However, the courts are weaker at enforcing the state’s will than the army under the New Order, to the advantage of affected citizens. This has allowed for some – albeit limited – deliberation and negotiation. As long as affected citizens deem compensation to be fair, they continue to express a willingness to release their land rights for a project with developmental benefits, although the Trans-Java Expressway will certainly hasten the deagrarianization of Java.[xvi] But citizen support does waver when assets are transferred to private entities and when compulsory acquisition requires the demolition of occupied houses. Still, land acquisition can proceed at a reasonable pace provided that officials conform to the law. Whether the courts prove to be effective venues or mechanisms to rein in arbitrary actions of state officials remains to be seen. They have not inspired much confidence thus far.

The focus on the land question leads us to consider the policy implications of this study of infrastructure investment in Indonesia. Unlike in industrialized countries where exceptional comparative studies of regulation take institutional capacity as a given,[xvii] most studies of developing economies, almost by fiat, recommend enhancing institutional capacities. While parliamentarians and investors may seethe over BPJT’s weakness, and negotiations are underway to reform the body, the powers-that-be designed BPJT (in post-enactment fashion) to be that way – subservient to state interests. Indeed, feebleness may hold BPJT’s key to survival. Consider the fate of the Upstream Oil and Gas Regulatory Agency (BPMigas), the IRA upon which BPJT was modeled. In late 2012, the country’s Constitutional Court controversially declared it unconstitutional, it is widely believed, for acting how an IRA, in theory, is supposed to act, that is, independently and autonomously. (In this case BPMigas was accused of pandering to foreign firms.)[xviii]

Beyond platitudinous recommendations to shore up institutional capacity, there is also the issue of the timing of reforms. Research has demonstrated the positive effect on private investment when institutional reforms precede privatization.[xix] For toll roads, similar steps should occur with respect to compulsory land acquisition. Laws and the agency in charge of land acquisition need to be in place before private (or even public) investment is sought. Indonesia’s land predicament has kept foreign investment in its toll-road industry to a minimum. Although the bleak commercial outlook of the Trans-Sumatra Highway – divided into seven main sections – has also kept private interest low, we should expect a smoother land acquisition process for this endeavor than for the Trans-Java Expressway, especially now that the 2012 law on the matter, and its attendant regulations, are in place (not to mention Sumatra’s lower population densities).[xx]

The timely acquisition of land can be better achieved if state officials are more willing to pay near-market rates. The argument that paying such rates will lead to a prohibitive escalation in costs is understandable but short sighted. Long delays caused by negotiations over well below market rates cause their own interruptions that compound problems down the line. Moreover, foreign investors in the sector have suggested to me that they consider land prices in Java to be reasonable, unlike land costs in their home countries. Paying near-market rates will allow officials to acquire land more quickly, which in turn leads to subsequent efficiencies – for example, the affordability of time to build quality, safe roads. The practice in Indonesia of slow land acquisition and swift road construction must be reversed.

Not divorced from the land dilemma, the interests of central and local government officials need alignment, given the pervasiveness of decentralization programs worldwide. Even for national-level projects, local officials must be given meaningful input into the decision-making process when these projects “trespass” on local terrain. Otherwise, these functionaries can create unwanted headaches when they are expected to act as mindless implementers of national policy. Notwithstanding attendant
inefficiencies, China’s phenomenal expressway growth in part has been due to the fact that provincial officials have been in charge of the process.[xxi]

Expectations about private sector participation in infrastructure also need to be tempered. This is especially so in countries where the main ingredients for these programs’ success – power of eminent domain, rule of law, strong regulatory authority, and fiscal space – are lacking. Decades of disappointment, featuring high social and fiscal costs, has characterized privatized toll-road programs in Latin America and in Europe, including Spain – the continent’s longest and largest user in terms of capital value – and the UK.[xxii] Tollway construction does not require the sophisticated technological innovation or needs of the telecommunications sector. Thus, foreign or domestic private investment cannot be expected to bring large gains in efficiency. Moreover, the cost-of-funding argument has been proven to be misguided, as the state can collect tolls and thus gain revenue as easily as private entities.[xxiii]

Efforts must also be made to ensure the financial soundness of winning bids. Intent to build rather than sell on the license must be demonstrated, especially among the private sector. Putting a new regulatory regime on paper is insufficient to gauge investor sincerity. While some may see its actions as belligerent, the 70 percent state-owned Jasa Marga has decades of experience in building toll roads and has improved its corporate governance (even if its road maintenance record lags). If it continues to build its routes at a reasonable cost, inducing more private sector participation for the sake of it must be questioned. There must be gains in efficiency, not just distribution.

This point, combined with heavy state bank investment construction in the Trans-Java Expressway, should not lead one to consider that Indonesia is approaching the East Asian developmental state model. The influence of this model – characterized by collaborative government–business relations, dense policy networks, technocratic bureaucracies, control over labor, visionary leadership, and state-led mobilization and direction of resources – has in large part eroded. For some, its fundamentals rested on a peculiar combination of historical contingencies and contextual factors that made its export impractical.[xxiv] For others, the concept became reified, as scholars glossed over missteps, inefficiencies, and tensions within the development state edifice.[xxv] Neither do many pretend that low-income countries today, many of them vibrant but flawed democracies, have the capacity to build the strong state institutions that underpin the model. This is glaringly the case in Indonesia.

That said, if we lower by some margin our expectations of the model, Indonesia’s experience has been and continues to be broadly consistent with Asian economies that exhibit high degrees of state intervention and guidance.[xxvi] The state sector remains robust, and efforts to pare its size have been met with stubborn resistance. The recent upswing in economic nationalism is not wholly restricted to concerns about profits accruing to the state. Rather, profits (and rent) may fill the coffers of private firms, as long as they are Indonesian (and their owners have close working relations with state officials, if they are not state officials themselves). As the case of the Trans-Java Expressway demonstrates, Indonesia can display a kind of a state-led, if not haphazard, developmentalism by default. The state strives to fill the gaps generated by the lack of private sector interest, although not always successfully.

Ideological differences among Indonesian political parties may lead to policy differences on some issues.[xxvii] However, this has been less so for bigticket economic or development ideas and policymaking. Illustratively, parties have neither opposed the building of the Trans-Java Expressway nor have devised implementation or financing alternatives (let alone debate the road’s merits or costs). Instead, they uniformly have seethed over its interminable delays. Even so, in a democratically flawed Indonesia, without the pressures generated by a domestic or foreign threat, state leaders remain sufficiently motivated to produce a policy regime, and oversee its admittedly checkered implementation, where rents, patronage, profits, and pro-growth prescriptions are woven together, albeit uneasily and inefficiently.[xxviii] Foremost is a glaring inability to discipline the business class that will keep an appreciably firm rule of law at bay.[xxix] This creates an environment where the structure of power collides with “best practice” reforms, producing outcomes that are neither singular nor predictable. We can garner evidence to support a range of results, from regulatory progress to policy failure, from impressive growth rates compared with global averages to the phenomenon of “jobless growth,”[xxx] from positive to negative rent-seeking, or from coercive enforcement of state policy to democratic deliberation. The building of the Trans-Java Expressway has been vividly illustrative of these conflicting and complimentary processes and outcomes. This is irrespective of whether the megaproject succeeds in the long term, especially given the social (and environmental) costs it generates and its expense to travel.[xxxi]  The expressway in its entirety may or may not be completed, but if it is realized, it is unlikely to be along the lines market reformers or their detractors had envisioned.




[i] Hall, Hirsch, and Li 2011, p. 138.
[ii] Estache and Fay 2007, p. 6. Emphasis added.
[iii] Aspinall 2013a; Robison and Hadiz 2004; Hamilton-Hart 2007; Lindblad and Thee 2007; Manning and Purnagunawan 2011; Blunt et al. 2012; McLeod 2005a.
[iv] Rothenberg 2011.
[v] Andrews 2012.
[vi] MacIntyre 2000; McLeod 2005a.
[vii] Flyvbjerg et al. 2003; Delmon 2005 and 2011.
[viii] It will be Widodos administrations prerogative whether to honor this designation (Sari 2014).
[ix] For the Bali turnpike consortium, Jasa Marga owns 55 percent, while six other SOEs own another 29 percent (the remaining 16 percent is divided equally between the provincial government and the Bandung district government (see Chapter 4, note 97]). For the 72-km MedanKualanaumTebing Tinggi route, a Jasa Marga-led consortium with three other SOEs was the only bidder to submit tender papers (Amin 2014).
[x] Business Monitor International 2012 (Q4), pp. 78.
[xi] In Indonesian: Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia.
[xii] Djauhar 2012; Kusumawardhani 2013. An airport outside Medan opened in March 2014 was retroactively classified as a MP3EI project. Its construction began in 2008, well before the MP3EI was launched (Natahadibrata and Gunawan 2014).
[xiii] Tampubolon 2012.
[xiv] Helmke and Levitsky 2004 p. 726. Emphasis added.
[xv] Ibid.
[xvi] On deagrarianization in Southeast Asia, see Rigg (2003, pp. 29195).
[xvii] Vogel 1998.
[xviii] Opini: BP Migas Tamat,Tempo, November 2011, p. 31.
[xix] Wallsten 2003.
[xx] However, progress is stagnant. Widodo will have to sign the presidential decree that gives the go ahead for land acquisition (and construction).
[xxi] Lin 2013.
[xxii] Engel et al. 2003; Acerete et al. 2010.
[xxiii] Engel et al. 2003.
[xxiv] Stubbs 2005.
[xxv] Boyd and Ngo 2005.
[xxvi] I thank Mark Thompson for stressing this point.
[xxvii] Mietzner 2013; Horowitz 2013.
[xxviii] On these points more conceptually, see Bertrand (1998) and Doner, Ritchie, and Slater (2005).
[xxix] Aspinall 2013b, p. 240.
[xxx] Saich et al. 2010, vivii.
[xxxi] If average initial tariffs are Rp. 700 per kilometer, the twelve-hour or so drive from Jakarta to Surabaya will cost approximately Rp. 430,400 (US$38) for passenger cars. This excludes fuel costs and vehicular depreciation. Tariffs are considerably higher for freight trucks. In early 2014, a one-way ticket for the hour-and-a-half flight between these two cities could be bought for as low as Rp. 375,000 (about US$32).