Dikemas
ulang dari kumpulan tulisan “Renungan Depok” - Juli 2012
Menurut
Nath dan Sobhee (2007:1), yang mengacu pada hasil penelitian McKinlay dan Little (1979), Maizels dan Nissanke (1984),
Trumbull dan Wall (1994), dan Gounder (1999),
donor memiliki beragam motivasi dalam kaitan dengan kepentingan internal donor dan kebutuhan penerima bantuan. Kecuali
pada bantuan yang berbasis altruisme, kebutuhan
penerima bantuan tetap harus sesuai dengan kriteria yang memuaskan kepentingan negara atau lembaga donor. Apa
yang menjadi kepentingan donor? Meskipun
dikemas dalam beragam isu atau agenda, seperti isu demokratisasi dan good governance (seperti
transparansi, partisipasi publik, akuntabilitas, anti korupsi, representativeness,
dll.), lingkungan hidup (seperti global warming), pengurangan kemiskinan dan sosial lainnya (seperti
peningkatan pendapatan, pelayanan kesehatan dan pendidikan, dll.), menurut para ahli di atas, pertimbangan (considerations)
utama dari donor
sesungguhnya akan selalu berkaitan dengan kepentingan ekonomi politik, yaitu upaya meningkatkan perdagangan (trade),
investasi (investment), dan keamanan
(security)
dari lembaga atau negara pemberi donor.
Berkaitan
dengan hal tersebut, de Valk (2010:5-6), mendefinisikan bantuan (aid)
sebagai sebuah
multi-level relasi sosial, kultural dan ekonomi yang tidak seimbang antara
pihak-pihak yang terlibat, dalam pertukaran dua arah yang asimetris dalam hal
sumberdaya, keuntungan,
nilai dan perasaaan. Mengutip pandangan Clegg (1989), aid selalu berhubungan dengan power relation: ”the aid-relationship is a power
relationship”. Menurut
Lukes (1974), ada tiga dimensi atau levels of power dalam aid-relationships, yaitu: (a) Kekuasaan atas sumber daya, baik
sumberdaya manusia ataupun material; (b) Kekuatan
dalam membentuk dan memelihara struktur, di mana struktur dan lembaga bantuan internasional sebagian besar
dikendalikan oleh lembaga donor; dan (c) Kekuatan untuk membentuk wacana dominan, yang didalamnya termasuk perubahan
dalam wacana bantuan, termasuk laporan organisasi bantuan dan individu, yang
diperkenalkan oleh lembaga
donor, evaluator dan akademisi mendukung. Termasuk didalamnya teori-teori pembangunan, metodologi perencanaan dan
evaluasi, dan internalisasi individual akan
wacana
pembangunan yang semuanya merujuk pada perspektif Barat (Rist, 1999; Cooke dan Kothari, 2001; Dale, 2003; Gasper, 2000,
Crewe and Harrison, 1998).
Pada
dekade 1980-an donor mulai banyak berinteraksi dengan NGO di negara-negara dunia ketiga. Selanjutnya di awal 1990-an,
donor mulai banyak mendukung pengembangan
potensi politik NGO di berbagai negara tersebut Politik dimaknai dalam dua sifatnya, yaitu: (a) Proses pengambilan
keputusan mengenai alokasi sumberdaya, di mana terjadi pertarungan terus menerus antar kelompok-kelompok yang
berbeda dalam memperebutkan
sumberdaya tersebut; (b) Proses di mana pemaknaan sosial dan identitas dibentuk melalui ideologi, relasi kultural
dan ritual simbolik (Clarke, 1998:5-6). Menurut Clarke, untuk menjadi 'politik', maka NGO harus: (a)
Berpartisipasi dalam proses yang dirancang
untuk menciptakan makna sosial dan upaya untuk melekat sebagai kelompok atau kelompok terkait dengan pemaknaan sosial
tersebut; dan (b) Atas dasar pemaknaan sosial
bersama tadi, NGO berpartisipasi dalam distribusi sumber daya dan dalam perjuangan untuk mempengaruhi distribusi
tersebut. Ada dua tingkat keterlibatan politik NGO, yaitu: (a) Aktif dalam upaya mempengaruhi distribusi sumber
daya dalam konteks makna
sosial tertentu (ideologi), di mana hal ini terkait dengan political
engagement; dan (b)
Aktif dalam mempengaruhi makna sosial dan untuk membantu kohesi
kelompokkelompok sosial
(Clarke, 1998:6).
Di
Amerika Serikat (dan negara-negara Eropa) pendanaan NGO banyak disokong dan bergantung dari sumbangan negara dan
simpatisan, di mana beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pendanaan dari negara tersebut dapat
meningkatkan atau justru menekan
aktivitas politik NGO (Chaves, Stephens, dan Galaskiewicz, 2004:293 dan 313). Namun di negara-negara berkembang termasuk
Indonesia, NGO/CSO justru banyak disokong
pendanaannya oleh lembaga donor asing (overseas donor agencies), baik
secara langsung,
melalui perwakilan donor asing di dalam negeri, ataupun donor lokal yang umumnya berafiliasi atau sebagai penyalur
bantuan dari negara atau lembaga donor asing. Menurut saya, terbatasnya kapasitas keuangan dan kesungguhan
negara untuk mendukung
civil society yang kuat, kemiskinan dan tidak kuatnya budaya charity atau philantrophy mempengaruhi
kondisi tersebut. Relasi donor dan penerima bantuan sangat beragam, karena
terkait dengan bagaimana power
relation yang terbangun diantara kedua pihak. Gaventa (2006:29) mengutip
analisa dari VeneKlasen
dan Miller (2002) yang membagi power dalam tiga bentuknya, yaitu: (a) Visible power,
yang dapat dilihat secara fisik dari orang atau lembaga atau struktur organisasi yang memiliki otoritas atau
kekuasaan dalam pengambilan keputusan; (b)
Hidden power, yaitu orang atau lembaga tertentu yang
memiliki pengaruh dan/atau menentukan
siapa yang dapat terlibat dalam pengambilan keputusan dan apa agenda yang akan dibahas; dan (c) Invisible power,
yaitu power yang bersifat psikologis dan ideologis, yang mempengaruhi pikiran dan kesadaran (mind
and consciousness) mengenai cara pandang
terhadap dunia, persoalan, posisi diri, relasi dengan pihak lain, jalan
perubahan, dan lainnya. Kapasitas
NGO/CSO dalam membangun kerangka dan strategi gerakannya sendiri, menentukan
agenda dan membangun kerjasama yang setara dengan pihak lain khususnya donor sangatlah beragam, pada akhirnya akan
dipengaruhi oleh tingkat
ketergantungan NGO/CSO terhadap pendanaan dari donor, dan pengaruh politik yang dapat diperolehnya dari kedekatan
tersebut. Sorj (2005:3) menyebut NGO/CSO yang
menggantungkan pendanaan dan agenda sosial-politiknya dari donor sebagai ‘dependent CSO’.
Jika
situasi tersebut dilihat dari perspektif Habermas, idealnya tentu saja
diharapkan dapat terjadi
proses diskursus yang setara dan argumentatif antara pemberi dan penerima donor dalam menentukan pendekatan perubahan sosial,
agenda, dan kegiatan. Tindakan komunikatif
mengambil peran ketika para pihak yang terlibat dapat mengharmonisasikan kepentingan bersama.
“…when actors are prepared to
harmonize their plans of actions through
internal means, committing themselves to pursuing their goals only on the condition of agreement
about the definitions of the situation and the prospective outcomes”
(Habermas, 1995:134).
Namun
jika mangacu pada pandangan Clegg (1989) di atas, pada prakteknya diskursus antara pemberi dan penerima donor tersebut
tidak mudah untuk dilakukan. Sejak awal sudah
terbangun posisi yang tidak setara dalam hal kesenjangan akses sumberdaya (pengetahuan, konsep, manajemen/administrasi,
dan tentu saja pendanaan) diantara kedua belah
pihak. Hal tersebut juga dipengaruhi karakteristik atau ‘behavior’ dari
masing-masing donor yang juga cenderung berbeda, dalam
membuka ruang dialog yang dapat mempertemukan
kepentingan pemberi dan penerima donor. Bagi donor yang kaku dan ‘saklek’ dengan pendekatan dan agendanya,
relasi yang terbangun adalah ‘take it or leave it’, di mana
donor hanya akan memberi bantuan pada calon penerima donor yang bersedia sepenuhnya mengikuti aturan main yang sudah
ditetapkannya. Sebaliknya, bagi NGO/CSO
yang menggantungkan sepenuhnya pendanaan dan pengaruhnya dari hubungannya dengan donor, relasinya adalah ‘apapun
yang lu jual gua beli’,
dalam arti NGO/CSO
tersebut hanya akan mengikuti saja semua agenda dan mekanisme yang ditetapkan oleh donor. Situasinya kembali
pada kritik Habermas mengenai ‘kolonisasi
kehidupan’
(colonization of the life-world) sebagai akibat pengaruh dan tekanan
uang dan kekuasaan (power).
Dari
perspektif tersebut, saya membedakan tipe-tipe forum warga, NGO dan CSO terkait dengan siapa aktor yang menjadi
pendorong utama muncul dan bertahannya (sustainability)
dari institusi masyarakat tersebut, yaitu: (a) warga/komunitas itu sendiri (community or civil society driven);
(b) para aktivis (activist/intellectual driven); (c) negara/pemerintah (state/government driven);
dan (d) negara/lembaga donor (donor agency driven).
Sebagai penutup, ada satu pertanyaan reflektif yang bisa dipikirkan bersama: “Jika anda saat ini bekerja atau terlibat dalam NGO/CSO, apakah NGO/CSO anda tersebut dapat hidup sepenuhnya tanpa dukungan lembaga donor?”
Sebagai penutup, ada satu pertanyaan reflektif yang bisa dipikirkan bersama: “Jika anda saat ini bekerja atau terlibat dalam NGO/CSO, apakah NGO/CSO anda tersebut dapat hidup sepenuhnya tanpa dukungan lembaga donor?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar