Candra Kusuma
Sabtu malam tanggal 12 Desember
2015, Benedict Richard O’Gorman Anderson seorang Indonesianis terkenal asal AS
meninggal dunia di Malang, Jawa Timur. Benedict Anderson, Ben Anderson, atau 'Om Ben’ bagi kalangan kolega dan teman-temannya di Indonesia, meninggal diduga
karena serangan jantung pada usia 79 tahun. Jenazahnya dikremasi dan abunya
disebar di Laut Jawa.
Saya sebagai orang biasa yang tidak
kenal secara pribadi, tidak pernah bertemu secara langsung, dan hanya menjadi
pembaca sebagian karya beliau, akan menyebutnya sebagai ‘Pak Ben’ saja.
Dari Irlandia, Tiongkok, ke Amerika
Pak Ben
lahir tanggal 26 Agustus 1936 di Kunming-Tiongkok, dari pasangan Veronica
Beatrice Mary Anderson dan James Carew O’Gorman Anderson. Waktu itu ayahnya bekerja
sebagai petugas bea cukai kerajaan Inggris yang ditempatkan di Tiongkok.
Keluarga
besar ibunya berasal dari Inggris, sementara keluarga ayahnya dari Irlandia. Dari
Tiongkok, keluarganya tidak kembali menetap di Irlandia atau Inggris, namun
malah berimigrasi ke Amerika Serikat pada tahun 1941 dan tinggal di California.
Kehidupan multi-nasional dan multi-kultur tampaknya telah membentuk karakter
anak-anak keluarga Anderson menjadi menghargai pentingnya budaya dan keberadaan
negara-negara lain. Nantinya Pak Ben kerap berseloroh bahwa dirinya adalah
semacam “orang buangan dengan loyalitas yang terbagi.” Selain itu, keterlibatan
keluarga ayahnya dalam gerakan nasionalis Irlandia, bisa jadi juga turut mempengaruhinya
untuk tertarik mendalami mengenai gerakan perjuangan kemerdekaan dan
nasionalisme di Asia Tenggara dalam karier akademiknya.
Pak Ben
kemudian meraih gelar BA dalam Classics (yang
mempelajari budaya, bahasa dan filsafat) dari University of Cambridge-UK tahun 1957, dan Ph.D dari Cornell
University pada tahun 1967 dengan disertasi berjudul The Pemuda Revolution: Indonesian
Politics, 1945–1946. Selanjutnya Pak Ben mengajar di The Department
of Government - Cornell University sejak tahun 1965 sampai pensiunnya tahun
2002. Pada tahun 1998, Pak Ben diangkat sebagai Aaron L. Binenkorb Professor
Emeritus of International Studies, Government, and Asian Studies di Cornell
University. Tahun 1994 Pak Ben menjadi anggota the American Academy of Arts and
Science. Ben adalah saudara dari Perry Anderson, seorang ilmuwan sosial Marxis.
Kesadaran
politik dan sikap anti-imperialisme Pak Ben baru
terbentuk pada tahun 1957, justru setelah dia selesai kuliah dari Cambridge.
Waktu itu terjadi krisis Suez dan terjadinya konflik dan perang sipil di Indonesia
di mana CIA diduga terlibat, yang kemudian membangkitkan simpati sekaligus
sentimennya sebagai orang yang pernah tinggal Asia. Ketika melanjutkan
pendidikan doktornya, Pak Ben kemudian masuk ke The Interdisciplinary Indonesian Studies Programme - Cornell
University (program studi interdisipliner kajian
tentang Indonesia), yang menjadi awal dari keterlibatan seumur hidupnya dalam penelitian
sejarah, politik dan budaya Indonesia. (lihat Wollman dan Spencer, dalam McClerry dan Brabon, 2007:3)
“Cornell Paper”
Menggauli Indonesia sejak tahun
1960-an, dapat terbayangkan kedekatan hati dan pikiran Pak Ben pada negeri ini.
Karya monumental pertama Pak Ben, dan menjadi kontroversi bagi pemerintah Orde
Baru di Indonesia, terkait dengan peristiwa G30S-1965. Pada tahun 1966, bersama
Ruth T. McVey
(dengan bantuan Frederick P. Bunnell), mereka menulis ‘Interim Report’ untuk The Cornell Modern Indonesia Project
(CMIP) yang berjudul A Preliminary
Analysis of the October 1, 1965, Coup in Indonesia. Laporan tersebut, yang kemudian populer
sebagai “Cornell Paper,” menyimpulkan bahwa baik Partai Komunis Indonesia
(PKI) maupun Presiden Soekarno bukanlah otak dan/atau pelaku dari peristiwa
G30S, mereka justru harus dilihat sebagai korban. Kudeta tersebut dilakukan
oleh internal angkatan bersenjata dengan mengeliminir sejumlah Jenderal yang
dianggap telah bekerja sama dengan Amerika Serikat melalui CIA.
Laporan awal yang selesai pada
tanggal 10 Januari 1966 ini, sedianya akan dilengkapi dengan data/informasi tambahan
dan sekaligus tanggapan dari Pemerintah Indonesia. Upaya memperoleh informasi
dan tanggapan tersebut dilakukan dengan bantuan seorang Indonesianis lain yang
lebih senior, George McT. Kahin, yang punya banyak jaringan di lingkungan akademisi,
militer dan pemerintah Indonesia kala itu. Sayangnya upaya tersebut gagal,
hingga akhirnya Cornell menerbitkan laporan tersebut pada tahun 1971, tanpa ada
bagian tanggapan dari pemerintah/militer Indonesia. Bahkan sebelumnya laporan
tersebut “dibocorkan” pada tahun 1967 oleh seorang analis dari RAND Corporation
yang dekat dengan pemerintah AS, hingga mendorong pemerintah Indonesia segera
menyusun analisis tandingan yang menjadi versi resmi pemerintah/militer, yang
dikomandani oleh sejarawan militer Nugroho Notosusanto. Sebagaimana umum
diketahui, dalam versi resmi ini, PKI-lah yang menjadi dalang dan pelaku dari
peristiwa G30S.
Pencekalan
Akibat “Cornel Paper” yang dianggap
sebagai ancaman bagi stabilitas nasional, Orde Baru memasukkan nama Pak Ben dan
Kahin dalam daftar hitam sebagai ilmuwan asing yang dicekal masuk ke Indonesia.
Sambil tetap menulis tentang Indonesia, Pak Ben kemudian melebarkan kajiannya
mengenai politik di negara-negara Asia Tenggara lainnya, terutama Philipina dan
Thailand. Pak Ben kemudian banyak menulis tentang nasionalisme, perjuangan
kemerdekaan, pembentukan bangsa dan negara, anarkisme, kolonialisme, bahasa, budaya,
globalisasi, dll. Dalam berbagai buku dan makalahnya tersebut, jika tidak
secara khusus menulis tentang Indonesia, Pak Ben tetap memasukkan analisisnya
tentang politik di Indonesia, baik sebagai contoh kasus ataupun perbandingan.
Pak Kahin baru diberi izin datang ke
Indonesia pada tahun 1991, sementara Pak Ben bahkan baru diperbolehkan
berkunjung kembali ke Indonesia di tahun 1999, setelah Orde Baru ambruk.
Kabarnya setelah diizinkan datang kembali ke Indonesia, Pak Ben hampir setahun
dua kali tahun datang ke Indonesia, terutama untuk mengunjungi candi-candi di
Jawa Timur yang amat disukainya.
Magnum
Opus: “Imagined Societies…”
Pak Ben banyak menulis buku,
diantaranya yang cukup dikenal yaitu: Java
in a Time of Revolution: Occupation and Resistance, 1944-1946 (1972); Imagined Communities: Reflections on the
Origin and Spread of Nationalism (1983, 2006); Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia (1990,
2006); The Spectre of Comparisons:
Nationalism, Southeast Asia, and the World (1998); The Age of Globalization: Anarchists and the Anticolonial Imagination (2005,
2013); Under Three Flags: Anarchism and
the Anti-Colonial Imagination (2005); dll.
Ada pula entah berapa banyak makalah yang pernah
ditulisnya. Satu yang saya suka karena judulnya yang unik dan “jahil” yaitu
sebuah makalah berjudul “Petrus Dadi Ratu”
(New
Left Review3, May-Jun 2000). Pak Ben “memelesetkan”
judul sebuah kisah perwayangan yaitu “Petruk Dadi Ratu,” yang menggambarkan
bagaimana Petruk yang hanya merupakan orang biasa saja kemudian dapat menjadi
raja. Dia menggunakan kata “Petrus” yang merupakan singkatan dari “Pembunuh
Misterius,” yaitu operasi pembersihan ‘preman’
oleh pemerintah Orde Baru di awal tahun 1980-an, dengan cara dibunuh tanpa
melalui pengadilan (extra-judicially assassinated). Dalam makalah tersebut, Pak Ben menyindir bagaimana seorang yang
menjadi otak dari pembunuhan massal (1965, ‘Petrus’ dll.) kemudian dapat
menjadi presiden dan berkuasa begitu lama di Indonesia.
Tanpa bermaksud mengecilkan tulisan-tulisan
Pak Ben yang lain, Imagined
Communities tampaknya menjadi karyanya yang paling fenomenal dan
berpengaruh. Ketika Institute
of Southeast Asian Studies dalam ulang tahun ke 40 tahun 2008 pernah menyusun daftar 14 buku
paling berpengaruh dalam kajian Asia Tenggara, salah satu yang masuk dalam
daftar tersebut adalah Imagined
Communities karya Pak Ben (lihat Hui, 2009). Sebagai perbandingan, penulis
lain yang juga masuk daftar tersebut adalah para raksasa dalam ilmu sosial, diantaranya
J.S. Furnifall, Anthony Reid, Clifford Geertz, James C. Scott, George McTurnan
dan W.F. Wertheim. Menurut Verso Publishing, sejak
pertama kali diterbitkan tahun 1983, buku ini telah beberapakali dicetak ulang
dan diterjemahkan dalam lebih dari dua lusin bahasa.
Buku ini kemudian segera menjadi karya klasik dalam kajian
ilmu sosial dan politik, bahkan juga dalam kajian budaya dan sastra. Pada
intinya buku tersebut membahas mengenai perkembangan nasionalisme di abad 18 dan
19 baik di Amerika maupun dunia. Dalam buku ini, mungkin dipengaruhi oleh latar
belakang pendidikan Classics-nya di University of Cambridge, Pak
Ben juga menggunakan analisis peran budaya dan sastra dalam politik khususnya
dalam membentuk rasa nasionalisme suatu bangsa.
Menurut Pak Ben, suatu bangsa pada
dasarnya adalah merupakan sebuah imagined
communities (‘komunitas imajiner’ atau ada pula yang mengartikannya sebagai
‘komunitas terbayangkan’) yang terbentuk karena adanya rasa persamaan dan persekutuan
berupa “horizontal comradeship”
(pertemanan horizontal) (h.7). Situasi tersebut dapat terjadi pada mereka yang
meskipun mungkin belum kenal bahkan belum pernah bertemu namun memiliki rasa
kolektivitas, atribut, sejarah, ciri-ciri, keyakinan dan sikap yang sama. Di sisi lain, terjadi pula teritorialisasi
agama dan penurunan ikatan kekerabatan. Menurut Pak Ben, bahasa sangat berperan
dalam membentuk imagined communities ini
karena dapat memberi effect particular
solidarities (efek solidaritas tertentu) (h.133). Faktor lainnya, yang
turut berperan diantaranya adalah karena adanya perubahan dalam birokrasi
pemerintahan kolonial, yang kemudian mulai diisi oleh orang-orang dari negeri
jajahan tersebut.
Dengan menggunakan pisau analisis
dari teori Marxist mengenai nasionalisme, Pak Ben menyimpulkan bahwa
nasionalisme itu dibangun dari penciptaan imagined
communities melalui gerakan perlawanan terhadap kekuasaan absolut monarki,
dan dengan mengimplementasikan sistem kapitalisme, yang perkembangannya
didorong oleh tumbuhnya budaya cetak, yang disebutnya sebagai ‘print-capitalism’.
Dari buku itu saja terlihat betapa kaya perspektif yang
ditawarkan oleh Pak Ben. Mungkin memang tidak mudah memasukkan Pak Ben dalam klasifikasi ilmuwan
dalam disiplin ilmu tertentu. Latar belakang kehidupan pribadi, minat dan pendidikan akademis yang dijalaninya
–program doktornya pada The Interdisciplinary Indonesian Studies Programme, Cornell University--membuat Pak Ben menjadi ilmuwan lintas disiplin. Menurut Wollman dan Spencer
(dalam McCleery dan Brabon,
2007:5), pembaca bukunya Pak Ben dapat saja menganggap beliau sebagai seorang antropolog,
sejarawan, sarjana sastra serta (dan mungkin lebih dari) seorang ilmuwan
politik. Karena itu pula barangkali Pak Ben dapat masuk dan diterima oleh
berbagai kalangan baik aktivis, budayawan, mahasiswa maupun ilmuwan dari
berbagai disiplin ilmu.
Pesan
Terakhir
Pak Ben datang ke Indonesia dalam
rangka peluncuran bukunya yang berjudul “Di Bawah Tiga Bendera” pada hari Kamis
tanggal 10 November 2015, dan sekaligus menjadi pembicara pada kuliah umum
tentang “Anarkisme dan Nasionalisme” di Fakultas Ilmu Budaya – Universitas Indonesia,
Depok. Buku tersebut adalah terjemahan dari Under
Three Flags: Anarchism and the Anti-Colonial Imagination yang terbit tahun
2005. Kesediaan Pak Ben ini dianggap sangat istimewa, karena konon sebelumnya
Pak Ben selalu menolak untuk diundang ke UI, karena menurutnya UI adalah
loyalis Orde Baru.
Dalam
wawancaranya dengan Majalah Loka setelah kuliah umum di UI tersebut, Pak Ben “mengeluhkan”
bahwa generasi muda Indonesia sekarang sudah terlalu asik dengan dirinya
sendiri. Pak Ben juga mengkritisi kecenderungan studi doktoral saat ini yang
dominan tentang kajian Islam, dan minim tentang tema lainnya. Menurut Pak Ben
ada kemalasan intelektual, kemiskinan kreativitas dan tidak adanya konsep baru
tentang Indonesia ke depan seperti yang terjadi di dekade 1960-an.
Barangkali
memang sudah takdirnya bahwa kuliah umum dan wawancara tersebut menjadi pesan
terakhir Pak Ben sebelum meninggal dunia dua hari kemudian. Meskipun demikian,
dalam suasana duka ini, tampaknya justru semakin terlihat jelas bahwa Pak
Ben memang disukai dan banyak kawan di Indonesia. Umumnya mereka mengenang Pak
Ben sebagai sosok yang bersahaja, ramah dan senang bercanda. Dari berbagai
sumber di media massa dan media sosial, tergambarkan kesan para kolega, teman,
atau orang yang pernah berinteraksi dengan beliau. Ada yang menganggap meskipun
‘jago nulis’ Pak Ben bukanlah
pembicara yang asik karena gaya bicaranya yang monoton. Ada juga yang bilang
bahwa meskipun sudah berusia lanjut, Pak Ben ini ‘kagak ada matinye’ karena masih terus beraktivitas mulai dari
menulis biografi, menerjemahkan cerita pendek karya novelis Indonesia, dll. Ada
juga yang mengajak untuk mengambil teladan dari sikap intelektualitas Pak Ben
yang berani untuk menjelajahi wilayah dan isu yang baru, serta berani berbeda pendapat dan melawan arus dalam mencari
kebenaran ilmiah.
Pak Ben memang sudah meninggal, tapi seperti sebuah ungkapan Yunani “verba
volant, scripta manent,” bahwa kata-kata bisa hilang tertiup angin,
namun tulisan akan “abadi.” Tariq
Ali dari Verso Publishing menyebutkan bahwa segera dalam beberapa waktu ke
depan pihaknya akan menerbitkan memoir/biografi
Pak Ben yang telah selesai disusunnya berjudul “A Life Beyond Boundaries,” yang untuk pertama kali akan
dipublikasikan di Jepang. Memoir ini bersama
semua karya yang pernah ditulisnya akan membuat pemikiran Pak Ben menjadi “abadi”
bagi semua murid dan pembaca karyanya.
Selamat datang di “keabadian” Pak Ben…
----------
Sumber:
- Anderson, Benedict R. O’G. (1972). Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance, 1944-1946. Cornell University Press, Ithaca.
- Anderson, Benedict dan Audrey Kahin (1982). “Interpreting Indonesian Politics: Thirteen Contributions to the Debate,” pada Cornell Modern Indonesia Project Southeast Asia Program, Publication No. 62, 1982. http://cmip.library.cornell.edu/
- Anderson, Benedict R. O’G. (1992). “Long-Distance Nationalism: World Capitalism and the Rise of Identity Politics,” pada The Wertheim Lecture 1992.
- Anderson, Benedict (1998). The Spectre of Comparisons: Nationalism, Southeast Asia, and the World. Verso, London.
- Anderson, Benedict (1999). “Nationalism Today and in the Future,” pada New Left Review I/235 May-June 1999.
- Anderson, Benedict (2000). “Petrus Dadi Ratu,” pada New Left Review3, May-Jun 2000.
- Anderson, Benedict (2001). “Western Nationalism and Eastern Nationalism,” pada New Left 9, May-Jun 2001.
- Anderson, Benedict (2001). “Imagining East Timor,” pada Lusotopie 2001: 233-239.
- Anderson, Benedict (2004). “The World of Sergeant-Major Bungkus’” pada Indonesia 78, October 2004.
- Anderson, Benedict (2004). “The Rooster’s Egg: Pioneering World Folklore in the Philippines,” pada Chrisyopher Prendergast (Ed.), Debating World Literature, Verso, London.
- Anderson, Benedict (2005). Under Three Flags: Anarchism and the Anti-Colonial Imagination. Verso, London.
- Anderson, Benedict (2006). Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism. Reised Edition. Verso, London.
- Anderson, Benedict R. O’G. (2006). Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia. Equinox Publishing, Jakarta.
- Anderson, Benedict (2008). “Exit Suharto: Obituary for a Mediocre Tyrant,” pada New Left 50, Mar-Apr, 2008.
- Anderson, Benedict R. O’G. dan Ruth T. McVey (2009). A Preliminary Analysis of the October 1, 1965 Coup in Indonesia. (with the assistance of Frederick P. Bunnell). Equinox Publishing, Singapore.
- Anderson, Benedict (2013). The Age of Globalization: Anarchists and the Anticolonial Imagination. Verso, London.
- Balakrishnan, Gopal (1999). Mapping the Nation. With Introduction by Bennedict Anderson. Verso, London.
- Chong, Terence (2009). “Nationalism in Southeast Asia: Revisiting Kahin, Roff, and Anderson,” pada Journal of Social Issues in Southeast Asia, Vol. 24, Number 1, April 2009, pp.1-17.
- Hui, Yew-Foong (2009). “The Most Influential Books of Southeast Asian Studies,” pada SOJOURN, Journal of Social Issues in Southeast Asia, Volume 24, Number 1, April 2009, pp.vii-xi.
- McCleery, Alistair and Benjamin A. Brabon (Eds.) (2007). The Influence of Benedict Anderson. Merchiston Publishing, Edinburgh.
- http://www.loka-majalah.com/sejenak-bersama-ben-anderson/
- http://www.versobooks.com/blogs/2393-benedict-anderson-1936-2015
- http://www.britannica.com/biography/Benedict-Anderson
- http://www.biography-center.com/biographies/20677-Anderson_Benedict.html
- http://www.cnnindonesia.com/nasional/20151213114154-20-97864/indonesianis-benedict-anderson-wafat-di-malang/
- http://www.cnnindonesia.com/nasional/20151213180149-21-97899/ben-anderson-tidak-ada-duanya/
- http://nasional.kompas.com/read/2015/12/13/13473751/Indonesianis.Benedict.Anderson.Meninggal.Dunia.di.Malang
- http://www.merdeka.com/peristiwa/cerita-ben-anderson-tak-mau-datang-ke-kampus-ui-yang-pro-orde-baru.html
- http://m.news.viva.co.id/news/read/710736-benedict-anderson-tak-ingin-dikremasi-di-ruang-vip
- http://ekakurniawan.com/journal/obituari-benedict-anderson-1936-2015-8210.php
- http://geotimes.co.id/ben-anderson-yang-saya-kenal/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar