Candra Kusuma
12 Desember 2015, seorang Indonesianis asal AS Benedict Anderson,
meninggal dunia di Malang – Jawa Timur (lihat "Benedict
Anderson: Cinta (dan) Mati (di) Indonesia"). Kata
“Indonesianis” (dari bahasa Inggris: “Indonesianist”)
menjadi sering terdengar lagi. Saya jadi tergoda buat membaca lagi tentang
Indonesianis ini.
Indonesianis
itu apa sih?
Menyangkut soal definisi, rasanya
memang selalu tidak ada yang baku dalam ilmu sosial. Dalam kamus A Comprehensive Indonesian-English
Dictionary (Ohio University Press - Athens, 2010), kata ‘Indonesianist’ diartikan sebagai “ahli
masalah-masalah Indonesia” atau “ahli Indonesia.” Saya kira dari pengertian
ini, istilah Indonesianis setara dalam pengertian umum dengan istilah
“Sinologist” (ahli tentang Cina), “Arabist” (ahli tentang Arab), “Americanologist”
(ahli tentang Amerika), dll.
Tapi pengertian itu bisa jadi
terlalu luas juga, karena mencampurkan antara orang asing yang tahu banyak hal tentang Indonesia, dengan yang pernah meneliti dan menulis tentang Indonesia, dan dengan para peneliti dan pengajar yang memang spesialisasinya tentang Indonesia. Eep
Saefulloh Fatah (2004:43-45) kemudian membedakan pengertian
“pengkaji asing tentang Indonesia” dengan “Indonesianis.” Menurut Eep, ada
empat kelompok pengkaji asing tentang Indonesia, yaitu:
- Para pelaku politik (biasanya para Duta Besar) yang karena pekerjaannya dapat melakukan melakukan pengamatan dan menuliskan hasilnya dalam bentuk buku atau memoar tentang Indonesia. Contohnya: Marshall Green (“Indonesia: Crisis and Tranformation 1965-1968”), dan Howrad P. Jones (“Indonesia: The Possible Dream”);
- Orang-orang dari kelompok profesi tertentu (umumnya jurnalis) yang karena interaksinya dengan Indonesia sempat menulis panjang lebar (tapi belum tentu mendalam) tentang Indonesia. Contoh dari kalangan jurnalis: Cindy H. Adams (“Sukarno: An Autobiography as Told to Cindy Adams, dan My a Friend the Dictator”), David Jenkins (“Suharto and His Generals”), Michael R.J. Vatikiotis (“Indonesian Politics under Soeharto”), dan Adam Schwarz (“A Nation in Waiting: Indonesia in 1990s”). Contoh dari kalangan aktivis organisasi non-pemerintah: Sidney Jones (''It Can't Happen Here: A Post Khomeini Look at Indonesia Islam'');
- Orang-orang yang berlatar belakang sebagai akademisi-intelektual, dan pernah menulis tentang Indonesia, namun tidak secara khusus menjadikan Indonesia sebagai lahan kajiannya. Contohnya: Brian May (The Indonesian Tragedy), John Bresnan (“Managing Indonesia: The Modern Political Economy”), Clark D. Neher (“Democratisation in Southeast Asia''), Yoshihara Kunio (“The Rise of Erzats Capitalism in Southeast Asia”), atau Donald W. Wilson (“The Long Journey: From Turmoil to Self-Sufficiency”);
- Orang-orang berlatar belakang akademisi-intelektual yang mengamati Indonesia secara serius dan terus-menerus, menjadikan Indonesia sebagai lahan kajian akademis mereka. Orang-orang seperti George McTurnan Kahin, Daniel S. Lev, Benedict RO'G Anderson, Herbert Feith, R. William Liddle, Harold Crouch, Robert W. Hefner, Donald K. Emmerson, Lance Castles, Jamie A.C. Mackie, Richard Robison, adalah beberapa yang termasuk dalam kategori ini.
Dalam pandangan Eep,
hanya kelompok keempat yang sesungguhnya
dapat disebut sebagai Indonesianis. Karena menurutnya hanya para
akademisi-intelektual itulah yang memang benar-benar menjadikan Indonesia sebagai
objek kajian dan penelitian yang tetap/permanen, yang selanjutnya hasil kajian mereka
itu ditulis dalam bentuk produk kajian yang serius, baik buku maupun jurnal
ilmiah. Bagi Eep, hanya kelompok keempat tadi sebetulnya yang dapat ditelusuri perjalanan
dan jejak teoritisnya. Dalam hal ini, Ariel Heryanto (TEMPO, 2011)
tampaknya memiliki pandangan yang senada dengan Eep. Dalam tangkapan saya, Indonesianis menurut
Ariel adalah para pengkaji tentang Indonesia yang berasal dari luar Indonesia,
yang memiliki minat khusus tentang seluk beluk Indonesia, dan melakukan
penelitian serta pengajaran tentang Indonesia.
Kaitan antara minat, posisi di perguruan tinggi dan spesialiasi isu tentang Indonesia ini disinggung oleh Max R. Lane (penulis “Unfinished Revolution: Indonesia Before and After Suharto,” lihat "Indonesia Bangsa yang Belum Selesai?"), seorang akademisi-aktivis asal Australia yang banyak mengamati Indonesia. Dalam wawancara dengan Indoprogress tahun 2013, Lane memaknai Indonesianis sebagai “orang yang secara khusus mendalami Indonesia secara akademis.” Karenanya, meskipun publik umumnya menganggap Lane sebagai seorang Indonesianis, dia sendiri ragu apakah sebutan Indonesianis sepenuhnya cocok untuknya, sebab ketika meneliti tentang Indonesia dia dalam posisi di luar universitas. Sementara, menurut Lane, mayoritas orang yang dikenal sebagai Indonesianis sudah masuk dunia universitas sejak muda dan menjadikannya sebagai karier dan profesi.
Kaitan antara minat, posisi di perguruan tinggi dan spesialiasi isu tentang Indonesia ini disinggung oleh Max R. Lane (penulis “Unfinished Revolution: Indonesia Before and After Suharto,” lihat "Indonesia Bangsa yang Belum Selesai?"), seorang akademisi-aktivis asal Australia yang banyak mengamati Indonesia. Dalam wawancara dengan Indoprogress tahun 2013, Lane memaknai Indonesianis sebagai “orang yang secara khusus mendalami Indonesia secara akademis.” Karenanya, meskipun publik umumnya menganggap Lane sebagai seorang Indonesianis, dia sendiri ragu apakah sebutan Indonesianis sepenuhnya cocok untuknya, sebab ketika meneliti tentang Indonesia dia dalam posisi di luar universitas. Sementara, menurut Lane, mayoritas orang yang dikenal sebagai Indonesianis sudah masuk dunia universitas sejak muda dan menjadikannya sebagai karier dan profesi.
Ada pengertian lain yang buat
saya rasanya lebih romantis tentang istilah Indonesianis ini. Majalah TEMPO Edisi
14-10 November 2011 pernah membuat laporan khusus mengenai Indonesianis, peran,
dan pasang surutnya dalam mengkaji Indonesia. Saya sebut romantis karena TEMPO
memasukkan unsur “perasaan” dalam pengertian Indonesianis, yaitu “para sarjana
luar negeri yang sangat mencintai Indonesia.” Tentu saja saya tidak tahu apakah
benar mencintai, dan seberapa besar cinta para Indonesianis itu terhadap
Indonesia. Tetapi, unsur “mencintai” inilah yang saya kira membedakan dengan
para “Orientalis” yaitu para pengkaji,
peneliti dan pengajar Indonesia dan dunia Timur pada umumnya, yang kerap
memberikan stigma dan stereotype
tertentu mengenai “obyek kajiannya,” dan umumnya ditujukan untuk kepentingan
kolonialisme dan imperialisme oleh Barat terhadap Timur. Bagi Indonesia, Snouck
Hurgronje mungkin contoh paling pas tentang Orientalis tadi.
Indonesianis di Era Perang Dingin dan
Orde Baru
Kajian tentang Indonesia oleh peneliti asing dimulai sejak
awal Indonesia merdeka. Peneliti paling awal diantaranya adalah George McT. Kahin dari
Universitas Cornell di AS, yang menulis disertasi berjudul ”Nationalism and Revolution in
Indonesia”
(1952). Kahin kemudian mendirikan Cornell Modern Indonesia Project (CMIP) pada
tahun 1954, yang dapat disebut sebagai lembaga kajian pertama khusus tentang
Indonesia. Namun, menurut TEMPO, golden age bagi studi Indonesia baru terjadi pada dekade 1970-an, di mana
banyak peneliti tentang Indonesia yang datang dari Perancis, Amerika, Australia
Belanda, Jerman dan Rusia. Selain itu berdiri juga pusat-pusat kajian
Indonesiadi berbagai perguruan tinggi di negara tersebut, yang ditandai pula
dengan maraknya tempat pembelajaran bahasa Indonesia oleh para mahasiswa dan
peneliti yang tertarik untuk mendalami berbagai isu tentang Indonesia.
TEMPO
menyebutkan, bahwa para peneliti asing yang mengkaji Indonesia umumnya dikelompokkan
dalam tiga atau empat generasi. Generasi
pertama adalah yang datang di masa perjuangan kemerdekaan Indonesia,
seperti George McTurnan Kahin dan Clifford Geertz. Generasi kedua muncul di masa 1960-an, seperti Benedict Anderson,
William Liddle, Daniel S. Lev, dan Herbert Feith. Generasi ketiga hadir di era 1970-an dan sesudahnya, seperti Robert
W. Hefner dan Takashi Shiraishi. Sementara mereka yang datang ke Indonesia pada
1980-an ke atas, dapatlah kita masukkan sebagai Indonesianis generasi keempat. Saya kira, mereka
yang datang di tahun 2000-an mungkin juga dapat disebut sebagai generasi kelima.
Jika dilihat dari asal negaranya, para Indonesianis yang menonjol, yaitu:
- Dari Perancis, diantaranya ada Denys Lombard (yang karyanya antara lain berjudul “Nusa Jawa Silang Budaya”), Christian Pelras (“Manusia Bugis”), Pierre Labrousse (“Kamus Umum Indonesia-Perancis”), Claude Guillot (“Change of Regime and Social Dynamics in West Java: Society, State and theOuter World of Banten, 1750-1830”), Marcel Bonneff, Henri Chambert-Loir (“The Potent Dead: Ancestors, Saints and Heroes in Contemporary Indonesia”), Claudine Salmon (istri Lombard, “Sastra Indonesia Awal: Kontribusi Orang Tionghoa”), Yves Manguin (“A Bibliography for Sriwiayan Studies”), Chambert Loir (Serpihan Sejarah Bima, Kerajaan Bima dalam Sastra dan Sejarah), dan Francois Raillon (“Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia”).
- Dari Amerika Serikat, di Universitas Cornell terutama adalah George McTurnan Kahin (dengan karya diantaranya “Nationalism and Revolution in Indonesia”), Benedict Richard O’Gorman Anderson (“Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance, 1944-1946”), Ruth McVey (“The Rise of Indonesian Communism”), Herbert Feith (“The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia”), Daniel S. Lev (“The Transition to Guided Democracy: Indonesian Politics 1957-1959’), Harold Crouch (“The Army and Politics in Indonesia”). Dari Universitas Harvard, terutama Clifford Geertz (“The Religion of Java”). Dari Universitas Ohio ada William Liddle (“Ethnicity, Partysm and National Integration: An Indonesian Case Study”).
- Sementara dari Australia, Indonesianis dari Universitas Monash terutama adalah Herbert Feith (“The Decline of Constitutional Democracy”), Lance Castles, John Legge (“Soekarno: A Political Biografi”). Dari Universitas Murdoch ada David T. Hill, dan Carol Warren. Di The Australian National University, ada Harold Crouch (“The Army and Politics in Indonesia”), Edward Aspinall (“Opposing Suharto: Compromise, Resistance, and Regime Change in Indonesia”), Anthony Reid (“The Blood of the People: Revolution and the End of Traditional Rule in Northern Sumatra”). Di University of New South Wales (UNSW) ada David Reeve (“Golkar of Indonesia: An Alternative to the Party System”). Dari Universitas Sydney ada Keith Foulcher (“Pujangga Baru: Kesusasteraan dan Nasionalisme di Indonesia 1933-1942”).
- Dari Belanda yang paling menonjol dari Universitas Leiden yaitu A. Teew (“Modern Indonesian Literature”), dan E.M. Uhlenbeck. Dari perguruan tinggi lainnya ada Henk Schulte Nordholt (“The Spell of Power: Sejarah Politik Bali 1650-1940 “; “Renegotiating Boundaries: Local Politics in Post-Soeharto Indonesia”), Hein Steinhauer (tim dalam “KamusBesar Bahasa Indonesia edisi keempat”; tim “Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia”), W.F. Stuterheim (“Studies in Indonesian Archeology”), dan Fritjof Tichelman (“The Social Evolution of Indonesia: The Asiatic Mode of Production and Its Legal”), dll.
- Dari Jerman, diantaranya ada Vincentius Houben (“Kraton and Kumpeni. Surakarta and Yogyakarta 1830-1870”).
- Dari Inggris, diantaranya adalah Peter Carey (“The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and End of an Old Older in Java 1785-1855”).
Bagi mereka, Indonesia mungkin tampak “seksi.” Sebagai
negara yang baru merdeka, kaya dengan etnik dan budaya, juga memiliki dinamika
dan konflik sosial, ideologi dan agama yang tinggi, terutama seputar peristiwa
G30S yang diikuti dengan kekerasan dan pembunuhan massal. Terlebih dalam
konteks Perang Dingin dan perebutan pengaruh terhadap akses ke sumber daya alam
Indonesia, membuat banyak pemerintah asing bersedia menggelontorkan anggaran
dalam jumlah besar untuk membiayai lembaga kajian dan kegiatan para peneliti
mereka di Indonesia. Informasi dan temuan dari kajian tersebut tentu saja juga
dimanfaatkan oleh pemerintah negara mereka untuk memahami, memetakan dan
membaca kecenderungan akan perubahan sosial, politik dan ekonomi pada masyarakat, pemerintah dan negara Indonesia.
Sementara bagi peneliti dan masyarakat Indonesia
sendiripun sedikit banyak keberadaan para Indonesianis tersebut juga ada
gunanya. Menurut Ariel Heryanto (TEMPO, 2011) semasa Orde Baru berjaya, berbagai kajian kritis tentang
peristiwa 1965 atau Timor Timur, Aceh, serta Papua hampir tidak tersedia di
Indonesia. Dengan adanya penerbitas hasil penelitian asing, bangsa Indonesia sendiri
dapat memperoleh kesempatan mengetahui dan memahami Indonesia secara lebih
luas.
Tapi, sebetulnya, apa sih
kelebihan pada Indonesianis itu dibanding peneliti asal Indonesia sendiri? Saya
setuju dengan Eep, bahwa perbedaannya bukan pada kecerdasan, tapi lebih ke
soal-soal dukungan sumber daya dan kebijakan
semata. Dalam pandangan Eep (2004:45-46), dibandingkan dengan pengkaji domestik asal Indonesia sendiri, umumnya para Indonesianis itu lebih terdukung
aktualisasi akademis-keilmuannya oleh beberapa hal., yaitu: (1) Dukungan infrastruktur
riset yang lebih baik, terutama dalah hal sumber daya finansial dan
institusional; (2) Tradisi riset yang tidak saja memberi perhatian pada riset
kebijakan tetapi juga riset-riset mendasar bagi pengembangan teori (theory
building); (3) Umumnya mereka memiliki kemampuan teoritisasi yang baik; (4)
Dalam banyak kasus, mereka juga memiliki stok kasus-kasus-komparatif yang lebih
kaya; (5) Umumnya para Indonesianis memiliki keberanian dalam membuat kesimpulan,
karena mereka tidak memiliki
kendala politik untuk itu.
Tetapi nasib para peneliti asing
itu juga selalu baik di Indonesia. Akibat “Cornell Paper” terkait peristiwa
G30S yang tidak berkenan bagi pemerintah Orde Baru, Kahin dan Benedict Anderson
sempat dicekal masuk ke Indonesia. Bahkan di negaranya sendiri Kahin
dituduh sebagai simpatisan komunis, dan paspornya sempat dicabut selama lima
tahun. Kahin baru dapat datang kembali ke Indonesia tahun 1991, sementara Ben
Anderson baru pada tahun 1999 setelah Orde Baru ambruk. Tetapi uniknya di sisi
lain Kahin juga dianggap berjasa dalam
memperkenalkan Indonesia secara ilmiah di mata dunia. Kahin memperoleh
penghargaan Bintang Jasa Pratama pada tahun 1991 dari pemerintah Indonesia, atas jasanya
sebagai perintis kajian Indonesia di Amerika Serikat. Selain Kahin,
Indonesianis lain yang juga memperoleh penghargaan serupa adalah Clifford Geertz.
Menurunnya kajian tentang Indonesia
Pada tahun 2000-an, pamor kajian
Indonesia di universitas-universitas luar negeri –khususnya di Amerika,
Australia, Belanda-- mulai meredup. Minat mahasiswa menurun drastis. Pusat
pengajaran bahasa Indonesia sepi peminat. Sejumlah pusat kajian Indonesia
bahkan jurusan Indonesia di sejumlah perguruan tinggi itupun kembang-kempis dan
banyak yang ditutup. Termasuk Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di
Universitas Leiden – Belanda yang dianggap sebagai institusi paling awal,
paling terkemuka, paling berpengaruh dan menjadi barometer kajian bahasa dan
sastra daerah di Indonesia. Bahkan KITLV (Koninklijk Instituut voor
Taal-, Land- en Volkenkunde)
di Belanda yang menjadi pusat dokumentasi tentang Indonesia juga terancam
tinggal nama saja.
Dari TEMPO dapat diketahui sejumlah
alasan yang mempengaruhi turunnya minat terhadap kajian Indonesia dan kegiatan
para Indonesianis tersebut, diantaranya:
- Perubahan trend. Mahasiswa di Amerika dan Eropa lebih tertarik mengambil bahasa asing yang menjadi tren saat ini, misalnya bahasa Cina, Jepang atau Korea;
- Masalah anggaran pendidikan akibat krisis ekonomi dalam negeri;
- Orientasi pemerintah yang berubah. Contohnya ketika John Howard yang konservatif menjadi Perdana Menteri Australia tidak nyaman dengan kebijakan mendekati negara-negara tetangga Asia, akibatnya dukungan anggaran menjadi berkurang untuk kajian Indonesia/Asia. Hal lain, dengan berakhirnya Perang Dingin, Amerika juga mungkin menganggap Indonesia “tidak sepenting dulu lagi,” sehingga dukungan terhadap lembaga kajian dan penelitian tentang Indonesia menjadi berkurang;
- Kebijakan pemerintah terkait isu keamanan. Setelah peristiwa Bom Bali, banyak negara khawatir dengan keselamatan warganya, dan kerap mengeluarkan travel warning yang menyebabkan minat mahasiswa/peneliti berkurang;
- Isu yang menguat adalah terorisme dan Islam, terutama setelah “peristiwa 11 September.” Sementara Islam di Indonesia cenderung kehilangan “kekhasannya” akibat pengaruh Arabisasi. Islam Indonesia-pun dianggap sebagai bagian dari Islam Arab pada umumnya;
- Meninggal dunia atau pensiunnya para Indonesianis senior, sehingga jurusan dan pusat kaiian Indonesia di universitas kehilangan patron dan pengaruh.
- Di Amerika, sejak sekitar tahun 1990-an, penelitian doktoral khususnya di bidang ilmu politik harus dengan perbandingan dua negara atau dengan penekanan pada studi kuantitatif. Akibatnya sulit membangun spesialisasi di kalangan peneliti. Penelitian tentang Indonesia juga jadi tidak semendalam masa-masa sebelumnya;
- Ambruknya Orde Baru dan terjadinya transisi demorasi dan desentralisasi di Indonesia berangsur-angsur membuat Indonesia tidak “se-eksotis” dulu lagi dari sisi politik;
- Masyarakat Indonesia saat ini sangat berubah dari dekade 1960-an dan 1970-an. Dipandang tidak mudah membuat penelitian dengan kompleksitas yang semakin besar ini. Indikasinya adalah, belum ada lagi hasil kajian yang “fenomenal” tentang masyarakat Indonesia saat ini seperti di era Kahin, Geertz atau Feith.
- Menurut Ariel Heryanto, sedikit ahli tentang Indonesia yang kini masih tersisa tercerai-berai di berbagai jurusan studi berdasarkan kotak-kotak disiplin tradisional (misalnya sejarah, ekonomi, antropologi, linguistik, atau ilmu politik) dengan tuntutan mengabdi pada disiplin masing-masing, dan bukan kajian wilayah tertentu. Saya pikir ada benarnya, karena untuk seorang Indonesianis mungkin diperlukan kajian yang lebih lintas disipliner.
Menyikapi kondisi tersebut, Ariel
Heryanto berpendapat bahwa itu
tidak perlu diratapi berlebihan di Indonesia. Terutama karena pada dasarnya hampir
semua kajian tentang Indonesia itupun punya cacat mendasar secara metodologis
dan moral. Cacat tersebut terjadi jika Indonesia hanya dijadikan obyek
penelitian semata, dan bukan mitra kerja peneliti yang sejajar dan setara
dengan para peneliti asing.
Lebih mendasar lagi adalah apa yang diingatkan oleh Eep
(2004:47), bahwa masyarakat Indonesia perlu proporsional dalam memandang para
Indonesianis tersebut. Sembari tetap memanfaatkan hasil kajian mereka tentang
Indonesia sebagai bahan dalam memahami kondisi Indonesia sendiri dari kaca mata
asing, masyarakat Indonesia juga tidak perlu memandang mereka sebagai penafsir
paling mumpuni, objektif dan sahih tentang Indonesia. Hasil kajian mereka tetap
harus dicermati dan dikritisi. Karena jika tidak, bangsa Indonesia mungkin saja
jatuh pada kondisi seperti yang dilukiskan oleh puisi satir yang saya temukan
dalam sebuah mailing-list mahasiswa
Indonesia di luar negeri, sbb.:
SANG INDONESIANIS
Bagai dewa menundukkan negeri
cukup dengan mata jeli
dengan dollar di pundi-pundi.
Siapa peduli rakyat mati
hanyalah data sosial di kertas putih.
Dan para ilmuwan negeri
tak lebih daripada bebek-bebek
penurut di dalam kudangan sang nabi.
Oleh: Tangkisan Letug
6 Juli 2004
(Sumber: Mailing List|Milis Nasional Indonesia PPI-India)
----------
Lepas dari soal itu, saya justru jadi bertanya pada diri sendiri, apakah bangsa kita punya pakar/spesialis
kajian negara lain ataukah tidak? Saya tidak tahu. Dengan kondisi pendidikan
tinggi di Indonesia yang serba terbatas, dan keluhan dari para dosen/peneliti
di perguruan tinggi yang kesulitan anggaran untuk penelitian di dalam negeri dan
lebih disibukkan oleh administrasi pelaporan anggaran tersebut, rasanya mungkin
memang belum ada. Sebagai rakyat dan orang biasa, saya membayangkan betapa hebatnya harga diri bangsa Indonesia jika
ada banyak dosen-peneliti dari Indonesia yang menjadi Sinologist, Americanologist,
Arabist, dll. Untuk itu, agar bisa sampai ke sana, saya usul untuk dapat
dipopulerkan satu ungkapan baru, yaitu: “Bangsa yang besar adalah bangsa yang punya
banyak peneliti tentang negara lainnya”… Boleh?
-----------
Sumber:
- R. Eep Saefulloh Fatah (2004). Mencintai Indonesia dengan Amal: Refleksi Atas Fase Awal Demokratisasi. Republika, Jakarta.
- Majalah TEMPO (2011). “Republik di Mata Indonesianis: Pasang-surut Peran Peneliti Asing Dalam Sejarah Indonesia,” Liputan Khusus, Edisi 14-20 November 2011.
- A Comprehensive Indonesian-English Dictionary. Second Ed. Ohio University Press - Athens, 2010.
- http://www.freelists.org/post/ppi/ppiindia-SANG-INDONESIANIS
- Wawancara DR. Max R. Lane: Sistem yang Berlaku Ini Tidak Waras. 15 April 2013. LBR Edisi IX, 2013. Lihat http://indoprogress.com/2013/04/dr-max-r-lane-sistem-yang-berlaku-ini-tidak-waras/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar