Oleh: Candra
Gagasan tentang keperantaraan (intermediaries) bukanlah sebuah konsep yang sama sekali baru. Secara teoritik, dalam sosiologi dikenal adanya konsep perantara (intermediary), seperti intermediary associations (Turner, 2006; Abercrombie, Hill & Turner, 2006), intermediary groups dan intermediary bodies (Boudon & Bourricaud, 1989) yang umumnya dimaknai sebagai aktor yang menghubungkan antara satu kelompok masyarakat dengan aktor dan entitas sosial lainnya. Sementara dalam ilmu ekonomi, konsep perantara secara historis dekat dengan konsep middleman, third party, broker, atau mediator (Howells, 2006; Lowitt, 2013; Wherry & Schor, eds., 2015). Dalam pengertian awam, istilah perantara biasanya digunakan untuk menyebut peran tengkulak, makelar atau calo, yang kerap dikonotasikan negatif, karena umumnya lebih berorientasi mengambil keuntungan sepihak semata, dan hanya memperpanjang rantai distribusi informasi/produk/jasa, yang dalam tinjauan politik-ekonomi disebut sebagai “perantara predator” (predatory intermediaries) (lihat Lewis, 2014; Kostakis & Bauwens, 2014). Belakangan, istilah perantara ini memiliki pemaknaan yang agak berbeda, dan banyak dipengaruhi oleh perkembangan teori modernisasi (Wolfe, 2006).
Kelompok masyarakat, lembaga atau organisasi dan bahkan perusahaan atau
sebuah negara tidak selalu memiliki sumberdaya dan kapasitas untuk secara
mandiri mengupayakan pencapaian tujuan mereka. Karena itu umumnya mereka
memerlukan dukungan dari pihak lain yang berperan sebagai penghubung dan
perantara untuk membantu dalam mencapai tujuan mereka tersebut secara lebih
efektif (Stanzon, 2003). Dalam hal ini perantara merupakan individu,
organisasi, jaringan atau ruang yang menghubungkan orang, ide/gagasan dan
sumberdaya (lihat www.socialinnovator.com). Perantara adalah mediator di antara beberapa kelompok dan memfasilitasi
kolaborasi untuk mencapai tujuan bersama (Backhaus, 2010).
Sebagai contoh, dalam dunia perdagangan, intermediasi adalah proses
transfer dana dari pemilik dana kepada peminjam (Liou, 1998). Dalam dunia
perdagangan, perantara umumnya berperan sebagai penghubung antara penjual dan
pembeli (Battisti & Williamson, 2015). Atau dalam proses mediasi, seperti
mediator yang menjadi pihak ketiga ketika ada perundingan atau negosiasi antara
beberapa pihak. Sementara dalam proses fasilitasi kelompok masyarakat,
perantara menjadi penghubung atau pendukung dalam proses pemberdayaan tersebut.
Oleh karena itu, perantara dapat berperan lintas level dalam hal geografis
dan yurisdiksi, termasuk dengan kelompok informal, kelompok masyarakat, kota,
provinsi dan lintas negara. Mereka juga dapat berperan di ranah publik, privat
dan non-pemerintah (Briggs, 2003; Schorr, Farrow & Lee, 2010). Sebagian
menyebutnya sebagai perantara lokal, regional, nasional dan internasional
(Anglin ed., 2004).
Van der Meulen, Nadeva & Braun (2005) mendefinisikan organisasi
perantara (intermediary organisation)
berdasarkan posisi struktural mereka, yaitu "perantara" adalah setiap
organisasi yang menengahi (memediasi) hubungan antara dua atau lebih aktor
sosial (organisasi, institusi, dan lain-lain). Oleh karena itu, setiap
konseptualisasi (penteorian) organisasi perantara harus menjelaskan dua hal
tersebut, tentang organisasi/institusi dan hubungan yang terjalin didalamnya.
Kedua hal tersebut saling berhubungan dan saling bergantung atau mempengaruhi. Namun
demikian, menurut Stanzon (2003) perantara tidak hanya merujuk pada satu
individu, kelompok atau lembaga. Perantara juga dapat bersifat kolaborasi
antara dua atau lebih lembaga untuk membentuk sebuah proyek atau program yang
menjadi kepentingan bersama.
Penggunaan istilah, bentuk dan kegiatan perantara sangat beragam, antara
lain:
a) Perantara
keuangan (financial intermediaries),
contohnya lembaga pemberi pinjaman untuk pengembangan usaha; lembaga keuangan
mikro dalam penanggulangan kemiskinan (diantaranya lihat ADB, 2002), dan
dukungan lembaga keuangan internasional dalam pengembangan usaha kecil dan
menengah di negara berkembang (Dalberg Global Development Advisors, 2011);
b) Perantara
informasi (information intermediaries),
contohnya knowledge broker yang
melakukan penelitian, kajian dan diseminasi dalam pengembangan pertanian
(Andreoni & Ha-Joon, 2014; Addom, 2015);
c) Perantara dalam
melakukan evaluasi lembaga (Stanzon, 2003);
d) Perantara sebagai
aktor yang melakukan inovasi (Bendis, Seline & Byler, 2008; Backhaus, 2010;
Smentyna, 2015);
e) Perantara yang
mendukung kegiatan penelitian (Anthony dan Austin, 2008; Hitchman, 2010);
f) Perantara sebagai
pendukung peningkatan kapasitas, seperti memberikan asistensi teknis dalam
bentuk pelatihan, pendampingan dan masukan (Stanzon, 2003);
g) Perantara
pengembangan masyarakat (community
development intermediaries), contohnya peran NGO sebagai lembaga pendukung dalam pemberdayaan masyarakat dan
peningkatan kualitas hidup masyarakat kemiskinan, termasuk dalam pengembangan
usaha pengembangan masyarakat atau community
development corporation-CDC yang banyak difasilitasi oleh pihak lain (lihat de Vita & Fleming, 2001;
Walker, 2002; Anglin & Montezemolo, dalam Anglin ed., 2004; Rodrigez,
Pereira & Brodnax, dalam Maurrasse & Jones eds., 2004; Frisch & Servon, 2006; Anglin, 2011; Baruah,
2015);
Weinberg, Pellow & Schnaiberg
(2000:104) mengutip istilah mediating institution dari Lamphere
(1992). Contohnya adalah peran universitas sebagai mediating institution dalam kolaborasi antara dewan
lingkungan/komunitas dengan dewan kota di USA (Kathi, Cooper & Meek, 2007).
Lembaga semacam universitas ini disebut sebagai lembaga nirlaba sektor publik
yang merupakan perantara antara sektor publik dan ekonomi sosial (Quarter &
Mook (2010).
Dalam konteks pengembangan komunitas, perantara dimaknai sebagai organisasi
yang mendukung satu atau beberapa organisasi/komunitas dengan sejumlah cara, seperti:
membantu dalam meningkatkan keterampilan dan keahlian tertentu, pengetahuan,
informasi, perencanaan, analisis, monitoring dan evaluasi, membangun jaringan,
mobilisasi sumberdaya, proses belajar bersama, promosi/sosialisasi publik,
akses ke layanan keuangan/perbankan, dll. (Schorr, Farrow & Lee, 2010).
Aspek pemanfaatan teknologi pendukung (teknologi untuk produksi, pasca
produksi, pengemasan, distribusi dan komunikasi/pemasaran) menjadi bagian
integral dari bentuk dukungan tersebut.
Perantara ini menjembatani banyak fungsi di berbagai level masyarakat. Di USA, lembaga perantara menjadi penghubung antara kalangan akar rumput (grassroots) dengan kaum menengah-atas (grasstops), atau antara orang dan lembaga yang memiliki sumberdaya dan kekuasaan dengan mereka yang sumberdaya dan kapabilitasnya terbatas serta memerlukan dukungan (Briggs, 2003).
Peran perantara dalam proyek-proyek pembangunan dan pengembangan komunitas
adalah melakukan tiga fungsi vital dalam hal, yaitu: (a) Melakukan mobilisasi
modal, termasuk dukungan proyek dan operasi dan pembiayaan pembangunan; (b)
Memberi bantuan teknis dalam pengelolaan keuangan, pengembangan proyek, dan
pembangunan institusi lokal; dan (c) Memberi legitimasi pada kelembagaan
komunitas, meningkatkan kompetensi teknis, dan mengurangi risiko bagi
penyandang dana sektor publik dan swasta (Walker 1993, yang dikutip Liou, 1998).
Karakteristik inti dari perantara adalah: (a) Mereka memperoleh kepercayaan
dari orang-orang dan lembaga dengan siapa mereka bekerja; (b) Memiliki
legitimasi atas peran dan kapasitas mereka untuk melakukan fungsi tertentu
secara umum diakui dan diterima (Schorr, Farrow & Lee, 2010:5). Dalam hal ini, perantara dapat berperan
menambahkan nilai secara tidak langsung, dengan menghubungkan dan mendukung
pihak lain, yaitu dengan memungkinkan pihak lain dapat menjadi lebih efektif.
Perantara dapat bertindak sebagai fasilitator, pendidik masyarakat, pembangun
kapasitas, investor sosial yang mengumpulkan dana, manajer, pembangun koalisi,
mengorganisir kelompok baru, dan banyak lagi (Briggs, 2003).
Pada praktiknya, perantara dapat dan telah memainkan banyak peran dalam
mendukung pengembangan komunitas, seperti membantu dalam melakukan pembinaan,
penelitian, perencanaan, peningkatan kapasitas, dan terkadang juga dalam hal
pendanaan. Dengan demikian, perantara bisa lebih dari sekadar pembantu pasif.
Mereka bisa sangat berpengaruh, membentuk perhatian, menyalurkan dana,
memberikan dukungan politik, dan sumber daya berharga lainnya. Pengaruh
tersebut dapat digunakan secara efektif atau tidak efektif, dan bahkan dapat
juga disalahgunakan (Briggs, 2003).
Peran
perantara sangat penting khususnya terkait kewirausahaan sosial (social entrepreneurship) dan pengembangan usaha sosial (social enterprise) yang erat kaitannya
dengan aktivitas usaha kecil/mikro yang banyak melibatkan masyarakat miskin.
Menurut Jenner (2016), dalam pengembangan usaha sosial, perantara tidak hanya
dapat memberikan dukungan pendanaan, tetapi juga bantuan konsultasi, jaringan,
pengembangan usaha dan pelatihan (Hines 2005; Lyon & Ramsden 2006; Peattie
& Morley, 2008; Shanmugalingam et al., 2011). Hal ini penting karena usaha
sosial umumnya belum siap memiliki kemampuan memadai dalam investasi dan
membutuhkan dukungan perantara terutama di bidang-bidang tertentu, seperti
strategi dan sumber daya (Sunley & Pinch, 2012).
Segmen
usaha mikro biasanya hanya memiliki sedikit interaksi atau tidak formal dengan
instansi pemerintah. Nyatanya banyak penelitian menunjukkan bahwa usaha
tersebut dapat memainkan peran tidak langsung dalam membangun dan
mempertahankan ekonomi nasional dan lokal dengan membantu menciptakan kondisi
di mana usaha mikro dapat berkembang di sektor ekonomi informal. Dalam hal ini
ekspansi mereka dapat difasilitasi oleh organisasi perantara non-pemerintah (Zuber-Skerritt,
2013).
Oleh
karena itu, perantara juga harus memiliki kapasitas
"transformasional" dan bukan semata-mata berorientasi bisnis dalam
hubungannya dengan sektor yang memenuhi berbagai fungsi yang saling terkait,
seperti peningkatan kapasitas, inovasi, advokasi, penelitian dan pengembangan
kapasitas sektoral (Burkett 2013; Shanmugalingam et al., 2011). Karenanya, para
perantara diharapkan dapat membantu mengembangan potensi "pembentukan
pasar untuk usaha sosial", sehingga kapasitas mereka untuk mendukung aktivitas
jaringan usaha sosial terutama dalam hubungan dengan pembuat kebijakan publik
menjadi sangat penting (Shanmugalingam et al., 2011).
Terkait upaya pemberdayaan masyarakat dan penyelesaian masalah di
komunitas, ada lima tipe lembaga keperantaraan yang dapat diidentifikasi,
yaitu:
a) Pemerintah sebagai perantara (government-as-intermediary),
diantaranya melakukan pembahasan dengan partai politik, memimpin proses
partisipasi (civic process), mendidik
masyarakat, menemukan sumberdaya di dalam dan di luar komunitas. Instansi
pemerintah dan yayasan lokal terkadang melakukan kontrak dengan perantara
eksternal untuk bekerja dengan kelompok masyarakat tapi terkadang mempekerjakan
orang secara internal untuk melakukan hal yang sama;
b) NGO sebagai perantara (civic
intermediaries), yang dapat memainkan sebagian peran yang sama dengan
pemerintah, selain otoritas dalam mensahkan kebijakan dan anggaran publik;
c) Pemberi dana sebagai perantara (funder-intermediaries),
seperti perusahaan atau yayasan amal atau pengumpul dana dari berbagai pihak,
yang menyaring, memvalidasi, mencocokkan dan mengalokasikan dana untuk program
pengembangan masyarakat;
d) Perantara yang fokus pada isu tertentu (issue-focused
intermediaries), yang melakukan penelitian, advokasi, menyusun desain dan
melaksanakan program pelayanan publik atau upaya mengatasi isu publik;
e) Perantara dalam peningkatan kapasitas (capacity-building
intermediaries), yang menekankan pada pengembangan organisasi atau
membangun kemampuan baru di masyarakat (lihat Ferguson, 1999; Briggs, 2003; Cordero-Guzmán
& Auspos, 2006; The U.S. Department of Health and Service Center for
Faith-Based and Community Initiatives, 2008; Delale-O’Connor & Walker, 2012).
Ferguson (1999) membagi perantara dalam tiga level, yaitu: (a) Level 1,
perantara di tingkat komunitas/lokal; (b) Level 2, yaitu para peneliti, analis,
pelaku advokasi dan cendekiawan di tingkat lokal, serta para penyokong dana dan
pembuat kebijakan di tingkat lokal (termasuk pemerintah, yayasan, bisnis dan
bank); (c) Level 3, penyokong dana dan pembuat kebijakan di tingkat nasional
(termasuk pemerintah dan yayasan), serta para peneliti, analis, pelaku advokasi
dan cendekiawan di tingkat nasional.
Secara teoritik, konsep ini dapat dikatakan dekat dengan model Penta Helix
atau Quintuple Helix. Ada banyak versi mengenai model ini, namun pada dasarnya
memiliki kesamaan pandangan bahwa inovasi dan pembangunan memerlukan kolaborasi
dari setidaknya lima jenis stakeholder,
yaitu: pemerintah sebagai pengelola administrasi publik; masyarakat dan NGO;
pelaku bisnis; serta lembaga yang terlibat dalam pengelolaan pengetahuan
(akademisi, media, dll.) dan modal/keuangan. Keterlibatan kelima pihak tersebut
dapat terjadi di tataran mikro (individu/rumah tangga), meso (masyarakat dan
institusi lokal) dan makro (nasional, regional dan internasional) (diantaranya
lihat Lindmark, Elof & Nilsson-Roos, 2009; Carayannis & Campbell, 2010;
Barth, 2011; Muhyi et al., 2017; Tonković, Veckie & Veckie,
2017; Halibas, Sibayan & Maata, 2017; Linköping
University, 2017).
Secara umum ada dua kemungkinan yang dapat dilakukan dalam mendefinisikan
perantara, yaitu: (a) Definisi yang memfokuskan pada fungsi perantara; dan (b)
Definisi yang difokuskan pada peran dari perantara (Rose, 1999). Fungsi dan
peran perantara sangat mungkin berbeda dalam konteks masalah, isu atau sektor
yang berbeda. Sebagai contoh, di USA perantara lokal umumnya berperan
dalam hal melakukan dukungan layanan pada masyarakat,
mempromosikan standar kualitas dan akuntabilitas, menghubungkan dan
memanfaatkan sumber daya dan mempromosikan advokasi untuk kebijakan yang
efektif (GCG, 2012).
Dalam konteks pengurangan kemiskinan dan kesenjangan melalui upaya
pembangunan ekonomi lokal dengan menggunakan pendekatan penghidupan
berkelanjutan, fungsi dan peran perantara, diantaranya sebagai berikut:
Kewirausahaan dan Bisnis Sosial dalam Penanggulangan Kemiskinan
dan Pengurangan Ketimpangan
Kewirausahaan sosial (social entrepreneurship) dimaknai sebagai proses menciptakan solusi inovatif untuk menyelesaikan
masalah sosial (Dees, 2001), yang merupakan kombinasi dari hasrat akan misi
sosial dan bisnis, inovasi dan determinasi (Dees, 1998). Motivasinya adalah
menolong sesama, di mana pelakunya cenderung berwatak altruistik dan pro-social
(Manuel & Morfopoulos, 2010). Social
entrepreneurs melakukan tindakan langsung (direct action) sekaligus berupaya melakukan perubahan di dalam
sistem yang ada (indirect action),
dengan cara menghasilkan produk/jasa dan sekaligus melakukan upaya
menghilangkan kondisi societal yang kurang adil (Martin & Osberg, 2015).
Sementara
usaha/bisnis sosial (social
enterprise) dipandang sebagai ekspresi dari solidaritas atas
misi sosial untuk dapat turut mengatasi masalah sosial. Dengan memanfaatkan
keterampilan manajerial dan insentif kerja, kegiatan bisnis sosial mencoba
untuk mendapatkan keuntungan tambahan, kemudian dapat digunakan sebagian untuk
dapat terlibat dalam mengatasi masalah-masalah sosial, termasuk dalam hal
penanggulangan kemiskinan dan mengurangi ketimpangan sosial. Bisnis sosial
adalah institusi ekonomi yang bersifat “hybrid
organization” yang berupaya menyeimbangkan antara pasar dan civil society. Dengan demikian bisnis
sosial bukan berarti hanya dijalankan oleh NGO saja, tapi juga oleh swasta dan
pelaku lain yang tidak semata berorientasi ekonom/profit tapi juga perbaikan kondisi
sosial (Jäger, 2010).
Contoh Peran Perantara dalam Pengembangan Komunitas dan Penanggulangan
Kemiskinan di Sejumlah Negara
Di USA pada awal 1990-an, di bidang pembangunan komunitas, menjadi
perantara dimaknai sebagai bertindak untuk, diantara dan antar entitas yang
memiliki kepentingan kesejahteraan masyarakat dan individu di masa depan yang
saat ini masih terjebak dalam kemiskinan dan tidak memiliki kesempatan. Fungsi
perantara adalah mencari dan mengumpulkan sumber daya dari investor (sumber
daya yang kaya) dan mendistribusikannya ke organisasi nirlaba berbasis lokal
(miskin sumber daya) untuk program dan proyek yang dapat meningkatkan kondisi
dan peluang masyarakat berpenghasilan rendah (Kongres Nasional Untuk
Pengembangan Ekonomi Masyarakat 1991). Community
development intermediary membantu masyarakat dalam berhubungan dengan bank,
investor sosial dan pihak lain yang memiliki modal finansial dan bisnis yang
dapat membantu proyek pembangunan perumahan dan ekonomi dalam upaya
revitalisasi lingkungan masyarakat berpenghasilan rendah, membantu pengadaan
dana bantuan pendidikan untuk keluarga miskin, pengadaan pekerjaan, dll. Varian
dari model ini disebut CEDI (Community
Economic Development Intermediaries) yang fokus pada pengembangan ekonomi
komunitas khususnya masyarakat miskin (lihat Briggs, 2003; Walker, 2002;
Anglin, 2011). Lembaga
publik pengelola dana pensiun menjadi salah satu mitra komunitas (community partner) yang melakukan
investasi dalam pembangunan komunitas di kota di New York (Hagerman, Clark
& Hebb, 2007). Ada yang disebut Gittel & Thompson (1999) sebagai
program berbasis perantara atau intermediary-based
program di mana perantara menjalankan peran penting dalam mendukung usaha
berorientasi komunitas (Cordero-Guzmán
& Auspos, 2006).
Di Amerika Latin, The Local Initiatives Support
Corporation (LISC) membantu kegiatan pembangunan permukiman komunitas, dan the
Community Employment Alliance (CEA) membantu masyarakat miskin dalam
meningkatan kapasitas dan mengakses pekerjaan melalui pelatihan dan penempatan
kerja (Rodrigez, Pereira & Brodnax, dalam Maurrasse & Jones eds., 2004).
Di India, kelompok simpan pinjam (self-help
groups) sejak tahun 1992 dapat berperan sebagai financial intermediaries yang menghubungkan masyarakat miskin
dengan bank pemerintah (the National Bank for
Agriculture and Rural Development - NABARD) dalam program peningkatan akses
keluarga miskin terhadap layanan perbankan (Tankha, 2002). Program yang
menghubungkan kelompok masyarakat dan perbankan (linking-banks with self-help groups) semacam ini juga dilakukan
oleh sejumlah pihak Indonesia, diantaranya yang didukung oleh GTZ-Jerman pada
tahun 1999, yang diberi nama Pengembangan Hubungan Bank dengan Kelompok Swadaya
Masyarakat (PHBK) yang melibatkan Bank Pembangunan Daerah (BPD) dan Bank Rakyat
Indonesia (BRI) (diantaranya lihat Conroy & Budastra, 2005).
Di Australia, terdapat banyak pelaku perantara yang berperan sebagai
konsultan, perantara terkait dukungan teknologi, organisasi yang melakukan
mediasi, dan yang memberikan dukungan dalam pendanaan (Howrad Partner, 2007). Di
Cina, koperasi petani berperan sebagai perantara dalam pengembangan ekonomi
perdesaan (Huan, 2013). Sementara di Ukraina, lembaga pembangunan regional (regional development agency/RDA) menjadi
lembaga perantara sebagai pusat inovasi pengembangan potensi komunitas lokal
dalam pengembangan sosial dan ekonomi (Smentyna, 2015).
Persinggungan Konsep Community Economic Development (CED) dan Keperantaraan
Persinggungan Konsep Community Economic Development (CED) dan Keperantaraan
CED merupakan upaya pembangunan ekonomi dan
sosial yang bersifat bottom-up dan
berbasis lokal, karena dilakukan di dan oleh komunitas sendiri, bersama dan
dengan dukungan dari para pihak –pemerintah, NGO, swasta, lembaga keuangan, akademisi,
dll.-- di berbagai level. Pembangunan komunitas melalui CED-CED dipercaya juga
akan turut mendukung pembangunan di level yang lebih luas (kota/kabupaten,
provinsi dan nasional). Dalam CED ada yang disebut lembaga usaha pengembangan
komunitas, perantara pengembangan komunitas,
lembaga keuangan pengembangan komunitas, dan pusat pembelajaran komunitas.
Perantara dapat dimaknai sebagai individu
dan/atau lembaga (pemerintah, swasta, kelompok masyarakat, koperasi, NGO, lembaga donor, akademisi/perguruan
tinggi, dll.) yang berperan sebagai mitra sekaligus pendukung dalam upaya
pengembangan usaha ekonomi produktif masyarakat miskin di daerah, terkait akses
pasar (market linkage, baik input dan
terutama output), pengetahuan, keterampilan, jaringan, teknologi (produksi,
pasca produksi dan komunikasi/pemasaran), pendanaan dan sarana prasarana
pendukung.
Dari gambar di atas,
perantara (baik pemerintah, swasta, NGO, individu, dll.) ini sangat mungkin
juga tidak memiliki seluruh sumberdaya dan kapasitas yang diperlukan untuk
mendukung usaha ekonomi produktif masyarakat miskin yang didampinginya.
Sebagian perantara tersebut juga memiliki kepentingan dan kebutuhan untuk
pengembangan diri/lembaga dan usaha mereka sendiri. Karenanya, diharapkan juga
dapat terjalin hubungan timbal balik yang saling mendukung dan saling
menguntungkan diantara semua pihak yang terlibat. Kolaborasi dan sinergi dari
berbagai sektor, tingkatan dan pelaku (multisektor, multilevel dan
multipihak/multiaktor) sangat diperlukan untuk dapat menghasilkan daya dukung
yang positif dan memadai sehingga dapat menghasilkan dampak yang nyata dan
cukup signifikan pada upaya penanggulangan kemiskinan dan pengurangan
ketimpangan.
Perantara tersebut tentunya
harus memiliki modalitas dan kapasitas tertentu sehingga dapat berperan efektif
memberi dukungan bagi upaya pemberdayaan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan, sesuai dengan kebutuhan
spesifik dari kelompok/lembaga yang didampingi. Beberapa karakteristik yang
diharapkan ada pada perantara tersebut, antara lain: (a) Terlibat dalam
kegiatan ekonomi produktif; (b) Memiliki kepedulian untuk mendukung upaya
penanggulangan kemiskinan; (c) Memiliki pengalaman bekerja bersama masyarakat
miskin; (d) Memiliki kemampuan di bidang tertentu, seperti dalam teknis
produksi, peningkatan kapasitas, pendampingan (coaching), manajemen, pemasaran, teknologi/digital ekonomi, dll.;
(e) Memiliki pengalaman dan jaringan yang memadai di bidang terkait; (f) Memiliki
hubungan baik dan dapat berkolaborasi dengan pemerintah daerah, NGO, pelaku
usaha dan masyarakat terkait.
-------------------
* Tulisan ini merupakan bagian dari laporan kajian Bappenas 2017 mengenai peran perantara dalam usaha ekonomi produktif masyarakat miskin terkait upaya pengurangan kemiskinan dan ketimpangan