Menggagas
Perspektif “Baru” Pengembangan Masyarakat
Oleh: Candra Kusuma
Gagasan utama buku ini adalah mengenai pendekatan pembangunan
berbasis masyarakat yang berlandaskan pada perspektif ekologis dan hak asasi
manusia (HAM), sebagai alternatif jalan keluar dari krisis ekologis dan
keadilan sosial/HAM yang terjadi di semua belahan dunia. Kebutuhan akan
altenatif tersebut dinilai justru
semakin terasa signifikansinya di era globalisasi ini. Dalam membangun
argumentasinya, buku ini berangkat dari
kritik terhadap dua isu di tataran makro, yaitu: krisis negara kesejahteraan,
dan pendekatan pembangunan yang menimbulkan kerusakan ekologis dan melanggar
HAM. Namun, --menurut amatan saya-- kedua penulis juga sekaligus mengkritisi
dua isu penting lainnya, yaitu di tataran meso adanya ‘kesalahan’ dalam
memaknai dan melakukan upaya community
development atau pengembangan masyarakat (baik yang dilaksanakan oleh
pemerintah, swasta/perusahaan, NGO, maupun oleh masyarakat sendiri), serta di
tataran mikro yaitu kelemahan terkait dengan values, orientasi, dan kompetensi/keterampilan pada diri pekerja
masyarakat yang terlibat dalam upaya tersebut. Buku ini secara komprehensif dan
‘provokatif’ mengajak untuk melakukan pemaknaan ulang atas gagasan pengembangan
masyarakat, sebagai jalan ‘mendekonstruksi’ dan membumikan gagasan tersebut,
untuk memberdayakan masyarakat (dan manusia) pada akhirnya.
Krisis Negara
Kesejahteraan dan Krisis Ekologis
Ife dan Tesoriero tampaknya bersepakat dengan sejumlah penulis
lain yang menilai bahwa krisis sumberdaya/fiskal di negara kesejahteraan ala
Barat telah menimbulkan perlambatan ekonomi yang makin membebani pemerintah di
negara-negara tersebut. Akibatnya, terjadi pengurangan jenis, jumlah dan mutu
layanan publik. Atas dasar itu negara
kesejahteraan dianggap sudah tidak sanggup lagi memenuhi janji mereka akan
kesejahteraan rakyatnya (Hal. 5-6). Dalam bahasa yang lebih lugas, tesis negara
kesejahteraan dapat dikatakan telah gagal karena asumsi-asumsinya tidak
mendukung pada prospek keberlanjutan gagasan itu sendiri (Hal. 20). Selain itu,
negara kesejahteraan juga dinilai telah memberi dampak negatif bagi masyarakat,
diantaranya adalah memandulkan modal sosial yang ada di masyarakat, dan
menumbuhkan ‘ketergantungan pada orang
asing’, karena hampir semua kebutuhan masyarakat diurus oleh negara melalui
beragam tenaga professional sebagai perpanjangan tangan Negara (Hal. 35-40).
Mengutip Dobson (1995), pendekatan berbasis masyarakat kepada layanan-layanan
kemanusiaan adalah konsisten dengan gagasan dari suatu sistem ‘negara pasca-kesejahteraan’ (Hal. 26). Setelah
institusi keluarga, institusi agama, pasar dan negara dianggap kurang berhasil
memenuhi layanan masyarakat, Ife dan Tesoriero menganggap sekaranglah giliran
‘komunitas’ memikul tanggung jawab utama untuk menyampaikan provisi layanan
dalam bidang seperti kesehatan, pendidikan, perumahan dan kesejahteraan” (Hal.
25-26).
Selanjutnya, Ife dan Tesoriero mengikuti kelompok pemikiran the Green dalam melihat masalah-masalah
lingkungan hidup. Berbeda dengan kalangan pecinta lingkungan hidup tradisonal yang
mengedepankan pendekatan konservatif yang lebih konvensional, Green menggunakan pendekatan yang
mendasar dan radikal, yaitu perspektif ekologis, yang melihat masalah lingkungan hanyalah merupakan gejala
dari masalah mendasar yang lebih penting, yaitu sebagai konsekuensi dari suatu
orde sosial, ekonomi dan politik yang secara mencolok tidak berkelanjutan, dan
karenanya orde tersebut harus diubah (Hal. 55-56). Pandangan Green ini banyak
dipengaruhi oleh pemikiran kaum eko-sosialisme, eko-anarkhisme, eko-feminisme,
eko-luddisme, anti pertumbuhan, ekonomi Green, kerja dan pasar tenaga kerja,
pembangunan global, eko-filosofi, dan pemikiran paradigma baru (Hal.
56-86). Dari pengaruh lingkaran pemikiran
tersebut, saya melihat kecenderungan Green
untuk menggunakan paradigma konflik dalam menganalisis masalah sosial yang ada,
juga dari banyak rujukannya yang menggunakan argumentasi dari penulis teori
sosial kritikal, seperti Paulo Freire dan Ivan Illich, serta para pemikir dari
tradisi Marxis lainnya.
Gagasan inti dari perspektif ekologis tadi tergambar dari empat
prinsip ekologis yang mereka tawarkan, yaitu: (a) Holisme, yang memaknai bahwa setiap kejadian atau fenomena harus
dilihat sebagai bagian dari keseluruhan, dimana ada interdependensi, integrasi
dan sintesis. Sehingga, harus dibuat kaitan yang terpadu antara pengetahuan dan
aksi, teori dan praktek, serta fakta dan nilai. Prinsip ini melahirkan filosofi
ekosentris yang menghormati kehidupan alam, menolak solusi linier, dan
menginginkan perubahan organik (Hal. 91-92); (b) Keberlanjutan, berarti sistem-sistem dan sumber daya harus mampu
dipertahankan dan dimanfaatkan dalam jangka panjang, yang diwujudkan pada orientasi
konservasi, mengurangi konsumsi, mengembangkan ekonomi tanpa pertumbuhan,
membatasi perkembangan teknologi, dan anti kapitalisme (Hal. 93-95); (c) Keanekaragaman, yang dengannya berbagai
sistem alam diyakini mampu berkembang, beradaptasi dan tumbuh. Konsekuensinya
adalah pentingnya penghargaan atas perbedaan, tidak ada jawaban tunggal untuk
semua masalah, desentralisasi, komunikasi jejaring dan lateral, dan teknologi
tingkat rendah (Hal. 95-98); dan (d) Kesimbangan,
yang menekankan pentingnya hubungan antara sistem-sistem dan kebutuhan untuk
menjaga suatu keseimbangan diantara sistem tersebut, yaitu keterhubungan dan
perpaduan global-lokal, hak-tanggungjawab, gender, perdamaian dan kooperasi
(Hal. 98-100).
Dari keempat prinsip tersebut, saya cenderung melihat Green menggunakan paradigma strukturalis
fungsional dalam menganalisis masalah ‘internal’ ekologis sebagai sebuah sistem.
Namun tampak jelas mereka berupaya keras membedakannya dengan apa yang diusung
oleh teori-teori modernisasi (yang juga lahir dari paradigma strukturalis
fungsional), yang meyakini adanya perubahan linier, top-down dan seragam serta berambisi mengejar pertumbuhan ekonomi
(yang dalam perspektif Green telah
dianggap gagal karena tidak berkelanjutan). Turunan dari prinsip-prinsip di
atas adalah bahwa pembangunan harus merupakan perubahan dari bawah (bottom-up), yang didasarkan pada pemanfaatan
potensi dan sumberdaya lokal, menghargai keanekaragaman lokal-lokal tersebut,
dan memberi peluang tiap-tiap lokal untuk tumbuh sesuai kebutuhannya (Hal. 282).
Dalam hal ini, model pengembangan masyarakat menjadi solusi alternatif yang
sangat logis dan ‘nyambung’ dengan
perspektif ekologis tadi. Meskipun demikian, hal tersebut masih dipandang belum
cukup, karena perspektif ekologis dipandang tidak cukup mampu memberi perhatian
dan mengatasi masalah yang terkait dengan pemenuhan keadilan dan hak-hak dasar
manusia (Hal. 100-101).
Saling melengkapi dengan perspektif ekologis tadi adalah
perspektif keadilan sosial dan HAM. Berkaitan dengan isu HAM, pengembangan
masyarakat lebih condong pada kombinasi antara perspektif struktural dan
post-struktural, dibandingkan pada perspektif individual maupun reformis
kelembagaan (Hal. 114-115). Karenanya, ketidakadilan dilihat lebih sebagai
akibat dari adanya struktur yang merugikan/opresi terhadap kelas, ras, gender,
distribusi pendapatan, kekuasaan, dsb., dibandingkan karena kesalahan individu
atau ketidakberfungsian lembaga. Ketidakadilan juga dilihat sebagai akibat dari
modernitas, dominasi dan kekerasan melalui bahasa, wacana, pengetahuan, dsb. Upaya mewujudkan keadilan --sebagai lawan dari
ketidakdilan tadi--, akan berkaitan erat dengan hak-hak, yang dalam hal ini HAM
merupakan hak yang dianggap paling dasar dan bersifat universal (Hal. 116, 118,
dan 121).
Ife dan Tesoriero berpandangan bahwa HAM merupakan komponen vital
dalam pengembangan masyarakat, dimana proses pengembangan masyarakat tersebut
seharusnya juga berarti penegasan HAM, memungkinkan orang mewujudkan dan
melaksanakan HAM mereka, dan terlindung dari pelanggaran HAM (Hal. 122).
Mewujudkan HAM sebagai kerangka bagi pengembangan masyarakat berarti
mengupayakan terbangunnya suatu kebudayaan HAM yang kuat, yang sangat mungkin
membutuhkan upaya dan waktu yang tidak sedikit (Hal. 125-126). Dalam hal ini,
gagasan pemberdayaan (empowerment)
merupakan gagasan sentral dalam strategi keadilan sosial dan HAM. Ife dan Tesoriero
memaknai pemberdayaan sebagai upaya meningkatkan keberdayaan dari mereka yang
dirugikan (the disadvantaged) akibat
kelas, gender dan ras/etnisitas, maupun kelompok dirugikan lainnya seperti
perempuan, masyarakat adat/pribumi, kelompok etnis minoritas, kaum miskin, dll.
Model Pengembangan
Masyarakat yang Berperspektif Ekologis, Keadilan Sosial dan HAM
Pengembangan masyarakat bukanlah gagasan baru. Dalam hal ini, Ife
dan Tesoriero --menggunakan kerangka analisis di atas-- menilai upaya
pengembangan masyarakat yang selama ini banyak dilakukan oleh berbagai kalangan
telah gagal dan justru menyebabkan berkembangnya sikap pesimis dan skeptis
terhadap kelayakan gagasan tersebut. Sebabnya jelas, yaitu karena menempatkan
pengembangan masyarakat dalam skema proyek dan mengandalkan tenaga professional
eksternal yang tidak sejalan dengan semangat dasar dari pengembangan masyarakat
itu sendiri. Dalam buku ini, dengan lugas Ife dan Tesoriero mengkritik keras
model pengembangan masyarakat berformat program/proyek tersebut:
“Terdapat banyak proyek atau lembaga konsultansi yang berjalan
hanya untuk beberapa bulan, biasanya dengan seorang pekerja eksternal, dan hal
tersebut secara naïf diharapkan untuk membuat sebuah perbedaan besar pada
kehidupan suatu masyarakat. Proyek-proyek seperti ini seringkali sia-sia dan
tidak berhasil, dan menyebabkan laporan-laporannya tidak berguna dan berbagai
struktur masyarakat yang gagal. Akibatnya, proyek-proyek ini memberikan
reputasi buruk pada pengembangan masyarakat” . (Ife dan
Tesoriero, 2008:671)
Mengkaitkan antara berbagai perspektif tadi dengan komunitas, Ife
dan Tesoriero menyatakan bahwa perspektif keadilan sosial dan HAM sesungguhnya menyediakan
suatu visi dari apa yang secara sosial diinginkan yaitu sebuah masyarakat yang
didasarkan atas definisi dan penjaminan hak-hak, kesetaraan, pemberdayaan, yang
mengalahkan opresi struktural dan keadaan yang merugikan, kebebasan menentukan
kebutuhan dan terpenuhinya kebutuhan tersebut, dan seterusnya (Hal. 190).
Sementara, perspektif ekologis meyediakan visi dari apa yang layak, dan
menguraikan jenis masyarakat yang dapat hidup dalam jangka panjang, yaitu
masyarakat yang didasarkan atas prinsip-prinsip holism, keberlanjutan,
keanekaragaman dan keseimbangan (Hal. 190). Konsekuensi alamiah dari
premis-premis kedua perspektif tadi adalah menempatkan komunitas sebagai basis
pengembangan masyarakat (Hal. 190).
Jenis komunitas yang dipandang lebih cocok untuk pendekatan pengembangan
masyarakat adalah komunitas geografis (Hal. 196). Penilaian tersebut
berdasarkan ciri-ciri komunitas yang diajukan Ife dan Tesoriero, yaitu: (a)
Komunitas melibatkan interaksi pada skala yang mudah dikendalikan
individu-individu; (b) Didalamnya ada sebentuk rasa ‘memiliki’, diterima dan
dihargai yang membentuk rasa identitas pada seseorang; (c) Ada tuntutan
kewajiban dan kontribusi pada anggotanya; (d) Sebagai Gemeinschaft, interaksi tidak bersifat kontraktual dan dapat saling
berkontribusi bagi kepentingan bersama; (e) Memungkinkan pemberian nilai,
produksi dan ekspresi dari suatu kebudayaan lokal berbasis masyarakat yang
mendorong adanya keanekaragaman dan partisipasi yang lebih luas (Hal. 191-194).
Berangkat dari analisis maupun prinsip-prinsip yang telah
diuraikan di atas, Ife dan Tesoriero mendefinisikan pengembangan masyarakat
sebagai proses pembentukan, atau pembentukan kembali, struktur-struktur
masyarakat manusia yang memungkinkan berbagai cara baru dalam mengaitkan dan
mengorganisasi kehidupan sosial serta pemenuhan kebutuhan manusia (Hal. 3).
Pengembangan masyarakat harus bersifat holistik --tidak hanya berdimensi
tunggal, seperti hanya menekankan dimensi ekonomi yang terbukti gagal--, dimana
terdapat 6 dimensi paling penting yang harus dilaksanakan secara seimbang,
yaitu: dimensi pengembangan sosial, ekonomi, politik, budaya, lingkungan,
personal/spiritual (Hal. 410-482).
Selain itu, penekanan pengembangan masyarakat diarahkan lebih pada
proses dan bukan hasil. Pendekatan ini memerlukan reorientasi khususnya bagi
pekerja masyarakat yang umumnya terbiasa mengukurnya dari hasil (Hal. 335).
Pengembangan masyarakat adalah perjalanan discovery
(penjelajahan), dimana ketika terjadi atau menemui hal-hal yang tidak
diharapkan, maka itu adalah peluang baru untuk belajar dan berkembang (Hal.
336). Seorang pekerja masyarakat yang sejak awal sudah mematok hasil yang jelas
dari upayanya itu justru merupakan pekerja yang tidak memberdayakan masyarakat
(disempowering community) karena
justru akan menjauhkan masyarakat dari kontrol atas proses dan penentuan arah
pengembangannya (Hal. 337). Dalam hal ini, sarana dan tujuan pengembangan
masyarakat dipandang sebagai bukan sebagai dua hal yang terpisah. Sekedar
mencapai tujuan pelestarian ekologis, keadilan sosial dan HAM tidak berarti
apapun, dan hanya akan berarti jika proses itu sendiri mencerminkan
prinsip-prinsip dasar pengembangan masyarakat (Hal. 341).
Ifo dan Tesoriero juga menegaskan, bahwa proses pengembangan
masyarakat tidak dapat dipaksakan dari luar, sebagaimana yang umum terjadi
selama ini. Keterlibatan masyarakat hanya dapat dicapai dari partisipasi penuh
mereka. Proses pengembangan masyarakat harus menjadi proses masyarakat yang
dimiliki, dikuasai, dan dilangsungkan oleh masyarakat sendiri (Hal. 342).
Mengutip Putnam (1993), bahwa semua pengembangan masyarakat seharusnya
bertujuan membangun masyarakat, yang didalamnya melibatkan pengembangan modal
sosial, memperkuat interaksi sosial dalam masyarakat, menyatukan mereka, dan
membantu mereka untuk saling berkomunikasi dengan cara yang dapat mengarah pada
dialog yang sejati, pemahaman dan aksi sosial (Hal. 363). Sehingga, dalam
kegiatan penelitian di masyarakat misalnya, model penelitian yang cocok dengan
prinsip dan praktik pengembangan masyarakat adalah participatory action research (PAR), karena dianggap dapat
menggabungkan penelitian tindakan dan kolaborasi (Hal. 607).
Terkait dengan tujuan pengembangan masyarakat tadi, partisipasi
dipandang sebagai unsur sentral dan vital dalam pengembangan masyarakat yang ‘bottom up’. Partisipasi memungkinkan
individu-individu memainkan peran kewarganegaraan dan bagi mereka terlibat
secara kolektif dalam proses-proses kewarganegaraan sosial (Hal. 123, 139).
Partisipasi terkait dengan HAM, karena mengaktifkan ide HAM, hak berpartisipasi
dalam demokrasi dan memperkuat demokrasi deliberatif. Seperti halnya
pengembangan masyarakat, demokrasi deliberatif menghargai kepakaran masyarakat,
dan berupaya mencari peran bagi masyarakat dalam mendefinisikan
parameter-parameter permasalahan, dan tidak menempatkan pemerintah sebagai
pakar yang memiliki pengetahuan dan kebijakan yang superior (Hal. 294-295).
Pada akhirnya, menurut kedua penulis, sukses tidaknya upaya pengembangan
masyarakat sampai tingkat tertentu sangat dipengaruhi oleh peran dan kemampuan aktor
penggerak yaitu pekerja masyarakat yang
terlibat aktif bersama masyarakat dalam upaya tersebut. Keduanya berpandangan
bahwa model profesionalisme pada pekerja masyarakat tidak cocok dengan
aktivitas kerja masyarakat. Bahkan, pendekatan profesionalisme bertentangan
dengan pengembangan masyarakat (Hal. 656, 658). Mengutip Ivan Illich,
profesi-profesi cenderung untuk memistifikasi, mengasingkan dan tidak
memberdayakan para pengguna layanan (Hal. 657). Sederhananya, profesionalisme dapat
menjebak pekerja masyarakat memainkan peran ‘dokter
dan pasien’ ketika berhubungan
dengan masyarakat. Konsekuensi logis dari penolakan terhadap model professional
spesifik bagi praktek kerja masyarakat adalah bahwa ide dari kualifikasi
pendidikan khusus kerja masyarakat juga harus ditolak (Hal. 660). Menurut Ife
dan Tesoriero, sesungguhnya ada banyak pengalaman pendidikan yang berbeda yang
dapat membantu untuk mempersiapkan seorang pekerja masyarakat untuk praktik
(Hal. 660). Mengikuti pemikiran Freire, proses belajar terbesar sesungguhnya
justru melalui pertukaran pengalaman, pengetahuan, dan keterampilan bersama
masyarakat.
Ife dan Tesoriero mengungkap paradox yang fundamental pada diri
pekerja masyarakat, yaitu “semakin lebih
terampil, berpengalaman dan efektif seorang pekerja masyarakat, maka semakin
masyarakat tidak diberdayakan dalam proses pemberdayaan tersebut”. Hal ini
terkait dengan dilema mengenai bagaimana berperan serta dalam sebuah proses
pengembangan dan peningkatan kesadaran tanpa memaksakan nilai seseorang pada
suatu masyarakat (Hal. 663-664). Kekuasaan (power)
dan dominasi menjadi isu dalam hal ini. Pengembangan masyarakat bukanlah
sesuatu yang bisa dicapai dengan cepat. Mustahil melaksanakan kerja masyarakat
dalam waktu singkat. Setidakya ada dua isu disini, yaitu lamanya waktu komitmen
dari pekerja masyarakat (khususnya pekerja masyarakat eksternal), dan
terbatasnya orang atau organisasi yang mau membiayai atau mengelola berbagai
program pengembangan masyarakat dalam jangka panjang (Hal. 669-671)
Setelah menganalisis sejumlah kelemahan atau keterbatasan yang ada
pada pekerja masyarakat, Ife dan Tesoriero juga mengajukan karakteristik yang
‘harus’ ada pada pekerja masyarakat. Menurut mereka, para pekerja masyarakat
dituntut untuk memiliki kompetensi praxis
pengembangan masyarakat, yang dimaknai sebagai adanya kesatuan antara proses
refleksi kritis, analisis dan tindakan yang dilakukan secara bersamaan (Hal.
554). Keterampilan yang penting ‘dimiliki’ pekerja masyarakat, yaitu: analisis,
kesadaran, pengalaman, belajar dari orang lain, dan intuisi (Hal. 618-626).
Selain itu, peran dan keterampilan memfasilitasi, mendidik, representasi, dan
keterampilan teknis lain juga sangat diperlukan. Termasuk kemampuan mengatasi
dilema moral dan mengembangkan jaringan pendukung dari berbagai pihak (Hal. 558-614,
673-674).
Penutup
Buku ini secara komprehensif telah menguraikan landasan pemikiran
mengenai urgensi dari pengembangan masyarakat ditengah krisis global saat ini.
Gagasan alternatif yang ditawarkan buku ini tidak hanya radikal dalam hal bagaimana
model perubahan sosial dan pembangunan dijalankan, tapi juga bagaimana model pengembangan masyarakat yang
selama ini dikembangkan harus dirombak total mulai dari prinsip, pendekatan,
model sampai dengan sikap dan keterampilan macam apa yang dibutuhkan untuk melaksanakan
itu semua. Menurut saya, jika harus diberi label baru --untuk membedakan dengan
pendekatan lama--, pendekatan dalam buku ini mungkin dapat disebut sebagai perspektif
‘baru’ pengembangan masyarakat atau ‘neo-community
development’. Gagasan kedua penulis mungkin juga dapat dikaitkan dengan
semangat perlawanan terhadap budaya dominan (counterculture) dan pembongkaran atas narasi-narasi besar yang
diusung oleh modernisme (postmodernism)
yang muncul dan berkembang di masyarakat Barat dalam beberapa dekade terakhir.
Gagasan buku ini dapat dianggap sebagai hipotesis ‘baru’ yang
mungkin saja punya peluang untuk dapat diwujudkan menjadi kenyataan, dalam arti
gagasan mereka dapat menginspirasi dan diadopsi oleh banyak komunitas dan/atau
lembaga kemasyarakatan tertentu untuk melakukan pengembangan masyarakat sesuai
atau setidaknya mendekati apa yang dicita-citakan kedua penulis tersebut. Namun
ada sejumlah isu yang dalam pandangan saya menjadi titik kritis yang perlu
dicermati. Salah satunya, kedua penulis kurang membahas dan tidak menyatakan
dengan tegas tentang apa dan bagaimana peran negara (pemerintah) dalam pendekatan
‘neo-community development’ ini.
Pengembangan masyarakat dapat menjadi alternatif solusi atas masalah-masalah
sosial yang ada di masyarakat, seperti masalah kemiskinan, pengangguran,
penanganan masalah narkoba, dll. Namun kemampuan komunitas untuk menangani
masalah sosial, ekonomi dan politik yang lebih besar harus juga dipertanyakan. Padahal,
dalam beberapa hal, pendekatan top-down
yang hanya dapat dilakukan oleh institusi setingkat negara mungkin juga masih
diperlukan. Kurangnya penjelasan dalam buku ini mungkin sepintas membuat
gagasan kedua penulis tersebut menjadi mirip dengan gagasan komunalisme yang menganggap masyarakat
terdiri dari bagian-bagian kecil, dimana negara hanyalah sekedar kumpulan dari
komunal-komunal tersebut, atau anarkhisme
yang memandang negara sebagai institusi yang tidak diinginkan, tidak diperlukan
dan merusak.
Selain itu, gagasan Ife dan Tesoriero mungkin justru sulit
diterima secara massif di negara-negara berkembang. Kedua penulis hidup di
negara ‘Barat’ (mereka berasal dari Australia), yang sangat mungkin telah
mengalami dan menyaksikan sendiri bagaimana gagasan negara kesejahteraan itu
muncul, tumbuh dan belakangan ini mulai tampak meredup. Sehingga ketika konsep
tersebut mulai berkurang daya tariknya, gagasan-gagasan alternatif menjadi
logis untuk dimunculkan. Namun, bagaimana dengan negara-negara yang bukan ‘penganut’ negara kesejahteraan? Dalam
konteks negara yang ‘sedang berkembang’ macam Indonesia, dimana masalah-masalah
sosial seperti tingginya kemiskinan,
pengangguran, eksklusi sosial dan rendahnya akses dan kualitas pemenuhan
kebutuhan dasar masih dialami oleh sejumlah besar warga negara, gagasan negara
kesejahteraan cenderung masih dianggap sebagai ‘model ideal’ sebuah negara yang
peduli dan aktif melayani kebutuhan warga negaranya. Indikasinya, sejauh yang
saya ketahui, dapat dijumpai di banyak analisis dan pendapat para ahli di
berbagai media ilmiah maupun populer, atau bahkan di ruang-ruang kuliah ketika
para dosen dengan bersemangat membandingkan antara pelayanan sosial yang ada
Indonesia dengan negara yang menjalankan model negara kesejahteraan. Artinya, dalam
kondisi demikian sangat mungkin kalangan intelektual akademis di Indonesia
tidak akan menyambut gagasan Ife dan Tesoriero dengan antusiasme yang memadai.
Hal lain yang juga mungkin akan menyulitkan gagasan ini dapat
dilaksanakan secara penuh adalah tingginya standar kompetensi yang diharapkan
ada pada diri pekerja masyarakat. Tidaklah mudah untuk menjadi atau dapat
menemukan orang-orang semacam ‘nabi komunitas’ yang memiliki kemauan, kekuatan
moral, kepribadian, pemahaman ilmu-ilmu sosial, kepemimpinan, kemampuan
manajerial, keterampilan dan dukungan sumber daya seperti yang diharapkan oleh
buku tersebut. Sementara peran pekerja masyarakat (baik yang muncul dari dalam
maupun dari luar komunitas) tampaknya memegang peran strategis, maka
keterbatasan jumlah dan sebaran pekerja masyarakat tentunya akan mengurangi
peluang keberhasilan upaya pengembangan masyarakat tadi secara luas, mengingat
proses pengembangan masyarakat membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
Meskipun demikian, menurut saya, buku ini memberikan kontribusi
yang sangat penting dalam membangun visi tentang bagaimana masyarakat mampu
memberdayakan dirinya sendiri tanpa tergantung pada bantuan dari aktor
eksternal. Gagasan dalam buku ini juga dapat menjadi bahan refleksi seluruh
pihak tentang bagaimana struktur, proses dan kultur masyarakat yang berkelanjutan dan berkeadilan sosial. Gagasan
mengenai pengembangan masyarakat dan pekerja masyarakat yang ‘ideal’ tidak harus
dipandang sebagai sesuatu yang utopis semata. Jika model ‘ideal’ tadi dapat dijadikan
sebagai indikator-indikator dalam mengukur ‘keberhasilan’ (dalam arti proses
dan capaian) dari upaya pengembangan masyarakat dan kompetensi serta kinerja
para pekerja masyarakat, maka tiap-tiap komunitas dan pekerja masyarakat dapat
mengukur sendiri berada di level manakah mereka ada saat ini, dan hal-hal apa saja
yang masih perlu diperbaiki lagi.
-----------------------------------
Judul : Community
Development: Alternatif Pengembangan
Masyarakat di Era Globalisasi, Edisi 3
Penulis : Jim Ife dan
Frank Tesoriero
Penerbit : Pustaka
Pelajar-Yogyakarta
Tahun : 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar