Orientalisme Lama dan Baru:
Syed Farid Alatas (Associate
Professor pada Department of Sociology, University of Singapore) mengemukakan adanya dua jenis
Orientalisme yang berkembang di masyarakat dunia, yaitu: (a) Orientalisme Lama. Ditandai dengan
berkembangnya semangat anti Timur, berbagai dikotomi (Barat = pintar, Timur =
bodoh; Barat = rajin, Timur = pemalas,
dll.), yang didasarkan berbagai prasangka dan stereotype yang umumnya bersifat merendahkan. Intinya, Barat lebih
unggul dan Timur lemah. Namun dalam perkembangannya, ilmu pengetahuan relatif
berhasil mengatasi (mengurangi?) Orientalisme Lama ini; (b) Orientalisme Baru. Berkenaan dengan
dominasi pengetahuan versi Barat dan menggunakan berbagai standar
(istilah/definisi, metode, cara analisis, kesimpulan) dari Barat (white man/kulit putih). Akibatnya,
pengetahuan masyarakat lokal/minoritas menjadi terpinggirkan. Sebagai contoh, menurut
Al Biruni, di masa lalu agama-agama lokal di India disebut diantaranya Brahma,
Syiwa, dll. Namun oleh kaum kolonial, agama-agama itu dianggap sebagai satu
saja yaitu Hindu. Sementara agama-agama awal tadi lebih dianggap sebagai sekte
saja.
Dalam Orientalisme Baru ini, konsep dan
pengetahuan lokal diabaikan dalam pengembangan ilmu-ilmu sosial. Pada akhirnya,
ilmu sosial di seluruh negara dipengaruhi dan dikuasai oleh ilmu-ilmu dari
Barat, khususnya dari 3 sumber utama ilmu pengetahuan Barat saat ini, yaitu
Amerika Serikat, Inggris dan Perancis (khususnya yang menyangkut negara-negara
eks jajahannya).
Indikasi dari penguasaan tersebut paling terlihat
dari penggunaan perspektif dan istilah Barat terhadap berbagai fenomena sosial
di dunia. Contoh, dalam berbagai teori/buku, istilah ‘religion’ (agama), ‘fundamentalism’,
dan lainnya, semua diambil dari perspektif agama Kristen. Dalam kasus ini,
agama-agama lain, hanya dipandang sebagai ‘obyek kajian’ semata, dan bukan
dianggap sebagai sumber pengetahuan, karena pendekatan yang digunakan semuanya
menggunakan kacamata Barat tadi. Akibatnya ilmu-ilmu sosial Barat justru
semakin berkembang, sementara ilmu lokal justru makin terabaikan dan punah.
Masalahnya, kalangan akademisi di Timur juga
tidak menganggap bahasa dan pengetahuan masyarakat kita sendiri sebagai sumber
pengetahuan ‘yang baru’. Para akademisi di Timur hanya belajar di dan/atau dari
sumber-sumber Barat, dan menganalisis masyarakat Timur dengan perspektif Barat
tersebut. Sebagai contoh, akademisi Timur hanya menggunakan pemikiran Ilmu
Khaldun sebagai sumber informasi, dan tidak mengembangkan metode berpikir yang
digunakannya.
Captive Mind dan Academic Dependency:
Alatas mengutip konsep yang diajukan oleh
Syed Husein Alatas (ayahnya sendiri), mengenai Captive Mind (dalam bahasa Indonesia mungkin dapat
diterjemahkan sebagai “Ketertawanan Mental”) yang
diperkenalkan pada tahun 1972. Konsep tersebut pada intinya adalah mengenai
bagaimaa pikiran dikuasai oleh konsep-konsep dari luar (Barat), sehingga apa
yang tersisa di masyarakat kita hanyal kemampuan meniru saja, dan hal ini sudah
sangat meresap bahkan di komunitas intelektual kita sendiri. Akibatnya, kita
menjadi tidak kritis terhadap klaim dan kesimpulan (termasuk didalamnya
definisi, metode, dan cara analisis) yang dibuat berdasarkan perspektif dari
Barat tersebut (lihat S.F. ALatas, 2011:52). Dampaknya, para intelektual dari Timur kemudian
justru mengalami ketidakmampuan dalam memahami masalah dan metode “asli” yang
(pernah) ada di komunitasnya sendiri, dan menjadi terkucil dari masalah lokal.
Dampak lainnya adalah terciptanya Academic
Dependency (Ketergantungan Akademik) yang sangat kuat terhadap ilmu-ilmu
dari luar.
Alatas sendiri memetakan 6 bentuk
ketergantungan akademik terhadap Barat tersebut, yaitu:
- Ketergantungan
gagasan;
- Ketergantungan
media (khususnya jurnal ilmiah);
- Ketergantungan
teknologi pendidikan;
- Ketergantungan
bantuan pendidikan dan pengajaran;
- Ketergantungan
investasi pendidikan;
- Ketergantungan
untuk memenuhi permintaan Barat akan skill dan pengetahuan yang mereka
butuhkan sesuai standar yang mereka tetapkan.
Selain itu, Alatas juga memaparkan perbedaan
antara dunia intelektual/akademisi Barat dan Timur, berkenaan dengan kategori
berikut:
Tabel:
Perbedaan Cakupan Kajian Akademik di Barat dan Timur
Kajian
Empiris
|
Kajian
Teoritis
|
Kajian
negara/ masyarakat sendiri
|
Kajian
negara/ masyarakat lain
|
Kajian
kasus tunggal
|
Kajian
kasus per- bandingan
|
|
Barat
|
v
|
v
|
v
|
v
|
v
|
v
|
Timur
|
v
|
-
|
v
|
-
|
v
|
-
|
Sumber: Ringkasan
penulis
Dari perbandingan tersebut terlihat adanya
perbedaan area kajian, yang disebabkan oleh kecenderungan di Timur untuk meniru
ilmu-ilmu Barat semata (selain faktor dukungan sumberdaya di Timur untuk
kebutuhan kajian yang memang sangat jauh dibandingkan dengan di Barat).
Akibatnya, perkembangan keilmuan di Timur juga lambat, sementara perkembangan
ilmu di Barat sangat cepat, karena mampu mengembangkan teori/metode dengan
dukungan kajian empiris yang kuat, melakukan kajian dalam lingkup global, dan
dapat melakukan perbandingan. Upaya perlawanan terhadap ketergantungan tersebut
sesungguhnya sudah muncul di beberapa wilayah, seperti di Brazil pada tahun
1950-an, di mana tumbuh upaya untuk mem-“pribumi”-kan ilmu-ilmu sosial di
Amerika Latin.
Respon
yang Diperlukan:
Menghadapi kondisi tersebut, Alatas memandang
perlunya “respon kolektif” di Timur,
seperti melalui:
- Mengkritik
kecenderungan peminggiran pengetahuan lokal;
- Perlu
upaya konkret menghargai masyarakat lokal, sembari tetap mempelajari
masyarakat lainnya;
- Perlu
mempelajari dan mengembangkan pemikiran, metode dan analisis dari para
pemikir ilu sosial dari Timur, seperti Ibnu Khaldun, Jose Rizal
(Philipina), Ali Syari’ati (Iran), Pramoedya (Indonesia), dll.
- Membangun
dan menyebarkan pemahaman bahwa konsep/teori Barat sesungguhnya juga
bersifat lokal mereka sendiri, dan konsep Timur dapat disejajarkan dengannya;
- Menulis
dan menyebarkan hasil kajian dalam Bahasa Inggris sehingga dapat
dikonsumsi oleh masyarakat dan para pemikir Barat, sehingga mereka tahu
pemikiran Timur.
Komentar:
Menurut saya, sulit untuk membantah
argumentasi keluarga Alatas (ayah dan anak) di atas. Dominasi Barat dalam
keilmuan menurut saya memang nyata terjadi, tidak hanya di ilmu sosial namun
juga di ilmu eksak/teknik lainnya. Hal tersebut dapat terjadi, menurut
pandangan saya dipengaruhi beberapa faktor:
- Karena
Barat memiliki kebanggaan akan keilmuannya;
- Penghargaan
yang tinggi pada dunia akademik dan ‘pekerjaan’ ilmuwan;
- Kuatnya
tradisi eksplorasi dan pengujian ilmu pengetahuan. ‘Persaingan’ antar
pemikir, akademisi, perguruan tinggi dan mungkin juga antar negara di
Barat membuat mereka terpacu untuk terus memperdalam dan memperluas kajian
di semua aspek kehidupan;
- Paradigma
positivis dalam keilmuan mereka juga membuat ‘segalanya’ bisa dan harus
dapat diseragamkan (diukur dan diperbandingkan);
- Dukungan
negara dan dunia akademis (dalam bentuk kebijakan, sumberdaya, dana, akses
informasi, dll.) bagi pengembangan keilmuan melalui penelitian, percobaan
ilmiah, kepustakaan/literatur, diskusi/seminar, dan penulisan hasil kajian
di jurnal ilmiah;
- Keterkaitan
dunia akademik dengan politik/pemerintahan, lembaga keuangan/donor
internasional dan dunia bisnis/industri multinasional memperkuat orientasi
untuk mengeksplorasi pengetahuan secara global, yang ditandai oleh adanya
dukungan kebijakan dan pendanaan tadi, dan disisi lain, digunakannya hasil
kajian dari kaum intelektual untuk kepentingan pemerintahan dan bisnis.
Meskipun relasi ini juga banyak dikritik karena membuat dunia akademik
menjadi berkurang atau bahkan kehilangan independensi dan
‘netralitas’-nya;
Mengacu pada gagasan Alatas mengenai respon
Timur terhadap dominasi dan ketergantungan keilmuan, pada sebagian hal, menurut
saya, Timur ‘terpaksa’ sekali lagi harus
meniru langkah Barat dalam hal membangun kebanggaan keilmuan yang bersumber
dari tradisi pengetahuan Timur sendiri (dengan tetap mempelajari Barat
tentunya); mengembangkan tradisi eksplorasi dan pengujian keilmuan; memfokuskan
pengkajian pengetahuan mengenai dan dari sumber-sumber lokal dengan menggunakan
metode dan analisis ‘alternatif’; perlunya dukungan negara dan kerjasama dengan
swasta (meski orientasi kepentingan bisnis/industry perlu ‘dibatasi’ agar
independensi akademik tetap dapat dipertahankan). Intinya, bagaimana cakupan
kajian Timur juga dapat dilakukan seperti di Barat, namun dengan mengedepankan sumber
pengetahuan, metode, analisis, teori dan tentunya pemikir dari Timur sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar