Baca

Baca

Selasa, 27 Mei 2014

“Damocles dan Sebatang Pedang di Seutas Rambut Kuda”


“Damocles dan Sebatang Pedang di Seutas Rambut Kuda”

Oleh: Candra Kusuma

“Pedang Damocles” dalam Politik di Indonesia

Belum lama ini, saya sempat membaca kembali sebuah artikel lama yang ditulis oleh A. Rahman Tolleng di Majalah TEMPO edisi 4 Agustus 2002 lalu. Dalam artikel tersebut Pak Tolleng mengangkat isu mengenai ancaman dari dihidupkannya kembali mekanisme recall terhadap anggota legislatif oleh partai politik. Pada saat itu, partai-partai politik memang tengah memperdebatkan perlu tidaknya ada mekanisme pergantian antar waktu (PAW) atau recall oleh partai politik, yang tujuannya adalah untuk “mendisiplinkan” anggota mereka yang duduk di parlemen, khususnya untuk mereka yang dianggap mbalelo terhadap garis politik dan keputusan partai. Menurut Pak Tolleng, mekanisme recall tersebut membuat Indonesia akan kembali ke masa Orde Baru, di mana lembaga recall memang menjadi senjata yang ampuh untuk membungkam anggota legislatif. Recall ibarat Pedang Damocles yang siap menebas para anggota legislatif dari kursi empuknya. Secara resmi, recall tersebut menjadi domain partai politik, namun kuatnya posisi politik presiden, membuat praktik recalling tersebut dapat dilakukan atas pesanan Suharto sendiri.

Pak Tolleng mencatat, bahwa meskipun dari segi kuantitas sesungguhnya tidak banyak anggota DPR yang terkena sanksi recall, namun mekanisme tersebut mampu membuat anggota DPR dan MPR kala itu menjadi bisu dan hanya mengamini apa yang diusulkan dan diagendakan oleh pihak eksekutif. Menurutnya, “Alih-alih ditebas oleh pedang Damocles, para legislator lebih suka memilih membeo untuk bersama-sama menyanyikan kor Orde Baru.” Diujung artikelnya Pak Tolleng mengutip pandangan Muhammad Hatta dan ahli hukum Harun Alrasyid yang menyatakan bahwa recall tidak dikenal dalam kamus politik demokrasi, dan hanya dikenal dalam sistem fasisme dan komunisme.

Sulit untuk membantah kekhawatiran Pak Tolleng tersebut. Meskipun menurut saya mekanisme recall di lembaga legislatif masih tetap diperlukan untuk saat ini. Ketika para anggota legislatif tersebut tidak dapat berfungsi sesuai dengan tugasnya sebagai wakil rakyat, seperti: tingkat absensi tinggi; jarang atau bahkan tidak pernah menyampaikan pendapat dalam rapat; jarang atau tidak pernah mengurus konstituen di daerah pemilihannya; korupsi; dll., tentu wakil rakyat tersebut perlu diganti. Jadi indikator untuk dapat di-recall adalah terkait dengan kinerjanya sebagai wakil rakyat, dan bukan karena alasan berbeda pendapat atau tidak disukai oleh partai politik pengusungnya. Jadi “Pedang Damocles” dalam wujud lembaga recall “berbasis kinerja” tampaknya masih diperlukan.

Tapi apa dan siapa sesungguhnya Damocles yang kisahnya disitir Pak Tolleng tadi...?



Cicero dan Kisah Pedang Damocles 

Kisah mengenai Pedang Damocles adalah salah satu cerita kuno yang sangat menarik, karena mengisahkan mengenai betapa rapuhnya kekuasaan dan kebahagiaan. Konon kisah ini dipopulerkan oleh Cicero (106-43 BC), seorang politisi, filsuf dan orator terkenal dari era Romawi kuno. Cicero sendiri kabarnya membaca kisah ini dari sebuah buku berjudul  History of Timaeus of Tauromeniu. Cicero menuliskan kisah tersebut dalam bukunya yang berjudul Tusculan Disputations.

Hikayat Damocles kemudian menjadi cerita klasik yang banyak diulas para penulis, diantaranya James Baldwin yang menerjemahkan kisah tersebut ke bahasa Inggris. Baldwin menjadikan The Sword of Damocles sebagai salah satu  kisah dalam buku kumpulan ceritanya yang berjudul Fifty Famous Stories Retold (2010:89-91). Saya membaca kisah di buku tersebut minggu lalu, dan mencoba menerjemahkannya secara bebas, sebagai berikut:

Pada suatu masa pernah ada seorang raja bernama Dionysius. Dia adalah raja yang lalim dan kejam, di mana dia menyebut dirinya sendiri sebagai seorang tiran. Dionysius tahu bahwa hampir semua orang membencinya, dan ia selalu dalam ketakutan kalau-kalau ada orang yang akan mengambil nyawanya.

Dionysius sangatlah kaya, dan ia tinggal di sebuah istana yang megah yang diisi dengan benda-benda yang indah dan mahal, serta dilengkapi oleh para hamba yang selalu siap untuk melayani dirinya.

Suatu hari salah seorang temannya yang bernama Damocles berkata pada Dionysius: "Betapa senangnya anda ya Raja! Disini anda memiliki segala sesuatu yang diinginkan siapa pun." "Mungkin kau ingin bertukar tempat denganku," kata sang tiran.  "Tidak, bukan itu, ya raja" kata Damocles, "Tapi saya pikir, bahwa jika saya dapat memiliki kekayaan dan kesenangan yang anda miliki untuk satu hari  saja, tidak ada lagi kebahagiaan yang lebih besar yang dapat kumiliki."  "Baiklah, " kata sang tiran, "Kau boleh mencobanya."

Jadi, pada keesokan harinya, Damocles dibawa masuk ke istana , dan semua hamba yang diperintahkan untuk memperlakukannya sebagai raja mereka. Damocles duduk di meja di ruang perjamuan , dan beragam makanan yang sangat lezat disajikan di hadapannya. Tidak ada yang ketinggalan. Ada anggur mahal, bunga-bunga indah, parfum langka, dan musik yang menyenangkan . Dia beristirahat diantara tumpukan bantal yang lembut, dan merasa bahwa dia adalah orang yang paling bahagia di seluruh dunia.

Lalu secara kebetulan Damocles mengangkat pandangannya ke langit-langit. “Apa itu yang menggantung di atasnya, dengan ujung benda itu hampir menyentuh kepalanya?”, pikirnya. Ternyata itu adalah pedang yang yang sangat tajam, dan hanya digantung dengan sehelai rambut kuda saja. “Bagaimana jika rambut kuda itu putus? Ada bahaya setiap saat jika itu memang terjadi,” pikir Damocles cemas.

Senyum memudar dari bibir Damocles. Wajahnya menjadi pucat abu-abu. Tangannya gemetar. Dia tidak ingin makan makanan lezat lagi; ia tidak bisa minum anggur lagi; ia tidak dapat menikmati music yang merdu itu lagi. Dia ingin segera keluar dari istana, dan pergi sejauh mungkin, tak peduli kemana.

 “Apa yang terjadi?" tanya Dionysius sang tiran. "Pedang itu! Pedang itu!" teriak Damocles. Dia begitu ketakutan hingga sama sekali tidak berani bergerak.  "Ya," kata Dionysius, "Aku tahu ada pedang di atas kepalamu, dan memang benar bahwa pedang itu mungkin dapat jatuh setiap saat. Tapi kenapa itu jadi masalah buatmu? Aku memiliki pedang di atas kepalaku sepanjang waktu. Aku ketakutan setiap saat kalau-kalau sesuatu dapat menyebabkanku kehilangan nyawaku sendiri."

"Biarkan saya pergi," kata Damocles. "Sekarang saya melihat bahwa saya keliru, dan bahwa orang kaya dan berkuasa tidak begitu bahagia sebagaimana yang tampak. Biarkan aku kembali ke rumah lama saya di pondok kecil miskin di antara gunung-gunung."

Dan selama ia hidup, Damocles tidak pernah lagi ingin menjadi orang kaya, atau sekedar untuk bertukar tempat, bahkan meski hanya untuk sesaat saja, dengan sang raja.

Menurut saya kisah Pedang Damocles dapat dimaknai dalam banyak tafsir, dan menjadi kiasan yang sangat fleksibel untuk digunakan sebagai ilustrasi bagi banyak hal. Baik Dionysius maupun Damocles sendiri tampaknya juga memiliki pemaknaan yang berbeda mengenai “sebatang pedang yang digantung pada seutas rambut kuda di atas kepala penguasa.”

Bagi Dionysius, pedang yang digantungnya tersebut adalah menjadi pengingat baginya, bahwa banyak orang lain yang juga menginginkan kedudukannya. Pembunuhan dan kematian menjadi ancaman konstan bagi kelangsungan nyawa dan seluruh kenikmatan hidup yang dapat dinikmati dari kedudukannya sebagai raja. Sangat mungkin, hal inilah yang membuatnya menjadi penguasa yang lalim dan kejam, serta selalu bersiaga dan ringan tangan menumpas semua benih ketidakpatuhan dan pemberontakan dengan pedangnya yang lain.

Sementara bagi Damocles sendiri, pedang yang digantung Dionysius tersebut justru membuatnya menjadi takut setengah mati, dan sekaligus membuatnya sadar bahwa para penguasa memang dapat menikmati berbagai kenikmatan dunia, namun itu semua hanyalah bersifat sementara. Semua kenikmatan tersebut, dan bahkan nyawa mereka sendiri dapat lenyap karena mereka senantiasa hidup di bawah ancaman “ujung pedang.”

Dalam konteks masa kini, jika saja semua Presiden, politisi dan pejabat publik lainnya mau membangun imajinasi akan adanya Pedang Damocles yang tergantung di atas kepala mereka serta menafsirkannya seperti Damocles (dan bukan seperti tafsirnya Dionysius yang membuatnya menjadi tiran), mungkin saja mereka akan mampu bekerja lebih baik, lebih melayani rakyat, menjauhkan diri dari korupsi, dsb.

----------------------------------
Sumber:
 A. Rahman Tolleng. “Pedang Damocles Bagi Legislator.” Majalah TEMPO. 4 Agustus 2002.
 James Baldwin. “The Sword of Damocles,” on Fifty Famous Stories Retold. Yesterday's Classics. 2010, p.89-91.
 “The Sword of Damocles,”  http://www.livius.org/sh-si/sicily/sicily_t11.html, diakses 24 Mei 2014.


Sabtu, 17 Mei 2014

"Hebohnya Memilih Capres dan Cawapres di Indonesia"




“Sarah Palin dan Hebohnya Memilih Capres dan Cawapres di Indonesia”

Candra Kusuma


Jelang Pemilu di Amerika Serikat tahun 2008, Partai Republik sibuk menggodog nama-nama Cawapres yang akan mendampingi Capres hasil Konvensi Partai Republik, John McCain. Sang Capres sendiri sudah sejak awal mengadang-gadang kawan lamanya yaitu Senator Demokrat dari Connecticut Joe Lieberman sebagai Cawapresnya. Lieberman sendiri menyebut dirinya sebagai Independent Democrat, karena dalam banyak hal dia merasa banyak kesamaan gagasan dengan kalangan Republik. Lieberman adalah seorang Demokrat yang paling hawkish di Senat AS (Heilemann dan Halperin, 2010:285). Namun, tim pemenangan Pemilu di Partai Republik mengganggap Lieberman punya kelemahan, yaitu sikap politiknya yang pro-choice dikhawatirkan justru akan menjauhkan para pemilih tradisional Republik. Selain itu, Partai Republik juga merasa agak keteteran dalam hal pengumpulan dana kampanye dari publik. Maklum saja, lawan mereka dari Partai Demokrat kala itu adalah sang rising star yaitu Barack Obama, yang didampingi oleh veteran politik Joe Biden sebagai Cawapres.

Para penasehat inti dari tim kampanye McCain kemudian memandang perlunya Republik memiliki Cawapres yang dapat membalik keadaan dan merubah irama kompetisi. Pilihan kemudian jatuh pada Sarah Palin, yang saat itu masih menjabat sebagai Gubernur Alaska (2006), dan pernah menjadi Walikota Wasilla (dua periode, 1996 dan 1999). Palin terpilih sebagai perempuan kedua yang menjadi Cawapres di AS, dan yang pertama dari Partai Republik.

Sebagai sarjana jurnalistik dari Universitas Idaho dan mantan Miss Wasilla Beauty Peagant, Palin memiliki kemampuan yang luar biasa ketika ketika tampil di depan publik. Meskipun banyak media mencitrakannya sebagai “perempuan cantik yang tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman politik yang memadai” , akibat blunder yang ditimbulkannya pada saat wawancara langsung dengan sejumlah media. Pada akhirnya pasangan McCain dan Palin memang gagal menjadi Presiden dan Wapres AS 2008-2012. Namun kehadiran Palin kemudian dipandang cukup berhasil memberi nuansa baru bagi Partai Republik dan Pemilu di AS secara umum. Bahwa perempuan, masih muda (kala itu berusia 44 tahun), hanya politisi lokal, bukan lulusan universitas utama, punya lima anak dan juga seorang pengusaha, juga dapat tampil secara cukup memadai sebagai seorang politisi tangguh di tingkat nasional.

Itulah inti cerita dari film berjudul “Game Change” yang diproduksi tahun 2012. Saya sendiri baru dapat menontonnya pada tahun 2013 lalu. Film ini dibintangi oleh artis cantik Julianne More sebagai Palin (diantaranya pernah membintangi film Hannibal dan Hunger Games), Woody Harrelson sebagai ahli strategi kampanye  Steve Schmidt, dan Ed Harris sebagai Capres Partai Republik John McCain. Film ini diangkat dari buku berjudul “Game Change: Obama and the Clintons, McCain and Palin, and the Race of a Lifetime” yang ditulis oleh John Heilemann and Mark Halperin (2010). Buku ini, bersama  buku “Sarah Palin: A Biography” karya Carolyn Kraemer Cooper (2011), baru saja sempat saya baca kembali sepintas minggu ini.

Hebohnya memilih Capres dan Cawapres dalam Pemilu 2014 di Indonesia

Saya bukan ahli politik, apalagi perbandingan sistem politik. Tetapi sebagai rakyat, saya merasa bahwa pada Pemilu 2014, Indonesia jauh lebih heboh dibandingkan Amerika Serikat, dalam hal memilih Cawapres dalam Pemilunya masing-masing. Dari dua atau tiga kubu politik yang kemungkinan akan bertarung dalam Pilpres nanti, sampai saat ini (17 Mei 2014), belum ada satu pasanganpun yang sudah jelas dan pasti siapa Cawapresnya, sementara batas akhir pengajuan nama Capres dan Cawapres ke KPU adalah tanggal 20 Mei 2014. Akibat tidak ada satupun partai yang memperoleh 25 persen suara sah dalam Pemilu Legislatif atau memperoleh paling sedikit 20 persen  kursi DPR,  partai politik  dengan suara terbanyakpun harus mencari dukungan suara dari partai-partai lainnya. Repotnya, partai-partai “koalisi” tersebut saling berebut mengajukan nama Cawapres dari partainya sendiri, dan cenderung merajuk bahkan mengancam keluar dari “koalisi” jika mereka tidak dilibatkan penuh dalam menentukan Cawapres tersebut.

Sebagai sama-sama penganut presidential system, tampaknya Amerika Serikat jauh lebih simple dalam urusan memilih Capres dan Presiden. Sistem Dua Partai di sana membuat urusan memilih Capres dilakukan dengan konvensi di internal partai, untuk selanjutnya Capres terpilih tersebut dapat memilih siapa Cawapres yang akan mendampinginya. Dalam film “Game Change” tadi, digambarkan bagaimana setelah McCain menyetujui nama Sarah Palin yang diajukan oleh tim suksesnya untuk menjadi Cawapres, maka McCain sendiri yang kemudian langsung menelepon Palin di Alaska, dan malam itu juga Palin langsung terbang menemui McCain di markas kampanyenya.

Jadi apa mau dikata, di Indonesia semua hal bisa diatur, disesuaikan dan dicocok-cocokkan. Meskipun menganut presidential system, di Indonesia berlaku juga sistem multi partai yang menurut banyak ahli sesungguhnya lebih cocok digunakan dalam sistem partementer. Bahkan sejak sepuluh tahun lalu, mulai dikenal adanya istilah “koalisi partai” dan “partai oposisi”, yang juga tidak dikenal dalam sistem presidensial. Akibatnya, bangsa kita sibuk menjadikan Pemilu sebagai ritual berkala untuk memilih orang saja, dan bukan sibuk mendebatkan apa gagasan yang ditawarkan untuk membangun bangsa ini.  

-----------------------------------
Referensi:
·      John Heilemann and Mark Halperin. Game Change: Obama and the Clintons, McCain and Palin, and the Race of a Lifetime. HarperCollins. 2010.
·     Carolyn Kraemer Cooper. Sarah Palin: A Biography. Greenwood Biographies. 2011.

Senin, 12 Mei 2014

"Milan Kundera dan Social Amnesia di Indonesia"



“Milan Kundera dan Social Amnesia di Indonesia”

Candra Kusuma

Saya ingat betul, buku ini saya beli di Gramedia – Bandung pada bulan Juni 2000. Terjemahan dari novel karya Milan Kundera berjudul “Kitab Lupa dan Gelak Tawa” ini memang pertama kali diterbitkan oleh Penerbit Bentang pada Mei 2000. Jadi barangkali saya termasuk rombongan awal pembacanya saat itu. Tentu saja saya ingat hal ini bukan karena saya memang punya ingatan kuat, tapi semata karena dulu saya terbiasa menulis tanggal dan tempat  pembelian buku. Maklum saja, karena memang kapasitas fiskal yang terbatas, dulu rasanya perlu perjuangan yang sangat besar untuk dapat membeli buku baru setiap bulannya.

Diantara semua karya Milan Kundera, novel ini tampaknya memang yang paling berpengaruh. Versi Inggrisnya berjudul “The Book of Laughter and Forgetting”. Saya sendiri baru dapat membaca versi Inggris-nya yang diterbitkan HarperPerennial (1996) beberapa tahun lalu. Buku ini pula membuat Kundera menjadi warga buangan seumur hidup. Diterbitkannya buku ini di luar negeri, membuat pemerintah Ceko mencabut kewarganegaraan Ceko-nya pada tahun 1979. Namun akibat tekanan politik yang dialami di tanah airnya sendiri,  Kundera dan istrinya sesungguhnya sudah menjadi exile di Perancis sejak tahun 1975.

Novel ini sesungguhnya adalah kumpulan cerita pendek, dengan tema sentral mengenai kekuasaan politik. Namun ketika berbicara tentang kekuasaan, Milan Kundera tidak sedang berbicara tentang kekuasaan pada umumnya. Ia bicara tentang kekuasaan yang disalahgunakan. Kekuasaan yang cenderung korup dan menindas. Dia tengah mencela totalitarianisme sebagai bentuk pelecehan kekuasaan yang mengancam kemanusiaan. Tidak heran, jika kemudian salah satu bagian yang paling banyak dikutip orang dari novel ini adalah ucapan salah satu tokoh di dalamnya: “The struggle of man against power is the struggle of memory against forgetting” (Milan Kundera, 1996:4). Bahwa perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa.

Tema yang diangkat dalam novelnya ini memang tidak lepas dari kisah hidup penulisnya sendiri. Milan Kundera lahir di Brno, Cekoslowakia tahun 1929. Tepat setelah Perang Dunia II, Milan Kundera masuk menjadi anggota Partai Komunis Ceko. Namun ketika terjadi pengambilalihan Praha tahun 1948, -- yang pada saat itu ia masih mahasiswa— Kundera memutuskan untuk keluar dari Partai tersebut. Ia kemudian bekerja sebagai buruh dan musisi jazz, untuk kemudian mengabdikan diri sepenuhnya pada kesusastraan dan film. Ia memang menjadi profersor di Prague Institute for Advanced Cinematographic Studies. Ia menulis kumpulan cerita berjudul “Laughable Loves” di Praha sebelum tahun 1968.
Setelah invasi Rusia buan Agustus 1968, ia kehilangan pekerjaannya dan buku-bukunya dicekal. Namun bintangnya justru bersinar di tempat lain. Novelnya yang berjudul “Life is Elsewhere” menjadi novel asing terbaik di Perancis tahun 1973. Sementara novel lainnya berjudul “The Farewell Party” menjadi novel asing terbaik di Italia tahun 1976.

Dalam novel ini tampaknya Kundera ingin bercerita bahwa invasi informasi yang bertubi-tubi mengenai berbagai peristiwa yang terjadi di sekitar kita telah membuat manusia menjadi familiar dan akhirnya permisif dengan berbagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang menimbulkan kerusakan dan kejahatan sosial dan kemanusiaan. Singkatnya, manusia menjadi gampang lupa dengan berbagai tragedi kemanusiaan yang justru terjadi akibat perbuatan manusia lainnya. Dalam salah satu bagian Kundera menulis:

Dalam masa ketika sejarah masih bergerak secara perlahan, peristiwa-peristiwa begitu sedikit dan jarang terjadi dan dengan mudah diingat. Peristiwa-peristiwa itu membentuk latar belakang umum bagi adegan-adegan petualangan yang mendebarkan dalam kehidupan pribadi. Dewasa ini sejarah bergerak dengan kecepatan tinggi. Sebuah peristiwa sejarah, meskipun segera terlupakan, menerangi pagi berikutnya dengan embun kebaruan. Tak ada lagi latar belakang – latar belakang itu kini menjadi petualangan itu sendiri, sebuah petualangan yang mengambil tempat di hadapan latar belakang kebanalan kehidupan pribadi yang telah diterima begitu saja.” (Milan Kundera, 2000:10-11)

Beruntung, pada novel terjemahan Indonesia-nya, dilampirkan juga sebagian hasil wawancara Philip Roth (General Editor of the Penguin Books, 1974-1989) dengan Kundera, di mana ada banyak hal yang dapat dipelajari dari cerita di balik novel ini. Dari wawancara tersebut, saya menangkap kesan bahwa Kundera mengangkat tema “Lupa” yang berkaitan dengan berkurang atau bahkan hilangnya ingatan kolektif (collective memory) suatu masyarakat atau bangsa akan masa lalunya. Ceritanya ini tidak dapat dilepaskan dari pengalamannya sendiri menyaksikan invasi Rusia ke Ceko pada tahun 1960-an, dimana terjadi apa yang saya sebut sebagai Rusianisasi yang beriringan dengan upaya De-Cekoisasi.

“…Lupa… Inilah masalah pribadi manusia yang besar, kematian sebagai hilangnya diri. Tapi apakah diri ini? Diri adalah keseluruhan dari segala sesuatu yang kita ingat. Jadi, yang membuat kita takut pada kematian bukanlah hilangnya masa depan, melainkan hilangnya masa lalu. Lupa merupakan sebentuk kematian yang hadir dalam kehidupan… Bangsa yang kehilangan kesadaran akan masa lalunya perlahan-lahan akan kehilangan dirinya.”

Kundera melihat bahwa bangsanya sendiri di Cekoa telah dibius oleh janji-janji akan surga dunia. Sementara ideologi dan praktek kekuasaan totalitarianisme adalah justru yang akan membungkam kebebasan rakyatnya sendiri.

“Totalitarianisme bukan hanya neraka, tetapi juga impian akan surga – mimpi klasik mengenai sebuah dunia, di mana setiap orang akan hidup dalam kerukunan, disatukan oleh keyakinan dan kemauan bersama yang tunggal, tanpa rahasia antara satu sama lainnya… Jika totalitarianism tidak mengeksploitir arketip-arketip ini, yang tersimpan jauh dalam diri kita dan berakar kuat dalam semua agama, ia tidak akan pernah dapat menarik begitu banyak orang, terutama selama masa-masa awal keberadaannya. Sekali impian mengenai surga itu mulai berubah menjadi kenyataan, disana-sini mendadak bermunculan orang-orang merintangi jalannya. Dengan demikian, para pemimpin surga harus membangun gulag kecil di sebelah Eden. Seiring dengan berjalannya waktu, gulag ini pun tumbuh semakin besar dan sempurna, sementara surga yang berada di tengahnya semakin kecil dan menyedihkan.”

Menurut Kundera, totalitarianisme menjadikan sebuah masyarakat dan bangsa lupa akan masa lalu dan curiga pada pemikiran kritis.

“…Totalitarianisme, yang melepaskan orang dari memori dan, karenanya, menjauhkan mereka ke dalam bangsa anak-anak. Semua totalitarianisme melakukan ini. Dan mungkin segenap abad teknik kita melakukan ini, dengan pemujaannya pada masa depan, pemujaannya pada masa muda dan kanak-kanak, ketidakpeduliannya pada masa lalu dan kecurigaannya pada pemikiran. Di tengah masyarakat anak-anak yang tak berbelaskasihan, seorang dewasa yang dilengkapi memori dan ironi akan merasa seperti Tamina di pulau anak-anak.”

Sementara “Gelak Tawa” bagi Kundera adalah ibarat koin bersisi dua. Tawa adalah perlambang yang mewakili dua kubu yang bersebarangan, yaitu tawa kaum fanatik dan kaum skeptis.

“…manusia menggunakan manifestasi fisiologis yang sama –gelak tawa— untuk mengekspresikan dua sikap metafisis yang berbeda… Gelak tawa antusias dari pada malaikat yang fanatik, yang begitu yakin akan arti penting dunia mereka, sehingga mereka siap menggantung siapa saja yang tidak ikut bergembira bersama mereka. Dan gelak tawa yang lain, yang berbunyi dari sisi berseberangan, memproklamirkan bahwa segala sesuatunya sudah tidak punya makna, bahwa bahkan upacara pemakaman pun menjadi menggelikan dan grup seks hanyalah pantomim komikal belaka. Kehidupan manusia dibatasi oleh dua jurang: fanatisme di satu sisi, dan skeptisisme absolut di sisi lain.”

Bagi Kundera, senyum dan humor adalah pembeda sekaligus bentuk perlawanan terhadap totalitarinisme dan segala bentuk upaya penghilangan ingatan kolektif suatu masayarakat atau bangsa. Senyum dan humor adalah kemanusiaan yang perlu dipelihara diantara dunia jargon, janji, mimpi, disiplin, penyeragaman, dan kekerasan pikiran dan fisik yang menjadi instrumen standar yang digunakan  semua penguasa otoriter dan totaliter.

“Saya mempelajari nilai humor selama masa teror Stalin. Saya berusia dua puluh tahun waktu itu. Saya selalu bisa mengenali orang yang bukan Stalinis, orang yang tidak perlu saya takuti, hanya melalui caranya tersenyum. Rasa humor adalah tanda pengenal yang layak dipercayai. Sejak itu, saya takut pada dunia yang kehilangan rasa humornya.”

Bangsa Indonesia mengidap Social Amnesia?

Tema yang diangkat Milan Kundera dalam novelnya ini sangat dekat dengan konsep social amnesia yang dipopulerkan oleh Russel Jacoby dalam bukunya “Social Amnesia: A Critique of Contemporary Psychology” (1975). Social amnesia digunakannya untuk menyebut kondisi “a collective forgetting by a group of people” atau masyarakat yang lupa secara kolektif. Kondisi ini dapat diakibatkan oleh adanya paksaan (forcible repression) atas ingatan, perubahan kondisi ataupun akibat cepatnya perubahan-perubahan yang terjadi.

Dalam masyarakat yang mengalami social amnesia, masa lalu bukanlan sesuatu yang cukup bermakna dan penting untuk menjadi pertimbangan dalam menilai dan menjalani hari ini, dan dalam merancang masa depan. Hidup adalah untuk “masa depan” dan tidak peduli dengan apa yang terjadi kemarin dan apa yang harus dikorbankan hari ini.

Membaca novel Milan Kundera sangat mudah karena konteksnya sangat dekat dengan apa yang telah dan tengah terjadi di masyarakat dan bangsa Indonesia. Di Indonesia saat ini memang tidak terjadi invasi fisik oleh bangsa lain yang memaksakan satu ideologi tertentu. Namun represi memang bukan barang baru disini. Adanya bagian dari masyarakat Indonesia sendiri yang gemar memaksakan keinginan dan keyakinannnya sendiri, menginginkan adanya disiplin ketat dan penyeragaman pikiran, yang jika perlu dilakukan dengan kekuatan dan kekerasan, juga bukan sesuatu yang asing di negara ini. Adanya kekuasaan yang otoriter, pembunuhan politik, penculikan, pelarangan, sensor, korupsi, manipulasi, konspirasi, sesungguhnya adalah juga bagian dari sejarah di sini.

Manusia memang mungkin bisa mati berdiri jika terus mengingat semua yang pernah diketahui dan dialaminya. Dapat lupa adalah manusiawi, perlu untuk dapat tidur nyenyak dan dapat tetap menjaga kewarasan. Namun, ada banyak hal mendasar menyangkut kehidupan bersama sebagai masyarakat dan bangsa yang tetap perlu diingat dan menjadi dasar dalam menentukan langkah hari ini dan esok. Sementara, tekanan hidup sehari-hari mungkin memang gampang membuat manusia menjadi lupa dan permisif. Atomisasi kehidupan membuat persoalan yang menimpa orang lain, seburuk apapun, sejauh tidak terkait langsung dengan dirinya, dianggap bukan menjadi bagian dari persoalannya. Bahkan, persoalan buruk yang terjadi di masa lalu yang secara langsung dialaminyapun, mungkin coba dilihatnya lagi dengan cara berbeda, sehingga itu kemudian menjadi “bukan persoalan” lagi. Entah dengan rasionalisasi, ataupun kompensasi, banyak hal kemudian menjadi terlupa. Dengan kondisi tersebut terjadi secara massif, maka terbentuklan apa yang disebut Russel Jacoby tadi sebagai social amnesia.

Pada akhirnya, di masyarakat atau bangsa pengidap social amnesia ini, orang yang terbukti korupsi di masa lalu tetap mungkin bisa tetap menjadi pejabat publik. Orang-orang yang disangka sebagai pelanggar HAM di masa lalu mungkin bisa jadi Presiden. Bahkan mungkin, pelaku trafficking dan paedofil di masa lalu suatu saat bisa jadi Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di masa depan.

Semoga saja tidak… atau ternyata kita memang suka membiarkan bangsa ini menjadi bangsa yang tidak saja menderita social amnesia akut, tapi juga menjadi bangsa yang bodoh dan gila…

-------------------------
Referensi:
-          Milan Kundera. The Book of Laughter and Forgetting. Translated from the French by Aaron Asher. HarperPerennial. 1996.
-          Milan Kundera. Kitab Lupa dan Gelak Tawa. Bentang. 2000.
-          Russel Jacoby. Social Amnesia: A Critique of Contemporary Psychology. Transaction Publishers. 1975.