Baca

Baca

Rabu, 02 April 2014

G.O.L.P.U.T.


Golongan Putih

Dalam suasana menjelang Hari-H Pemilu 2014, mulai terdengar lagi wacana mengenai “Golput.” Golput atau Golongan Putih adalah kelompok yang tidak ikut memilih dalam Pemilu, baik karena terpaksa, dibuat tidak memilih (tidak didaftar sebagai pemilih), ataupun karena memang secara sadar tidak mau memilih (choose not to elect). Golput ini oleh banyak ahli dipandang telah menjadi salah satu ancaman terbesar bagi demokrasi representatif, yang  tidak hanya terjadi di Indonesia tapi juga di seluruh negara demokratis di dunia, karena terutama dipandang dapat menggerogoti dan melemahkan legitimasi pemerintahan dan politisi terpilih dalam Pemilu. 

Golput karena terpaksa, misalnya saja karena tengah di perjalanan jauh atau tinggal jauh di pulau terpencil, umumnya masih dapat dimaklumi. Sebaliknya, Golput karena dipaksa tidak memilih, dipandang sebagai pelanggaran terhadap hak politik warga negara oleh  pemerintah/penguasa. Sementara jenis Golput  yang disebabkan karena kesadaran politiknya sendiri, oleh sebagian orang dipandang sebagai sebuah bentuk sikap politik yang juga harus diakui, yaitu sebagai kritik terhadap sistem demokrasi representatif yang makin oligarkis dan cenderung korup serta tidak mampu menyediakan calon-calon pemimpin yang sesuai dengan harapan rakyat.

Uniknya, dan ini mungkin hanya terjadi di Indonesia saja,  masalah Golput ini sampai terbawa  ke urusan “halal-haram.”  Belum lama ini Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur telah mengeluarkan fatwa, bahwa masyarakat yang tidak ikut Pemilu alias Golput adalah haram. MUI meminta masyarakat untuk ikut peran serta atau mencoblos di Pemilu 2014 nanti. Meskipun menurut Ketua MUI Jawa Timur, istilah yang digunakan dalam keputusan MUI bukanlah Golput. Akan tetapi, MUI menyatakan bahwa Nasbul Imamah atau mengangkat pemimpin itu hukumannya wajib. Artinya memilih pemimpin yang amanah, jujur, adil, beriman dan bertaqwa itu hukumnya wajib. Jika ada pemimpin yang memiliki sifat tersebut, maka wajib hukumnya untuk dipilih. Namun jika tidak dipilih, maka orang yang tidak memilihnya akan menanggung dosa. Tetapi, MUI Jawa Timur juga memfatwakan bahwa tindakan memilih politisi yang memiliki track record yang jelek, suka korupsi, akhlaknya jelek, juga termasuk berdosa. Sayangnya, dalam berita yang cukup banyak diliput media tersebut, tidak disebutkan bagaimana seharusnya sikap masyarakat jika merasa sulit atau bahkan tidak dapat menemukan politisi (Caleg dan Capres/Cawapres yang tidak sesuai dengan kriteria tadi, yaitu sebagai pemimpin yang amanah, jujur, adil, beriman dan bertaqwa tersebut. Lima tahun lalu (2009) sesungguhnya MUI Pusat sudah mengeluarkan fatwa wajib memberikan suara dalam Pemilu. MUI tidak mengeluarkan fatwa mengenai Golput.

Saya sendiri masih berniat ikut menggunakan hak pilih pada Pemilu kali ini. Tapi saya juga tergoda untuk membaca lagi mengenai tema Golput ini. Agar dapat berbagi, saya cuplik secara utuh bagian dari tulisan Bismar Arianto berjudul “Analisis Penyebab Masyarakat Tidak Memilih dalam Pemilu,” yang dimuat pada Jurnal Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan, Vol. 1, No. 1, 2011.

------------------------------------ 

Kerangka Teori

Dalam kajian perilaku pemilih hanya ada dua konsep utama, yaitu; perilaku memilih (voting behavior) dan perilaku tidak memilih (non voting behavior). David Moon mengatakan ada dua pendekatan teoritik utama dalam menjelaskan prilaku non-voting yaitu: pertama, menekankan pada karakteristik sosial dan psikologi pemilih dan karakteristik institusional sistem pemilu; dan kedua, menekankan pada harapan pemilih tentang keuntungan dan kerugian atas keputusan mereka untuk hadir atau tidak hadir memilih (dalam Hasanuddin M. Saleh, 2007).

Istilah Golput muncul pertama kali menjelang pemilu pertama zaman Orde Baru tahun 1971. Pemrakarsa sikap untuk tidak memilih itu, antara lain Arief Budiman, Julius Usman dan almarhum Imam Malujo Sumali. Langkah mereka didasari pada pandangan bahwa aturan main berdemokrasi tidak ditegakkan, cenderung diinjak-injak (Fadillah Putra, 2003: 104).

Golput menurut Arif Budiman bukan sebuah organisasi tanpa pengurus tetapi hanya merupakan pertemuan solidaritas (Arif Budiman). Sedangkan Arbi Sanit mengatakan bahwa Golput adalah gerakan protes politik yang didasarkan pada segenap problem kebangsaan, sasaran protes dari dari gerakan Golput adalah penyelenggaraan pemilu. Mengenai Golput alm. KH. Abdurrahaman Wahid pernah mengatakan “ kalau tidak ada yang bisa di percaya, ngapain repot-repot ke kotak suara? Dari pada nanti kecewa” (Abdurrahamn Wahid, dkk., 2009: 1).

Sikap orang-orang Golput, menurut Arbi Sanit dalam memilih memang berbeda dengan kelompok pemilih lain atas dasar cara penggunaan hak pilih. Apabila pemilih umumnya menggunakan hak pilih sesuai peraturan yang berlaku atau tidak menggunakan hak pilih karena berhalangan di luar kontrolnya, kaum Golput menggunakan hak pilih dengan tiga kemungkinan.

Pertama, menusuk lebih dari satu gambar partai. Kedua ,menusuk bagian putih dari kartu suara. Ketiga, tidak mendatangi kotak suara dengan kesadaran untuk tidak menggunakan hak pilih. Bagi mereka, memilih dalam pemilu sepenuhnya adalah hak. Kewajiban mereka dalam kaitan dengan hak pilih ialah menggunakannya secara bertanggungjawab dengan menekankan kaitan penyerahan suara kepada tujuan pemilu, tidak hanya membatasi pada penyerahan suara kepada salah satu kontestan pemilu (Arbi Sanit, 1992).

Jadi berdasarkan hal di atas, Golput adalah mereka yang dengan sengaja dan dengan suatu maksud dan tujuan yang jelas menolak memberikan suara dalam pemilu. Dengan demikian, orang-orang yang berhalangan hadir di Tempat Pemilihan Suara (TPS) hanya karena alasan teknis, seperti jauhnya TPS atau terluput dari pendaftaran, otomatis dikeluarkan dari kategori Golput. Begitu pula persyaratan yang diperlukan untuk menjadi Golput bukan lagi sekedar memiliki rasa enggan atau malas ke TPS tanpa maksud yang jelas. Pengecualian kedua golongan ini dari istilah Golput tidak hanya memurnikan wawasan mengenai kelompok itu, melainkan juga sekaligus memperkecil kemungkinan terjadinya pengaburan makna, baik di sengaja maupun tidak.

Eep Saefulloh Fatah, mengklasifikasikan Golput atas empat golongan. Pertama, Golput teknis, yakni mereka yang karena sebab-sebab teknis tertentu (seperti keluarga meninggal, ketiduran, dan lain-lain) berhalangan hadir ke tempat pemungutan suara, atau mereka yang keliru mencoblos sehingga suaranya dinyatakan tidak sah. Kedua, Golput teknis-politis, seperti mereka yang tidak terdaftar sebagai pemilih karena kesalahan dirinya atau pihak lain (lembaga statistik, penyelenggara pemilu). Ketiga, Golput politis, yakni mereka yang merasa tak punya pilihan dari kandidat yang tersedia atau tak percaya bahwa pileg/pilkada akan membawa perubahan dan perbaikan. Keempat, Golput ideologis, yakni mereka yang tak percaya pada mekanisme demokrasi (liberal) dan tak mau terlibat di dalamnya entah karena alasan fundamentalisme agama atau alasan politik-ideologi lain (dalam Hery M.N. Fathah).

Sedangkan menurut Novel Ali (1999:22)., di Indonesia terdapat dua kelompok Golput. Pertama, adalah kelompok Golput awam. Yaitu mereka yang tidak mempergunakan hak pilihnya bukan karena alasan politik, tetapi karena alasan ekonomi, kesibukan dan sebagainya. Kemampuan politik kelompok ini tidak sampai ke tingkat analisis, melainkan hanya sampai tingkat deskriptif saja. Kedua, adalah kelompok Golput pilihan. Yaitu mereka yang tidak bersedia menggunakan hak pilihnya dalam pemilu benar-benar karena alasan politik. Misalnya tidak puas dengan kualitas partai politik yang ada. Atau karena mereka menginginkan adanya satu organisasi politik lain yang sekarang belum ada. Maupun karena mereka mengkehendaki pemilu atas dasar system distrik, dan berbagai alasan lainnya. Kemampuan analisis politik mereka jauh lebih tinggi dibandingkan Golput awam. Golput pilihan ini memiliki kemampuan analisis politik yang tidak cuma berada pada tingkat deskripsi saja, tapi juga pada tingkat evaluasi.

Analisa Penyebab Golput

Berdasar pemaparan secara teoritis dan tinjauan penelitian sebelumnya ada perbedaan pendapat para ahli dan temuan hasil penelitian tentang fenomena Golput. Menurut David Moon ada perilaku non-voting yaitu pertama, menekankan pada karakteristik sosial dan psikologi pemilih serta karakteristik institusional sistem pemilu; dan kedua, menekankan pada harapan pemilih tentang keuntungan dan kerugian atas keputusan mereka untuk hadir atau tidak hadir memilih.

Merujuk pedapat Arbi Sanit Golput dapat diklasifikasi menjadi tiga yaitu Pertama, menusuk lebih dari satu gambar partai. Kedua ,menusuk bagian putih dari kartu suara. Ketiga, tidak mendatangi kotak suara dengan kesadaran untuk tidak menggunakan hak pilih. Sedangkan menurut Novel Ali dapat di bagi dua kelompok Golput awam dan kelompok Golput pilihan. Secara lebih detail diuraikan oleh Eep Saefulloh Fatah Golput teknis, Golput teknis-politis Golput politis dan Golput ideologis.

Hasil penelitian Tauchid Dwijayanto dalam kasus pilkada Jawa Tengah ada tiga yang menyebabkan terjadinya Golput yaitu lemahnya sosialisasi, masyarakat lebih mementingkan kebutuhan ekonomi dan sikap apatisme masyarakat. Berdasarkan hasil temuan Efniwati ada dua hal yang menyebabkan pemilih Golput yaitu faktor pekerjaan dan faktor lokasi TPS. Kemudian Eriyanto mengatakan ada empat alasan mengapa pemilih Golput yaitu karena administratif, teknis, rendahnya keterlibatan atau ketertarikan pada politik (political engagement) dan kalkulasi rasional.

Berangkat dari penjelasan ini dalam pemahaman penulis faktor yang menyebabkan masyarakat untuk tidak menggunakan hak pilihnya secara sederhana dapat di klasifikasikan kedalam dua kelompok besar yaitu faktor dari internal pemilih dan faktor ekternal. Faktor internal yang penulis maksud adalah alasan pemilih untuk tidak menggunakan hak pilih dalam pemilu bersumber dari dirinya sendiri, sedangkan ekternal alasan tersebut datang dari luar dirinya.

1. Faktor Internal
Tabel di atas menunjukkan tiga alasan yang datang dari individu pemilih yang mengakibatkan mereka tidak menggunakan hak pilih. Diantaranya alasan teknis dan pekerjaan pemilih.

a. Faktor Teknis
Faktor teknis yang penulis maksud adalah adanya kendala yang bersifat teknis yang dialami oleh pemilih sehingga menghalanginya untuk menggunakan hak pilih. Seperti pada saat hari pencoblosan pemilih sedang sakit, pemilih sedang ada kegiatan yang lain serta berbagai hal lainnya yang sifatnya menyangkut pribadi pemilih. Kondisi itulah yang secara teknis membuat pemilih tidak datang ke TPS untuk menggunakan hak pilihnya.

Faktor teknis ini dalam pemahaman dapat di klasifikasikan ke dalam dua hal yaitu teknis mutlak dan teknis yang bisa di tolerir. Teknis mutlak adalah kendala yang serta merta membuat pemilih tidak bisa hadir ke TPS seperti sakit yang membuat pemilih tidak bisa keluar rumah. Sedang berada di luar kota. Kondisi yang seperti yang penulis maksud teknis mutlak. Teknis yang dapat di tolerir adalah permasalahan yang sifatnya sederhana yang melakat pada pribadi pemilih yang mengakibat tidak datang ke TPS. Seperti ada keperluan keluarga, merencanakan liburan pada saat hari pemilihan. Pada kasus-kasus seperti ini dalam pemahaman penulis pemilih masih bisa mensiasatinya, yaitu dengan cara mendatangi TPS untuk menggunakan hak pilih terlebih dahulu baru melakukan aktivitas atau keperluan yang bersifat pribadi.

Pemilih Golput yang karena alasan teknis yang tipe kedua ini cenderung tidak mengetahui essensi dari menggunakan hak pilih, sehingga lebih mementingkan kepentingan pribadi dari pada menggunakan pilihnya. Pemilih ideal harus mengetahui dampak dari satu suara yang diberikan dalam pemilu. Hakikatnya suara yang diberikan itulah yang menentukan pemimpin lima tahun mendatang. Dengan memilih pemimpin yang baik berarti pemilih berkontribusi untuk menciptakan masa depan yang lebih baik pula.

b. Faktor Pekerjaan
Faktor pekerjaan adalah pekerjaan sehari-hari pemilih. Faktor pekerjaan pemilih ini dalam pemahaman penulis memiliki kontribusi terhadap jumlah orang yang tidak memilih. Sebagian besar penduduk Indonesia bekerja di sektor informal, dimana penghasilanya sangat terkait dengan intensitasnya bekerja. Banyak dari sektor informal yang baru mendapatkan penghasilan ketika mereka bekerja, tidak bekerja berarti tidak ada penghasilan. Seperti tukang ojek, buruh harian, nelayan, petani harian. Kemudian ada pekerjaan masyarakat yang mengharuskan mereka untuk meninggal tempat tinggalnya seperti para pelaut, penggali tambang. Kondisi seperti membuat mereka harus tidak memilih, karena faktor lokasi mereka bekerja yang jauh dari TPS. Maka dalam pemahaman penulis faktor pekerjaan cukup singifikan pada pada faktor internal membuat pemilih untuk tidak memilih. Pemilih dalam kondisi seperti ini dihadapkan pada dua pilihan menggunakan hak pilih yang akan mengancam berkurang yang penghasilannya atau pergi bekerja dan tidak memilih.

2. Faktor Eksternal
Faktor ektenal faktor yang berasal dari luar yang mengakibatkan pemilih tidak menggukan hak pilihnya dalam pemilu. Ada tiga yang masuk pada kategori ini menurut pemilih yaitu aspek administratif, sosialisasi dan politik.

a. Faktor Administratif
Faktor adminisistratif adalah faktor yang berkaitan dengan aspek adminstrasi yang mengakibatkan pemilih tidak bisa menggunakan hak pilihnya. Diantaranya tidak terdata sebagai pemilih, tidak mendapatkan kartu pemilihan tidak memiliki identitas kependudukan (KTP). Hal-hal administratif seperti inilah yang membuat pemilih tidak bisa ikut dalam pemilihan. Pemilih tidak akan bisa menggunakan hak pilih jika tidak terdaftar sebagai pemilih. Kasus pemilu legislatif 2009 adalah buktinya banyaknya masyarakat Indonesia yang tidak bisa ikut dalam pemilu karena tidak terdaftar sebagai pemilih. Jika kondisi yang seperti ini terjadi maka secara otomatis masyarakat akan tergabung kedalam kategori Golput.

Faktor berikut yang menjadi penghalang dari aspek administrasi adalah permasalahan kartu identitas. Masih ada masyarakat tidak memilki KTP. Jika masyarakat tidak memiliki KTP maka tidak akan terdaftar di DPT (Daftar Pemimilih Tetap) karena secara administtaif KTP yang menjadi rujukkan dalam mendata dan membuat DPT. Maka masyarakat baru bisa terdaftar sebagai pemilih menimal sudah tinggal 6 bulan di satu tempat.

Golput yang diakibat oleh faktor administratif ini bisa diminimalisir jika para petugas pendata pemilih melakukan pendataan secara benar dan maksimal untuk mendatangi rumah-rumah pemilih. Selain itu dituntut inisiatif masyarakat untuk mendatangi petugas pendataan untuk mendaftarkan diri sebagai pemilih. Langkah berikutnya DPS (Daftar Pemilih Sementara) harus tempel di tempat-tempat strategis agar bisa dibaca oleh masyarakat. Masyarakat juga harus berinisiatif melacak namanya di DPS, jika belum terdaftar segara melopor ke pengrus RT atau petugas pendataan. Langkah berikut untuk menimalisir terjadi Golput karen aspek adminitrasi adalah dengan memanfaatkan data kependudukan berbasis IT. Upaya elektoronik Kartu Tanda Penduduk (E-KTP) yang dilakukan pemerintahan sekarang dalam pandangan penulis sangat efektif dalam menimalisir Golput administratif.

b. Sosialisasi
Sosialisasi atau menyebarluaskan pelaksanaan pemilu di Indonesia sangat penting dilakukan dalam rangka meminimalisir Golput. Hal ini di sebabkan intensitas pemilu di Indonesia cukup tinggi mulai dari memilih kepala desa, bupati/walikota, gubernur pemilu legislatif dan pemilu presiden hal ini belum dimasukkan pemilihan yang lebih kecil RT/RW.

Kondisi lain yang mendorong sosialisi sangat penting dalam upaya meningkatkan partisipasi politik masyarakat adalah dalam setiap pemilu terutama pemilu di era reformasi selalu diikuti oleh sebagian peserta pemilu yang berbeda. Pada Pemilu 1999 diikuti sebanyak 48 partai politik, pada pemilu 2004 dikuti oleh 24 partai politik dan pemilu 2009 dikuti oleh 41 partai politik nasional dan 6 partai politik lokal di Aceh. Kondisi ini menuntut perlunya sosialisasi terhadap masyarakat. Permasalahan berikut yang menuntut perlunya sosialisasi adalah mekanisme pemilihan yang berbeda antara pemilu sebelum reformasi dengan pemilu sebelumnya. Dimana pada era orde baru hanya memilih lambang partai sementara sekarang selian memilih lambang juga harus memilih nama salah satu calon di pertai tersebut. Perubahan yang signifikan adalah pada pemilu 2009 dimana kita tidak lagi mencoblos dalam memilih tetapi dengan cara menandai.

Kondisi ini semualah yang menuntu pentingnya sosialisasi dalam rangka menyukseskan pelaksanaan pemilu dan memenimalisir angka Golput dalam setiap pemilu. Terlepas dari itu semua penduduk di Indonesia sebagai besar berada di pedesaan maka menyebar luaskan informasi pemilu dinilai pentingi, apalagi bagi masyarakat yang jauh dari akses transportasi dan informasi, maka sosiliasi dari mulut ke mulut menjadi faktor kunci mengurangi angka Golput.

c. Faktor Politik
Faktor politik adalah alasan atau penyebab yang ditimbulkan oleh aspek politik masyarakat tidak mau memilih. Seperti ketidak percaya dengan partai, tak punya pilihan dari kandidat yang tersedia atau tak percaya bahwa pileg/pilkada akan membawa perubahan dan perbaikan. Kondisi inilah yang mendorong masyarakat untuk tidak menggunakan hak pilihnya.

Stigma politik itu kotor, jahat, menghalalkan segala cara dan lain sebagainya memperburuk kepercayaan masyarakat terhadap politik sehingga membuat masyarakat enggan untuk menggunakan hak pilih. Stigma ini terbentuk karena tabiat sebagian politisi yang masuk pada kategori politik instan. Politik dimana baru mendekati masyarakat ketika akan ada agenda politik seperti pemilu. Maka kondisi ini meruntuhkan kepercayaan masyarakat pada politisi.

Faktor lain adalah para politisi yang tidak mengakar, politisi yang dekat dan memperjuangkan aspirasi rakyat. Sebagian politisi lebih dekat dengan para petinggi partai, dengan pemegang kekuasaan. Mereka lebih menngantungkan diri pada pemimpinnya di bandingkan mendekatkan diri dengan konstituen atau pemilihnya. Kondisi lain adalah tingkah laku politisi yang banyak berkonflik mulai konflik internal partai dalam mendapatkan jabatan strategis di partai, kemudian konflik dengan politisi lain yang berbeda partai. Konflik seperti ini menimbulkan anti pati masyarakat terhadap partai politik. Idealnya konflik yang di tampilkan para politisi seharusnya tetap mengedepankan etika politik (fatsoen).

Politik pragamatis yang semakin menguat, baik dikalangan politisi maupun di sebagian masyarakat. Para politisi hanya mencari keuntungan sesaat dengan cara mendapatkan suara rakyat. Sedangan sebagian masyarakat kita, politik dengan melakukan transaksi semakin menjadi-jadi. Baru mau mendukung, memilih jika ada mendapatkan keutungan materi, maka muncul ungkapan kalau tidak sekarang kapan lagi, kalau sudah jadi/terpilih mereka akan lupa janji. Kondisi-kondisi yang seperti penulis uraikan ini yang secara politik memengaruhi masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya. Sebagian masyarakat semakin tidak yakin dengan politisi. Harus diakui tidak semua politisi seperti ini, masih banyak politisi yang baik, namun mereka yang baik tenggelam dikalahkan politisi yang tidak baik.
------------------------------------ 
Referensi:
·     http://news.detik.com/pemilu2014/03/13/161554/2524913/1562/kpu-sambut-baik-fatwa-mui-jatim-soal-golput-haram