Baca

Baca

Kamis, 14 Agustus 2014

"Sindrom Pra dan Pasca-Pemilu"


Sindrom Pra dan Pasca-Pemilu

Candra Kusuma

Mungkin nggak suatu peristiwa politik tertentu bisa mempengaruhi kondisi psikologis seseorang?  Kalau iya, bisa nggak gangguan psikologis akibat peristiwa politik itu juga dialami oleh banyak orang, sehingga tidak lagi hanya menjadi masalah individual tetapi juga menjadi masalah sosial? Kayaknya memang bisa begitu ya. Manusiawi banget orang bisa mengalami gangguan jiwa (ringan ataupun berat) akibat kecewa, sedih, dll. Kalau orang patah hati aja bisa galau, politisi gagal pasti juga bisa stress kan…?

Peristiwa politik seperti Pemilihan Umum (Pemilu, di dalamnya termasuk Pilkada, Pileg dan Pilpres) yang melibatkan banyak orang dan diliput media massa secara luas, kayaknya bisa jadi juga dapat mempengaruhi kondisi psikologis dan kesehatan mental banyak orang. Kita bisa baca, dengar dan lihat dari media massa dapat diketahui banyaknya kasus politisi (dari tingkat desa, kabupaten/kota provinsi sampai tingkat nasional), tim sukses atau para pendukung fanatik yang mengalami stres, gangguan pikiran dan suasana hati atau perubahan perilaku akibat terlalu terlibat dalam proses politik tersebut.

Political Stress Syndrome

Sebagian orang menyebut kondisi gangguan kejiwaan (psychiatric disorder) tersebut sebagai Political Stress Syndrome (PSS). Istilah ini --dan beberapa istilah turunannya berikutnya-- bisa jadi memang bukan (atau belum?) jadi istilah ‘resmi’ dalam disiplin psikologi, dan lebih sebagai istilah yang populer di kalangan jurnalis, penulis media/blog dan pengamat serta aktivis sosial/politik saja.

Political Stress Syndrome yang terkait dengan Pemilu bisa dibagi dua:

(1)    Sindrom Pra-Pemilu

Pernah merasa muak dan sebel denger atau nonton berita kampanye Pemilu kemarin? Pernah meng-unfriend, di-unfried sama temen di media sosial yang marah gara-gara sering mostingin atau dipostingin berita kampanye Pemilu?  Kalau pernah, itu kemungkinan ada hubungannya dengan sindrom yang oleh sebagian orang disebut sebagai Pre-Election Stress Syndrom (PrESS).

Gejala permukaannya (bukan diagnosis langsung sama psikolog/psikiater sesungguhnya lho…) yang bisa dilihat orang awam, seperti:
  • Kekhawatiran atau kecemasan bila terkena imbas kampanye (mendengar/melihat informasi seputar kampanye, melihat media kampanye Pemilu, dll.);
  • Atau sebaliknya menjadi terlalu asyik dan menjadi terlalu terlibat dengan kampanye politik, dan kesulitan untuk mengambil jarak dari proses kampanye politik;
  • Perasaan kelelahan jika mendengar atau terlibat dalam pembicaraan politik, dan menjadi merasa kurang tertarik untuk terlibat dalam Pemilu (misalnya, menjadi sangat frustrasi dan tidak lagi ingin memberi suara dalam Pemilu);
  • Merasa kecewa, jijik, atau depresi terhadap: (a) Keadaan negara; (b) Integritas rakyat; atau (c) Masa depan diri sendiri;
  • Keinginan untuk menghabiskan waktu berlibur di negara lain selama masa Pemilu dan jauh dari berita dan pembicaraan politik. (Lihat http://www.drstephaniesmith.com/pre-election-stress-disorder-do-you-have-it/ )

(2)    Sindrom Pasca-Pemilu

Sebagian orang menyebut sindrom pasca-Pemilu ini sebagai Post-Election Stress Syndrom (PoESS). Tapi, ternyata ada banyak sekali istilah yang digunakan para penulis terkait sindrom tersebut, diantaranya: Post-Election Stress (PES); Post-Election Syndrome (PES); Post-Election Depression (PED); Post-Election Stress Syndrome (PESS); Post-Election Loss Syndrome (PELS); Post-Election Depression Syndrome (PEDS); Post Election Traumatic Syndrome (PETS); Post-Election Selection Trauma (PEST); Post-Election Stress Disorder (PESD); Post-Election Stress Syndrome (PESS); Post Election Selection Syndrome (PESS); Post-Election Withdrawl Syndrome (PEWS); Post-Election Stress and Trauma Syndrom (PESTS); Post-Election Traumatic Stress Disorder (PETSD).

Sindrom ini tidak sebatas dialami oleh pihak yang kalah saja, tapi juga bisa terjadi di kubu yang menjadi pemenang Pemilu, meskipun kelihatannya memang lebih banyak dialami oleh kubu yang kalah tadi. Penyebabnya bisa sangat beragam, yang diantaranya: Merasa telah memenangi Pemilu, tapi kemenangan itu telah dicuri oleh pihak pesaing; Merasa menang, dan kemenangannya dicuri pihak pesaing politik; Kekecewaan karena angan-angan dan harapan mereka untuk memperoleh jabatan, kehormatan, gaji yang tinggi  dan fasilitas yang berlimpah tidak dapat dicapai; Ketidakpuasan dengan proses dan hasil Pemilu; Kesulitan menerima kemenangan pihak pesaing;  Keengganan menerima dan mengakui kekalahan; Dll.

Ekspresi dari sindrom pasca-Pemilu ini bisa jadi berbeda bentuk dan kadarnya pada tiap-tiap orang. Stress-nya seorang Calon Presiden yang kalah dalam Pilpres bisa jadi beda bentuknya dengan stress-nya Calon Kepala Desa yang gagal atau sekedar pendukung ‘fanatik’ yang cuma aktif di media sosial saja. Meskipun istilah yang digunakan juga sangat beragam, namun semuanya memiliki kemiripan karena merujuk pada sejumlah gejala (symptoms) yang di dalamnya termasuk --tapi tidak terbatas pada--:

--> Perasaan tertekan dan kosong setelah hari pencoblosan; sibuk membuka link internet tanpa tujuan, mencari-cari sesuatu yang tidak jelas; merasa lelah tanpa sebab yang jelas; menarik diri; merasa tidak peduli; merasa terganggu melihat simbol-simbol kampanye Pemilu; perasaan terisolasi; marah; emosional dan kepahitan; kebencian; bicara kasar, agresif atau pasif-agresif; berkomentar sembarangan yang bernada menghina atau merendahkan pihak ‘lawan politik’ di media sosial; melamun; kehilangan nafsu makan; sulit tidur; mimpi buruk; kemurungan mendalam termasuk merajuk tak berujung; menjadi terlalu khawatir tentang arah dan masa depan negara; merasa kehilangan harga diri; dll. Dalam skala yang akut, sindrom dapat berupa dorongan melakukan bunuh diri, melakukan amuk publik (public tantrums), atau menghasut orang lain untuk berbuat kerusuhan, dll.

Bisa dibilang bahwa yang terjadi mirip dengan efek ‘pasca-pesta’ yaitu perasaan sepi setelah secara tiba-tiba semua histeria, keramaian, kehebohan, kegaduhan, dan ketegangan mereda atau usai, dan harus menerima realitas dan kembali melanjutkan hidup. Orang atau individu yang terkena sindrom ini kemungkinan dapat terlibat dalam kegiatan irasional impulsif, yang akhirnya dapat menyebabkan terganggu bahkan hilangnya kehidupan sosial dan kehancuran ekonominya. Sementara kelompok masyarakat yang menderita sindrom ini juga dapat terjebak pada histeria massa, panik dan hiruk-pikuk kegilaan yang tindakannya mereka tidak dapat secara dijelaskan secara rasional, yang ujung-ujungnya juga dapat menimbulkan kerusakan yang luas dan susah dikendalikan (lihat http://worldnewsvine.com/2013/08/raila-suffering-from-acute-post-election-loss-syndrome/).

Sindrom macam begini kayaknya terjadi di semua negara ya. Media di Taiwan melaporkan terjadinya peningkatan yang tidak biasa sebanyak 10% pada pasien yang mengalami depresi atau kecemasan pasca-Pemilu tahun 2004.  Para dokter di sana menyimpulkan bahwa para penderita mengalami "gangguan penyesuaian" yaitu, tekanan mental yang disebabkan oleh gangguan dalam pandangan seseorang tentang realitas. Pemilu bagi para politisi dan pemilih di Taiwan taruhannya memang selalu tinggi, yaitu kelangsungan hidup pemerintah, kelangsungan hidup partai politik, dan ancaman konflik dari hubungan Taiwan dengan China yang memang masih selalu tegang (lihat http://atimes.com/atimes/China/FL01Ad03.html). Sementara pasca-Pemilu tahun 2008 di Malaysia, banyak warganya yang mengaku kesulitan untuk kembali ke rutinitas harian mereka. Bahkan, banyak diantaranya yang mengaku sudah merasa cemas untuk menyambut Pemilu berikutnya (lihat http://www.mysinchew.com/node/64068).

Kasus serupa juga terjadi di Kenya. Pasca-Pemilu di Kenya 2007-2008 juga dilaporkanya banyaknya politisi yang mengalami sindrom ini, sampai harus menerima pengobatan dan perawatan rumah sakit. Dalam kasus yang ekstrem bahkan dapat berakibat pada munculnya kesakitan dan kematian yang tak terjelaskan, serta reaksi-reaksi tak rasional yang ditunjukkan oleh para politisi dan pendukung fanatiknya yang kalah dalam Pemilu (election losers’ illnesses and irrational post-election reactions). Di negara-negara Afrika, sindrom tersebut diyakini sebagai pemicu dari meningkatnya kekerasan, gelombang petisi atau gugatan ke pengadilan pasca-Pemilu, dan bahkan kudeta, khususnya oleh pihak militer (lihat http://worldnewsvine.com/2013/08/raila-suffering-from-acute-post-election-loss-syndrome/).

Gangguan kejiwaan akibat Pemilu juga dialami oleh politisi dan para pendukungnya di Amerika Serikat. Pasca-Pemilu Presiden tahun 2004 banyak pendukung Calon Presiden John Kerry yang juga merasa mengalami sindrom tersebut. Menurut American Health Association (AHA), gejala yang dilaporkan mirip dengan gangguan stres pasca-trauma. Meskipun ada sebagian analis lain kurang setuju penggunaan istilah trauma –yang terkait dengan gangguan psikologis yang mendalam dan berimplikasi kompleks--, dan lebih memandang kondisi tersebut sebagai kesedihan dan kecemasan yang bersifat sementara saja. Karenanya para terapis (psikolog dan psikiater) di AHA kemudian memberikan kesempatan konsultasi gratis bagi siapapun yang merasa mengalami ‘post-election selection trauma.’ Reaksi AHA tersebut dipicu oleh adanya kasus bunuh diri yang diduga terkait dengan kekalahan Kerry dalam Pilpres tersebut. Gangguan psikologis tersebut tetap perlu disembuhkan melalui konsultasi dan pendampingan, namun diyakini akan menghilang seiring para pendukung politisi yang kalah tersebut mulai dapat menerima realitas politik yang ada (lihat http://www.freerepublic.com/focus/fr/1300571/posts). (Catatan: Ulasan tentang reaksi psikologis pasca-Pemilu yang perspektif dari teori Elisabeth Kübler-Ross tentang empat tahap kesedihan diantaranya lihat http://haicandra.blogspot.com/2014/07/pilpres-2014-denial-anger-bargaining.html).

Namun demikian, selain Post-Election Stress Syndrom (PoESS) yang identik dengan kondisi yang dialami kubu yang kalah dalam Pemilu, ada pula dikenal sindrom lain yang umumnya diidap oleh pihak pemenang, yaitu  Post-Election Victory Syndrome (PEVS). Sindrom ini mewujud dalam perilaku ‘merasa penting, superior dan berkuasa’ (sense of self-importance, superiority complex, newly found aura of confidence and ungrounded sense of power) (lihat http://worldnewsvine.com/2013/08/raila-suffering-from-acute-post-election-loss-syndrome/). Namun sindrom yang paling parah di kalangan pemenang Pemilu ini sesungguhnya adalah ‘Sindrom Lupa Janji’ yang pernah digembar-gemborkan sebelumnya pada saat kampanye Pemilu.

Bagaimana di Indonesia?

Persaingan dan kegaduhan politik selama Pilpres 2014 di Indonesia saat ini juga dapat memicu persoalan kejiwaan. Bahkan sebelum hari pencoblosan 9 Juli 2014 lalu, Kementerian Kesehatan RI juga sudah memprediksi bahwa jumlah orang yang mengalami gangguan jiwa atau setidaknya mengalami gejala  stres ringan bertambah. Stres  itu kemungkinan akan terjadi pada orang  yang ikut atau terlibat dengan terlalu  memikirkan masalah Pilpres (lihat http://www.republika.co.id/berita/Pemilu/berita-Pemilu/14/07/09/n8fjvt-pilpres-membuat-penderita-). Masalahnya, sindrom ini dapat terjadi pada semua orang, dari mulai cuma para penggembira di sosial media sampai dengan para  Calon Presiden dan Wakil Presiden itu sendiri.

Sebelumnya berkenaan dengan Pemilu Legislatif 2014 juga banyak diberitakan mengenai Calon Legislatif yang stres akibat tidak terpilih, merasa kecewa dan dikhianati oleh orang/pihak yang sebelumnya berjanji mendukungnya namun tidak terbukti. Selain itu stress juga akibat banyaknya hutang biaya kampanye dan janji ke banyak pihak yang sulit mereka penuhi. Peluang stress lebih besar terjadi pada Caleg yang baru pertama kali mencalonkan diri dalam Pemilu (lihat http://health.kompas.com/read/2014/04/08/1359548/Kalah.Pemilu.Caleg.Berpotensi.Stres.dan.Gangguan.Jiwa). Pakar Kejiwaan Prof. Dadang Hawari memprediksi jumlah calon legislatif (caleg) yang mengalami gangguan jiwa pada Pemilu Legislatif 2014 April lebih banyak dibandingkan Pemilu 2009 (lihat http://www.gatra.com/lifehealth/sehat-1/48540-diprediksi-banyak-caleg-alami-gangguan-kejiwaan-di-Pemilu-2014.html).

Dari pengalaman pasca-Pemilu 2009, ada cukup banyak Caleg yang dirawat di rumah sakit (jiwa), di tempat-tempat pengobatan tradisional, dan panti rehabilitasi mental karena mengalami gangguan jiwa (lihat http://pelita.or.id/baca.php?id=68604).  Dari data yang dikeluarkan oleh kementrian Kesehatan (kemenkes) pada Pemilu 2009 lalu kurang lebih ada 7.736 Caleg yang mengalami gangguan jiwa berat alias gila. Sebanyak 49 orang Caleg DPR, 496 orang Caleg DPRD Provinsi, 4 Caleg DPD dan 6.827 orang Caleg DPRD Kabupaten/Kota. Sementara untuk Pemilu Legislatif 2014, dr. Teddy Hidayat, psikiater yang juga Ketua Penanggulangan Narkoba RS Hasan Sadikin Bandung, meramalkan jumlah caleg yang stres akan mencapai 30%. Menurutnya,  baik Caleg yang terpilih maupun gagal sama berpeluang untuk mengalami stress (lihat http://www.gatra.com/lifehealth/sehat-1/48540-diprediksi-banyak-caleg-alami-gangguan-kejiwaan-di-Pemilu-2014.html).

Sindrom ini umumnya telah diabaikan oleh para ilmuwan sosial, psikiater dan psikolog, karena takut dan kurangnya minat dalam mempelajri perilaku politik pemain kunci dan dampak sosial dari dinamika politik nasional. Dampaknya adalah bahwa sebagian besar rakyat hanya menjadi korban dari persaingan kepentingan politik individu/politisi, dan negara mereka berubah menjadi ladang pertempuran untuk memenuhi citra diri pribadi, harga diri dan gelembung ego (lihat http://worldnewsvine.com/2013/08/raila-suffering-from-acute-post-election-loss-syndrome/).

Situasi paling akhir dari sengketa hasil Pemilu Presiden 2014 saat ini adalah masih dalam tahap persidangan di Mahkamah Konstitusi. Kelihatannya masih banyak pihak yang sejauh ini masih dirundung sindrom pasca-Pemilu, baik Post-Election Loss Syndrome (PELS) maupun Post-Election Victory Syndrome (PEVS). Semoga saja tidak menjadi bertambah akut dan bisa segera pulih ya. Dan semoga bisa seperti di beberapa negara lain yang ada fasilitas gratis untuk konsultasi dan pendampingan kalau ada anggota masyarakat yang merasa terkena sindrom politik macam ini. Semoga pula masalah psikologis yang dialami individu-individu tidak berakumulasi menjadi masalah sosial yang meluas. Masalah akan menjadi lebih rumit jika para pemimpin politik yang terkena sindrom politik ini, justru secara sadar atau tidak malah ‘menularkan’-nya kepada para pendukungnya. Seperti orang bilang, ‘ikan busuk mulai dari kepalanya,’ dan sebaliknya, ‘kebaikan dimulai dari teladan para pemimpinnya.’

Pada akhirnya kuncinya memang hanya satu: gimana kubu yang kalah ya bisa realistis dan ngaku kalah, dan kubu yang menang juga nggak jumawa…  Dan yang paling penting dari itu semua adalah, gimana agar yang jadi pemenang tidak lupa dan serius mencoba merealisasikan semua janji kampanye mereka tentunya… :)

Disclaimer:
Saya bukan psikolog atau psikiater. Tulisan ini hanya kompilasi dari beberapa sumber di internet.

----------------------------------
Sumber:

http://pelita.or.id/baca.php?id=68604

http://www.republika.co.id/berita/Pemilu/berita-Pemilu/14/07/09/n8fjvt-pilpres-membuat-penderita-

http://www.drstephaniesmith.com/pre-election-stress-disorder-do-you-have-it/

Sabtu, 02 Agustus 2014

“Demokrasi: Antara Konsensus dan Disensus”



“Demokrasi: Antara Konsensus dan Disensus”

Candra Kusuma

Demokrasi minimalis umum dipahami hanya sebatas keikusertaan warganegara dalam Pemilu. Jika demokrasi tidak ingin dipahami secara minimalis sebagai demokrasi elektoral atau agregatif yang mengacu pada suara terbanyak dalam voting atau Pemilu, maka proses diantara dua Pemilu harus dilihat sebagai proses demokratis, yang menurut Jurgen Haberman, harus dilalui dengan upaya deliberasi atas keputusan dan kebijakan publik (F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif: Menimbang Negara Hukum dan Ruang Publik dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas, 2009: 132). Proses deliberasi dengan jalan dialogis yang rasional diantara para pihak secara setara dan terbuka, sampai dengan tercapainya konsensus bersama.

Namun proses deliberasi dalam demokrasi konsensus tersebut sesungguhnya tidaklah mudah untuk dilakukan jika mengikuti syarat dan prosedur ideal yang dianjurkan Habermas dan kawan-kawannya. Menurut para pengkritik teori demokrasi deliberatif, tidak semua warganegara memiliki kemampuan yang layak dan memenuhi syarat untuk melakukan dialog secara rasional dalam sebuah diskursus yang yang setara, yang akibatnya mereka menjadi tereksklusi dan terpinggirkan dari ruang politik. Bahkan oleh sebagian pemikir lain, idealisasi dari demokrasi konsensual tadi dipandang sulit dapat dicapai dan nyaris mustahil untuk dapat dipertahankan untuk waktu lama dalam riil politik.

Kritik terhadap demokrasi konsensus

Budiarto Danujaya dalam bukunya Demokrasi Disensus: Politik Dalam Paradoks (2012), --yang dikembangkan dari disertasinya yaitu Demokrasi Sebagai Politik Disensus (Utopia Koeksistensial di Era Paradoks) di Departemen Filsafat Universitas Indonesia (2010)-- mengkritisi obsesi akan konsensus dalam politik yang diusung oleh demokrasi konsensus. Keranjingan akan konsensus tersebut diyakini pada akhirnya akan mereduksi daya hidup dan kreasi dari demokrasi itu sendiri. Karenanya Danujaya menyodorkan konsep demokrasi disensus sebagai antithesis dari kecenderungan berlebihan terhadap gagasan demokrasi konsensus.

Menurut Danujaya, dalam demokrasi konsensus setiap warga diasumsikan sebagai individu yang merupakan agen rasional dan mandiri yang akan memberikan respon yang seragam dalam menanggapi keadaan yang diasumsikan sama, --sejauh tidak ada bias-- baik dalam bentuk hegemoni, delusi, ataupun parsialitas informasi (2012: xxiii). Karenanya dalam menghadapi perbedaan dan konflik, maka individu diyakini akan merespon dengan berupaya mencari kesepakatan atau konsensus yang disepakati bersama. Konsensus ini dimaknai sebagai adanya citarasa bersama (sensus communis atau common sense). Konsensus politik adalah kesepakatan politik yang sungguh mampu menggalang segenap warga  atau mampu mewadahi aspirasi sebagian besar warga, sehingga dapat diterima sebagai landasan bersama bagi segenap masyarakat, dan mampu menjembatani perbedaan kepentingan, ideologi, maupun doktrin komprehensif para pihak di dalamnya (2012: xix).

Danujaya mencatat bahwa demokrasi sebagai politik konsensus mempercayai kesanggupan sistem politik tertentu dalam mengatasi perbedaan akibat keragaman kepentingan, agama, ideologi dan doktrin komprehensif lainnya, dan dapat mencapai sebuah kesepakatan politik yang relatif dapat dimufakati bersama (2012: xvii). Ada dua aliran teori demokrasi konsensus ini, yaitu:

  1. Idealisasi kontrak sosial. Diantaranya yang diusung oleh John Rawls (antara lain lihat A Theory of Justice, 2000:14; Political Liberalism, 1996:192-193), yang menyatakan bahwa terlepas dari adanya kemajemukan, tetap ada kemungkinan untuk mencapai mufakat politik, asalkan masing-masing pihak yang terlibat bersikap nalar dalam upaya membangun landasan bersama (publik) melalui sebuah konsensus politik.
  2. Proses ideal. Diantaranya adalah teori demokrasi deliberatif yang diusung Jurgen Habermas (“The Public Sphere: An Encyclopedia Article,” dalam Blaug dan Schwarzmantel ed., Democracy: A Reader, 2001),  dan Seyla Benhabib (Democratic and Difference: Contesting the Boundaries of the Political, 1996), yang percaya bahwa kapasitas rekonstruktif dalam sistem politik akan mampu mencapai konsensus, asalkan dikelola lewat proses yang deliberatif, dalam arti adanya dialog yang mendalam dan hati-hati, bebas, terbuka serta rasional, sehingga memungkinkan kritik-diri berkelanjutan (Danujaya, 2012: xvii-xviii). (Catatan: Ulasan singkat tentang teori demokrasi deliberatif diantaranya lihat http://haicandra.blogspot.com/2014/03/belajar-teori-demokrasi-dari-mas.html).

Danujaya mengutip kritik yang diajukan oleh Nicholas Rescher (Pluralism: Againts the Demand for Consensus, 1995: 188-189), yang berpendapat bahwa orientasi metodis dari praksis demokrasi konsensus pada dasarnya lebih bertumpu pada pengupayaan bersusah-payah berkelanjutan untuk mencapai kesepakatan aktual dengan cara memaksimalkan jumlah individu yang menyetujui tindakan atau kebijakan yang akan ditempuh (Danujaya, 2012: xix). Karenanya, kedua pendekatan ideal tersebut (baik idealisasi kontrak sosial maupun proses ideal) memerlukan banyak prasyarat dan tidak senantiasa dapat diwujudkan.

Demokrasi disensus: cara pandang berbeda terhadap keberagaman dan oposisi

Danujaya banyak merujuk pada filsafat politik dari Ernesto Laclau, Chantal Mouffe dan Nicholas Rescher dalam merumuskan tafsirnya atas konsep demokrasi konsensus dan mengkontekskannya dalam politik kontemporer di Indonesia. Dalam hal ini, paradigma disensus memandang setiap warga sebagai individu yang unik (sebagai suatu ‘unikum’) dan berbeda dengan individu lain, yang tidak dapat terjembatani apalagi terleburkan dalam hubungannya dengan indivud-individu lain, sehingga mengakibatkan adanya otonomi radikal dalam korelasi tersebut (Danujaya, 2012: xxiii).

Kontras dengan pandangan para pemikir demokrasi konsensus, para pemikir  yang memandang demokrasi sebagai politik disensus justru tak mempercayai kesanggupan sistem politik untuk menggalang konsensus. Laclau dan Mouffe (dalam Hegemony and Socialist Strategy: Toward a Radical Democratic Politic, 1994: 127) berpendapat bahwa masyarakat tak mungkin dapat mewujud sebagai identitas utuh dan terpadu, karena masyarakat senantiasa berada di arena politik (Danujaya, 2012: xix).

Danujaya menyitir pandangan Mouffe (dalam The Democratic Paradox, 2000: 101) yang membedakan antara konsep ‘politikal’ dan ‘politik.’ Menurut Mouffe, ‘politikal’ terkait dengan dimensi antagonisme yang inheren dalam relasi antarmanusia, karena merupakan perwujudan ketegangan relasional antara kami dan mereka, yang selalu menandai relasi sosial, termasuk politik. Sementara ‘politik’ merujuk pada rangkaian praktik, wacana, dan institusi yang berusaha menegakkan tertib tertentu dan mengorganisasikan kondisi manusia yang hidup saling berdampingan dan dipengaruhi oleh dimensi ‘politikal’ tadi, sehingga juga cenderung antagonistis. Politik bertujuan menciptakan kesatuan dalam konteks konflik dan keberagaman. Masalah krusial dalam politik adalah mengubah relasi ‘kami dan mereka’ agar yang bersifat ‘kawan dan lawan’ menjadi lebih sekedar ‘kawan dan seteru’ (friend - adversary). Upaya menselaraskan tersebut bukan bertujuan menghapus antagonisme namun lebih sebagai upaya menyediakan koridor yang dapat menselaraskan antagonisme tersebut agar sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi pluralistik (Danujaya, 2012: xx).

Menurut para pemikir teori demokrasi disensus tersebut, perbedaan antara ‘aku’ dan pihak lain (the other, yang dalam bahasa Indonesia umum diterjemahkan sebagai ‘liyan’) tidak sepenuhnya dapat direduksi dan dijembatani. Perbedaan tersebut akan senantiasa ada. Keikutsertaan para pihak dalam keputusan politik bukan hanya bersifat senantiasa sementara, melainkan juga senantiasa terbuka terhadap kemungkinan artikulatif baru, sehingga sekedar  merupakan batu pijak menuju ketegangan disensual selanjutnya (Danujaya, 2012: xxi).

Rescher (1995: 189) berpendapat bahwa orientasi metodis dari praksisnya bertumpu pada ‘agoni disensual’ yaitu pengupayaan bersusah payah berkelanjutan untuk menampik ketaksepakatan yang kelewat tajam sehingga menghambat ketercakupan dalam keikutsertaan sementara itu dengan cara terus-menerus meminimalisasi kadar dan jumlah ketaksetujuan pada kebijaksanaan yang ditempuh. Relasi yang coba dibangun adalah lebih merupakan ‘hegemoni yang senantiasa terbuka’ (open-ended hegemony), dan bukan sebagai ‘konsensus yang senantiasa terbuka’ (open-ended consensus) (Danujaya, 2012: xxii).

Antagonisme tersebut merupakan konsekuensi bawaan dari keragaman sebagai sifat dasar relasi sosial yang tidak saja kompleks tapi juga penuh kepentingan seperti relasi politik, sehingga selalu menghambat setiap upaya mencapai ‘objektivitas sosial’ yang menjadi basis bagi tercapainya konsensus politik (Danujaya, 2012: xxv). Namun, mengandaikan dapat ditiadakannya disensus dalam relasi sosial politik justru dapat berbahaya karena akan menutup ruang konstitutif politik demokrasi, yaitu jarak yang senantiasa ada antara konsensus dan disensus, juga antara keputusan dan posibilitas perbedaan-perbedaan sebagai konsekuensi keragaman (Danujaya, 2012: xxvii). Dengan kata lain, orientasi pada konsensus mengandaikan adanya politik yang monosemi (bermakna tunggal), sementara realitas politik senantiasa terbuka sebagai polisemi (bermakna banyak).

Politik disensus memperlihatkan bahwa sebagai sebuah fenomena spasial, politik adalah ajang perebutan artikulatif manusia-manusia konkrit yang hidup dan nyata, sehingga antagonisme relasional adalah sebuah keniscayaan yang tak dapat dielakkan. Karenanya, keberadaan oposan bukan saja merupakan konsekuensi relasional wajar belaka, melainkan bahkan antagonisme laten pada sekutu atau kawan politik sekalipun juga wajar saja, karena sekedar perwujudan alteritas dan diskursivitas keliyanan masing-masing individu sebagai agen sosial belaka (Danujaya, 2012: 415).

Hasrat berlebih pada konsensus mendorong ke arah unipolaritas (politik satu kubu) yang menghadirkan ‘dilema politik tanpa seteru’ (Mouffe, 2000: 108-127). Kondisi tersebut pada akhirnya justru merugikan politik demokrasi karena mengebiri kapasitasnya sendiri untuk melakukan perbaikan dan pengembangan diri secara terus menerus, yang hanya dapat terlaksana jika ada dinamika ketegangan kreatif dalam relasi antar anasir yang berbeda atau bertentangan akibat adanya perbedaan kepentingan dan perbedaan artikulatif di dalamnya (Danujaya, 2012: xxxi).

Singkatnya, orientasi berlebih pada konsensus justru cenderung akan membuat demokrasi menafikan keragaman (pluralitas) yang ada di masyarakat. Dalam pandangan ini, ‘pluralism agonistic’ memiliki dua wajah, yaitu: (a) Di satu sisi, menjadikan politik sebagai perjuangan untuk merawat antagonisme relasional sebagai upaya terus membangun mekanisme kontrol, koreksi dan koreksi sehingga demokrasi dapat terus menerus meremajakan gagasan, manusia dan lembaganya; (b) Di sisi lain, menjaga agar antagonisme tersebut tidak menjadi liar dan senantiasa berada dalam koridor demokrasi pluralis (Danujaya, 2012: 415-416).

Demokrasi disensus di Indonesia

Jacques Rancière dalam Dissensus: On Politics and Aesthetics (2010: 38), menyatakan: “The essence of politics is dissensus.” Bahwa inti dari politik adalah manifestasi dari disensus. Menurutnya, disensus bukanlah konfrontasi antar kepentingan-kepentingan atau opini-opini. Akan tetapi merupakan manifestasi dari kesenjangan atas hal-hal yang masuk akal. Manifestasi tersebut membuat apa yang sebelumnya dianggap tidak rasional untuk eksis, justru dapat menyuarakan eksistensinya. Bagi Rancière, inilah alasan mengapa politik tidak dapat diletakkan dalam kerangka model tindakan komunikatif (communicative action) yang menjadi dasar bagi konsep demokrasi deliberatif seperti yang ditawarkan Habermas dan kawan-kawan, di mana mereka yang dipandang tidak mampu berdiskursus secara ‘benar’ maka dianggap tidak layak untuk terlibat dalam politik.

Penegasan akan pentingnya disensus juga disampaikan Donny Gahral Adian (Dosen Filsafat Politik di Universitas Indonesia) dalam artikelnya yang berjudul Demokrasi Tanpa Suara di Harian KOMPAS tanggal 25 Januari 2013. Adian berpendapat bahwa disensus adalah sebuah keniscayaan, karena konsensus sangat sulit dicapai dalam politik, dan kalaupun bisa namun sifatnya hanya sementara saja. Dalam artikel tersebut Adian menulis: “Satu hal yang paling sulit dipenuhi oleh politik adalah konsensus. Konsensus dalam politik adalah momen yang selintas datang. Demokrasi disesaki oleh momen-momen konsensus yang tidak pernah mengabadi. Sebab, dalam demokrasi, disensus adalah kodrat sehingga konsensus dibuat untuk dibatalkan.” Barangkali dapat dikatakan bahwa disensus dan konsensus sesungguhnya adalah sebuah siklus dalam politik.

Karenanya, menurut Danujaya, perlu ada perubahan paradigma di mana politik perlu lebih dilihat sebagai sebuah upaya pengelolaan konflik, dan demokrasi sebagai politik disensus. Menurutnya, perlu ada kesadaran historis bahwa bangsa Indonesia telah berulang kali mengalami krisis multidimensi, yang diantaranya disebabkan oleh berlebihannya dalam menerapkan politik harmoni dan demokrasi konsensus. Semua pihak perlu menyadari bahwa jargon-jargon politik demokrasi dalam paradigma konsensus, baik secara teoritis maupun praksis, terbukti mudah diselewengkan untuk melakukan pemusatan kekuasaan sehingga gampang tergelincir menjadi eksesis menuju totalitarian (Danujaya, 2012:  xxxv).

Persoalannya kemudian adalah “Bagaimana caranya untuk dapat mengelola disensus tersebut agar tetap ‘berada dalam koridor demokrasi pluralis’ seperti yang disitir Danujaya (2012: 416) sebelumnya?.” Dari berbagai pendapat para pemikir tersebut, ada beberapa prinsip yang dapat menjadi acuan, yaitu: 
(a)  Koeksistensial (pengakuan atas keberadaan pihak lain serta keberagamannya, dan kehendak untuk hidup berdampingan tanpa saling mengganggu), dan dialog yang terbuka serta memberi ruang partisipasi dan transparansi bagi publik untuk terlibat dan mengawasi proses politik dan pemerintahan;
(b) Agonisme, yang diperlukan agar tidak melihat politik secara hitam putih dan konstan, sehingga kurang menyadari pentingnya oposisi sebagai pembanding dan kontrol dalam sistem demokrasi. (Danujaya, 2012: 416);
(c) Kepastian dan penegakan hukum atau aturan main yang ‘disepakati’ menjadi panduan dalam kontestasi politik;
(d) Jika mengacu pada teori demokrasi, maka hal tersebut akan kembali pada praksis dari civic virtue atau keutamaan publik yang dianut dan menjadi panduan hidup untuk menjadi warganegara yang baik (good citizen), juga sebagai pemimpin yang baik (good leader), dan negarawan yang baik (good statesman). Pada saat itu, kebebasan dan kepentingan individu –sebagaimana dianjurkan oleh demokrasi liberal-- mesti mampu diubah menjadi prinsip kebaikan warganegara (diantaranya lihat Donny Gahral Adian, Demokrasi Substansial: Risalah Kebangkrutan Liberalisme, 2010: 118). Bisa jadi, civic virtue inilah sesungguhnya yang mampu menjadi landasan utama untuk membangun koridor bagi demokrasi pluralis dalam mengelola siklus disensus dan konsensus tersebut.

Sebagai contoh aktual, yaitu terkait dengan sengketa Pilpres 2014 yang tengah terjadi saat ini. Ketika hasil quick count oleh lembaga-lembaga survey politik dan real count oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) atas hasil perhitungan suara pemilih telah gagal mencapai konsensus yang dapat diterima semua pihak, maka sesungguhnya mekanisme disensus-lah yang harus dioperasikan. Meskipun menjadi catatan --dan masih menjadi perdebatan-- mengenai pernah dikeluarkannya pernyataan mengundurkan diri dari proses Pemilu oleh salah satu pasangan Capres dan Cawapres, namun langkah yang ditempuh pasangan tersebut yang mengadukan kasus sengketa Pilpres ke Mahkamah Konstitusi (MK) tetaplah perlu dihormati, sebagai penerapan dari prinsip koeksistensial yang disinggung sebelumnya. Langkah hukum tersebut --meskipun mungkin menyebalkan bagi sebagian orang-- adalah yang paling sesuai dengan mekanisme hukum yang ada terkait upaya penyelesaian sengketa Pilpres dan Pemilu pada umumnya. Langkah politik lain juga masih dimungkinkan, sejauh tidak menggunakan intimidasi dan kekerasan baik terhadap institusi penyelenggara Pemilu maupun kubu pesaingnya.

Hasil keputusan MK nantinya mungkin tidak akan memuaskan sebagian pihak. Dalam kondisi demikian, civic virtue dari semua pihak --khususnya pihak yang kalah-- pada akhirnya yang akan menentukan dan paling mampu menggiring ke arah konsensus yang baru, yaitu menerima keputusan hukum siapapun pihak/kubu yang dinyatakan sebagai pemenang Pilpres. Selain itu, bagi kubu yang kalah, masih ada ruang yang sama mulianya dalam demokrasi dan sejalan dengan prinsip ‘agonisme’ tadi, yaitu untuk berperan sebagai kontrol atau ‘oposisi’ bagi pemerintahan terpilih yang baru nanti.

------------------------
Sumber:

  • Budiarto Danujaya. Demokrasi Disensus: Politik Dalam Paradoks. Gramedia Pustaka Utama. 2012.
  • Donny Gahral Adian. Demokrasi Substansial: Risalah Kebangkrutan Liberalisme. Penerbit Koekoesan. 2010.
  • Donny Gahral Adian. Demokrasi Tanpa Suara. KOMPAS. 25 Januari 2013.
  • F. Budi Hardiman. Demokrasi Deliberatif: Menimbang Negara Hukum dan Ruang Publik dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas. Kanisius. 2009.
  • Jacques Rancière. Dissensus: On Politics and Aesthetics. Edited and translated by Steven Corcoran. Continuum. 2010.

Minggu, 20 Juli 2014

“Pilpres 2014: Denial, Anger, Bargaining, Depression, and Acceptance”



“Pilpres 2014: Denial, Anger, Bargaining, Depression, and Acceptance

Candra Kusuma

Elisabeth Kübler-Ross, seorang psychiatrist berkebangsaan Swiss-Amerika yang menaruh minat terhadap perawatan pasien yang tengah sekarat dan menghadapi kematian, menulis buku berjudul On Death and Dying: What the Dying Have to Teach Doctors, Nurses, Clergy and Their Own Families, yang diterbitkan pertama kali tahun 1969. Dari hasil pengamatannya, Kübler-Ross menyimpulkan bahwa perilaku orang yang tengah sekarat umumnya melalui Lima Tahap Kesedihan (five stages of grief), yang kemudian terkenal dengan singkatan DABDA, yaitu Denial (penyangkalan), Anger (marah), Bargaining (menawar), Depression (depresi), dan Acceptance (penerimaan). (Kübler-Ross: 2009: 31-111). Dalam buku tersebut Kübler-Ross memaparkan kecenderungan perilaku individu yang tengah bersiap menjemput kematian, dan hal apa saja yang perlu dilakukan oleh dokter, keluarga maupun teman-teman si sakit untuk membantu meringankan bebannya tersebut.

Saya bukan psychiatrist, tapi tergoda untuk mencoba mengaplikasi dan mengadaptasikan pendekatan disiplin psikologi dari Kübler-Ross tadi dalam melihat situasi terakhir Pilpres 2014 saat ini. Sama diketahui, situasi politik saat menunggu hasil penghitungan suara resmi oleh KPU dari hasil pencoblosan tanggal 9 Juli lalu dapat dikatakan cukup tegang. Kedua kubu Capres dan Cawapres yang berkompetisi sama mengklaim telah memperoleh  suara terbanyak dalam quick count, dan menyatakan kubunyalah yang menjadi pemenang dalam Pilpres 2014 ini. Kondisi tersebut tentu beresiko terhadap kesehatan jiwa dan fisik dari kedua pasangan Capres dan Cawapres, dan bukan tidak mungkin juga bagi para pendukungnya yang sudah terlanjur sangat yakin jagoannya telah terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden 2014-2019.

Untuk itu barangkali ada manfaatnya bagi kebaikan bersama seluruh bangsa, untuk sama mencermati perilaku kedua pasangan Capres dan Cawapres (dan juga orang-orang di ring satu pada kedua kubu) dalam menyikapi perkembangan hasil real count oleh KPU, terkait peluang menang atau kalah dalam perhitungan suara akhir pada tanggal 22 Juli 2014. Dengan menggunakan pendekatan Lima Tahap Kesedihan dari Kübler-Ross, saya menduga, kemungkinan akan ditemukan kecenderungan sebagai berikut:

1. Penyangkalan (Denial): Karena realitas kekalahan itu sulit untuk dihadapi, salah satu reaksi pertama dari individu adalah penyangkalan. Pada fase ini individu tersebut sedang mencoba untuk menutup mata terhadap realitas, dan mulai mengembangkan ‘realitas palsu’, yang menurutnya adalah realitas yang lebih baik atau sesuai dengan yang diinginkannya. Kemungkinan akan muncul pernyataan: “Saya tidak mungkin kalah!” ; “Kekalahan macam begini tidak mungkin terjadi pada saya! Ini penghinaan!

2. Marah (Anger): Pada fase ini individu menyadari bahwa penyangkalan tidak dapat dilanjutkan, dan yang muncul kemudian adalah kemarahan, baik marah pada diri sendiri, ataupun marah akibat iri hati pada keberhasilan lawan. Pernyataan yang mungkin muncul adalah:  Pendukung saya banyakKenapa saya yang kalah?” ; “Saya selalu juaraBagaimana mungkin saya bisa kalah?” ; “Saya kalah pasti karena saya dicurangi!” ; “Panitia berpihak pada lawan!” ; “Ini tidak adil!

3. Menawar (Bargaining): Pada fase ini individu berharap dapat membatalkan atau menghindari penyebab kekalahan. Pernyataan yang muncul kemungkinan: “Harus ada penilaian ulang!” ; “Saya ingin kompetisi ini diulang!.

4.  Depresi (Deppresion): Pada fase ini, individu yang berduka mulai memahami kekalahannya dalam kompetisi, di mana akibatnya individu mungkin menjadi menutup diri dan menghabiskan banyak waktu untuk meratapi masalahnya. Namun, emosi yang keluar seringkali merupakan jalan menuju fase terakhir, yaitu Penerimaan. Pernyataan yang mungkin keluar adalah: “Saya sangat kecewa dan sedih…” ; “Saya kalah, padahal saya sudah keluar banyak biaya…” ; “Saya malu sekali… Apa kata dunia...?

5.   Penerimaan (Acceptance): Di fase ini individu mulai dapat menerima kenyataan akan kekalahannya dalam kompetisi. Pernyataan yang mungkin muncul: “Saya memang kalah, tapi saya sudah berusaha” ; “Pesaing saya memang lebih baik…” ; “Rakyat sudah memutuskan dan memilih yang mereka anggap paling baik

Jika tim sukses di kedua kubu sudah melihat adanya salah satu gejala 1 sampai 4 tadi pada diri Capres dan Cawapres yang diusungnya, ada baiknya untuk segera menyiapkan psikolog dan berupaya menciptakan kondisi yang kondusif untuk kesehatan jiwa dan fisik Capres dan Cawapres tersebut. Upayakan sedapat mungkin agar penyangkalan, kemarahan, bargaining dan depresi yang muncul tersebut masih dapat batas kepatutan. Jika tidak, kemungkinan yang terburuk jika yaitu ketika tidak berhasil mencapai tahap ke lima (tahap Penerimaan/Acceptance), adalah berakhirnya para Capres dan Cawapres ke RSJ, kena stroke, atau malah langsung ke pemakaman.

Namun, kemungkinan lain yang jauh lebih buruk adalah jika penyangkalan, kemarahan, dan bargaining yang melampaui batas kepatutan dari kedua kubu Capres dan Cawapres tadi, kemudian justru menyulut munculnya reaksi berlebihan dari para massa pendukungnya dalam bentuk pengerahan massa, yang dapat memicu konflik horizontal, kerusuhan dan pengrusakan. Jika itu yang terjadi, bukan hanya akan merendahkan derajat pribadi Capres dan Cawapres sebagai politisi dan negarawan, namun juga akan menciderai makna dari Pemilu sebagai pesta demokrasi itu sendiri, dan menjadi preseden buruk bagi masa depan demokrasi di Indonesia. Kecuali, tentu saja jika mereka memang ingin dikenang selamanya sebagai Capres dan Cawapres yang ‘gila jabatan’ dan ‘pemicu kerusuhan.’  Untuk yang terakhir ini, saya dan banyak rakyat Indonesia lain rasanya punya harapan yang sama, agar Indonesia dapat dijauhkan dari pemimpin semacam demikian.

Akan tetapi tetaplah patut diingat, bahwa tahapan tersebut dapatlah dipandang sebagai sebuah siklus, di mana siapapun pihak yang menang atau terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden, pada akhirnya harus menghadapi siklus atau tahapan yang sama dari awal juga. Keberatan atau penyangkalan baik dari pihak yang dulu merupakan pendukung terlebih dari mereka yang sebelumnya memang tidak memilihnya dalam Pilpres, tidak mungkin terelakkan sepenuhnya, karena pro dan kontra terhadap kebijakan pemerintahan terpilih pasti akan senantiasa ada.

-----------------------
Sumber:

Elisabeth Kübler-Ross. On Death and Dying: What the Dying Have to Teach Doctors, Nurses, Clergy and Their Own Families. 40th Anniversary Edition. Routledge. 2009.

Kamis, 17 Juli 2014

“Nyaris Jadi Presiden”


“Nyaris Jadi Presiden”

Candra Kusuma

Orang bilang, sejarah ditulis oleh para pemenang, dan umumnya juga hanya memuat kisah tentang para pemenang saja. Tapi ada satu buku yang buat saya cukup unik, karena mengangkat tema bukan tentang para pemenang, tapi justru secara khusus mengulas tentang mereka yang “nyaris menang.”

Buku yang saya maksud berjudul Almost President : The Men Who Lost The Race But Changed The Nation karya Scott Farris yang diterbitkan tahun 2012. Didalamnya, Farris memaparkan bagaimana para Capres di Amerika Serikat yang meskipun gagal terpilih menjadi presiden, namun dipandang mampu mendorong perubahan sosial dan politik di negara mereka. Farris secara panjang lebar mengulas 13 profil dan kontribusi para Capres gagal dalam Pilpres Amerika Serikat sejak abad 19 sampai abad 21, mulai dari Henry Clay (pada Pilpres 1824, 1832, dan 1844) sampai dengan Ross Perot (Pilpres 1992 dan 1996), Al Gore, John Kerry, dan John McCain (Pilpres 2000, 2004, dan 2008), serta Mitt Romney (Pilpres 2012).

Membaca sepintas buku tersebut, saya jadi terpikir, apakah sudah ada buku sejenis yang juga mengulas tentang para “Almost President” di Indonesia?. Kalau belum ada rasanya cukup menarik juga kalau nanti ada yang menulis tentang itu. Dalam sejarahnya, Pilpres di Indonesia yang secara langsung dipilih oleh rakyat memang belum panjang ceritanya. Pilpres secara langsung memang pertama kali baru dilaksanakan pada tahun 2004, karena sebelumnya Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Jadi sampai dengan Pilpres 2014 ini memang baru tiga kali saja. Dalam ketiga Pilpres tersebut, jika nanti ada yang berniat menulis buku tentang para Capres yang nyaris jadi Presiden tersebut, ada beberapa nama tokoh yang dapat diulas, yaitu: Wiranto, Amien Rais, Hamzah Haz (pada Pilpres 2004); Megawati Soekarnoputri (Pilpres 2004 dan 2009); dan Muhammad Jusuf Kalla (Pilpres 2009).

Calon buku tersebut tentunya dapat ditutup dengan ulasan tentang “Almost President” dalam Pilpres 2014, yaitu salah satu diantara dua Capres yang bertarung saat ini: Prabowo Subianto atau Joko Widodo. Topiknya bisa meniru buku Farris, yaitu: meskipun gagal jadi Presiden, kontribusi apa (kalau ada, baik kontribusi positif maupun negatif) yang sudah diberikan para “Almost President” itu terhadap peningkatan kualitas demokrasi, budaya politik, gaya kepemimpinan yang tepat, maupun gagasan yang cemerlang atau program pembangunan yang potensial meningkatkan kesejahteraan rakyat, dll.?

Jadi, kira-kira siapa ya yang jadi “Almost President” pada saat pengumuman oleh KPU tanggal 22 Juli nanti…?  :)

-----------------------------
Sumber:
-    Scott Farris. Almost President : The Men Who Lost The Race But Changed The Nation. Lyons Press. 2012.

Kamis, 03 Juli 2014

“Pemilu dan Ancaman Kebebasan”



“Lari dari Kebebasan?”

Candra Kusuma


Whistling in the dark does not bring light.” Bahwa bersiul dalam gelap tidak akan menghadirkan cahaya. (Erich Fromm, The Fear of Freedom: Escape From Freedom, 1942: 49).


Kebebasan Negatif -vs- Kebebasan Positif

Kebebasan adalah salah satu konsep yang banyak diulas dan diperdebatkan sejak lama oleh para pemikir, diantaranya oleh Erich Fromm dan Isaiah Berlin. Fromm adalah filsuf politik kelahiran Jerman tahun 1900. Dia menjadi saksi kelahiran dan kejatuhan kekuasaan Fasisme NAZI Jerman. Sementara Isaiah Berlin adalah filsuf kelahiran Rusia (sekarang Latvia) tahun 1909 dari keluarga Yahudi. Pada tahun 1920 --setelah Revolusi Komunis Bolshevik Rusia yang juga anti-Semit-- keluarganya melarikan diri dan kemudian menjadi warga negara Inggris. Pengalaman pribadi kedua pemikir tersebut turut melatarbelakangi filsafat yang mereka kembangkan, khususnya terkait dengan perlawanan terhadap gagasan Fasisme dan kekuasaan yang otoriter.

Fromm berpendapat, bahwa manusia modern memiliki kebebasan yang jauh lebih besar dibandingkan para pendahulunya, karena mereka telah mampu mencapai kondisi “bebas dari” berbagai hambatan dan penghalang. Manusia modern telah tidak terlalu dibatasi lagi oleh kekuatan alam, ajaran religius yang dogmatis, dan norma-norma sosial kaku abad pertengahan yang mengekangnya. Struktur masyarakat modern tersebut kemudian mempengaruhi manusia dalam dua cara sekaligus: manusia menjadi lebih mandiri, percaya pada diri sendiri dan kritis, namun sekaligus menjadi lebih terisolasi, sendirian dan ketakutan (The Fear of Freedom: Escape From Freedom, 1942: 39).

Kebebasan yang  melahirkan keterasingan dan justru membuat manusia menjadi takut tadi, membuat manusia kemudian cenderung berpaling dari kebebasan itu sendiri sendiri. Menurut Fromm, kesendirian, ketakutan dan kebingungan tetap ada; manusia tidak bisa tahan menghadapi itu selamanya. Mereka tidak mampu menanggung beban "kebebasan dari," dan mereka terus mencoba untuk melarikan diri dari kebebasan sama sekali, kecuali mereka dapat berkembang dari kebebasan negatif (negative freedom) ke kebebasan positif (positive freedom) (Fromm, 1942: 49).

Manusia dapat mengembangkan "kebebasan positif"-nya jika dapat berhubungan secara spontan dengan dunia dalam cinta dan pekerjaan, dalam ekspresi yang tulus dari kapasitas emosional, sensual, dan intelektualnya. Dengan demikian ia dapat menjadi bagian lagi dari manusia, alam dan dirinya sendiri, tanpa menyerahkan sepenuhnya independensi dan integritas diri pribadinya kepada pihak lain. (Fromm, 1942: 51).

Pandangan Fromm diamini oleh Isaiah Berlin, yang juga membagi kebebasan secara umum dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu kebebasan positif dan kebebasan negatif. Kebebasan positif adalah “kebebasan untuk” (freedom to) melakukan sesuatu. Sementara kebebasan negatif dimaknai sebagai “kebebasan dari” (freedom from) berbagai hambatan dan halangan (Isaiah Berlin, Liberty: Incorporating Four Essays on Liberty, 2002: 168-181; yang dikembangkan dari tulisan awalnya berjudul Four Essays on Liberty pada tahun 1969).

Ketidakmampuan manusia modern menghadapi kebebasannya sendiri membuat mereka kemudian menciptakan apa yang disebut Fromm sebagai “mechanism of escape from freedom”atau mekanisme untuk melarikan diri dari kebebasan. Dalam The Fear of Freedom: Escape From Freedom, Fromm menguraikan tiga mekanisme lari dari kebebasan yang umum digunakan, yaitu: otoritarianisme, kehancuran, dan penyesuaian diri secara otomatis (Fromm, 1942: 50-73).

(1)  Otoritarianisme (authoritarianism)
Mekanisme pertama melarikan diri dari kebebasan adalah kecenderungan untuk menyerahkan kebebasan individual diri sendiri dan untuk meleburkan diri dengan orang atau sesuatu di luar dirinya sendiri, dalam rangka memperoleh kekuatan yang dirasakan kurang dalam dirinya sendiri. Kekuatan diluar dirinya tersebut dapat berupa kelompok, organisasi, pemimpin yang kharismatis, kekuasaan otoriter, dll. Singkatnya, mekanisme pertama adalah berupa ketundukan dan berada dibawah dominasi pihak lain. Fromm menyebutkan bahwa secara psikologis kecenderungan yang muncul adalah masokhisme (kesenangan yang muncul dari rasa sakit fisik atau psikologis pada diri sendiri baik yang dilakukan oleh diri sendiri atau orang lain) dan sadisme (kesenangan yang muncul dari menyakiti pihak lain secara fisik dan psikologis).

(2)  Kehancuran (destructiveness)
Bersumber dari rasa ketidakberdayaan, keputusasaan dan rasa terasingnya individu, yang menimbulkan kecemasan dan rasa kegagalan dalam hidup. Untuk menghilangkan rasa ketidakberdayaan tersebut, dengan menghancurkan pihak lain diluar dirinya, juga dengan kecenderungan merusak diri sendiri. Upaya aktif penghancuran tersebut dengan berbagai rasionalisasi: atas nama cinta, tugas, hati nurani, patriotisme, dll. Singkatnya, individu mengatasi perasaan tidak penting dibandingkan dengan kekuatan luar biasa dari dunia luar dirinya, baik dengan meninggalkan integritas pribadinya, atau dengan menghancurkan orang lain, sehingga dunia tidak lagi menjadi ancaman.

(3)  Penyesuaian diri secara otomatis (automaton conformity)
Menurut Fromm, mekanisme ini adalah modus paling umum yang dipilih oleh masyarakat modern. Singkatnya, individu tidak lagi menjadi dirinya sendiri, karena ia mengadopsi sepenuhnya jenis kepribadian yang ditawarkan kepadanya oleh pola-pola budaya. Individu menjadi identik dengan orang kebanyakan, atau berubah menjadi seperti yang diharapkan oleh orang-orang di sekitarnya. Akibatnya, individu justru kehilangan dirinya sendiri.

Mekanisme melarikan diri dari kebebasan tersebut adalah pengejawantahan dari kebebasan negatif yang menjauhkan manusia dari “keaslian”-nya (authenticity). Bagi Fromm, hanya kebebasan positif saja yang dapat membuat individu tetap otentik, dalam pengertian individu yang dapat mengambil sikap dari pemikiran dan pemahaman pribadinya sendiri, dan bukan berasal dari tekanan pihak lain, atau tidak semata mengafirmasi kecenderungan dari pendapat umum yang ada di komunitasnya saja.

GOLPUT adalah hak dalam rezim demokrasi, dan bentuk perlawanan dalam rezim otoriter

Fitur utama dalam sebuah negara demokrasi salah satunya adalah adanya Pemilu yang bebas untuk memilih anggota lembaga perwakilan rakyat dan pemimpin eksekutif di pemerintahan. Jadi kalau ada negara yang bikin Pemilu tapi dengan banyak pembatasan, pemaksaan, kekerasan dan kecurangan ya bisa dibilang negara itu tidak atau kurang demokratis lah…

Dapat dikatakan, Pemilu erat kaitannya dengan kebebasan khususnya kebebasan untuk mengekspresikan pandangan dan sikap politik (freedom of political expression). Pemilu diselenggarakan adalah juga untuk menjamin tetap terpeliharanya kebebasan politik itu sendiri. Walaupun ada sejumlah kasus di mana Pemilu justru menghasilkan pemenang yang kemudian membelenggu kebebasan warga negaranya, dan menciptakan bencana kemanusiaan yang besar. Contohnya adalah ketika Partai NAZI-nya Hitler yang Fasis memenangkan Pemilu di Jerman tahun 1932. Sementara di Indonesia, adalah ketika GOLKAR menjadi pemenang dalam Pemilu di Indonesia tahun 1971, yang kemudian menjelma menjadi Rezim Otoriter ORBA yang berkuasa 32 tahun lamanya.

Barangkali disitulah paradoks yang menjadi kelebihan sekaligus kelemahan dari sistem demokrasi, yaitu adanya “kewajiban” untuk tetap memberi celah kebebasan dan kesempatan hidup bahkan bagi ideologi dan embrio kelompok dan kekuatan politik yang cenderung kurang atau anti-demokrasi sekalipun. Karena sepanjang mereka tidak secara aktif melakukan penghinaan dan penyebaran kebencian terhadap pihak lain, atau melakukan pemaksaan atas pandangan, keyakinan dan agenda politiknya kepada warga negara lainnya, maka itu dipandang hanyalah perbedaan gagasan saja. Pluralisme justru menjadi basis bagi demokrasi, di mana ada pengakuan akan kemajemukan, keragaman budaya, kebebasan berpikir, perlindungan terhadap kelompok minoritas, serta penyelesaian konflik secara damai. Jadi jika masih ada penyelesaian konflik agraria antara petani dengan pengusaha yang melibatkan kekerasan misalnya, jelas tidak sejalan prinsip negara demokratis lah ya…

Dalam negara demokratis, partisipasi politik warga negara adalah kebutuhan, namun negara atau siapapun tidak dapat memaksa warga negaranya untuk berpartisipasi, karena justru akan bertentangan dengan prinsip kebebasan tadi. Dalam konteks Pemilu, partisipasi warga negara dalam Pemilu sangat diharapkan, tetapi jikapun ada diantara mereka yang berkehendak untuk tidak ikut memilih alias “GOLPUT”, maka itupun adalah kebebasan yang tetap harus diakui, dihargai dan dilindungi oleh negara ataupun warga negara lainnya. Sementara di negara otoriter, GOLPUT dalam Pemilu justru dapat dipandang sebagai bentuk perlawanan. Rakyat dapat memilih untuk tidak ikut serta dalam Pemilu jika memang penuh kepalsuan dan pemaksaan, serta hanya digunakan sebagai alat legitimasi rezim yang berkuasa saja.

Hal tersebut menurut saya sejalan dengan pandangan Isaiah Berlin tentang “kebebasan,” -- yang saya terjemahkan semampunya--, bahwa:  “Inti dari kebebasan selalu bertumpu pada kemampuan untuk memilih sesuai apa yang ingin dipilih, karena Anda ingin memilih, tanpa paksaan, tanpa gangguan, tidak ditelan oleh sistem-sistem yang lebih besar; dan hak untuk melawan, menjadi tidak populer, untuk membela keyakinan Anda, karena itu adalah keyakinan Anda. Itu adalah kebebasan sejati, dan tanpa itu tak ada kebebasan apapun, atau bahkan sekedar ilusi tentang itu.” (Isaiah Berlin, Freedom and its Betrayal: Six Enemies of Human Liberty, 2002: 103-104)

Pemilu 2014 ancaman bagi demokrasi dan kebebasan?

Pemilu 2014 menjadi unik karena hanya dua pasangan Capres dan Cawapres yang akan dikonteskan. Selain itu, kedua pasangan tersebut terkesan mencitrakan dua pilihan karakter kepemimpinan dan pemerintahan (nanti) yang akan berbeda. Tak terhingga sudah banyaknya berita, gosip, data, analisis mengenai hal tersebut yang diangkat di media massa dan media sosial, baik dalam bentuk kampanye positif, negatif bahkan hitam mengenai kedua pasangan tersebut. Calon pemilih tinggal melihat, membaca, memilah, menilai dan memutuskan mana bagian yang lebih masuk akal dan sesuai pertimbangan nurani, mana yang akan dipercaya dan menjadi pijakan untuk memilih.

Sebagian calon pemilih yang rasional dan berpikir positif mungkin akan lebih banyak mencermati sungguh-sungguh tawaran agenda program pembangunan yang ditawarkan oleh masing-masing kubu Capres dan Cawapres: Siapa yang punya agenda lebih baik untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat?. Sebagian calon pemilih lainnya lebih banyak menyoroti peluang dan ancaman dari kedua kubu tersebut terhadap aspek yang lebih mendasar: Siapa yang lebih berpeluang mendukung penegakan hukum dan HAM, serta membangun tatanan demokrasi yang lebih baik?. Sebagian calon pemilih lain yang apatis dan skeptik terhadap pasangan Capres dan Cawapres maupun kelompok pendukungnya, mungkin akan tetap memilih untuk tidak ikut memilih dalam Pemilu, alias GOLPUT saja.

Namun, barangkali memang menjadi satu kecenderungan alamiah manusia untuk gemar mengambil sikap ekstrem. Sangat mungkin, setelah lelah dipimpin rezim dengan gaya kepemimpinan yang kuat bahkan otoriter, sebagian menginginkan rezim yang lebih soft  dan demokratis. Sebaliknya, setelah kecewa pada rezim dengan kepemimpinan yang lemah, sebagian justru merindukan adanya rezim dengan karakter kepemimpinan yang lebih kuat, yang kurang demokratis, dan bahkan otoriter. Pengalaman Jerman dengan NAZI-nya di Pemilu 1932 membuktikan hal tersebut. Kecenderungan ini pula yang tampaknya terjadi saat ini di Indonesia. Bagi sebagian orang, demokrasi dan kebebasan justru menjadi ancaman dan menakutkan. Dalam konteks politik, tak mengherankan jika mereka kemudian mendukung atau menjadi bagian dari kekuatan yang justru cenderung membatasi kebebasan politik.

Mungkin agak neurotic, tapi sebagian orang melihat adanya kecenderungan Pemilu kali ini justru mempertaruhkan keberlanjutan dari demokrasi dan kebebasan itu sendiri. Salah satu pasangan dinilai punya potensi untuk membangun kembali kekuasaan otoriter dibandingkan pasangan lainnya. Kekuasaan otoriter tersebut mungkin konon akan lebih “jinak” dari ORBA, namun tetaplah dapat berpeluang besar menjadi menciptakan kembali masa-masa kegelapan politik seperti di masa lalu. Tidak hanya secara langsung merupakan “orang dalam” dari ORBA itu sendiri, namun karakteristik personal dari sang Capres, rekam jejak yang kontroversial terkait dugaan kuat pelanggaran HAM di masa lalu, dan berkumpulnya kelompok-kelompok yang cenderung anti keberagaman dan tak segan menggunakan jalan kekerasan di kubu tersebut menjadi pertanda adanya kecenderungan tersebut. Sementara pada pasangan yang lain, khususnya pada partai politik utama yang  mendukung pasangan ini, juga berpotensi untuk sensitif terhadap kritik dan enggan berdialog serta cenderung lebih mengedepankan tindakan yang main hakim sendiri terlebih dahulu.

Apakah GOLPUT pilihan paling tepat di Pemilu 2014 ini?

Memang hanya di negara dengan sistem politik demokrasi yang dapat menawarkan kebebasan untuk memilih, bahkan kebebasan untuk tidak memilih dalam Pemilu. Di banyak negara lain, perjuangan kaum budak, perempuan, kaum kulit berwarna, masyarakat adat, kaum minoritas dan lainnya untuk dapat memperoleh hak politik hingga dapat turut memilih dan dipilih dalam Pemilu di negara mereka menjadi sejarah perjuangan politik yang panjang. Kita di Indonesia juga pernah mengalami meski kurang dari itu, yaitu ketika Orde Baru membatasi kebebasan memilih partai politik, penekanan untuk memilih partai politik tertentu, juga adanya pembatasan hak politik bagi para mantan tahanan politik. Bisa jadi saat ini kita kurang menghargai adanya kebebasan tersebut, dan baru menyadarinya saat kebebasan tersebut hilang atau berkurang nantinya.

Jika dikaitkan dengan pandangan Erich Fromm dan Isaiah Berlin mengenai kebebasan positif dan negatif di atas, pada dasarnya ruang politik cenderung mendorong orang untuk melarikan diri dari kebebasan individunya (kebebasan positif), untuk kemudian terserap dalam modus kebebasan negatif. Entah meleburkan diri menjadi bagian dari suatu kelompok/lembaga politik tertentu (modus otoritarianisme), atau sekedar mengikuti sikap yang kecenderungan umum di komunitasnya (modus “penyesuaian diri”  atau conformity).

Namun di sisi lain, GOLPUT yang dilakukan dengan sengaja dalam Pemilu-pun juga dapat dipandang sebagai bentuk lain dari melarikan diri dari kebebasan. Sejauh calon pemilih memiliki “kebebasan untuk” menentukan pilihannya sendiri (yang merupakan kebebasan positif), sementara di sisi lain dalam Pemilu yang akan diselenggarakan justru tengah dipertaruhkan masa depan demokrasi dan kebebasan, maka pilihan untuk GOLPUT justru menjadi pilihan yang patut dipertimbangkan ulang. GOLPUT justru dapat menguntungkan kubu yang berpotensi lebih besar untuk mengancam dapat terciptanya demokrasi yang lebih kuat pada akhirnya. Pada akhirnya menjadi GOLPUT justru menjadi modus lainnya dari melarikan diri dari kebebasan seperti diungkapkan Fromm, atau bahkan menjadi "pengkhianat bagi kebebasan" seperti dikhawatirkan Isaiah Berlin. Untuk kali ini, menjadi GOLPUT dan untuk kemudian hanya menggerutu sendirian rasanya bukan menjadi pilihan yang tepat. “Whistling in the dark does not bring light.” Bahwa bersiul dalam gelap tidak akan menghadirkan cahaya (Erich Fromm, The Fear of Freedom: Escape From Freedom, 1942: 49).

Seperti banyak kawan lain, saya sendiri termasuk “GOLPUT-er” khususnya pada beberapa Pemilu di  masa ORBA. Namun untuk Pemilu 2014 kali ini ada banyak pertimbangan lain yang “memaksa” saya untuk cuti dulu dari barisan GOLPUT. Saya sendiri memilih untuk akan ikut memilih dalam Pemilu Presiden nanti. Selain mempertimbangkan adanya peluang untuk memperoleh Presiden yang berpotensi membawa kesegaran dan perubahan dalam politik nasioal pada salah satu Capres dan Cawapres, saya juga agak khawatir dengan kecenderungan menguatnya ancaman bagi demokrasi dan kebebasan pada kelompok pendukung Capres yang lain. Merujuk apa yang diingatkan Fromm, bahwa: “…the defence of freedom against such powers that deny such freedom is all that is necessary”  (1942: 39). Bisa jadi pandangan ini berlebihan atau bahkan terbukti keliru nantinya. Tapi untuk kali ini, buat saya, ikut memilih rasanya punya sedikit alasan dan tujuan. Itu saja.

------------------------

Sumber:
- Erich Fromm. The Fear of Freedom: Escape From Freedom, 1942
- Isaiah Berlin, Freedom and its Betrayal: Six Enemies of Human Liberty, 2002.