Baca

Baca

Selasa, 18 Maret 2014

"Presiden Guyonan ala Butet Kartaredjasa"


Presiden Guyonan

Sebenarnya ini buku lama, tapi moment-nya kok rasanya pas buat dibaca lagi ya… “Presiden Guyonan” pertama kali diterbitkan dalam rupa buku pada tahun 2008 lalu. Buku ini merupakan kumpulan dari kolom mingguan terpilih yang ditulis Butet Kartaredjasa di Suara Merdeka sejak September 2007.

Butet yang mengaku sebagai seorang anggota “FPG” alias Front Penggemar Guyonan, memang berniat “mengajak pembaca bercanda agar menanggapi masalah tak harus selalu ngotot dan kenceng, apalagi dengan mengepalkan tinju. Dengan melihat persoalan lebih rileks, lebih sumeleh…” Dari persoalan politik, sosial, ekonomi, soal larangan merokok, sampai soal umum yang muncul dalam sebuah keluargapun dibicarakan khas Butet. Ndagel namun tetap satir juga… Lho, maksudnya… ?

Mohamad Sobary, dalam kata pengantarnya, menyebut gaya Butet ini sebagai khas Yogya. Di mana persoalan ‘ndak mesti selalu dihadapi dengan mengerutkan kening atau menarik urat leher, apalagi otot lengan, kaki, dll. Tetapi kadang persoalan cukup diladeni dengan “Ngguyu… alias menertawakan. Ini konsep campur aduk antara mengkritik, sekedar membuat lelucon, mengejek, atau mencemooh, sekaligus diam-diam membalas dendam. Mengejek, sekaligus mencemooh, ini serius dan sering mengandung beban atau muatan politik.” Tidak gentleman dan macho mungkin buat masyarakat dari budaya lain, tapi memang kadang lebih efektif membantu melihat persoalan dari perspektif yang sama sekali lain… dan tentu saja biasanya lebih menyenangkan ya… he..he..

Mengapa Butet bisa dan “boleh” seperti itu? Menurut Sobari hal itu karena “Butet berada di garis pinggir kekuasaan, dari tempat di mana menertawakan gerak-gerik mereka yang berkuasa menjadi sejenis kebajikan moral. Ini merupakan moralitas orang-orang yang bersikap resisten terhadap keangkuhan penguasa, atau siapa saja yang berlagak sok kuasa.”

Tokoh utama Butet dalam buku ini ini adalah keluarga Mas Celathu. Kata “celathu” buat orang Yogya memang punya makna lain. “Celathu” artinya berujar atau menyahut atau nyeletuk atau menyambar omongan. Tokoh si Mas Celathu ini hobinya memang melontarkan celetukan atau komentar yang terkesan asal bunyi saja. Bukan celetukan yang sekedar menyambar omongan orang macam acara “lawak-lawakan” yang makin banyak di tv itu, tetapi  lebih sebagai bentuk laku mengomentari peristiwa yang ada di sekitarnya. Mungkin juga bukan selalu soal yang “penting-penting amat.” Meski tidak mirip sekali, lakonnya agak miriplah dengan Danang dan Darto di acara “The Comment” yang sedang moncer di Net.tv. (Menurut saya lho ini...)

Pada satu bagian di buku ini dikisahkan bagaimana menjelang Pemilu, mas Celathu dan istrinya berkeliling kota dan berhenti untuk memberi hormat setiap bertemu spanduk atau poster Caleg yang sibuk menarik simpati. Alasannya sederhana saja: “Kasihan, kan, mereka itu. Mosok sudah susah-susah menyapa rakyat dicuekin. Dengan kasih hormat begini, artinya kami mencoba memberi makna atas eksistensinya.” Sementara pada bagian lain mas Celathu juga mengomentari perilaku Caleg yang “numpang ngetop” dengan memasang wajah tokoh terkenal tertentu, atau mengaku sebagai “Ayahnya Donna Agnesia” atau “Menantu Cucunya Jenderal Sudirman.”

Berhubung penulisnya adalah penduduk “Republik Rakyat Yogya”, jadi ya mesti maklum jika “Bahwasanya” ada banyak penggunaan kata-kata berbahasa Jawa. “Tapi ingat…!” (sambil memajukan jari telunjuk tanda mengingatkan), berhubung penulisnya adalah orang lucu dan tidak sombong, maka buat yang “ra dong” (kalau “tidak mengerti?” ya monggo cari sendiri di mbah Google)  dengan bahasa Jawa jangan merasa kuatir. Ada “Kamus mini” di halaman belakangnya kok…

Soal siapa Butet tentu sudah banyak yang lebih banyak tahu. Butet mungkin paling banyak diingat orang dari aksi monolog-nya menirukan suara tokoh-tokoh terkenal di Republik ini, khususnya adalah tokoh Suharto. Butet bahkan sudah me-monolog-kan Suharto sejak tahun 1988 pada sebuah lakon berjudul “Upeti.” Pada saat itu, cuma orang-orang nekad saja yang berani memparodikasikan penguasa secara terbuka. Tetapi pada saat sekarang, selain mungkin memang suaranya mirip, Butet dianggap mampu mewakili “suasana kebathinan” sebagian besar rakyat Indonesia terhadap tokoh satu itu. Ada yang kesel, ada yang kangen, ada yang ingin balikan lagi… (CLBK kata anak sekarang). Pokoknya nano-nano lah…

Jadi itu kenapa bukunya ini dikasih judul “Presiden Guyonan”? Terus terang saya tidak tahu. Beberapa kali membolak-balik buku ini rasanya tidak ada penjelasan mengenai hal itu ya…  Bisa jadi dari kebiasaannya me-monolog-kan para presiden itu tadi. Maaf atas ketidaktelitian saya ini… Lalu kenapa buku ini saya anggap penting? Karena lewat buku ini saya baru tahu kalau Butet hanya akan menirukan suara manusia saja. Itulah mengapa, menurut Sobary di bagian Pengantar, Butet tidak mau menirukan suara Baramuli katanya… He...he...  (Buat yang tidak tahu nama tokoh ini, sekali lagi monggo tanya mbah Goggle ya…). 

Dari sumber yang lain ada hal yang menarik pula. Butet ternyata juga mengaku tidak mau menirukan sembarang orang. Ketika dalam satu wawancara di tahun 1999 ada yang bertanya: “Siapa pemimpin ideal bangsa Indonesia menurut Anda?.” Butet menjawab serius: “Pokoknya, dia harus orang yang tidak bisa saya tirukan mimik dan suaranya. Karena saya tidak mau menjelek-jelekkan orang yang baik." Nah, kita lihat saja nanti, setelah ada presiden baru hasil Pemilu 2014, apakah Butet “bersedia” menirukannya atau tidak?. Jadi Jokowi, Prabowo, Ical, Paloh, Wiranto, atau lainnya, bersiap-siaplah…!!! He…he…

-----------------------
Judul         : Presiden Guyonan
Penulis      : Butet Kartaredjasa
Penerbit    : Mizan, 2013