Baca

Baca

Jumat, 20 Maret 2015

“Wicked Problems: Upaya Mengenali Masalah-masalah Besar dan Kompleks”


Oleh: Candra Kusuma


Beberapa tahun lalu ketika mulai agak banyak membaca literatur mengenai pendekatan penelitian multi dan lintas disiplin, saya mendapati satu istilah yang menarik, yaitu “wicked problem.” (lihat “Mengapa Perlu Pendekatan Interdisipliner?” dan “Mengapa Perlu Pendekatan Interdisipliner?”). Dari beberapa sumber, akhirnya saya agak sedikit ada gambaran dan ingin berbagi mengenai  “Masalah Jahat” ini.


Pengertian Wicked Problems

Mengacu pada pandangan Spratt (2011:1), gagasan tentang wicked problem dapat dilacak kemuculannya sejak akhir 1960-an dan awal 1970-an (Churchman, 1967; Rittel and Weber, 1973). Namun banyak ahli yang berpendapat bahwa  istilah wicked problem sendiri konon digunakan pertama kali oleh Horst W.J. Rittel (1972) seorang ahli perencanaan pembangunan dari University of Berkeley (lihat Ritchey, 2011:1). Rittel dan mitranya, Melvin M. Webber, kemudian menulis satu karya monumental tentang wicked problem yang dimuat dalam Policy Sciences (1973) dengan judul “Dilemmas in a general theory of planning.”

Bagi Rittel dan Webber, wicked problem adalah masalah yang “jahat” namun bukan “jahat secara moral,” tetapi karena tampaknya masalah-masalah tersebut selalu mampu menolak dan berkelit dari semua upaya penyelesaian masalah yang biasa-biasa saja. Lebih jauh, masalah-masalah tersebut juga akan berdampak sekaligus menuntut adanya perubahan di masyarakat dan pemerintahan maupun lingkungan hidup (lihat juga Brown, 2010:4).

Karya mereka kemudian menjadi acuan sekaligus sumber kritik dari para pemikir berikutnya dari berbagai kajian dan karya ilmiah. Head & Alford (2008:5) diantaranya mencatat,  bahwa pendekatan dan analisis tentang wicked problem sudah diterapkan sejak era 1970-an sampai saat ini dalam beragam disiplin ilmu, mulai dari: ilmu politik (Harmon & Mayer 1986, Fischer 1993, Roberts 2000); manajemen sumber daya alam (Allen & Gould 1986, Freeman 2000, Salwasser 2004); perencanaan kota dan kawasan (Innes & Booher 1999); dan penelitian cybernetics (Conklin 2006). Karya lainnya yang juga merujuk pada gagasan Rittel dan Webber tentang wicked problem, diantaranya:  Fitzpatrick  (2003); Pemerintah Australia (2007; Head & Alford (2008); Marback (2009); Ayoub, Batres, dan Naka (2009); Brown (2010); Menkhaus (2010); Kress & Young (2010); Carter  (2011); Ritchey (2011); Howes & Wyrwoll (2012); Ferlie et.al. (2013); Xiang (2013); dan Game (2013).

Dalam “Dilemmas…,” Rittel dan Webber membedakan antara “tame or benign problem(s)” (masalah yang “jinak”) dan wicked problem. Mereka membedakan antara masalah yang dihadapi ilmuwan/akademisi maupun teknisi dengan masalah yang dihadapi para perumus kebijakan publik/sosial: “The search for scientific bases for confronting problems of social policy is bound to fail, because of the nature of these problems. They are "wicked" problems, whereas science has developed to deal with "tame" problems. Policy problems cannot be definitively described” (Rittel & Webber, 1973:155). Bagi mereka, masalah sosial yang harus dijawab oleh kebijakan sosial sangatlah kompleks dan sulit dipecahkan secara tuntas, sehingga merupakan wicked problems: “Social problems are never solved. At best they are only re-solved--over and over again” (Rittel & Webber, 1973:160).

Dari hasil pengamatan mereka mengenai kendala dalam perencanaan pembangunan dan perumusan kebijakan sosial di pemerintahan Amerika Serikat, Rittel dan Webber (1973:161-167) menyimpulkan bahwa ada sepuluh karakteristik wicked problems tersebut, yakni bahwa: (1) There is no definitive formulation of a wicked problem; (2) Wicked problems have no stopping rule; (3) Solutions to wicked problems are not true-or-false, but good-or-bad; (4) There is no immediate and no ultimate test of a solution to a wicked problem; (5) Every solution to a wicked problem is a "one-shot operation", because there is no opportunity to learn by trial-and-error, every attempt counts significantly; (6) Wicked problems do not have an enumerable (or an exhaustively describable) set of potential solutions, nor is there a well-described set of permissible operations that may be incorporated into the plan; (7) Every wicked problem is essentially unique; (8) Every wicked problem can be considered to be a symptom of another problem; (9) The existence of a discrepancy representing a wicked problem can be explained in numerous ways. The choice of explanation determines the nature of the problem's resolution; (10) The planner has no right to be wrong.

Rittel dan Webber berpandangan bahwa wicked problem tidak memiliki formulasi yang pasti. Penyebab wicked problem dapat dijelaskan dengan berbagai cara. Masing-masing pihak sangat mungkin memiliki pandangan berbeda tentang apa yang mungkin menjadi masalah, apa yang mungkin menyebabkan hal tersebut, dan bagaimana mengatasinya. Karena tantangan pertama adalah bagaimana merumuskan masalah dan kemudian mencari alternatif solusinya. Persoalannya, setiap upaya untuk mencari solusi sekaligus dapat mengubah pemahaman mengenai masalah tersebut. Selain itu, juga dipandang sulit untuk memastikan bahwa wicked problem dapat atau telah benar-benar diselesaikan. Karena sulit atau bahkan tidak dapat mendefinisikan masalah secara tunggal, maka akan sulit pula untuk bahwa masalah tersebut telah diselesaikan. Proses pemecahan masalah berakhir ketika sumber daya habis, atau para pemangku kepentingan kehilangan minat atas masalah tersebut, atau terjadi perubahan atas realitas politik. Meskipun demikian, Rittel dan Webber juga berpendapat bahwa berbeda dengan para ilmuan yang “boleh salah,” para perumus kebijakan dan perencana “tidak boleh salah.”

Dalam gagasan Rittel dan Webber, solusi untuk wicked problem yang tidak ada yang bersifat benar-atau-salah, tapi baik-atau-buruk. Karena tidak ada kriteria yang jelas untuk memutuskan apakah masalah teratasi, maka tantangannya adalah bagaimana mendapatkan persetujuan dari semua pemangku kepentingan bahwa resolusi yang dicapai sudah "cukup baik." Sangat mungkin penilaian "cukup baik" itulah capaian terbaik yang bisa diperoleh. Masalahnya, tidak ada tes atau uji akhir terhadap solusi atas wicked problem. Karena tidak ada penjelasan tunggal mengenai wicked problem, maka tidak ada satu cara untuk menguji keberhasilan resolusi yang diusulkan. Padahal setiap wicked problem dapat dianggap sebagai gejala dari masalah lain.

Beberapa ahli mengkritisi pandangan awal dari Rittel dan Webber tadi, diantaranya Norton (2012:458-459) yang berpendapat bahwa 10 karakteristik wicked problem yang diajukan Rittel dan Webber cenderung berlebihan dan tumpang tindih. Norton mensarikannya menjadi empat karakteriktik, yaitu: (a)  Masalah-masalah dalam memformulasikan masalah (gabungan dari karakteristik Rittel dan Webber nomor 1, 2, 3, dan 9); (b) Solusi-solusi yang tidak dapat diperhitungkan (dari karakteristik Rittel dan Webber nomor 2, 4, 6, dan 9); (c) Tidak ada pengulangan (dari karakteristik Rittel dan Webber nomor 25, 7 dan 10); (d) Bersifat terbuka sementara (dari karakteristik Rittel dan Webber nomor 2, 4 dan 8).

Sementara Morris (2004) yang mengangkat isu wicked problem di dunia bisnis, mengajukan lima karakteristik wicked problem, yaitu: (1) Wicked problem sangat tidak terduga dan dapat muncul dari manapun tanpa peringatan dan dapat dengan cepat berubah menjadi krisis besar; (2) Wicked problem tidak dapat diselesaikan dengan solusi lama; (3) Wicked problem tidak dapat diselesaikan dengan cara yang sederhana, statis, atau berurutan; (4) Wicked problem biasanya tidak dapat diselesaikan oleh satu orang yang bekerja sendirian karena mereka terlalu rumit; (5) Memecahkan wicked problem membutuhkan pencampuran berbagai macam pengetahuan dan sudut pandang yang berbeda, dan metodologi pemecahan masalah terstruktur sering dapat membantu.

Sedangkan Camillus (2008:2-4), yang mengadaptasi pendekatan Rittel dan Webber dalam sejumlah penelitiannya terkait wicked problems di perusahaan-perusahaan raksasa, kemudian menyimpulkan bahwa karakteristik wicked problems, adalah: (a) Masalahnya melibatkan banyak pemangku kepentingan dengan nilai-nilai dan prioritas yang berbeda; (b) Akar masalah sangat kompleks dan kusut; (c) Masalah tersebut sulit untuk segera dapat diatasi, karema berubah pada setiap upaya untuk mengatasinya; (d) Tantangan atau asalah yang dihadapi tidak memiliki preseden; (e) Tidak ada yang menunjukkan jawaban yang tepat untuk masalah ini.


Untuk “memperjelas kerumitan” dari wicked problem, Howes dan Wyrwoll (2012:30) mengutip Kreuter et al. (2004) yang membandingkan antara tame dengan wicked problem dari paparan awal Rittel dan Webber di atas, sbb.:


Menurut Head dan Alford (2008:5) pada akhirnya wicked problem dapat dipandang terkait dengan pluralisme sosial (beragam kepentingan dan nilai-nilai  dari para pemangku kepentingan), kompleksitas kelembagaan, dan ketidakpastian ilmiah (fragmentasi dan kesenjangan dalam pengetahuan). Sementara Ritchey (2011:20) menyimpulkan bahwa wicked problems  memanglah kompleks, dinamis, tidak jelas, ambigu, serta terkait erat dengan isu-isu moral, politik dan professional yang kuat. Sifatnya sangat subyektif, bergantung pada cara pandang pemangku kepentingan yang terlibat. Bahkan secara dramatik Marback (2009:399) menggambarkan wicked problems sebagai: “‘vicious’ (like a circle) or ‘tricky’ (like a leprechaun) or ‘aggressive’ (like a lion, in contrast to the docility of a lamb).

Terkait dengan kebijakan sosial/publik, Churchman (1967:141) mensarikan pandangan Rittel dan Webber bahwa wicked problem mengacu pada tingkat masalah-masalah dalam sistem sosial yang sulit diformulasikan (ill-formulated), di mana informasi yang ada dipandang membingungkan, serta ada banyak klien dan pengambil keputusan yang memiliki nilai-nilai (dan juga kepentingan) yang berbeda bahkan bertentangan, dan di mana konsekuansi di seluruh sistem yang benar-benar membingungkan. Dalam bahasa yang lebih ringkas, Head (2008:103-104) menyimpulkan bahwa wicked problem mucul jika ada masalah yang memiliki tingkat kompleksitas, ketidakpastian, dan penyimpangan yang tinggi (high levels of complexity, uncertainty, and divergence).

Camillus (2008:1-2) mengingatkan bahwa persoalannya adalah bukan pada tingkat kesulitan dari masalah tersebut, namun bahwa cara penyelesaian masalah yang biasa, standard an rutin tidaklah mampu menyelesaikan masalah tersebut: “Wickedness isn’t a degree of difficulty. Wicked issues are different because  traditional processes can’t resolve them.” Dalam hal ini, Spratt (2011:3) mempertajam pandangan Rittel dan Webber dan banyak penulis sebelumnya. Menurutnya, banyak masalah (problems) sesungguhnya memiliki kedua unsur, baik dari karakter “jinak” (tameness) maupun “jahat” (wickedness). Mungkin saja masalah tersebut dapat dirumuskan secara jelas, namun dalam implementasinya ternyata penuh dengan kompleksitas. Spratt memberi contoh masalah-masalah yang dihadapi dalam pembangunan, di mana didalamnya terdapat memerlukan keterlibatan unsur  pengetahuan ilmiah dan teknik, geografi, budaya, masalah perbedaan sumber daya dan kekuatan, yang dkombinasikan dengan tatangan masalah yang saling terhubung, sehingga membuat masalah-masalah dalam pembangunan menjadi cukup “wicked.”

Cakupan Masalah Wicked Problems

Dalam hal ini, para penulis, peneliti, ahli dan institusi memiliki pandangan yang beragam mengenai masalah yang dapat diidentifikasi sebagai wicked problems, diantaranya: Perubahan iklim, korupsi, pengangguran, hutang nasional, resesi, terorisme, penurunan kualitas ekologi, kekurangan makanan dan air; keterbatasan pelayanan kesehatan, dll. (Ackoff, 1974; Conklin, 2006; Horn dan Webber, 2007); Perubahan iklim, kegemukan, masalah penduduk asli dan penurunan kualitas lahan (Pemerintah Australia, 2007); penurunan kualitas lingkungan, terorisme, kemiskinan dan bisnis dalam perusahaan-perusahaan besar (Camillus, 2008); studi mengenai komposisi (composition studies) terkait  media digital (Marback, 2009); AIDS dan pelayanan kesehatan (Lazarus, 2010); Nilai-nilai individual dalam hubungannya dengan nilai dan budaya organisasi (Martin dan Murray, 2010); Negara yang rapuh, kolaps dan gagal (state fragility, collapse and failure) (Menkhaus, 2010); Masalah-masalah dalam pembangunan (Spratt, 2011); Terorisme, demokrasi di rezim negara authoritarian, kebijakan imigrasi nasional, kejahatan dan kekerasan di sekolah (Ritchey, 2011); Globalisasi (Carter, 2011); Pertanian dan ketahanan pangan berkelanjutan (Van Latesteijn dan Rabbinge, 2012); Sistem informasi (Gleasure, 2013); Masalah agrikultur (Sayer dan Cassman, 2013); Perdagangan internasional (Ramalingam, Laric dan Primrose, 2014); Standarisasi informasi penelitian (Riechert dan Dees, 2014); Proses penuaan yang sehat dan aktif (Riva et.al., 2014).

Selain itu ada pula beberapa karya yang khusus mengangkat kasus wicked problems di Indonesia, meskipun memang masih sangat terbatas, diantaranya adalah: Wicked problem dalam mengurangi kejahatan dan korupsi di Indonesia (Roberts, 2012); Wicked problem dalam intervensi promosi praktek reflektif lulusan pendidikan desain grafis di Indonesia (Karnita, Woodcock dan Super, 2013);  Wicked problem dalam Reformasi pengelolaan asset negara di Indonesia (Mardiasmo (2012); Kerumitan dalam perencanaan dan implementasi kebijakan terkait upaya Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+) di Indonesia (Moeliono, et.al., 2014).

Namun rentang masalah yang dianggap sebagai wicked problems ternyata oleh sejumlah ahli lainnya dipandang sangat luas, tumpang tindih, dan kurang tepat untuk dapat saling diperbandingkan. Sebagai contoh, menyandingkan antara stradarisasi informasi penelitian dan studi tentang komposisi dengan perubahan iklim dan terorisme sebagai sebuah perbandingan yang seimbang, kemudian dikritik sebagai tidak “apple to apple.”

Diantaranya adalah Levin et.al. (2012:124-126), yang memperkenalkan istilah “super wicked problems.  Bagi Levin dan kawan-kawannya, super wicked problems tentu bukanlah dan lebih dari sekedar wicked problems “biasa” pada umumnya. Secara spesifik mereka menyebutkan bahwa perubahan iklim (climate change) sebagai masalah yang layak disebut sebagai super wicked problems. Ada empat fitur dari super wicked problems yang mereka ajukan (hal. 127-129), yaitu: (a) Waktu terbatas. Jika tidak segera diambil tindakan strategis, maka masalah akan semakin akut, memiliki terlalu banyak dampak, atau terlalu terlambat untuk dihentikan; (b) Mereka yang mencari untuk mengakhiri masalah adalah juga yang menyebabkan hal tersebut. Semua orang yang peduli yang mencoba mengurangi masalah perubahan iklim sesungguhnya juga telah berkontribusi menciptakan masalah tersebut; (c) Tidak ada otoritas pusat. Kurangnya otoritas terpusat memiliki dampak di berbagai tingkat dalam kasus perubahan iklim karena tanggapan memerlukan koordinasi bukan hanya antara negara-negara, diri mereka dalam berbagai situasi yang berbeda, tetapi juga di berbagai sektor ekonomi dan subsistem kebijakan di berbagai tingkat politik; (d) Kebijakan yang tidak rasional. Berbagai hambatan organisasional, sumber daya, prioritas, dll. membuat para pengambil keputusan tidak dapat membuat kebijakan jangka panjang yang konsisten dalam mengatasi masalah tersebut. Kebijakan tersebut menjadi hanya berjangka pendek dan tidak rasional jika dibandingkan dengan urgensi masalah yang ada.

(Bersambung)