Baca

Baca

Kamis, 05 November 2015

"Jelajah Sejarah: Misteri 1965"

50 Tahun Misteri 1965

Candra Kusuma

Hari Minggu tanggal 18 Oktober 2015 lalu, saya berkesempatan mengikuti kegiatan 'Jelajah Sejarah' yang disponsori oleh MIZAN. Lumayan seru. Ada sekitar 20-an orang peserta yang ikut. Dengan biaya yang cukup 'ramah kantong', peserta bisa jalan-jalan dengan bus AC, dapat snack dan makan siang, dapat dapat kaos dan tas tote, juga buku baru karya Salim Said berjudul "Gestapu 1965: PKI, Soekarno, Soeharto, dan Aidit." Di dalam bus, juga ada kuis yang berhadiah kaos dan buku-buku terbitan MIZAN. 

Cerita dan obrolan mengenai peristiwa 1965 dipandu oleh Hendi Jo, seorang jurnalis sejarah yang sebagian kumpulan tulisannya telah diterbitkan dalam buku "Zaman Perang: Orang Biasa Dalam Sejarah Luar Biasa" (lihat “Orang Biasa di Zaman Perang: History from Below”). Sedianya Pak Salim Said sendiri akan menjadi narasumber dalam diskusi penutup, namun beliau berhalangan dan digantikan oleh Pak Anhar Gongong.

Saya tidak berniat membahas panjang lebar peristiwa G30S dan berbagai tafsir dan versi kebenarannya di sini. Saya hanya ingin berbagi sedikit cerita kecil dan kesan yang saya tangkap dari "wisata sejarah" ini saja. 

Taman Surapati


Foto 1: Peserta 'Jelajah Sejarah' berkumpul dan berangkat dari Taman Surapati - Menteng.


Sasmita Loka, Rumah Dinas Jenderal Ahmad Yani



Foto 2: Peresmian Museum Sasmita Loka oleh Jenderal Soeharto, tanggal 1 Oktober 1966.

Museum ini awalnya adalah rumah dinas Jenderal Ahmad Yani, yang merupakan aset dari Angkatan Darat. Sekarang ini, lokasinya berada di pinggir Jl. Latuharhary  di kawasan Menteng. 



Foto 3: Salah satu dari tiga ekor koleksi Hariamau yang diawetkan yang ada di sini, 

Harimau yang diawetkan ini adalah pemberian dari para kolega di militer dan lainnya. Kira-kira ada berapa banyak koleksi Harimau awetan macam begini di rumah para Jenderal lainnya ya?



Foto 4: Mungkin begini tipikal furnitur di rumah dinas Jenderal kala itu. 

Gading gajah tampaknya juga merupakan jenis cinderamata dan hiasan rumah yang umum pada masa itu.



Foto 5: Meja bar di rumah dinas.



Foto 6: Mobil mewah merk Impala.



Foto 7: Di lantai ini Jenderal Yani tewas ditembak Tjakrabirawa.

Menurut pemandu museum ini, Pak Yani tewas karena ditembak dari belakang oleh Tjakrabirawa. Awalnya, Tjakrabirawa meminta Pak Yani ikut ke istana untuk menghadap Presiden Sukarno. Pak Yani bilang bahwa dia akan ganti baju dulu, namun dilarang. Pak Yani kemudian bilang dia mau cuci muka saja, tetapi tetap dilarang. Pak Yani marah dan akhirnya menempeleng salah seorang anggota Tjakrabirawa itu sampai tersungkur. Entah bagaimana, pasukan lainnya kemudian memuntahkan senjata otomatisnya. Pak Yani tewas di tempat. 

Jelas peristiwa ini terjadi pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965, sehingga banyak yang mengkritik penamaan G30S. Presiden Soekarno-pun lebih suka menyebut peristiwa itu sebagai Gerakan Satu Oktober (Gestok).


Foto 8: Patung Jenderal Ahmad Yani, dengan bendera Merah Putih yang tampaknya perlu diganti karena sudah pudar dan ada tambalannya.


Rumah Pribadi A.H. Nasution


Foto 9: Patung Jenderal Besar A.H. Nasution 

Museum ini sebelumnya merupakan rumah pribadi keluarganya. Saat ini lokasinya terletak di Jl. Teuku Umar No. 40. Cukup besar, karena luas tanahnya ada 2.500 m2. Kabarnya dibeli Pak Nas dari orang Belanda, dengan cara mencicil selama beberapa tahun. Pak Nas menempati rumah ini sejak tahun 1949 sampai meninggalnya tahun 2000. Rumah ini kemudian diubah menjadi museum pada tahun 2007, dan diresmikan oleh Presiden SBY tanggal 3 Desember 2008.



Foto 10: Diorama di kamar tidur pribadi Pak Nas. 

Menurut pemandu museum ini, saat itu Pak Nas dan Bu Nas sedang di kamar ini bersama anak kedua mereka Ade yaitu Irma Suryani Nasution. Kemudian terdengar keributan dan suara tembakan di luar, dan ketika Bu Nas membuka pintu dia melihat ada pasukan Tjakrabirawa, lalu pintu ditutupnya kembali. Tjakrabirawa menggedor-gedor pintu, memaksa Pak Nas keluar.  Adik Pak Nas bernama Mardiah yang tidur di kamar sebelah terbangun dan masuk ke kamar ini (ruang utama di rumah ini saling terhubung). Bu Nas memberikan Ade Irma kepada Mardiah. Karena tidak tahu situasi, Mardiah membuka pintu kamar, dan seketika itu --entah kaget atau apa-- Tjakrabirawa melepaskan tembakan kembali. Ade Irma terkena tembakan di pinggang belakang.



Foto 11: Pak Nas melompati pagar.

Pak Nas mencoba bersembunyi dengan memanjat pagar ke Kedutaan Besar Iraq yang ada di samping rumahnya. Ketika mengetahui Ade Irma terluka, Pak Nas mencoba kembali, namun dilarang oleh Bu Nas. Pada saat memanjat pagar kedua kalinya itulah Pak Nas jatuh dan mengalami cedera pada kakinya.


Foto 12: Diorama yang menggambarkan sebagian dari pasukan Tjakrabirawa yang merangsek sampai ke ruang makan. 

Menurut pemandu museum ini, Tjakrabirawa terus mencari Pak Nas, namun hanya menemui Bu Nas yang tengah menggendong Ade Irma yang terluka karena terkena tembakan. Pada saat itu kemudian terdengar suara peluit yang mungkin sebagai kode bahwa operasi penculikan telah tuntas, dan Pak Nas telah ditemukan. Belakangan baru diketahui bahwa pasukan itu salah tangkap, karena yang mereka bawa ke Lubang Buaya ternyata adalah ajudan Pak Nas yaitu Lettu Czi. Pierre Tendean.



Foto 13: Bu Nas menggendong Ade Irma Surani yang terluka.

Luka tembakan yang dialami oleh Ade Irma tidak pada bagian vital, sehingga sempat di rawat di RS Gatot Subroto. Namun malang nyawanya tidak terselamatkan. Ade Irma meninggal pada tanggal 6 Oktober 1965. Ketika itu usianya baru 5 tahun.



Foto 14: Diorama penembakan dan penculikan Lettu Czi. Pierre Tendean, yang dibawa ke Lubang Buaya karena mengaku sebagai Jendral Nasution.


Foto 15: Foto Pak Nas dan Pak Harto. 

Pak Nas dianugerahi pangkat Jenderal Besar TNI pada tahun 1997. Dalam sejarah republik, hanya tiga orang yang menyandang pangkat Jenderal Besar, yaitu Sudirman, Nasution dan Suharto.



Foto 16: Relief perjalanan karier Jenderal Nasution.


Eks Kantor CC PKI, Jl. Kramat Raya-Jakarta


Foto 17: Sisa-sisa bekas gedung CC PKI di Jl. Kramat Raya-Jakarta yang diserbu dan dibakar massa pada tanggal 8 Oktober 1965.

Meski pernah dibakar dan dijarah dan dibiarkan terbengkalai selama puluhan tahun, sepintas konstruksi bangunan ini masih terlihat kokoh. Kabarnya sekarang menjadi milik grup Hotel Acacia, namun masih belum dimanfaatkan. Belakangan hanya menjadi salah satu lokasi acara TV 'uji nyali' saja.


Kompleks Lubang Buaya



Foto 18: Diorama penyiksaan para Jenderal.

Barangkali, diorama ini adalah ilustrasi yang paling sering digunakan oleh pemerintah Orde Baru untuk menggambarkan kekejaman PKI dan oganisasi di bawahnya (Pemuda Rakyat dan Gerwani). Digambarkan bagaimana para Jendral disiksa dengan di silet, dicungkil matanya dan bahkan dipotong kemaluannya, setelah dipaksa mengakui bahwa mereka terlibat dalam Dewan Jenderal untuk menggulingkan Presiden Soekarno. Belakangan banyak bukti menunjukkan bahwa yang berkumpul di Lubang Buaya kebanyakan adalah para Sukarelawan dan Sukarelawati yang sedang dilatih untuk menghadapi konfrontasi dengan Malaysia. Dari hasil visum oleh para dokter yang mengotopsi mayat para Jendral itu, ternyata juga tidak ditemukan adanya bukti penyiksaan dan mutilasi. Mereka memang banyak mengalami luka tembak akibat 'disiram' oleh peluru ketika dimasukkan ke sumur tua yang sekarang dikenal sebagai Lubang Buaya.



Foto 19: Barang-barang peninggalan Ajun Inspektur Dua Polisi K.S. Tubun.

1 Oktober 1965, anggota Brimob Brigadir Polisi Karel Satsuit Tubun (K.S. Tubun) tengah bertugas mengawal kediaman Wakil Perdana Menteri DR. J. Leimena yang bertetangga dengan rumah dinas Jenderal A.H. Nasution. Ketika pasukan Tjakrabirawa menyerbu rumah Pak Nas, Tubun yang mendengar adanya suara tembakan dan kegaduhan itu berusaha melakukan perlawanan, namun malang dia justru tertembak lebih dulu dan tewas di tempat.



Foto 19: Peralatan golf para Jenderal.

Jenderal juga butuh olah raga dan punya hobi. Salah satunya golf. Tapi rasanya tetap saja ini hobi yang 'unik' di tengah inflasi dan kesulitan ekonomi yang luar biasa kala itu.



Foto 20: "Sumur Maut Lubang Buaya"

Menurut kisah, tadinya sumur itu hanyalah sumur tua yang sudah tidak terpakai lagi milik warga yang tinggal di kawasan ini. Ketika pasukan penculik bingung bagaimana menaruh mayat para Jendral dan lainnya yang sudah tewas terbunuh, akhirnya mereka memasukkannya ke dalam sumur ini.



Foto 21: Hendi Jo tengah bercerita seputar peristiwa di kawasan Lubang Buaya.



Foto 22: Diskusi mengenai peristiwa 1965 bersama sejarawan Anhar Gonggong.

Satu yang saya tangkap dari pandangan Pak Anhar adalah, bahwa semua pihak tampaknya memang ikut 'bermain' dalam peristiwa 65, dengan kepentingannya masing-masing. Sukarno yang ingin tetap memegang pengaruh utama dengan mengusung bendera Nasakom yang memainkan politik keseimbangan antara Angkatan Darat dan PKI. Begitu pula dengan keterlibatan kekuatan asing.

Menurutnya, situasi kala itu memang sudah 'menang-kalah'. Sejak awal 1960-an PKI juga sudah melakukan banyak sekali provokasi, diantaranya menuntuk pembubaran HMI, peristiwa Bandar Betsi, peristiwa Kanigoro, aksi sepihak oleh BTI, dll. Perubahan politik diluar jalan demokrasi pasti menumpahkan darah. Pak Anhar merujuk kejadian di Cina dan Kamboja, di mana ketika komunis berkuasa juga terjadi pembantaian dan kekerasan terhadap kekuatan-kekuatan yang dinilai kontra revolusi.

Karena itu menurut Pak Anhar akan sulit untuk mengetahui apa yang sesungguhnya benar-benar terjadi saat itu. Selain bukti-bukti yang ada juga selalu tidak lengkap, para sejarawan dan para ahli memiliki beragam versi yang sebagian besar juga dipengaruhi oleh seberapa kuat kesetiaan mereka pada metode ilmiah atau pada 'kecenderungan politik'-nya masing-masing.



Foto 23: Monumen 7 Pahlawan Revolusi.

Rasanya, saya pernah 1-2 kali ke tempat ini semasa sekolah dulu. Ternyata tempat ini masih cukup banyak pengunjungnya, baik rombongan anak sekolah, keluarga atau mereka yang sekedar mencari tempat alternatif buat pacaran.