Baca

Baca

Minggu, 22 Juni 2014

"Menunggu Sang GODOT"



Menunggu Sang GODOT

Candra Kusuma


Di suatu kampung, hiduplah dua orang sahabat, ESTRAGON dan VLADIMIR. Keduanya sama-sama telah lama hidup dalam kemiskinan dan ketidakpastian. Selain itu, keduanya juga sama percaya akan datangnya Sang GODOT yaitu “SANG SATRIA PININGIT” yang akan memperjuangkan nasib mereka kaum papa, dan mengangkat harkat dan derajat kampung mereka menjadi kampung yang gemah ripah loh jinawi dan disegani segenap kampung lainnya di kolong langit ini.

Sudah sejak lama keduanya menunggu kedatangan GODOT di bawah sebatang pohon kering di sebuah kelokan jalan di ujung kampung. Entah sudah berapa musim berganti, dan berapa kali PEMILU diselenggarakan. Tetapi GODOT yang mereka tunggu-tunggu tak jua nampak batang hidungnya. Namun demikian, sesungguhnya mereka juga tidak pernah mengetahui rupa sebenarnya dari Sang GODOT itu sendiri. Pernah satu ketika mereka kedatangan POZZO sang tuan tanah kaya bersama sang budak pengiringnya LUCKY, yang salah sangka mereka kira adalah Sang GODOT itu sendiri.

Sesungguhnya, keduanya telah sejak lama merasa jenuh menunggu Sang GODOT. Namun mereka masih terus menggantung harapan karena percaya dengan informasi yang disampaikan oleh orang yang mengaku sebagai suruhan Sang GODOT, bahwa majikannya -- Sang GODOT-- akan datang ESOK HARI. Berulang kali pula mereka terpikir untuk pergi dari tempat itu, namun harapan akan datangnya Sang GODOT itu nyatanya telah menjadi obsesi dan ilusi yang membelenggu kaki-kaki mereka sendiri.

Dalam jenuh penantian tersebut, sambil tetap menunggu Sang GODOT, muncul gagasan aneh dari ESTRAGON -- yang disetujui VLADIMIR -- untuk menggantung diri mereka sendiri di batang pohon kering tempat selama ini mereka duduk di bawahnya. Namun sama seperti gagasan untuk pergi dari tempat itu yang selalu tertunda, gagasan tentang bunuh diri bersama itupun tidak pernah terlaksana. Keduanya larut dalam perdebatan dan saling berbantahan mengenai prosedur menggantung diri: Apakah pohon kering itu sanggup menopang berat mereka?; Siapa yang lebih dulu harus menggantung dirinya?; Dengan alat apa mereka dapat menggantung diri dengan sukses: apakah dengan tali sepatu atau ikat pinggang?; dsb.

Sementara itu, beberapa saat ke depan, akan tiba hari PEMILU yang kesekian dari penantian keduanya akan Sang GODOT. Seperti pada PEMILU yang sudah-sudah, entah kenapa keduanya selalu memiliki selera akan calon pemimpin yang berbeda. Diam-diam, tanpa memberi tahu siapapun, -- karena buat mereka pilihan dalam PEMILU memang sifatnya selalu rahasia --, ESTRAGON merasa lebih suka pada SALAH SATU PASANGAN, sementara VLADIMIR lebih bersimpati pada PASANGAN LAINNYA. Tetapi, keduanya kesulitan untuk memutuskan, apakah akan terus menunggu Sang GODOT, atau  menggantung diri bersama di pohon kering, ataukah NANTI akan datang ke TPS untuk ikut memilih dalam PEMILU. Namun yang pasti, entah bagaimana, keduanya sama merasa dan sepakat bahwa kedua pasangan peserta PEMILU kali inipun pastinya bukanlah Sang GODOT alias SATRIA PININGIT yang mereka nantikan selama ini.


ESTRAGON: “Jika kita berpisah? Itu mungkin lebih baik bagi kita.”

VLADIMIR: “Kita akan gantung diri besok. (Jeda.) Kecuali Godot datang.”

ESTRAGON: “Dan jika dia datang?”

VLADIMIR: “Kita akan diselamatkan.”


VLADIMIR: “Baiklah? Apakah kita akan pergi?”

ESTRAGON: “Ya, mari kita pergi.”


Mereka tidak bergerak.

Sampai hari ini tak seorangpun yang tahu apakah keduanya masih duduk di bawah pohon kering itu menunggu Sang GODOT, ataukah sudah menggantung diri, atau sudah pergi berpisah mencari jalan hidupnya masing-masing. Juga tidak ada yang tahu apakah saat PEMILU mereka tetap mendukung dan memilih pasangan Capres dan Cawapres idolanya masing-masing, atau telah berubah pilihan, atau malah justru tidak pernah datang ke TPS sama sekali.

Tidak ada seorangpun yang tahu…


-------------------------------
Sumber:

Kisah ini saya tafsirkan, terjemahkan dan adaptasi secara semena-mena dari karya Samuel Beckett yang berjudul “Waiting for Godot: Tragicomedy in 2 Acts.” Versi aslinya ditulis dalam bahasa Perancis “En attendant Godot” (1958-1959). Kisah ini dipentaskan pertama kali pada tanggal 5 Januari 1953 di the Théâtre de Babylone, Paris. Sementara di Indonesia, Rendra bersama Bengkel Teater-nya telah mementaskan drama yang absurd ini pada tahun 1970.

Selasa, 03 Juni 2014

“Samurai, Ronin dan Ninja" dalam Pemilu 2014



Samurai, Ronin dan Ninja"

Oleh: Candra Kusuma


Saya bukan ahli tentang Jepang, namun saya cukup punya ketertarikan dengan kisah-kisah klasik negara tersebut. Kisah tentang samurai dan berbagai intrik dan persaingan diantara para warlord di masa feodal Jepang, baik di dalam buku maupun film, rasanya selalu seru dan romantis untuk dinikmati.

Dalam suasana menjelang Pilpres 2014 yang riuh rendah saat ini, entah mengapa saya sering  tergoda untuk meng-analogi-kan para aktor politik dengan figur-figur dalam cerita klasik Jepang tersebut. Ada 3 tokoh yang buat saya perannya mirip dengan para aktivis partai, kelompok pendukung, penggembira ataupun bagian dari masyarakat yang tidak begitu terlibat dalam ritual 5 tahunan ini, yaitu: samurai, ronin dan ninja.

Samurai, Ronin dan Ninja

Dalam masyarakat feodal Jepang masa lampau, ada satu kasta atau strata sosial yang sangat dihormati yaitu para ksatria atau prajurit. Orang umum menyebutnya sebagai samurai.  Namun, pada awalnya gelar sebagai samurai hanyalah dimiliki oleh keluarga dari kelas elit di masyarakat saja. Stratifikasi sosial masyarakat Jepang feodal terdiri dari kelas ksatria, petani, seniman dan pedagang. Jadi tidak semua prajurit adalah samurai, namun tidak semua Samurai juga menjadi prajurit (Bryant & McBride, 1989:1). Para samurai bekerja melayani kepentingan para pemimpin klan, Daimyo (penguasa wilayah militer atau warlord), Shogun (pemimpin pemerintahan militer atau Bakufu, penguasa sesungguhnya di Jepang era feodal) dan Kaisar (Turnbull, 1998:8). Seorang samurai mengikuti kode kehormatan yang disebut Bushido atau “The Way of the Warrior.” Loyalitasnya utuh dan sepenuhnya pada tuannya (Gaskin & Hawkins, 2003:4). Meskipun dalam realitasnya, oleh berbagai sebab, ada diantara samurai tersebut yang kemudian berkhianat atau mengalihkan loyalitasnya pada pihak lawan.

Tidak semua samurai menyandang status itu sampai mati. Masyarakat Jepang memiliki sebutan lain eks samurai tersebut, yaitu ronin. Seorang ronin adalah para mantan samurai pengikut/bawahan yang menjadi “men of the waves” yang secara harfiah dapat diartikan sebagai “orang-orang di atas gelombang.” Sebuah istilah yang menyiratkan bahwa para Ronin adalah orang-orang posisi dan perannya terombang-ambing dalam kehidupan sosial (Turnbull, 1989:4). Ronin kerap terjebak dalam konflik antar kelas-kelas sosial (Rice, 2005:22).  Ronin adalah para “masterless samurai”  atau samurai tanpa tuan (Allyn, 2006:13). Kehormatan seorang ronin adalah di tangannya sendiri. Dia bisa memilih untuk menapak jalan sempit antara terang dan gelap atau dia dapat memilih untuk memihak satu atau yang lain. Banyak diantara mereka yang berkeliaran bagaikan orang liar. Beberapa ronin menjadi penjahat paling hitam, sementara yang lain menjadi orang suci sebagai bhikkhu mulia, menjadi sensei atau guru bela diri, atau bahkan pendekar pelindung masyarakat (Rice, 2005:23).

Tampaknya memang ada beberapa jenis ronin, tergantung sebab atau alasan seseorang menjadi ronin, serta tujuan yang ingin diraih oleh ronin tersebut. Ada yang menjadi ronin karena tuannya terbunuh atau dihukum. Ada yang menjadi ronin untuk membalas dendam, seperti kisah The 47 Ronin yang terkenal (lihat diantaranya Allyn, 2006). Ada ronin yang bersifat sementara, dan selalu berusaha keras dapat menemukan tuan yang baru. Namun ada pula yang memilih menjadi ronin atau pendekar pengelana (the wandering swordsman), sebagai jalan mencari kesejatian, memperdalam pemahaman agama dan ilmu berpedangnya, seperti kisah dari Miyamoto Musashi. Saya tidak menemukan referensi yang cukup kuat, namun jika tidak keliru, para pendekar pengelana ini disebut juga para shugosha.

Selain samurai dan ronin, ada pula yang disebut sebagai ninja. Ninja atau disebut juga Shinobi adalah bagian dari golongan samurai, namun berada di lapisan paling bawah. Dalam kelas ksatria Jepang di mana nama, kehormatan dan reputasi pribadi dan keluarga adalah segalanya, Ninja justru adalah prajurit rahasia yang  “tanpa suara, tanpa bau, dan tanpa nama” (Hiromitsu Kuroi, “Without Sound, Without Smell, Without Name: The Great Ninja in the Shadow of History,” dalam Cahill & Itoh, 2002:5). Ninja adalah prajurit bayangan yang ahli dalam seni beladiri, menyamar dan pengalihan, dengan peran dan tugas utama adalah melakukan operasi rahasia untuk mengumpulkan informasi dan/atau melakukan pembunuhan (Turnbull & Reynold, 2002:4). Ninja adalah pasukan komando untuk operasi intelejen, sabotase, demolition dan “bulik” (bunuh dan culik). Klan ninja dapat menjadi bagian dari pasukan rahasia penguasa militer tertentu, atau menjadi “profesional lepas” yang menerima order dari siapapun yang bersedia dan mampu membayar mereka.

Para "SamuraiRonin dan Ninja" dalam Pemilu 2014

Tentu saja Indonesia yang sedang belajar berdemokrasi saat ini bukanlah Jepang feodal di era pra Restorasi Meiji. Namun, seperti sudah saya nyatakan sebelumnya, saya tergoda untuk meng-analogi-kan keduanya.

Saya melihat, bahwa para pengurus dan aktivis partai ibarat para samurai berseragam yang “bertuankan” para Daimyo, yaitu pemimpin partai. Pemilu 2014 adalah ajang kompetisi oleh dua kubu besar (Klan JKW vs Klan PBW) yang memperebutkan posisi Shogun, yaitu Presiden. Begitu sengitnya kompetisi hingga membuat banyak klan samurai yang berkoalisi, atau malah menjadi pecah di dalam karena sebagian samurai mereka justru berbeda pendapat atau bahkan tidak mendukung Daimyo alias ketua partainya sendiri. Banyak pengurus dan anggota partai yang pindah partai atau mendukung calon lain yang tidak didukung oleh partainya.

Sementara saya mengibaratkan rakyat yang memiliki hak pilih adalah sebagai para pendekar pedang, yang dapat menggunakan pedangnya untuk mendukung salah satu calon atau kubu. Ada rakyat yang menjadi samurai resmi atau menjadi anggota dan simpatisan atau relawan di salah satu kubu, namun sebagian besar rakyat pada dasarnya adalah ronin. Ada ronin yang diam-diam mencari kesempatan balas dendam karena merasa kecewa pada salah satu kubu. Ada pula ronin yang sedang mencari tuan yang baru (“kutu loncat” yang ingin menjadi samurai lagi sekaligus mendapat posisi terhormat di salah satu kubu). Sebagian menjadi ronin yang siap menjadi pendukung dan penggembira dadakan bagi siapapun yang membayar. Sementara sebagian besar rakyat hanya menjadi ronin pengembara atau floating voter (pemilih mengambang) yang belum atau tidak mau mendukung kubu tertentu. Sebagian ronin yang bersimpati pada salah kubu memang karena merasa cocok dan menjadi pendukung sukarela pada salah satu calon, namun banyak pula yang lebih karena merasa tidak cocok bahkan takut jika calon lain yang terpilih nanti.

Sementara para ninja adalah para pemain di balik layar. Sebagian bertempur di media massa dan dunia maya. Misi mereka adalah saling membunuh. Syukurnya, bukan membunuh secara fisik memang. Yang mereka coba bunuh adalah karakter dari calon dan kubu lawannya. Upaya pembunuhan karakter ini berlangsung massif dan simultan di televisi, koran, twitter, facebook, atau dimanapun pedang, tombak, panah, peluru, ranjau dan bom waktu dalam bentuk negative campaign dan black campaign dapat digunakan. Sebagian ninja ini ada di bawah komando panglima perang tiap kubu. Sebagian lagi adalah para ninja bayaran. Namun banyak diantara ninja yang bekerja sendiri untuk kepentingan pribadi dan klannya sendiri. Banyak pula para ronin yang terjebak permainan para ninja dan larut dalam perlombaan pembunuhan karakter ini. Selain itu, pertarungan ini menjadi lebih seru lagi karena di kedua kubu terdapat para mantan petinggi ninja itu sendiri, yang terbiasa melakukan operasi hitam dan senyap di masa lalunya.

Saya sendiri menganggap diri pribadi hanyalah sebagai seorang ronin, alias samurai tanpa tuan. Sebagai ronin, saya merasa tidak cocok dengan salah satu kubu, tapi juga merasa kurang sreg dengan kubu yang lain. Tapi saya merasa harus tetap memilih. Pada Hari H nanti, saya berencana akan menggunakan Wakizashi atau pedang pendek saya untuk memilih gambar salah satu calon. Sementara saat ini, sebagai ronin, menurut saya yang dapat dilakukan hanyalah berdiam diri dan mengamati, serta selalu “berharap yang terbaik dan bersiap yang terburuk…” Itu saja.

---------------------------
Sumber:
  • Anthony J. Bryant & Angus McBride. The Samurai. Osprey Publishing. 1989.
  • Carol Gaskin & Vince Hawkins. The Ways of The Samurai. Byron Preiss Visual Publications. 2003.
  • Charles Rice. Legends of The Samurai: The Bushido Handbook. RPG Objects. 2005.
  • Jennifer Cahill & Michie Itoh. Secret of the Ninja: Their Training Tools, and Techniques. DH Publishing. 2002.
  • John Allyn. The 47 Ronin Story. Tuttle Publishing. 2006.
  • Stephen Turnbull. The Revenge of The 47 Ronin: Edo 1703. Osprey Publishing. 1989.
  • Stephen Turnbull. The Samurai Sourcebook. Cassel & Co. 1998.
  • Stephen Turnbull & Wayne Reynold. Ninja: AD 1460 – 1650. Osprey Publishing. 2003.