Baca

Baca

Minggu, 17 Januari 2016

"David Bowie: Buku, Pesta, Musik"

(Sumber Photo: http://www.davidbowie.com/news/bowie-s-top-100-books-complete-list-52061)


Candra Kusuma

You are the books you read, the films you watch, the music you listen to, the people you meet, the dreams you have, the conversations you engage in. You are what you take from these…” (Jac Vanek, desainer dan selebriti di dunia maya)


“Apakah karakter seseorang dapat tercermin dari jenis buku yang dibacanya?”

Bagi yang sependapat, mungkin punya pandangan yang sama seperti yang disampaikan Vanek tadi, bahwa karakter seseorang untuk sebagian setidaknya dapat diduga dari jenis buku yang dibacanya, film yang ditontonnya, orang-orang yang ditemuinya, dan pembicaraan yang dilakukannya.

Sementara bagi yang tidak sependapat, mungkin sejalan dengan pemikiran Polly Thistlethwaite, seorang librarian pada Graduate Center - University of New York. Menurutnya: “You are not what you read. You are not material you look at…”. Bahwa karakter dan perilaku seseorang tidak dapat serta merta dikaitkan dengan jenis buku yang dibacanya. Tentu saja ada alasan khusus dari pandangan ini. Rupanya, bagi para librarian, ada sejarah panjang ketika di masa lalu orang-orang kerap dianggap bersalah karena membaca atau sekedar memiliki hubungan dengan buku atau bacaan yang kontroversial atau heretik. Itulah mengapa, bahkan di saat sekarang, perlindungan data pribadi dari peminjam di perpustakaan dan judul buku yang mereka baca  masih menjadi isu hangat yang diperdebatkan di Amerika Serikat.

Buat saya sendiri, intensitas membaca dan pilihan jenis bacaan dipengaruhi oleh minat dan kecenderungan seseorang. Rasa ingin tahu, kebutuhan akan informasi tertentu, peluang mengakses bahan bacaan, suasana hati, tren, dan banyak faktor lainnya, turut mempengaruhi pilihan bacaan seseorang pada saat tertentu. Tapi tentu saja seseorang tidak dapat dianggap ‘baik-buruk’ atau ‘benar-salah’ sekedar dari apa yang dibacanya. “Bukankah seseorang yang hobi membaca buku tentang musik, belum tentu juga merupakan seorang pemusik…?.” Tapi bagaimana jika ada kecenderungan bahwa bahan bacaan berbanding lurus dengan perilaku seseorang seperti halnya pada David Bowie?

-----
Bowie “penggemar novel”

Saya sendiri cenderung lebih tertarik pada orang-orang yang punya minat membaca mengenai beragam tema dan isu. Jadi ketika David Bowie seorang musisi terkenal asal Inggris diberitakan meninggal dunia di usia 69 tahun pada tanggal 10 Januari 2016 lalu akibat sakit kanker, saya lebih tertarik mengikuti berita susulannya mengenai sisi lain dari kehidupan Bowie. Saya sendiri sesungguhnya bukan penggemar musik Bowie, dan hanya tahu sepintas 1-2 lagunya saja. Hal yang menarik dari Bowie buat saya, adalah fakta bahwa selain menjadi ikon musik dan fashion serta dikenal sebagai seorang dengan drug habits dan penjelajah seks di masa mudanya, Bowie adalah (juga) seorang selebriti yang menjadi pembaca buku serius. Bukan kagetan, musiman, apalagi sekedar pencitraan.

Beberapa media massa/media sosial menampilkan satu daftar berisi 100 judul buku yang kabarnya direkomendasikan oleh Bowie di akun media sosial miliknya pada tahun 2013 lalu (lihat daftar di bagian bawah tulisan ini). Topik yang ada dalam daftar itu memang sangat variatif dan terbentang dalam beragam genre: dari soal musik, puisi/sajak, memoir, sejarah, politik, budaya, agama/spiritualitas, fiksi/novel, dll.

Setelah saya melihat daftar buku yang direkomendasikan Bowie, saya memberanikan diri menarik kesimpulan sementara, bahwa jika hanya didasarkan pada daftar itu saja, Bowie adalah seorang penggemar novel. Karena ternyata dari 100 buku tersebut, hampir setengahnya yaitu sebanyak 49 adalah novel. Lainnya, sebanyak 19 buku sains/non-fiksi, 11 buku memoir, komik dan puisi/sajak masing-masing 6 buah, dan spiritualitas 3 buku. Sementara buku tentang musik yang direkomendasikannya dalam daftar itu hanya ada 6 buah saja.

Pastinya itu hanya sebagian saja dari semua buku yang pernah dibaca Bowie. Mungkin daftar tersebut dapat dianggap sebagai sampel dari semua populasi buku Bowie. Tapi dari kasus Bowie ini, tampaknya dapat ditangkap kesan, bahwa seorang pemusik nyatanya tidak berarti hanya membaca buku tentang musik saja.

-----

Dari Jones menjadi Bowie

David Bowie lahir 8 Januari 1947 di Brixton, UK. Tapi itu bukanlah nama aslinya. Nama yang diberikan oleh kedua orang tuanya adalah David Robert Jones. Ayahnya bernama Haywood "John" Stenton Jones, dan ibunya Margaret Mary  (biasa dipanggil Peggy). Masa kecilnya tidak terlalu baik, dan dia sering berkelahi di sekolah. Pada umur 10 tahun, dia ikut paduan suara gereja. Pada usia itupun dia sudah menunjukkan ketertarikan dengan lawan jenisnya. Dia cukup populer dan disukai teman-temannya. Tapi meski dianggap sebagai pemimpin mereka, Bowie tidak terlalu suka terlibat perbincangan dengan mereka.

Ada “sisi gelap” di keluarganya. Ibu, kakak tirinya (Terry), dan cukup banyak anggota keluarga dari pihak ibunya tampaknya menderita schizophrenia. Dalam beberapa kesempatan, Jones/Bowie pernah mengatakan bahwa dia selalu merasa bahwa keluarganya dikutuk dengan schizophrenia, dan ada banyak kegilaan dalam keluarganya.

Sejak kecil dia senang belajar bermain saxophone dan gitar. Ketika remaja David Robert Jones sering menjadi pemain saxophone dibeberapa band rock lokal. Pada tahun 1966 dia terlibat dalam band the Monkees. Untuk membedakan dengan nama seorang penyanyi lain yang bernama mirip dengannya, David Robert Jones kemudian menggunakan nama panggung yang lain. Sejak itu dunia mengenalnya sebagai  David Bowie.

-----


Bowie sang Bibliophile

Ketika dewasa, selain membaca, Bowie juga sering menulis, melukis dan membuat patung. Hobi membaca dan menulis Bowie rupanya ditularkan oleh ayah dan ibunya. Ayahnya memang juga seorang penggemar buku. Sementara selain juga suka membaca, ibunya juga kerap membuat puisi. Bowie kecil mulai berkenalan dengan dan menyukai karya-karya Hemingway dari klub buku ayahnya itu. Sejak kecil Bowie suka “mengkhayal” dan membaca. Ketika berusia 6 tahun, Bowie lebih suka membaca daripada bermain dengan teman-temannya: “I was a kid that loved being in my room reading books and entertaining ideas. I lived a lot in my imagination. It was a real effort to become a social animal” (Leigh, 2014).

Ayahnya mantan pemilik klub malam. Ayahnya pula yang memperkenalkan dengan dunia hiburan dan para pelakunya. Ayahnya ingin Bowie jadi bintang. Di sisi lain, dari ayahnya pula Bowie belajar tentang keberagaman, toleransi dalam beragama, kebebasan berekspresi, dll. Bagi Bowie, ayahnyalah yang membantunya membuka mata dan melihat dunia: “My father opened up my world because he taught me the habit of reading. I got so much information, so many of the things I wanted to do came from books” (Leigh, 2014).

Pada saat melakukan perjalanan panjang untuk konser dan bahkan kerap ketika di bawah pengaruh obat-oabatanpun, Bowie selalu membawa dan membaca tumpukan bukunya terus menerus. Bowie juga kerap memberi hadiah buku kepada teman-teman dekatnya. Hal yang menarik adalah, Bowie juga punya kebiasaan unik membacakan buku pada orang-orang terdekatnya, terutama kepada Iman (istrinya yang kedua), dan  anak mereka Alexandria Zahra Jones (dipanggil Lexie). Istri pertama Bowie bernama Angela (dipanggil Angie). Mereka memiliki seorang anak laki-laki bernama Duncan Zowie Haywood Jones (Zowie/Duncan).

Hal lainnya, sebagai selebriti dunia yang populer dan nyentrik, tak heran jika ada banyak buku yang ditulis tentang Bowie (lihat Leigh, 2014). Sebaliknya, ada juga lagunya yang diubah menjadi buku atau graphic novel, yaitu “Space Oddity” (1996) yang  diambil dari lagunya yang berjudul sama. Ilustrasi pada buku tersebut dibuat oleh Andrew Kolb.

Konon, ada beberapa pernyataan Bowie yang sering dikutip orang terkait dengan hobinya akan buku ini. Bowie berseloroh bahwa dia adalah seorang librarian dengan hasrat sexual: I'm a born librarian with a sex drive.” Baginya, “Oxford Dictionary” adalah semacam buku puisi tentang segala hal. Menurutnya, kualitas yang paling penting dari seorang pria, adalah kemampuan mereka untuk mengembalikan buku. Sementara kritik kerasnya terhadap manusia modern adalah pada keengganan mereka untuk belajar dan memahami masyarakat dan budayanya: People are so fucking dumb. Nobody reads anymore, nobody goes out and looks and explores the society and culture they were brought up in. People have attention spans of five seconds and as much depth as a glass of water.”

-----

Music-based Books

Rasanya tidak mengejutkan jika ada keterkaitan antara buku-buku bacaan Bowie tentang Kabbalah, UFO, NAZI, homoseksualitas, penyakit jiwa, dan banyak tema yang mungkin kontroversial bagi orang lain, dengan ketertarikan pribadi Bowie terhadap tema-tema itu sendiri. Contohnya, salah satu dari 100 buku yang menjadi favorit dan direkomendasikan Bowie ada yang berjudul “The Divided Self: An Existential Study in Sanity and Madness" yang ditulis oleh R.D. Laing  (pertama kali terbit tahun 1960) yang membahas tentang schizophrenia. Bagi Bowie, buku Laing menjadi benteng pertama dalam melawan rasa takutnya akan warisan kegilaan dalam keluarganya. Buku itu juga membantunya untuk mampu mengkanalisasi sekaligus menenggelamkan rasa takut tersebut dalam lirik lagu-lagu yang dibuatnya kemudian (lihat Leigh, 2014).

Karenanya, menjadi sulit untuk membantah, bahwa latar belakang dan kondisi kehidupan pribadi Bowie turut mempengaruhi pilihan buku yang dibacanya. Sebaliknya, buku-buku tersebut juga turut mempengaruhi pembentukan dan perubahan-perubahan dalam pandangan dunia, spiritualitas maupun kehidupan pribadi dan sosial Bowie, termasuk terhadap musik dan lagu-lagu yang diciptakannya (diantaranya lihat Goddard, 2013; dan Leigh, 2014).

Pengaruh dari para pemikir, penulis dan buku terhadap musik dan lagu Bowie diantaranya terlihat dari beberapa lagu berikut:

  • Lagu “We Are Hungry Men” (dalam album “David Bowie,” 1967) yang dipengaruhi oleh “Messiah-worship and Orwellian totalitarianism.”
  • Lagu “All the Madmen” (album The Man Who Sold the World,” 1970), diinspirasi dari memoir Jack Kerouac berjudul “On The Road” (1957). Buku ini berkisah tentang “kegilaan” dan eksklusi sosial, yang dibaca Bowie karena direkomendasikan Terry, kakak tirinya yang menderita schizophrenia. Bowie kabarnya kerap mengutip Kerouac:  “The only people for me are the mad ones, the ones who are mad to live, mad to talk, mad to be saved, desirous of everything at the same time, the ones who never yawn or say a commonplace thing, but burn, burn, burn like fabulous yellow Roman candles.”
  • Lagu “The Width of a Circle” (album The Man Who Sold the World,” 1970), referensinya dari “The Prophet” karya Kahlil Gibran (1926), yang ternyata juga banyak mempengaruhi gerakan hippie di Amerika dan Eropa.
  • Lagu “Aladdin Sane” (album Aladdin Sane,” 1973), diilhami novel karya Evelyn Waugh berjudul “Vile Bodies” (1930).
  • Lagu “Diamond Dogs” (album ““Diamond Dogs,” 1974) yang inspirasinya dari gagasan Orwellian tentang totalitarianisme, seperti yang tergambar dalam novelnya “1984.”
  • Lagu Heroes” (album Heroes,” 1977), yang inspirasinya berasal dari cerita pendek berjudul “A Grave For A Dolphin” yang ditulis Alberto Denti di Pirajno (1956).
  • Lagu “Up the Hill Backwards” (album “Scary Monster (And Super Creeps),” 1980), dengan ilham dari buku berjudul “I’m OK – You’re OK” yang ditulis Thomas Harris (1967). Buku tersebut semacam buku self-help yang mengulas teori “analisis transaksional” dalam kehidupan perkawinan. Sebagai catatan, Bowie bercerai dengan Anggie (istri pertamanya) juga pada tahun 1980.
  • Lagu “When I’m Five” (album Love You till Tuesday,” 1984), yang diilhami novel karya Keith Waterhouse berjudul “There Is A Happy Land.” Raymond, tokoh dan kisahnya dalam novel ini, muncul dalam beberapa lagu Bowie lainya, seperti “There Is A Happy Land” (dalam “David Bowie,” 1967) dan “Reverend Raymond Brown.” Lagu When I’m Five” juga dipengaruhi puisi Norman Nicholson berjudul “Rising Five” (1954).
  • Lagu “Seven Years in Tibet” (album “Earthling,” 1997), yang inspirasinya dari buku autobiografi Heinrich Harrer berjudul “Seven Years in Tibet.” Buku ini dibaca Bowie ketika berusia 19 tahunan. Lagu tersebut adalah ekspresi dari perasaan (atau mungkin juga semacam dukungan moril) Bowie terhadap kondisi politik yang dialami rakyat Tibet.
  • Lagu “Seven” (album “Hours…,” 1999), dipengaruhi oleh buku renungan Kristen yang populer pada Abad Pertengahan berjudul “Book of Hours”, dan pandangan Nietzsche dalam “Die Fröhliche Wissenschaft” dengan kutipannya yang terkenal: “God is dead”: “The gods forgot they made me, so I forgot them too / I listen to their shadows, I play among their graves.” Dalam pandangan Nietzchean, bukan secara harfiah Tuhan mengalami kematian, tapi adalah gagasan bahwa Tuhan ternyata tidak lagi mampu untuk berperan sebagai sumber dari semua aturan moral, teologi dan teleologi.
  • Lagu “I Would Be Your Slave” (album Heathen,” 2002), diinspirasi dari puisi Mary Stevenson-penned berjudul “Footprints in the Sand”.
  • Lagu “Afraid” (album Heathen,” 2002), inspirasinya diambil dari memoir Andrew Loog Oldham, mantan manager pertama Rolling Stones.
  • Lagu “Wood Jackson” (album Heathen” – Bonus SACD, atau Super Audio CD, 2002), yang inspirasinya dari nama Wood Jackson, seorang penulis science-fiction di tahun 1930-an, dan karakter detektif swasta dalam novel “The X-Ray Murders” karya M. Scott Michel (1945).

 -----

Rasanya, hanya sebatas itulah gambaran saya tentang Bowie, khususnya berkenaan dengan “kegilaan”-nya akan buku. Pasti ada banyak hal lain yang diketahui oleh para penggemar sejatinya.

Hal yang menarik minat dan menjadi pertanyaan saya sekarang adalah: “Apakah Bowie mengkoleksi dan menyimpan buku-bukunya? Jika ya, ada berapa banyak koleksi buku yang dipunya Bowie? Bagaimana nasib buku-buku itu setelah Bowie pergi?...”

-----------

Sumber Bacaan:


-----

Lampiran: Daftar Buku yang Direkomendasikan David Bowie (2013)

Daftar ini saya susun ulang sendiri dari daftar awal 100 buku yang direkomendasikan oleh Bowie. Boleh jadi pengelompokkan yang saya buat tidak tepat benar. Jika berminat, tentu saja Anda dapat membuat penilaian dan pengelompokkan sendiri…

Musik:
  1. Charlie Gillete (“The Sound Of The City: The Rise Of Rock And Roll”)
  2. Greil Marcus (“Mystery Train: Images of America in Rock’n Roll Music”)
  3. Gerri Hirshey (“Nowhere To Run: The Story Of Soul Music”)
  4. John Cage (“Silence: Lectures And Writing”)
  5. Nik Cohn (“Awopbopaloobop Alopbamboom: The Golden Age of Rock”)
  6. Peter Guralnick (“Sweet Soul Music: Rhythm And Blues And The Southern Dream Of Freedom”).

Novel:
  1. Albert Camus (“The Stranger”)
  2. Alberto Denti di Pirajno (“A Grave for a Dolphin”)
  3. Alfred Döblin (“Berlin Alexanderplatz: The Story of Franz Biberkopf”)
  4. Angela Carter (“Nights At The Circus”)
  5. Anthony Burgess (“A Clockwork Orange”)
  6. Anthony Burgess (“Earthly Powers”)
  7. Ann Petry (“The Street”)
  8. Arthur Koestler (“Darkness At Noon”)
  9. Christa Wolf (“The Quest For Christa T.”)
  10. Christopher Isherwood (“Mr. Norris Changes Trains”)
  11. D.H. Lawrence (“Lady Chatterly’s Lover”)
  12. David Sylvester (“Interviews With Francis Bacon”)
  13. Don DeLillo (“White Noise”)
  14. Douglas E. Harding (“On Having No Head: Zen and Rediscovery of Obvious”)
  15. Ed Saunders (“Tales Of Beatnik Glory”)
  16. Edward Bulwer-Lytton (“Zanoni: A Rosicrucian Tale”)
  17. Evelyn Waugh (“Vile Bodies”)
  18. F. Scott Fitzgerald (“The Great Gatsby”)
  19. Frank Norris (“McTeague”)
  20. George Orwell (“1984”)
  21. George Orwell (“Inside The Whale And Other Essays”)
  22. Giusseppe Di Lampedusa (“The Leopard: A Novel”)
  23. Gustave Flaubert (“Madame Bovary”)
  24. Howard Norman (“The Bird Artist”)
  25. Hubert Selby, Jr. (“Last Exit To Brooklyn”)
  26. Ian McEwan (“In Between The Sheets”)
  27. John Braine (“Room at the Top”)
  28. John Dos Passos (“The 42nd Parallel: Volume One of the U.S.A. Trilogy”)
  29. John Kennedy Toole (“A Confederacy Of Dunce”)
  30. Julian Barnes (“Flaubert’s Parrot”)
  31. Junot Díaz (“The Brief Wondrous Life of Oscar Wao”)
  32. Keith Waterhouse (“Billy Liar”)
  33. Lawrence Weschler (“Mr. Wilson's Cabinet of Wonder: Pronged Ants, Horned Humans, Mice on Toast, and Other Marvels of Jurassic Technology”)
  34. Martin Amis (“Money: A Suicide Note”)
  35. Michael Chabon (“Wonder Boys”)
  36. Mikhail Bulgakov (“The Master And Margarita”)
  37. Muriel Spark (“The Prime Of Miss Jean Brodie”)
  38. Nathanael West (“The Day Of The Locust”)
  39. Nella Larson (“Passing”)
  40. Peter Ackroyd (“Hawksmoor”)
  41. Rupert Thomson (“The Insult”)
  42. Sarah Waters (“Fingersmith”)
  43. Saul Bellow (“Herzog”)
  44. Tom Stoppard (“The Coast Of Utopia: Voyage, Shipwreck, and Salvage – drama)
  45. Truman Capote (“In Cold Blood: A True Account of A Multiple Murder and Its Consequences”)
  46. Vladimir Nabokov (“Lolita”)
  47. Wallace Thurman (“Infants Of The Spring”)
  48. William Faulkner (“As I Lay Dying”)
  49. Yukio Mishima (“The Sailor Who Fell From Grace With The Sea “)

Komik:
  1. Beano (comic, ’50s)
  2. Peter Sadecky (“Octobriana And The Russian Underground” – comic)
  3. Private Eye (satirical magazine, ’60s – ’80s)
  4. Raw (comic, ’80s)
  5. Spike Milligan (“Puckoon” – comic novel)
  6. Viz (comic, ’80s)

 Puisi/Sajak:
  1. Comte de Lautreamont (“Maldoror and Poems”)
  2. Dante Alighieri (“Inferno”)
  3. Frank O’Hara (“Selected Poems”)
  4. Hart Crane (“The Bridge”)
  5. Homer (The Iliad of Homer”)
  6. T.S. Elliot (“The Waste Land”)

 Spiritualitas:
  1. Elaine Pagels (“The Gnostic Gospels”)
  2. Eliphas Lévi (“Transcendental Magic: Its Doctine and Ritual”)
  3. Frank Edwards (“Strange People” – tentang fenomena UFO)

Memoir/Sejarah:
  1. Anatole Broyard (“Kafka Was the Rage: A Greenwich Village Memoir”)
  2. Bruce Chatwin (“The Songlines”) 
  3. Charles White (“The Life and Times of Little Richard: The Authorised Biography”)
  4. Eugenia Ginzburg (“Journey Into The Whirlwind”)
  5. J.B. Priestley (“English Journey”)
  6. Jack Kerouac (“On the Road”)
  7. James Baldwin (“The Fire Next Time “)
  8. John Rechy (“City of Night”)
  9. Richard Wright (“Black Boy: American Hunger. A Record of Childhood and Youth”)
  10. Tadanori Yokoo (“The Complete Tadanori Yokoo”)
  11. Wyndham Lewis (“Blasting and Bombardiering”)

Sains-Non Fiksi (Filsafat, Politik, Psikologi, Sosial dan Budaya):
  1. Arthur C. Danto (“Beyond the Brillo Box: The Visual Arts in Post-Historical Perspective”)
  2. Camille Paglia (“Sexual Personae: Art And Decadence From Nefertiti To Emily Dickinson “)
  3. Christopher Hitchens (“The Trial Of Henry Kissinger”)
  4. Colin Wilson (“The Outsider”)
  5. David Kidd (“All The Emperor’s Horses”)
  6. Fran Lebowitz (“Metropolitan Life”)
  7. George Steiner (“In Bluebeard’s Castle: Some Notes Towards the Re-definition of Culture”)
  8. Howard Zinn (“A People’s History Of The United States”)
  9. James A. Hall (“ls Dictionary Of Subjects And Symbols In Art”)
  10. Jessica Mitford (“The American Way Of Death”)
  11. Jon Savage (“Teenage: The Creation of Youth 1875-1945”)
  12. Julian Jaynes (“The Origin Of Consciousness In The Breakdown Of The Bicameral Mind”)
  13. Malcolm Cowley (“Writers At Work: The Paris Review Interviews”)
  14. Orlando Figes (“A People’s Tragedy: The Russian Revolution 1891-1924”)
  15. Otto Friedrich (“Before the Deluge: A Portrait of Berlin in the 1920s”)
  16. R. D. Laing (“The Divided Self: An Existential Study in Sanity and Madness”)
  17. Richard Cork (“David Bomberg”)
  18. Susan Jacoby (“The Age Of American Unreason”)
  19. Vance Packard (“The Hidden Persuaders”)