Baca

Baca

Rabu, 30 April 2014

"Pemilu sebagai budaya pop..."


Candra Kusuma

Masih seputar Pemilu. Jika awam maupun ilmuwan politik konvensional memandang Pemilu hanya sebagai moment politik, Chua Beng Huat --seorang  Professor di Departement of Sociology, The National University (NUS) – Singapore-- menawarkan cara pandang yang sama sekali berbeda, yaitu melihat Pemilu sebagai budaya pop. Chua bersama sejumlah peneliti meramu hasil penelitian mengenai peristiwa budaya dalam Pemilu di Korea (2002), Taiwan, Hong Kong, Indonesia, Philippina, Malaysia, India dan Jepang (seluruhnya di tahun 2004), serta di Thailand (2005).

Pemilu bukanlah semata masalah teknis bagaimana memilih politisi untuk jabatan publik. Pemilu juga dapat dilihat dari kacamata ekonomi. Adanya perilaku money politic atau vote buying selama proses Pemilu juga dapat dilihat sebagai satu periode singkat dari “redistribusi kekayaan” khususnya dalam lingkungan yang masih menonjol ketimpangan sosial dan ekonominya.

Dalam buku ini, Chua menawarkan perspektif lain, yaitu melihat Pemilu dari perspektif sosiologis. Pemilu bukan melulu urusan rasional sepenuhnya. Dimanapun Pemilu pasti memerlukan adanya kampanye yang dalam prakteknya tidak dapat dilepaskan dari unsur-unsur budaya lokal: “In presenting political elections as an expression of popular culture… electoral behavior as a meaningful cultural practice.” Masa Pemilu adalah masa pertarungan simbol-simbol politik. Lambang partai, warna dominan partai, gagasan, jargon, metafora, dll. merupakan bagian dari kontestasi antar sub-budaya. Pemilu adalah “event budaya”, seperti layaknya festival budaya atau keagamaan yang dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu.

pada BAB 3 di buku ini, Jennifer Lindsay menuliskan hasil pengamatannya terhadap proses Pemilu 2004 di Indonesia dalam tulisan judul  The Performance Factor in Indonesian Elections.”  Jennifer menilai, Pemilu di Indonesia sarat dengan unsur budaya lokal, yang menjadikan Pemilu ibarat festival musiman. Masa kampanye Pemilu di Indonesia umumnya diisi dengan konvoi kendaraan bermotor – Jennifer menyebutnya sebagai “Pawai: Motorized Parades” -- dari para pendukung partai atau calon presiden tertentu. Umumnya peserta konvoi ini menggunakan kostum dan berbagai pernak pernik yang identik dengan simbol dari Partai Politik atau politisi yang didukungnya.

Selain itu, kampanye Pemilu umumnya juga diisi dengan adanya panggung pertunjukan yang diisi dengan orasi dari tokoh-tokoh terkenal internal Partai ataupun figur-figur tertentu yang dikenal oleh massa, serta pertunjukkan live music yang menampilkan artis-artis yang populer di masyarakat, khususnya para penyanyi dan penari Dangdut. Di beberapa daerah juga ditampilkan pertunjukkan kesenian rakyat seperti wayang orang, wayang kulit, tarling, tayuban, dsb. Bahkan, acara kampanye bisa “menyusup” ke acara-acara sosial di masyarakat, seperti acara perkawinan, dll.

Pada saat puncak Pemilu berlangsung, banyak tempat pemungutan suara (TPS) yang dihias layaknya  pada pesta perkawinan. Para petugas pemilihan di TPS banyak yang berdandan dan berakting layaknya keluarga atau pihak penyelenggara perkawinan tersebut. Istilah “pesta” tersebut tidak dapat dipelaskan dari historis peninggalan rezim otoriter Suharto, di mana Pemilu diibaratkan sebagai “Pesta Demokrasi” atau Festival of Democracy (Pemberton, 1986; dan Little, 1996), sebagai kamuflase dari upaya mobilisasi pemilih selama periode Pemilu di masa Orde Baru.

Pada Pemilu 2004, Jennifer mencatat semakin maraknya keterlibatan kalangan selebriti (aktor/artis, penyanyi, pemain sinetron, pelawak, dll.) di ruang politik. Keterlibatan tersebut beragam, dari mulai sekedar membantu tim sukses partai, menjadi penampil atau juru kampanye, menjadi pengurus Partai, sampai benar-benar ikut menjadi kandidat di Partai tertentu yang turut bertarung dalam Pemilu. Menurut Jennifer ada semacam hubungan mutualisme antara pada selebriti dan Partai Politik tersebut, di mana para selebriti menjadi makin terkenal karena tampil bersama politisi atau bahkan sekaligus juga menjadi politisi, dan disisi lain para selebriti tersebut menjadi faktor penarik bagi Partai Politik dalam meraih suara pemilih (vote-getter).

Selain itu, Jennifer mencatat adanya beragam variasi baru dari wujud ekspresi budaya masyarakat dalam Pemilu. Contohnya adalah maraknya parodi debat politik di televisi yang menampilkan para pelawak, artis ataupun para selebriti lain yang bukan politisi. Di beberapa daerah, masyarakat bahkan juga membuat kegiatan-kegiatan serupa, seperti yang dilakukan oleh masyarakat Taggulsari di Solo, di mana pada 27 Juni 2004 mereka membuat acara debat dengan judul “Warga Tanggulsari Mencari Presiden: Audisi Calon Presiden.”

Sebaliknya, Jennifer juga mencatat bahwa para politisi juga berperan sebagai selebriti. Pada 19 Juni 2004, dalam acara Grand Final “Akademi Fantasi Indonesia,” juga ditampilkan bintang tamu Wiranto and Susilo Bambang Yudhoyono. Keduanya juga diminta bernyanyi untuk kemudian dikomentari oleh para juri kala itu, yaitu Trie Utami, Harry Roesli and Erwin Gutawa, yang mengomentari mengenai performance, pitch control, pilihan lagu, dll.

Selain itu, pada saat ada acara debat calon Presiden yang disiarkan oleh Metro TV pada 30 Juni dan 1 Juli 2004, juga disajikan acara sampingan yaitu adanya panel komentator (Harry Roesli, Butet Kartredjasa dan Arswendo Atmowiloto) yang mengomentari performance, bahasa tubuh, pitch control , dan lainnya dari para Calon Presiden tersebut.


Budaya Pop pada Pemilu 2014?

Menurut saya, konsep yang ditawarkan Chua dkk. mengenai budaya pop ini terasa kurang jelas, karena cenderung mencampur antara konsep budaya massa (mass culture) dan budaya populer (popular culture). Namun jika perspektif Chua Jennifer, dkk. tersebut coba digunakan untuk mencermati fenomen Pemilu 2014, tampaknya tidak banyak perubahan dari kondisi 10 tahun lalu. Bahkan, dengan semakin dominannya peran media massa dan sosial media sebagai sarana kampanye politik makin menguatkan sinyalemen Chua dkk. bahwa budaya pop sudah sangat melekat dalam kontestasi politik di Indonesia. Pada masa kampanye Pemilu Legislatif lalu, masih dominan diisi oleh kegiatan pawai ayau konvoi kendaraan bermotor, panggung hiburan, dan sejenisnya.

Pada Pemilu Legislatif 2014 khususnya pada pemilihan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), kemungkinan akan dimenangkan oleh para calon yang relatif sudah dikenal publik. Para anggota DPD periode sebelumnya, para selebriti yang biasa tampil di televise, atau para calon yang merupakan bagian dari keluarga  tokoh di daerah, berpeluang lebih besar untuk terpilih. Untuk kasus DPD, popularitas calon sangat signifikan menunjang elektabilitas mereka. Para politisi yang sudah dikenal publik -- dan relatif tidak memiliki banyak catatan buruk sebelumnya--, kemungkinan memperoleh suara yang cukup banyak. Meskipun ada beberapa pengecualian, seperti kasus terpilihnya Aceng Fikri, mantan Bupati Garut yang lengser akibat kasus nikah sirinya. Kondisi tersebut disebabkan karena para calon DPD  lain pada umumnya kurang atau bahkan tidak dikenal oleh calon pemilih.

Analisis yang sama tidak dapat digunakan untuk proses pemilihan anggota legislatif untuk DPRD dan DPR RI. Dari informasi mengenai perolehan suara sementara Pemilu Legislatif, menunjukkan bahwa para calon legislatif  yang partainya memiliki jaringan media massa dan/atau jor-joran membuat iklan politik di  media, tidak serta merta memperoleh suara yang siginifikan, seperti dapat dilihat dari perolehan suara Partai Hanura (yang menguasai jaringan media MNC Group) dan Partai Nasdem (yang menguasai jaringan media Metro TV, Media Indonesia, dll.). Dari berbagai informasi yang muncul di media massa, diduga bahwa faktor ketokohan dari ketua Partai dan Calon Presiden yang diajukan oleh Partai Politik, serta masih maraknya praktek vote buying yang dilakukan oleh para calon dan tim suksesnya, adalah faktor yang paling menentukan


(Bersambung nanti… kalau sempat ya…)

--------------
Judul    : Elections as Popular Culture in Asia
Penulis : Chua Beng Huat
Tahun  : 2007