Baca

Baca

Rabu, 15 April 2015

"Perspektif Teoritis Corporate Social Responsibility (CSR)" - Subhabrata Bobby Banerjee


Tulisan ini disarikan dari buku karya Subhabrata Bobby Banerjee yang berjudul Corporate Social Responsibility: The Good, the Bad and the Ugly, khususnya pada bagian "Corporate social responsibility: theoretical perspectives" (Pp.15-22)

Menurut Subhabrata Bobby Banerjee, pada masa sekarang korporasi atau perusahaan umum didefinisikan sebagai 'hubungan kontrak' antara aktor-aktor rasional yang bertujuan memaksimalkan kekayaan. Fokusnya adalah pada mengidentifikasi lembaga, pasar dan struktur pemerintahan yang dapat menyelaraskan insentif atau kepentingan manajer dengan pemegang saham (Yingyi dan Weingast, 1997). Munculnya tanggung jawab sosial perusahaan pada pertengahan abad kedua puluh dapat dilihat sebagai upaya untuk berbuat baik (doing good to do good).

Namun, upaya ini tidak berarti diterima secara universal. Beberapa kritikus melihat CSR sebagai 'gerakan ideologis' yang bertujuan untuk melegitimasi kekuasaan perusahaan multinasional (Mitchell, 1989). Lainnya melihat aktivitas CSR sebagai 'pencurian' oleh kelompok pemangku kepentingan utama (key stakeholder) perusahaan, yaitu para pemegang saham, pelanggan dan karyawan (Friedman, 1962).

Banerjee berpendapat bahwa ambiguitas mengenai konsep CSR juga muncul banyak terminologi yang terkait dengan konsep tersebut, dan cukup membingungkan, diantaranya: corporate citizenship, etika perusahaan, tanggung jawab sosial perusahaan, filantropi perusahaan, pemasaran sosial, pemasaran sosial dan keterlibatan perusahaan-komunitas, dll..

Di bagian ini Banerjee memberi contoh beberapa definisi populer CSR, diantaranya:
  • Perhatian dan respon perusahaan terhadap isu untuk dapat mencapai manfaat sosial bersama: “The firm’s consideration of, and response to, issues beyond the narrow economic, technical and legal requirements of the firm to accomplish social benefits along with the traditional economic gains which the firm seeks” (Davis, 1973: 312);
  • Anggapan bahwa masyarakat --sampai tingkat tertentu-- juga dapat dianggap sebagai pemilik organisasi: “Encompassing the economic, legal, ethical and discretionary expectations that society has of organizations at a given point in time” (Carroll, 1979: 500);
  • Tindakan yang berkenaan dengan kebaikan sosial di luar kepentingan perusahaan dan apa yang dituntut oleh hukum: “Actions that appear to further some social good beyond the interests of the firm and that which is required by law” (McWilliams and Siegel, 2001: 117);
  • Cara sebuah organisasi melampauai kewajiban minimumnya: “The ways in which an organization exceeds the minimum obligations to stakeholders specified through regulation and corporate governance” (Johnson and Scholes, 2002:247);
  • Harapan masyarakat terhadap perilaku perusahaan: “Societal expectations of corporate behavior: a behavior that is alleged by a stakeholder to be expected by society or morally required and is therefore justifiably demanded of a business” (Whetten et al., 2002: 374);
  • Komitmen perusahaan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat: “A commitment to improve community well being through discretionary business practices and contribution of corporate resources” (Kotler and Lee, 2005: 3);
  • Komitmen bisnis untuk berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi berkelanjutan bagi kepentingan perusahaan, karyawan dan keluarga mereka, komunitas lokal dan masyarakat luas untuk meningkatkan kualitas hidup mereka: “The commitment of business to contribute to sustainable economic development working with employees, their families, the local community and society at large to improve their quality of life” (World Business Council, 2005);
  • Perusahaan mengintegrasikan kepedulian sosial dan lingkungan dalam operasi bisnis mereka dan dalam interaksi mereka dengan para pemangku kepentingan mereka secara sukarela: “A concept whereby companies integrate social and environmental concerns in their business operations and in their interactions with their stakeholders on a voluntary basis” (European Commission, 2005).

Banerjee kemudian menyimpulkan beberapa tema kunci dari definisi CSR tersebut, yakni:
  1. CSR menyiratkan semacam komitmen, melalui kebijakan dan tindakan perusahaan. Perspektif operasional CSR ini tercermin dalam kinerja sosial perusahaan, yang dapat dinilai dengan bagaimana suatu perusahaan mengelola hubungan sosial, dampak sosial dan hasil dari kebijakan dan tindakan CSR mereka (Wood, 1991). Pelaporan sosial dan audit sosial adalah contoh bagaimana perusahaan dapat menilai kinerja sosial mereka. The Body Shop adalah contoh dari sebuah perusahaan dengan profil CSR tinggi meskipun kekhawatiran tentang kebenaran dari beberapa praktik tanggung jawab sosial perusahaan (Entine, 1995);
  2. Menurut definisi ini kegiatan CSR harus tidak sebatas melaksanakan kewajiban hukum dan dapat melampaui 'kewajiban minimum' yang harus dipenuhi perusahaan. Karenanya, sebuah perusahaan yang memenuhi persyaratan hukum lingkungan dalam hal emisi misalnya, belum tentu juga merupakan sebuah perusahaan yang bertanggung jawab secara sosial, karena hal tersebut semata hanya mematuhi aturan hukum semata. Namun jika perusahaan itu dapat memberikan kontribusi atas sumber daya perusahaan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat seperti menyediakan penitipan anak gratis bagi karyawan atau menurunkan emisi di luar persyaratan hukum, maka tindakan ini dapat disebut bertanggung jawab secara sosial;
  3. Kegiatan CSR adalah bersifat diskresi dan tidak dapat dipaksakan oleh pengadilan hukum. Diskresi dimaksud dapat dimaknai sebagai kebebasan untuk mengambil keputusan sendiri dalam situasi yg dihadapi, di mana aturan hukum yang ada tidak mengaturnya secara ketat, tidak lengkap atau tidak jelas. Perusahaan yang melaksanakan CSR melakukannya secara sukarela mengikuti kode etik di tingkat lokal, regional, nasional dan internasional, namun hal tersebut tidak mengikat secara hukum dengan cara apapun. Dan akhirnya, konseptualisasi 'masyarakat' dan 'sosial', yang menjadi inti dari konsep CSR di tahun 1970-an tampaknya telah menyempit menjadi hanya 'stakeholder' saja, dengan asumsi bahwa para pemangku kepentingan akan mewakili kepentingan masyarakat, dan ada harapan bahwa perusahaan akan menanggapi kepentingan tersebut.

Sejumlah model, kategori dan taksonomi telah dikembangkan dalam upaya untuk mendefinisikan CSR, diantaranya oleh Carroll (1979). Dia menggambarkan tiga elemen yang merupakan model kinerja sosial perusahaan yaitu: (a) definisi dasar CSR; (b) berbagai bidang sosial yang perusahaan memiliki tanggung jawab; dan (c) berbagai respon perusahaan terhadap masalah sosial.

Kategori CSR yang terkait dengan tanggung jawab ekonomi, hukum, etika dan diskresioner dari perusahaan tersebut telah berpengaruh dalam memahami sifat dan jenis kewajiban bahwa bisnis harus bermanfaat bagi masyarakat. Kategori CSR didasarkan pada peran penting dalam evolusi kepentingan mereka. Tanggung jawab sosial yang mendasar bagi setiap perusahaan bisnis dalam kerangka kerja ini adalah berupa tanggung jawab ekonomi, yaitu “untuk memproduksi barang dan jasa yang masyarakat inginkan dan menjualnya untuk keuntungan.”

Tanggung jawab dan peran lain yang diharapkan dilaksanakan oleh perusahaan sesungguhnya dibingkai dari asumsi mendasar ini, yaitu bahwa sambil beroperasi mencari keuntungan, perusahaan diharapkan untuk mengikuti semua hukum yang diperlukan, dan mereka diharapkan untuk berperilaku etis di area yang tidak atau belum diatur oleh hukum. Sementara tanggung jawab ekonomi dan hukum pada umumnya dianggap yang jelas, namun untuk tanggung jawab etis dan diskresi umumnya tidak didefinisikan dengan baik, dan opini tentang kesesuaian dua tanggung jawab yang terakhir tadi sangat beragam, mulai dari anggapan CSR sebagai tindakan 'subversif' (dalam istilah Milton Friedman), sampai pada pemenuhan atas permintaan dari corporate citizen.

Carroll juga berusaha untuk mengklasifikasikan berbagai masalah sosial yang harus coba diatasi oleh bisnis/perusahaan. Isu-isu sosial berbeda untuk jenis perusahaan dan industri yang berbeda, dan juga dapat berubah seiring waktu. Contoh isu-isu sosial yang muncul di berbagai tingkat perhatian selama bertahun-tahun ini diantaranya adalah isu mengenai keamanan produk, pelestarian lingkungan, pengembangan masyarakat, keragaman karyawan dan kesehatan dan keselamatan kerja.

Sebuah bisnis tidak dapat diharapkan mampu mengatasi seluruh masalah yang dihadapi masyarakat. Karenanya perusahaan perlu mengidentifikasi isu-isu tertentu di mana tanggung jawab yang berbeda dapat memberikan dampak positif. Tidak ada kesepakatan universal tentang isu-isu sosial apa yang perlu ditangani oleh bisnis/perusahaan. Banyak perusahaan mulai meninggalkan atau mengurangi model bantuan filantropi dan amal (charity), karena meskipun dapat memberikan citra positif, namun tidak terkait langsung dengan bisnis inti perusahaan dan kepentingan mereka untuk meraih keuntungan ekonomi. Karenanya banyak perusahaan besar terlibat dalam isu-isu sosial namun tetap melekatkannya dengan kepentingan ekonomi perusahaan (Carroll, 1979; Wood, 1991). Hal tersebut merupakan asumsi yang mendasari teori tanggung jawab sosial perusahaan, dan juga merupakan pandangan dominan para praktisi CSR. Sebuah survei dari inisiatif sosial yang dilaksanakan oleh 23 perusahaan menemukan bahwa, sementara inisiatif yang ditargetkan untuk masyarakat, karyawan dan pelanggan, mereka juga terkait dengan bisnis inti perusahaan (Kotler dan Lee, 2005). Beberapa inisiatif, seperti pemasaran sosial perusahaan, juga dirancang untuk memberikan manfaat keuangan khusus untuk perusahaan. Sebagai contoh, sebuah perusahaan asuransi mengembangkan, membiayai dan melaksanakan kampanye keselamatan kebakaran yang komprehensif, dengan asumsi bahwa hal itu akan meningkatkan profitabilitas melalui berkurangnya klaim asuransi akibat kebakaran.

Selain mengidentifikasi berbagai tanggung jawab sosial dan isu-isu sosial yang dihadapi korporasi, perusahaan harus memutuskan bagaimana ia akan mengatasi masalah yang timbul dari tanggung jawabnya. Frederick (2006) membedakannya menjadi dua, yaitu: (a) CSR-1 atau “tanggung jawab sosial” yang memiliki dasar normatif mengenai apa yang harus dilakukan oleh perusahaan; dan (b) CSR-2 atau “tanggung jawab sosial perusahaan yang berkaitan dengan kapasitas perusahaan untuk merespon tekanan sosial” yang memberikan fokus yang lebih strategis dan manajerial mengenai masalah apa yang dipilih untuk ditangani oleh perusahaan dan tindakan apa yang diperlukan untuk mengatasinya.  

Dari uraian tadi, dapat dikatakan bahwa strategi CSR dapat reaktif, defensif atau responsif (Sethi, 1979). Seperti dinyatakan oleh Carroll (1979), model kinerja sosial perusahaan yang dia ajukan tidak menetapkan seberapa jauh suatu perusahaan harus berperan dalam mengatasi masalah sosial, tetapi dengan posisi kewajiban etis dan diskresi dapat berupa 'kerangka ekonomi dan hukum yang rasional' yang memungkinkan manajer untuk mengembangkan perencanaan dan mendiagnostik alat pemecahan masalah.

Perkembangan selanjutnya model Carroll juga mengidentifikasi prinsip-prinsip CSR, proses tanggap sosial perusahaan dan hasil dari perilaku perusahaan (Wartick dan Cochran, 1985; Wood, 1991). Prinsip CSR dapat beroperasi pada tingkat, institusi, organisasi dan manajerial yang berbeda. Pada tingkat kelembagaan CSR berfokus pada legitimasi bisnis di masyarakat bersama dengan kewajiban bisnis untuk masyarakat dan bahwa masyarakat dapat menerapkan sanksi pada bisnis yang gagal memenuhi kewajibannya.

Menurut “Hukum Besi Tanggung Jawab”' (Iron Law of Responsibility), masyarakat memberikan legitimasi dan kekuatan pada dunia bisnis atau perusahaan, namun jika masyarakat menilai bahwa bisnis/perusahaan tidak menggunakan kekuasaan tersebut dengan cara yang bertanggung jawab, maka mereka akan cenderung kehilangan legitimasi dan kekuasaan itu (Davis, 1973: 314). Namun, pandangan ini agak naif karena tidak mengakui bahwa legitimasi sesungguhnya adalah sesuatu yang diperebutkan, dan norma-norma legitimasi merupakan hasil dari hubungan kekuasaan. Sistem ekonomi, pemerintah dan lembaga sering menentukan apa yang dianggap 'sah' (legitimate) dan kekuatan tersebut tidak dapat dengan mudah hilang. Sementara pelanggan, karyawan, pemegang saham dan pemerintah mungkin dapat “menarik legitimasi,” memaksa perusahaan untuk mengubah pendekatan mereka. Pilihannya adalah mencoba menjadi lebih baik, atau binasa.

Konflik yang sedang berlangsung antara masyarakat adat dan perusahaan multinasional berkenaan dengan lahan dan sumber daya di Afrika, Amerika Selatan dan Asia adalah contoh dari perebutan klaim legitimasi dari pembangunan ekonomi. Sebuah tambang uranium misalnya adalah bentuk sah pembangunan yang sesuai dengan norma-norma segmen tertentu dari masyarakat. Namun kelompok-kelompok masyarakat lainnya kemungkinan justru melihatnya sebagai tindakan yang tidak memiliki legitimasi jika dilihat dari perspektif budaya, norma-norma sosial dan ekonomi mereka (Banerjee, 2000). Cara pandang Barat mengenai 'ekonomi', 'sosial' atau 'budaya' dapat sangat berbeda dengan cara pandang dan adat masyarakat, dan dapat menjadi sumber dari banyak konflik antara masyarakat adat, pemerintah dan perusahaan multinasional. Parameter yang digunakan dalam menentukan apa yang dianggap sebagai sah (legitimate) kadang-kadang ditentukan oleh sistem aturan dan pengecualian yang tidak sejalan dengan cara pandang dan kepentingan kelompok marjinal dalam masyarakat.

Banerjee mengutip Preston dan Post (1975) serta Wood (1991) yang menyatakan bahwa prinsip tanggung jawab publik beroperasi pada tingkat organisasi di mana perusahaan bisnis yang “bertanggung jawab publik, untuk hasil yang berkaitan dengan area primer dan sekunder keterlibatan mereka dengan masyarakat”. Prinsip tanggung jawab publik dirancang untuk membuat keprihatinan sosial yang lebih besar menjadi lebih relevan dengan menyediakan parameter perilaku untuk organisasi berdasarkan pada isu-isu yang berkaitan dengan kegiatan dan kepentingan perusahaan. Namun, tanggung jawab sosial juga dipandang harus relevan dengan kepentingan organisasi (Wood, 1991) dan di situlah letak masalahnya: yaitu ketika ini tanggung jawab 'publik' didefinisikan dan dibingkai oleh prinsip-prinsip legitimasi yang lebih besar. Apa yang terjadi jika prinsip-prinsip organisasi ternyata bertentangan dengan prinsip-prinsip kelompok lain dalam masyarakat? Bagaimana seharusnya organisasi mengelola konflik tersebut? Anehnya, literatur yang luas mengenai CSR cenderung tidak banyak berbicara mengenai isu-isu kekuasaan yang terkait dengan prinsip kelembagaan dan organisasi dalam menangani masalah-masalah sosial.

Menurut Banerjee, pada tingkat manajerial prinsip kebijaksanaan manajerial berfokus pada pilihan strategis, keputusan dan tanggung jawab pribadi dari manajer dalam mencapai tujuan sosial kelembagaan dan organisasi. Menurut Wood (1991: 698), manajer aktor moral. Dalam setiap domain tanggung jawab sosial perusahaan, mereka diwajibkan untuk menerapkan opsi-opsi kebijaksanaan yang tersedia, menuju hasil yang bertanggung jawab secara sosial. "Kesalahan manajer sebagai 'aktor moral" mudah diungkapkan oleh gagasan Foucault mengenai subyektifikasi (subjectification), modus yang mengungkapkan bagaimana manajer menjadi subyek yang mengamankan makna dan realitas mereka melalui identifikasi perasaan tertentu mengenai hubungan mereka dengan perusahaan (Knights, 1992). Peran individu manajer dalam mengakomodasi kepentingan stakeholder adalah standar pada tingkat yang lebih tinggi, dan praktek pada tingkat ini diatur dan diselenggarakan oleh wacana organisasi dan kelembagaan. Apakah manajer benar-benar memiliki kebebasan sejati untuk membuat keputusan yang bertanggung jawab secara sosial?


Beberapa penulis membedakan antara masalah 'sosial' dan isu-isu 'stakeholder'. Diantaranya adalah Baron (2001) yang membedakan antara “CSR altruistik” di mana perusahaan melakukan aksi sosial tanpa mengharapkan adanya keuntungan ekonomi (financial return), dan “CSR strategis,” di mana kegiatan CSR juga diarahkan untuk dapat memberikan  keuntungan bagi perusahaan. Dalam sebuah penelitian yang menilai manfaat keuangan CSR, Hillman dan Keim (2001) membedakan antara “CSR stakeholder” yang berkorelasi dengan kinerja keuangan,  dan “CSR sosial” yang tidak terkait dengan hal tersebut. Menurut Clarkson (1995), sebagian masyarakat menentukan apa yang menjadi masalah sosial, dan perwakilan pemerintahan memberlakukan undang-undang yang tepat untuk melindungi kepentingan sosial. Oleh karena itu, yang perlu dicari tahu adalah apakah isu sosial itu ada ketentuan hukum dan perundang-undangannya ataukah tidak. Karena, isu-isu lingkungan, kesehatan dan keselamatan, kesempatan yang sama menjadi isu-isu sosial karena hukum/undang-undang mengaturnya demikian. Jika hal tersbut tidak ada dalam undang-undang, maka masalah ini hanya menjadi 'isu stakeholder' saja, yang hanya ditangani di tingkat perusahaan (Clarkson, 1995).