Baca

Baca

Rabu, 12 Maret 2014

“Donor: Dicaci dan Dinanti”



Oleh: Candra Kusuma
Dikemas ulang dari kumpulan tulisan “Renungan Depok” -  Juli 2012

Menurut Nath dan Sobhee (2007:1), yang mengacu pada hasil penelitian McKinlay dan Little (1979), Maizels dan Nissanke (1984), Trumbull dan Wall (1994), dan Gounder (1999), donor memiliki beragam motivasi dalam kaitan dengan kepentingan internal donor dan kebutuhan penerima bantuan. Kecuali pada bantuan yang berbasis altruisme, kebutuhan penerima bantuan tetap harus sesuai dengan kriteria yang memuaskan kepentingan negara atau lembaga donor. Apa yang menjadi kepentingan donor? Meskipun dikemas dalam beragam isu atau agenda, seperti isu demokratisasi dan good governance (seperti transparansi, partisipasi publik, akuntabilitas, anti korupsi, representativeness, dll.), lingkungan hidup (seperti global warming), pengurangan kemiskinan dan sosial lainnya (seperti peningkatan pendapatan, pelayanan kesehatan dan pendidikan, dll.), menurut para ahli di atas, pertimbangan (considerations) utama dari donor sesungguhnya akan selalu berkaitan dengan kepentingan ekonomi politik, yaitu upaya meningkatkan perdagangan (trade), investasi (investment), dan keamanan (security) dari lembaga atau negara pemberi donor.

Berkaitan dengan hal tersebut, de Valk (2010:5-6), mendefinisikan bantuan (aid) sebagai sebuah multi-level relasi sosial, kultural dan ekonomi yang tidak seimbang antara pihak-pihak yang terlibat, dalam pertukaran dua arah yang asimetris dalam hal sumberdaya, keuntungan, nilai dan perasaaan. Mengutip pandangan Clegg (1989), aid selalu berhubungan dengan power relation: ”the aid-relationship is a power relationship”. Menurut Lukes (1974), ada tiga dimensi atau levels of power dalam aid-relationships, yaitu: (a) Kekuasaan atas sumber daya, baik sumberdaya manusia ataupun material; (b) Kekuatan dalam membentuk dan memelihara struktur, di mana struktur dan lembaga bantuan internasional sebagian besar dikendalikan oleh lembaga donor; dan (c) Kekuatan untuk membentuk wacana dominan, yang didalamnya termasuk perubahan dalam wacana bantuan, termasuk laporan organisasi bantuan dan individu, yang diperkenalkan oleh lembaga donor, evaluator dan akademisi mendukung. Termasuk didalamnya teori-teori pembangunan, metodologi perencanaan dan evaluasi, dan internalisasi individual akan wacana pembangunan yang semuanya merujuk pada perspektif Barat (Rist, 1999; Cooke dan Kothari, 2001; Dale, 2003; Gasper, 2000, Crewe and Harrison, 1998).

Pada dekade 1980-an donor mulai banyak berinteraksi dengan NGO di negara-negara dunia ketiga. Selanjutnya di awal 1990-an, donor mulai banyak mendukung pengembangan potensi politik NGO di berbagai negara tersebut Politik dimaknai dalam dua sifatnya, yaitu: (a) Proses pengambilan keputusan mengenai alokasi sumberdaya, di mana terjadi pertarungan terus menerus antar kelompok-kelompok yang berbeda dalam memperebutkan sumberdaya tersebut; (b) Proses di mana pemaknaan sosial dan identitas dibentuk melalui ideologi, relasi kultural dan ritual simbolik (Clarke, 1998:5-6). Menurut Clarke, untuk menjadi 'politik', maka NGO harus: (a) Berpartisipasi dalam proses yang dirancang untuk menciptakan makna sosial dan upaya untuk melekat sebagai kelompok atau kelompok terkait dengan pemaknaan sosial tersebut; dan (b) Atas dasar pemaknaan sosial bersama tadi, NGO berpartisipasi dalam distribusi sumber daya dan dalam perjuangan untuk mempengaruhi distribusi tersebut. Ada dua tingkat keterlibatan politik NGO, yaitu: (a) Aktif dalam upaya mempengaruhi distribusi sumber daya dalam konteks makna sosial tertentu (ideologi), di mana hal ini terkait dengan political engagement; dan (b) Aktif dalam mempengaruhi makna sosial dan untuk membantu kohesi kelompokkelompok sosial (Clarke, 1998:6).

Di Amerika Serikat (dan negara-negara Eropa) pendanaan NGO banyak disokong dan bergantung dari sumbangan negara dan simpatisan, di mana beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pendanaan dari negara tersebut dapat meningkatkan atau justru menekan aktivitas politik NGO (Chaves, Stephens, dan Galaskiewicz, 2004:293 dan 313). Namun di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, NGO/CSO justru banyak disokong pendanaannya oleh lembaga donor asing (overseas donor agencies), baik secara langsung, melalui perwakilan donor asing di dalam negeri, ataupun donor lokal yang umumnya berafiliasi atau sebagai penyalur bantuan dari negara atau lembaga donor asing. Menurut saya, terbatasnya kapasitas keuangan dan kesungguhan negara untuk mendukung civil society yang kuat, kemiskinan dan tidak kuatnya budaya charity atau philantrophy mempengaruhi kondisi tersebut. Relasi donor dan penerima bantuan sangat beragam, karena terkait dengan bagaimana power relation yang terbangun diantara kedua pihak. Gaventa (2006:29) mengutip analisa dari VeneKlasen dan Miller (2002) yang membagi power dalam tiga bentuknya, yaitu: (a) Visible power, yang dapat dilihat secara fisik dari orang atau lembaga atau struktur organisasi yang memiliki otoritas atau kekuasaan dalam pengambilan keputusan; (b) Hidden power, yaitu orang atau lembaga tertentu yang memiliki pengaruh dan/atau menentukan siapa yang dapat terlibat dalam pengambilan keputusan dan apa agenda yang akan dibahas; dan (c) Invisible power, yaitu power yang bersifat psikologis dan ideologis, yang mempengaruhi pikiran dan kesadaran (mind and consciousness) mengenai cara pandang terhadap dunia, persoalan, posisi diri, relasi dengan pihak lain, jalan perubahan, dan lainnya. Kapasitas NGO/CSO dalam membangun kerangka dan strategi gerakannya sendiri, menentukan agenda dan membangun kerjasama yang setara dengan pihak lain khususnya donor sangatlah beragam, pada akhirnya akan dipengaruhi oleh tingkat ketergantungan NGO/CSO terhadap pendanaan dari donor, dan pengaruh politik yang dapat diperolehnya dari kedekatan tersebut. Sorj (2005:3) menyebut NGO/CSO yang menggantungkan pendanaan dan agenda sosial-politiknya dari donor sebagai ‘dependent CSO’.

Jika situasi tersebut dilihat dari perspektif Habermas, idealnya tentu saja diharapkan dapat terjadi proses diskursus yang setara dan argumentatif antara pemberi dan penerima donor dalam menentukan pendekatan perubahan sosial, agenda, dan kegiatan. Tindakan komunikatif mengambil peran ketika para pihak yang terlibat dapat mengharmonisasikan kepentingan bersama.

“…when actors are prepared to harmonize their plans of actions through internal means, committing themselves to pursuing their goals only on the condition of agreement about the definitions of the situation and the prospective outcomes” (Habermas, 1995:134).

Namun jika mangacu pada pandangan Clegg (1989) di atas, pada prakteknya diskursus antara pemberi dan penerima donor tersebut tidak mudah untuk dilakukan. Sejak awal sudah terbangun posisi yang tidak setara dalam hal kesenjangan akses sumberdaya (pengetahuan, konsep, manajemen/administrasi, dan tentu saja pendanaan) diantara kedua belah pihak. Hal tersebut juga dipengaruhi karakteristik atau ‘behavior’ dari masing-masing donor yang juga cenderung berbeda, dalam membuka ruang dialog yang dapat mempertemukan kepentingan pemberi dan penerima donor. Bagi donor yang kaku dan ‘saklek’ dengan pendekatan dan agendanya, relasi yang terbangun adalah ‘take it or leave it’, di mana donor hanya akan memberi bantuan pada calon penerima donor yang bersedia sepenuhnya mengikuti aturan main yang sudah ditetapkannya. Sebaliknya, bagi NGO/CSO yang menggantungkan sepenuhnya pendanaan dan pengaruhnya dari hubungannya dengan donor, relasinya adalah ‘apapun yang lu jual gua beli’, dalam arti NGO/CSO tersebut hanya akan mengikuti saja semua agenda dan mekanisme yang ditetapkan oleh donor. Situasinya kembali pada kritik Habermas mengenai ‘kolonisasi kehidupan’ (colonization of the life-world) sebagai akibat pengaruh dan tekanan uang dan kekuasaan (power).

Dari perspektif tersebut, saya membedakan tipe-tipe forum warga, NGO dan CSO terkait dengan siapa aktor yang menjadi pendorong utama muncul dan bertahannya (sustainability) dari institusi masyarakat tersebut, yaitu: (a) warga/komunitas itu sendiri (community or civil society driven); (b) para aktivis (activist/intellectual driven); (c) negara/pemerintah (state/government driven); dan (d) negara/lembaga donor (donor agency driven).

Sebagai penutup, ada satu pertanyaan reflektif yang bisa dipikirkan bersama: “Jika anda saat ini bekerja atau terlibat dalam NGO/CSO, apakah NGO/CSO anda tersebut dapat hidup sepenuhnya tanpa dukungan lembaga donor?”

"Sejarah (Sepertinya Belum) Berakhir..."



‘Akhir Sejarah’ dan Konflik Dunia[1]


‘Akhir Sejarah’ versi Hegelian

Kutipan di atas oleh banyak pihak kerap dianggap mencerminkan ‘cara pandang Barat’ (baca: Amerika Serikat) terhadap peta ideologi dan politik internasional kala itu.[2] Pertanyaan retoris Fukuyama mengenai ‘akhir sejarah’ sebagai judul papernya yang berjudul ‘The End of History?’ menjadi pernyataan yang cukup kontroversial.[3] Terlebih ketika versi bukunya dipublikasi pada tahun 1992 dengan judul yang terkesan lebih ‘meyakinkan’ dan provokatif, yaitu “The End of History and the Last Man”.

Pernyataan Fukuyama bahwa sejarah telah berakhir telah memicu banyak perdebatan. Dalam bukunya Fukuyama mengulas riwayat konsep sejarah ideology dan sistem politik dunia, dengan mengajukan tesis mengenai ‘akhir sejarah’ sebagai kemenangan demokrasi liberal. Gagasan dasar Fukuyama ditarik dari ide  awal tentang ‘Sejarah Universal’ dari Immanuel Kant (“An Idea for a Universal History from a Cosmopolitan Point of View”, 1784). Kant menyatakan bahwa sejarah manusia muncul menjadi perang yang kejam dan terus menerus. Menurut Kant, sejarah akan memiliki titik akhir yaitu adanya kebebasan manusia. Konsep ‘Sejarah Universal’ Kant tersebut kemudian dilanjutkan oleh George Wilhelm Friedrich Hegel. Hegel menyatakan bahwa di ‘akhir sejarah’, pada akhirnya masyarakat dan negara yang rasional-lah yang akan menjadi pemenangnya. Pandangan Hegel tentang ‘akhir sejarah’ tersebut berbeda dengan apa yang kemudian dinyatakan oleh Karl Marx sebagai penerus sekaligus pengkritik Hegel. Dalam hal ini, Marx percaya bahwa negara liberal/kapitalis (akan) gagal menyelesaikan pertentangan yang fundamental di dalam dirinya sendiri yaitu konflik kelas antara borjuis dan proletariat.

Dalam bukunya, Fukuyama menyatakan bahwa ‘Sejarah’ bukan hanya dimaknai sebagai rangkaian peristiwa buruk ataupun besar yang terjadi dan telah selesai begitu saja dalam kurun waktu tertentu.[4] Fukuyama memahami ‘Sejarah’ itu sendiri sebagai suatu proses evolusi yang tunggal dan koheren, dan bahwa bahwa evolusi itu berujung pada kebebasan di dunia atau berujung pada ideologi liberalisme. Jelaslah, bahwa konsep sejarah yang digunakan Fukuyama lebih mengikuti pandangan Hegel dibandingkan apa yang diyakini Marx.

Fukuyama kemudian menerapkan pemahamannya akan sejarah tadi ketika memotret dan menganalisis perubahan politik internasional di akhir dekade 1980-an. Menurutnya, manusia di Abad 20 dihantui oleh pesimisme akan masa depan dunia, baik  akibat adanya dua peristiwa besar di pertengahan abad 20, yaitu Perang Dunia I dan II, munculnya ideologi totalitarian, hingga adanya ironi bahwa ilmu pengetahuan modern mampu menciptakan senjata nuklir (yang dapat menghancurkan dunia) dan melahirkan industrialisasi yang dapat menghancurkan lingkungan/ekosistem. Secara garis besar, pesimisme itu muncul karena adanya krisis politik di abad 20 dan krisis intelektual dari rasionalisme Barat. Disisi lain, masih ada secercah optimisme kala itu, bahwa pada saatnya nanti ilmu pengetahuan modern akan lebih menyejahterakan dan mampu membantu menanggulangi berbagai jenis penyakit, dan bahwa akan muncul semakin banyak pemerintahan yang bebas dan demokratis. Revolusi liberal dalam pemikiran ekonomi itu mengawali, dan atau diikuti oleh adanya kebebasan aspirasi dalam bidang politik.

Menurut Fukuyama, pada akhirnya sejarah lebih berpihak pada kaum optimis. Periode 25 tahun terakhir abad 20 merupakan momen dimana runtuhnya rezim kepemimpinan diktator yang sebelumnya dianggap sangat kuat; baik mereka berasal dari kalangan pemerintahan otoriter (yang didukung militer) atau rezim komunis yang otoriter. Ini terlihat dari beberapa negara, mulai dari Amerika Latin ke Eropa Timur, lalu dari Uni Soviet ke Timur Tengah dan Asia, dimana banyak negara memiliki pemerintahan sangat kuat namun pada akhirnya mengalami keruntuhan  juga. Pemerintahan otoriter yang didukung oleh militer gagal mengendalikan kekuatan masyarakat madani. Sedangkan pemerintahan komunis yang totalitarian memiliki kecenderungan sebaliknya, terlalu mengendalikan penuh masyarakat madani.

Kejatuhan ideologi Kanan (fasisme/militerisme) dan Kiri (komunisme) saat itu menimbulkan pertanyaan mengenai saling keterkaitan diantara mereka, atau semuanya terjadi tanpa sengaja dalam kurun waktu itu?  Paska runtuhnya negara-negara tersebut, demokrasi dijadikan pilihan untuk menata ulang kembali kehidupan masyarakat meskipun situasinya saat itu masih labil bagi pemerintahan baru. Di sisi lain prinsip demokrasi liberal dalam bidang ekonomi (pasar bebas) sudah menyebar ke seluruh bagian bumi dan dianggap mampu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Meskipun demikian, Fukuyama juga mangakui bahwa bahkan di negara-negara demokrasi liberal macam Amerika, Perancis, atau Swiss,  perubahan tersebut bukan berarti tanpa diikuti oleh adanya permasalahan sosial yang serius, seperti ketidak adilan, bahkan kejahatan kemanusiaan. Menurutnya, hal tersebut muncul sebagai akibat dari kurang diindahkannya prinsip-prinsip dalam demokrasi modern, yaitu kemerdekaan dan kesetaraan.

Demokrasi Liberal dan perjuangan untuk pengakuan

Dalam bukunya Fukuyama memaparkan bahwa pemahaman Hegelian tentang makna demokrasi liberal kontemporer berbeda secara signifikan dari pemahaman Anglo-Saxon yang merupakan dasar teoritis liberalisme di negara-negara seperti Inggris dan Amerika Serikat. Dalam tradisi itu, pencarian untuk pengakuan itu harus ditundukkan pada kepentingan pribadi yang tercerahkan - keinginan dikombinasikan dengan alasan - dan khususnya keinginan untuk melindungi diri. Sementara Hobbes, Locke, dan para Founding Fathers Amerika seperti Jefferson dan Madison percaya bahwa hak merupakan alat untuk melestarikan ruang pribadi, di mana manusia dapat memperkaya diri dan memuaskan jiwa mereka. Hegel juga melihat hak sebagai tujuan dalam sendiri, karena apa memuaskan manusia terkait materi kemakmuran pun sebagai proses pengakuan status mereka dan martabat. Dengan revolusi Amerika dan Perancis, Hegel menegaskan bahwa sejarah berakhir karena kerinduan yang telah mendorong proses sejarah- perjuangan untuk pengakuan-kini masyarakat telah puas yang ditandai oleh pengakuan universal dan timbal balik. Tidak ada hal baru yang diatur lembaga-lembaga sosial untuk memuaskan perjuangan untuk pengakuan. Karenanya tidak ada perubahan historis yang lebih progresif.

Disisi lain, Fukuyama berpendapat bahwa manusia percaya bahwa mereka memiliki nilai tertentu, dan ketika orang lain memperlakukan mereka seolah-olah mereka bernilai kurang dari itu, mereka akan  marah. Sebaliknya, ketika manusia gagal untuk hidup sesuai dengan kesadaran mereka sendiri bernilai, mereka merasa malu, dan ketika mereka dievaluasi dengan benar sesuai dengan proporsi nilai mereka, mereka merasa bangga. Keinginan untuk pengakuan, dan emosi yang menyertai kemarahan, malu, dan kebanggaan, adalah bagian dari kepribadian manusia penting untuk kehidupan politik. Menurut Hegel, mereka adalah apa yang mendorong seluruh proses sejarah.

Atas dasar itu, Fukuyama beragumen bahwa jika manusia tidak lebih dari sekedar memiliki keinginan dan alasan, mereka akan puas tinggal di negara-negara otoriter seperti Franco-Spanyol, atau Korea Selatan atau Brazil di bawah kekuasaan militer. Namun manusia nyatanya juga memiliki kebanggaan mereka sendiri, thymotic (spirit) dalam diri, dan ini membuat mereka untuk menuntut pemerintahan demokratis yang memperlakukan mereka seperti orang dewasa daripada anak-anak, mengakui otonomi mereka sebagai individu bebas. Komunisme digantikan oleh demokrasi liberal adalah karena adanya kesadaran bahwa demokrasi liberal menyediakan suatu bentuk pengakuan akan kemanusiaan. Pemahaman tentang pentingnya keinginan untuk mendapatkan pengakuan sebagai motor sejarah memungkinkan kita untuk menafsirkan banyak fenomena seperti budaya, agama, pekerjaan, nasionalisme, dan perang. 

‘Akhir Sejarah’ dan potensi bangkitnya authoritarian baru

The broad acceptance of liberalism, political or economic, by a large number of nations will not eliminate differences between them based on culture, differences which will undoubtedly become more pronounced as ideological cleavages are muted
(Francis Fukuyama. The End of History and the Last Man. 1992. p. 233)

Fukuyama berkeyakinan bahwa di akhir sejarah, tidak ada pesaing serius yang tersisa bagi ideologi demokrasi liberal. Dimasa-masa sebelumnya, demokrasi liberal memang kerap dianggap inferior dibanding sistem politik monarki, aristokrasi, komunis, dll. Namun saat ini, kecuali di dunia Islam, tampaknya telah menjadi konsensus umum bahwa demokrasi liberal telah diterima sebagai bentuk pemerintahan paling rasional. Pertanyaannya, mengapa pertumbuhan/transisi demokrasi di negara-negara yang menganutnya juga mengalami banyak hambatan?

Gagasan demokrasi liberal berarti mengedepankan tindakan politik rasional, dimana komunitas sebagai keseluruhan memperoleh jaminan kebebasan yang diatur oleh konstitusi dan hukum dasar dalam kehidupan publiknya. Meskipun demikian di banyak tempat banyak manusia yang kehilangan kontrol atas kehidupannya, tidak hanya secara pribadi namun juga dalam kehidupan politiknya. Alasan mengapa demokrasi liberal tidak dapat berlaku universal atau menjadi stabil setelah memperoleh kekuasaan, adalah terletak pada tidak lengkapnya hubungan atara rakyat/warga dengan negara. Negara adalah bentukan dari kehendak politik, sementara rakyat adalah ada dari kehendak moral komunitas.

Negara memaksa dirinya berada di atas rakyat. Namun keberhasilan dan stabilitas demokrasi liberal tidak dapat bergantung pada pelaksanaan mekanis prinsip-prinsip universal dan hukum, namun tergantung pada tingkat konformitas antara rakyat dan negara. Ada kebutuhan akan pengakuan, atau ‘values’. Keinginan akan pengakuan tersebut, paling kuat berasal dari hasrat akan pengakuan agama dan kebangsaan (nasionalisme). Keduanya menyangkut martabat (dignity) dan kesucian (sacred) yang dapat menumbuhkan fanatisme, obsesi dan tuntutan kuat akan ‘keadilan’. Sehingga ketika ketika terjadi konflik yang dipicu atau mengatasnamakan keduanya akan jauh lebih mematikan dibandingkan dengan penyebab konflik lainnya, misalnya konflik akibat perebutan materi atau kekayaan.

Fukuyuma berpendapat bahwa nilai dan budaya di masyarakat dapat menjadi faktor penghambat perkembangan demokrasi yang stabil, yaitu: (a) Tingkat dan karakter akan kesadaran nasional, etnis dan rasial; (b) Agama; (c) Struktur sosial yang timpang; (d) Kebebasan atau ketidaktergantungan terhadap negara. Sementara, kekuatan demokrasi seringkali ditentukan oleh faktor-faktor pendahulu yang menopangnya, seperti berkembangnya budaya liberal dimana misalnya kebebasan berbicara dan berserikat serta partisipasi politik telah tumbuh terlebih dahulu, maka akan memperkuat demokrasi yang terbangun.

Fukuyama memandang keseragaman sebagai hal penting dalam perkembangan industrialisasi, kapitalisme dan demokrasi liberal. Ekonomi modern dalam bentuk proses industrialisasi yang diarahkan oleh ilmu alam modern, adalah memaksa homogenisasi umat manusia dan menghancurkan berbagai budaya didalamnya. Jika proses homogenisasi ekonomi ini terhenti maka proses demokratisasi juga akan mengalami masa depan yang tak pasti. Konflik ideologis saat Perang Dingin dapat diselesaikan ketika salah satu pihak atau keduanya dapat berkompromi pada isu politik tertentu seperti mengenai Tembok Berlin, atau ketika ada pihak yang ideologinya ditinggalkan para pendukungnya semula (mengalami proses deligitimasi). Tetapi bahkan perbedaan budaya diantara negara-negara kapitalis liberal sendiri bukanlah satu hal yang mudah diatasi, misalnya perbedaan budaya natara USA, Jepang atau negara-negara lainnya. Keberhasilan kapitalisme di tiap negara akan juga ditentukan oleh perilaku ekonomi dan etos kerja warganya masing-masing.

Dalam dunia kontemporer, akan tetap dapat ditemukan adanya fenomena ganda. Disatu sisi ada peningkatan homogenitas manusia akibat ekonomi dan teknologi modern, dan adanya perluasan gagasan bahwa kesadaran rasional adalah satu-satunya basis legitimasi dari pemerintahan di seluruh dunia. Disisi lain, terjadi di berbagai tempat perlawanan terhadap homogenitas tersebut, dan pernyataan kembali (yang sebagian besar terjadi di tingkat sub-politik) identitas kultural yang pada akhirnya memperkuat penghalang yang telah ada antara rakyat dan negara.

Meskipun alternatif yang sistematis dari demokrasi liberal belum ditemukan saat ini, alternatif bentuk-bentuk baru authoritarian yang belum dikenal sebelumnya mungkin akan muncul di masa depan. Authoritarianisme baru baru tersebut akan dibuat oleh dua kelompok berbeda, yaitu:
(a)    Mereka yang karena alasan budaya mengalami kegagalan ekonomi terus menerus. Fenomena ini memunculkan doktrin non liberal (illiberal) akibat kegagalan ekonomi, seperti terjadi dimasa lalu. Arus kebangkitan fundamentalisme Islam menyentuh hampir semua negara di dunia dengan populasi Muslim yang besar, dapat dilihat sebagai respon masyarakat Muslim pada umumnya dalam menjaga martabat (dignity) mereka ketika berhadapan dengan Barat-non Muslim. Bentuk lainnya, adalah seperti yang terjadi di masyarakat Afro Amerika di USA, yang merasa dinomorduakan secara sosial, ekonomi dan politik; dan

(b)    Mereka yang sukses dalam ‘perlombaan’ kapitalisme. Ideologi liberal justru berbalik (spun out) bagi mereka mendapatkan dirinya tertatih-tatih secara budaya dalam kompetisi ekonomi. Sumber potensial authoritanisme baru mungkin justru berasal dari mereka yang memperoleh sukses luar biasa dalam ekonomi kapitalis, misalnya dari masyarakat elit Asia yang menggabungkan ekonomi liberal dengan authoritanianisme paternalistik, mengingat budaya tersebut masih kental di banyak negara Asia.

‘Konflik adalah abadi’

“While all other aspects of the human social environment-religion, the family, economic organization,
concepts of political legitimacy-are subject to historical evolution,
international relations is regarded as forever identical to itself: ‘war is eternal’.”
(Francis Fukuyama. The End of History and the Last Man. 1992. p. 246)

Dalam ilmu politik khususnya hubungan internasional dikenal adanya Teori Realis. Teori ini berangkat dari asumsi bahwa rasa tidak aman, agresi, dan kemungkinan perang itu bersifat permanen dalam sistem negara internasional, serta bahwa kondisi tersebut tidak dapat diubah karena pada dasarnya berakar dari dalam sifat manusianya sendiri. Dengan tidak adanya kedaulatan internasional, setiap negara akan memilki potensi terancam oleh negara lain, dan tidak memiliki penangkal atas rasa tidak aman tersebut kecuali dengan memperkuat persenjataan untuk mempertahankan diri. Konsekuensinya, semua negara akan berusaha memaksimalkan kekuasaan mereka relatif terhadap negara lain. Persaingan dan perang yang tak terelakkan dari produk-produk sistem internasional bukan bergantung pada sifat negara itu sendiri, tetapi karena adanya karakter anarki dari sistem negara secara keseluruhan.  Karenanya, politik internasional bukanlah mengenai interaksi manusia yang kompleks dan secara historis juga berkembang, sebagaimana perang juga bukanlah akibat adanya benturan nilai-nilai. Dalam pendekatan ‘bola billiard’, sedikit pengetahuan mengenai apakah sistem internasional bersifat bipolar atau multipolar sudah cukup untuk menentukan kemungkinan akan perang atau damai.

Kritik terhadap gagasan kaum Realis tadi adalah bahwa mereka hanya melihat sumber konflik/perang hanya dari struktur pada sistem negara saja, dan mencoba menyingkirkan semua pertimbangan politik internal. Masalahnya, kaum Realis hanya melihat sistem namun tidak memperhatikan unit-unit yang membentuk sistem tersebut. Berbeda dengan pandangan kaum Realis, Rosseau menyatakan bahwa pada dasarnya manusia cenderung mencari kedamaian, ingin dapat menjalankan hidup tanpa tergantung pada pihak lain. Karenanya, anarki yang asli justru menghasilkan perdamaian. Sifat manusia tersebut akhirnya juga termanifestasikan dalam hubungan dengan kelompok/negara lain.

Menurut Fukuyama, sesungguhnya para pemikir realis awal seperti Morgenthau, Kennan, Niebhur dan Kissinger telah mempertimbangkan beberapa karakter internal dari negara dalam analisis mereka, sehingga dapat memberikan penjelasan yang lebih baik dibandingkan para ahli yang muncul belakangan. Menurut mereka, konflik didorong oleh keinginan untuk dominasi, dan bukan karena interaksi mekanik dari ‘sistem bola bilyar’. Meski demikian, kaum realis umumnya cenderung didorong untuk memberi penjelasan yang sangat tereduksi mengenai perilaku negara ketika membahas mengenai politik internal.

Tampaknya Fukuyama berpandangan, bahwa paham demokrasi liberal mengurangi kecenderungan agresi diantara sesama penganutnya. Basis dari karakter anti perang dalam masyarakat liberal adalah nyata dalam pengelolaan hubungan damai (peaceful relation) antara mereka. Negara demokrasi liberal dapat saja berperang dengan negara non demokrasi liberal. Tetapi diantara sesama mereka, negara-negara demokrasi liberal tampaknya memiliki niat yang lebih sedikit untuk tidak percaya atau ingin saling mendominasi. Fukuyuma melihat bahwa persepsi tentang ancaman asing tampaknya bukan ditentukan secara ‘objektif’ oleh posisi negara di dalam sistem negara, tetapi lebih banyak dipengaruhi oleh ideologi apa yang dominan.

Fukuyama juga berpendapat bahwa nasionalisme adalah fenomena modern karena menggantikan hubungan antara bangsawan dengan petani/budak. Namun nasionalisme tidak sepenuhnya rasional, karena kesadaran itu berlaku hanya pada penduduk atau kelompok etnis tertentu. Kesadaran nasionalisme bukanlah pada martabat manusia secara universal, tapi pada martabat kelompoknya saja. Pengakuan akan nasinalisme tertentu menimbulkan potensi konflik dengan kelompok lain yang juga mencari pengakuan atas martabat mereka sendiri. Karenanya, nasionalisme dapat menggantikan ambisi suatu dinasti atau agama sebagai basis bagi imperialisme. Tuntutan yang terlalu kuat dari nasionalisme dapat membuat banyak masyarakat demokratis menjadi gagal dalam mewujudkan hak universal secara efektif berdaarkan kewarganegaraan pada isu ras atau antar etnis.

Dalam hal ini Fukuyama berpandangan bahwa sejauh nasionalisme dapat dikurangi ‘ketajamannya’ (defanged) dan dimodernisasi sebagaimana pada agama, yaitu dimana individu dapat menerima nasionalisme yang terpisah namun tetap mengakui derajat yang sama pada pihak lainnya, maka rasa nasionalisme sebagai alasan/dasar bagi imperialisme dan perang dapat berkurang. Jika nasionalisme ingin dikurangi kekuatan politisnya, maka harus dibuat menjadi toleran seperti pada agama (di Eropa). Kelompok-kelompok nasional dapat mempertahankan bahasa dan rasa identitas mereka secara terpisah, tetapi identitas tersebut diekspresikan terutama dalam bentuk budaya dan bukan politik. Paska perang dingin banyak kelompok etnik yang sebelumnya diabaikan suaranya mulai muncul menuntut pengakuan. Dalam prediksi Fukuyama, meskipun di Eropa modern posisi agama dan nasionalisme menjadi jauh lebih toleran, namun bukan berarti Eropa bebas sama sekali dari konflik berbasis nasionalisme dimasa depan. Negara-negara yang telah ada akan diganggu dari bawah oleh klaim dari kelompok berbasis lebih kecil kesamaan bahasa yang menginginkan pengakuan untuk berdiri sendiri.

Dua Dunia: ‘History’ dan ‘Post-History’

Fukuyama memprediksi, bahwa politik kekuasaan masih akan terus berlangsung di negara-negara non demokrasi liberal. Awal perkembangan industrialisasi yang lebih belakangan dan nasionalisme di Dunia Ketiga di satu sisi akan mengakibatkan perbedaan perilaku yang tajam diantara banyak negara Dunia Ketiga, dan tumbuhnya demokrasi industrial di sisi yang lain.

Fukuyama juga memprediksi bahwa di masa depan dunia akan terpolarisasi diantara negara-negara ‘post-history’ dan yang masih terjebak dalam ‘history’. Dalam dunia ‘post-history’, interaksi antar negara akan lebih bersifat ekonomik, dan aturan-aturan lama mengenai kekuasaan politik akan berkurang relevansinya. Artinya, dalam demokrasi multipolar dan didominasi kekuatan ekonomi, sebuah negara tidak membuat negara lain merasa terancam dan terpaksa harus meningkatkan kewaspadaan dan kekuatan dari ancaman agesi. Negara-negara akan tetap ada, tetapi nasionalisme yang terpisah akan berdamai dengan liberalism dan akan mengekspresikan dirinyalebih banyak dalam wilayah pribadinya saja. Rasioanalitas ekonomi akan mengikis fitur tradisional mengenai kedaulatan, yang akan menyatukan pasar dan produksi. Sementara, dunia ‘history’ masih akan terbelah oleh beragam konflik agama, nasional dan ideologis tergantung pada tahap perkembangan negera-negara tertentu yang bersangkutan, dimana aturan-aturan lama politik kekuasaan masih berlaku. Negara bangsa akan terus menjadi lokus utama dari identifikasi politik. Garis batas antara ‘post-history’ dan ‘history’ berubah dengan cepat dan tidak mudah digambarkan.

Dalam banyak hal, dunia ‘history’ dan ‘post-history’ akan bersifat pararel tapi terpisah, dengan interaksi yang relatif kecil diantara mereka. Namun Fukuyama juga berpandangan bahwa masih akan ada benturan diantara kedua dunia itu, seperti dalam hal: (a) Perebutan sumber energi, yaitu minyak/gas; (b) Imigrasi; (c) Pertanyaan mengenai ‘tatanan dunia’ itu sendiri. Akibat masih adanya potensi konflik dan kekerasan di negara-negara di dunia ‘history’ yang juga dapat mengancam wilayah lain, negara-negara ‘post-history’ akan memformulasikan upaya pencegahan berbasis teknologi, seperti nuklir, misil dan senjata kimia maupun biologis. Tapi tatanan dunia juga berkembang dalam kerjasama untuk mengatasi ancaman kerusakan lingkungan misalnya. Dalam hal ini negara ‘post-history’ memiliki kepentingan baik untuk melindungi diri dari ancaman dari luar, maupun untuk mempromosikan demokrasi di negara ‘history’.


The ‘First Man’ dan the ‘Last Man’

Di bagian akhir bukunya, Fukuyama mempertanyakan masa depan demokrasi itu sendiri. Menurutnya, meskipun ancaman terhadap demokrasi liberal dari kekuatan authoritarianisme, teokrasi, nasionalisme yang tidak toleran dan sejenisnya masih berlangsung, namun dimasa depan tidak ada ancaman serius dari luar terhadap demokrasi. Ancaman sesungguhnya justru berasal dari dalam demokrasi itu sendiri. Apakah demokrasi dapat berkembang terus, makin stabil dan menjadi makin mandiri, ataukah akan mengalami pembusukan dari dalam seperti yang terjadi pada komunisme?

Untuk itu, Fukuyama menelaah akar dari konsep demokrasi itu sendiri, khususnya dengan menganalisis konsep ‘manusia pertama’ (the first man) dari Hobbes, Locke, Rousseau, and Hegel. Sifat manusia digambarkan dalam keadaan alamiah, yang bukan dalam pengertian sejarah manusia primitif, namun semacam eksperimen dalam pikiran untuk mengupas aspek-aspek kepribadian manusia yang hanya merupakan produk konvensi, dan untuk mengungkap karakteristik yang umum manusia sebagai manusia. Jika dapat disederhanakan, konsep ‘the first man’ mengacu pada manusia yang membangun kesadaran dan mencari pangakuan.

Apakah masyarakat dari sebuah negara demokrasi liberal kontemporer mampu memenuhi kebutuhan akan ‘pengakuan’ itu secara penuh? Masa depan demokrasi liberal dan kemungkinan munculnya ideologi alternatif lainnya ditentukan oleh jawaban pertanyaan tersebut. Fukuyama mengemukakan dua respon secara umum. Yang pertama, pandangan Kiri menyebutkan bahwa penghargaan universal dalam demokrasi liberal masih timpang akibat munculnya ketidakadilan dalam bidang ekonomi dan sistem tenaga kerja yang tidak pro-buruh. Tidak adanya jalan keluar alternatif yang pro-kesejahteraan rakyat menyebabkan terjadinya diskriminasi, yang salah satu bentuknya adalah eksklusi sosial.

Dengan menggunakan pemikiran Nietzshe,[5] Fukuyama mengemukakan pandangan Sayap Kanan bahwa sejarah demokrasi ini berawal dari terjadinya Revolusi Perancis yang menelurkan ide kesetaraan. Nietzsche sendiri berpendapat bahwa secara tipikal demokrasi liberal sangat identik dengan ‘last man’  yang telah dibesarkan oleh proses modernisasi dan mau berkorban demi kepuasan dirinya atau sebuah pengakuan.[6] Mengadopsi pemikiran tersebut, Fukuyama berpendapat bahwa menjadi sangat sulit bagi manusi yang hidup dalam masyarakat demokratis untuk mempertanyakan satu masalah/dilema  moral yang nyata serius dalam kehidupan publik. Penyebabnya adalah karena moralitas melibatkan perbedaan antara ‘yang lebih baik’ dan ‘lebih buruk’ serta ‘yang baik’ dan ‘yang buruk’, yang karenanya dapat dianggap melanggar prinsip toleransi dalam demokrasi. Inilah mengapa ‘the last man’ menjadi kurang terlibat dengan persoalan publik dan menjadi lebih peduli atas semua untuk kesehatan dan keselamatan pribadinya saja, karena itu dianggap tidak kontroversial.

Kesimpulan
Dari lebih 400 halaman buku ‘The End of History and the Last Man’, kami menyimpulkan ada empat gagasan utama yang disampaikan Fukuyama terkait dengan isu konflik, yaitu:

1. Gagasan mengenai ‘kebebasan manusia’ dianggap telah berhasil mengalahkan gagasan dominasi/penguasaan manusia (authoritarianism). Pada pertengahan 1940-an, demokrasi liberal (USA, dkk.) bersama komunisme (Rusia) berhasil melumpuhkan ideologi Kanan (fasisme Jerman dan Jepang) dalam perang terbuka, dan akhir 1980-an / awal 1990-an demokrasi liberal mengalahkan komunisme (Blok komunis/Eropa Timur) dalam ‘perang dingin’. Merujuk pada konsep Hegel mengenai sejarah yang akan berujung pada kemenangan kebebasan manusia, Fukuyama berpandangan bahwa ‘akhir sejarah’ adalah saat itu (berakhirnya perang dingin), dan demokrasi liberal sebagai pemenangnya adalah “the final form of human government”.

2.   Namun Fukuyama juga mengakui bahwa kehidupan berlanjut, dan konflik akan tetap ada. Musuh ‘baru’ bagi demokrasi liberal bukanlah ideologi tertentu seperti dimasa sebelumnya, namun faktor-faktor berkenaan dengan pengakuan akan budaya, agama dan nasionalisme. Tidak atau belum semua negara/golongan menerima demokrasi liberal sebagai pilihan sistem politik yang paling rasional dan mampu membawa kebaikan bagi semua pihak. Salah satu golongan tersebut menurut Fukuyama adalah dunia Islam. Golongan lain adalah negara-negara Dunia Ketiga (yang gagal dalam menjalan kapitalisme) ataupun negara yang meskipun berhasil dalam mempraktekkan kapitalisme namun terjebak dalam budaya tertentu, seperti kapitalisme-paternalistik di beberapa negara Asia.

3.  Fukuyama berpendapat bahwa saat ini dunia akan terbagi dua, yaitu negara-negara yang masih terjebak pada ‘history’ (yang belum menjalankan demokrasi liberal) dan negara-negara ‘post-history’, yang terpisah secara pararel. Gejolak terutama masih akan banyak terjadi di negara-negara ‘history’, meskipun negara-negara ‘post-history’ juga masih akan berkutat dengan persoalan pemenuhan kesejahteraan warganya. Konflik antar kedua dunia masih akan terjadi terkait sejumlah isu, seperti akses ke sumberdaya/energi dan imigrasi.

4.  Sementara, individu manusia akan lebih banyak berkonsentrasi pada pemenuhan kebutuhan dan keselamatan, dan pada kepuasan serta terpenuhinya pengakuan atas dirinya sendiri. Sementara moralitas akan menjadi urusan privat dan bukan sesuatu yang perlu diangkat ke publik.

Tanggapan atas gagasan-gagasan utama Fukuyama tersebut, sebagai berikut:
1.  Sebagai penganut kapitalisme dan penganjur demokrasi liberal, sah saja jika Fukuyama berpendapat bahwa fenomena perubahan politik yang radikal di blok Komunis sebagai kemenangan bagi kapitalisme dan demokrasi liberal. Namun menyebutnya sebagai ‘akhir sejarah’ menurut kami merupakan pernyataan yang berlebihan. Blok Komunis bukan runtuh akibat ‘serangan langsung’ (perang) dari ‘Blok Demokrasi Liberal’, karena sesungguhnya kedua pihak sama-sama takut dengan potensi kerugian dari bentrokan langsung di era senjata nuklir, kimia dan biologis ini, sebagai satu-satunya alasan terciptanya ‘Perang Dingin’ selama lebih dari empat dekade. Blok Komunis lumpuh ketika rakyat di negara-negara penganutnya menganggap komunisme telah ‘merampas kebebasan mereka’ dan gagal memberikan kesejahteraan pada mereka (terdelegitimasi).

Dalam hal ini kami bersepakat dengan Fukuyama bahwa pengakuan akan kebebasan manusia adalah penting. Namun pada faktanya, kebebasan (baik politik dan ekonomi) di negara-negara demokrasi liberal juga belum sepenuhnya terpenuhi. Ekslusi sosial, kemiskinan, pengangguran, dan berbagai bentuk masalah sosial lainnya masih terjadi di USA dan Eropa. Artinya, persoalan pemenuhan kebebasan dan pengakuan atas manusia masih menjadi persoalan yang nyata ada, dan mungkin sulit untuk sepenuhnya dihilangkan. Sementara, di Rusia dan negara-negara bekas Eropa Timur yang telah menjadi lebih liberalpun, masih ada penganjur dan kelompok masyarakat yang merindukan atau pro komunis. Selain itu di sejumlah negara Amerika Latin, malah muncul pemimpin-pemimpin yang kritis terhadap demokrasi liberal dan kapitalisme. Ungkapan bahwa ‘keyakinan dan ideologi tidak akan pernah sungguh-sungguh mati’ mungkin ada benarnya. Ideologi yang melemah saat ini dapat saja bangkit lagi di kemudian hari dan mengancam demokrasi liberal sebagai ideologi dominan saat ini. Meminjam istilah Asvi Warman Adam seorang sejarawan dari LIPI, fenomena melemahnya Blok Komunisme di akhir 1980-an /awal 1990-an dapatlah disebut hanya sebagai watershed,[7] sebagai tanda atau pembatas zaman saja.

Selain itu, pendapat bahwa demokrasi liberal sebagai “the final form of human government” mengesankan bahwa demokrasi liberal sebagai konsep/model yang sudah final/selesai. Pernyataan Fukuyama mengenai penyeragaman ideologi politik demokrasi liberal juga mencerminkan pendekatan modernis yang menganggap proses perubahan bersifat linier dan seragam. Padahal, menurut kami, sangatlah sulit menyebut demokrasi sebagai konsep dan praktek sebagai satu yang seragam di negara-negara penganutnya. Perdebatan dan eksperimen mengenai demokrasi baik di bidang politik maupun ekonomi masih terus berlangsung. Menganggap demokrasi sebagai konsep yang sudah selesai justru akan membusukkan gagasan demokrasi itu sendiri. Dan bukankah gagasan komunisme sendiri juga runtuh justru ketika dia berubah menjadi dogma yang anti kritik?

2.   Pernyataan Fukuyama bahwa faktor budaya, agama dan nasionalisme sebagai faktor pemicu konflik yang utama setelah selesainya ‘pertempuran ideologi’ mengesankan bahwa sudah tidak ada lagi tarik menarik kepentingan politik dan perdebatan mengenai model pengelolaan ekonomi baik di level nasional maupun internasional. Kecurigaan terhadap budaya, agama dan rasa kebangsaan pihak lain menunjukkan bahwa watak chauvinis yang menganggap diri mereka lebih unggul nyatanya masih cukup kuat di masyarakat Barat.

Selain itu, gagasan mengenai penyeragaman sistem ekonomi dan pelemahan budaya, agama dan nasionalisme secara mendasar dapat juga dianggap sebagai kontradiksi dengan prinsip pengakuan akan kemanusian dan kebebasan menentukan pilihan yang dianjurkan penganut demokrasi liberal. Meskipun kami juga bersepakat bahwa pemahaman akan pruralisme dan penyelesaian sengketa dan konflik secara damai penting untuk dikedepankan.

3.  Terkait dengan point 2 dia atas, dapat dilihat adanya kontradiksi dari respon Barat terhadap persoalan-persoalan dunia. Pasca perang dingin, kekuatan politik menjadi jauh lebih dominan ada di pihak Barat. USA kemudian menjadi kekuatan utama dan kerap berperan sebagai ‘polisi dunia’. USA kerap menjadi pihak yang menentukan benar-salah atau boleh-tidaknya suatu tindakan internasional di lakukan. Kebijakan ‘preemptive war’, serbuan US dan Sekutu ke Irak, dukungan NATO atas perang saudara di Libya, penolakan USA terhadap tuntutan keanggotaan Palestina di PBB, menguatnya kekuatan rasisme terhadap imigran, dan lainnya (seperti juga disinyalir oleh Fukuyama sendiri), mengindikasikan bahkan USA dan Eropa tidak telah sungguh-sungguh terlepas dari jebakan ‘history’ dan menjadi negara ‘post-history’ sebagaimana diklaim Fukuyama. Negara ‘post-history’ sebaliknya justru dapat menjadi ancaman bagi negara lain. Konflik dapat berawal dari kebutuhan Barat akan sumberdaya yang sebagian besar ada di negara-negara yang mungkin menurut mereka masih berada di era ‘history’.

4.  Demokrasi liberal mendorong manusia yang fokus pada kepentingan dan urusannya sendiri, tidak perlu bersikap kritis terhadap problem moral maupun sistem yang berlangsung. Individu yang rasional, individualis, moderat, dan tidak agresif dianggap yang cocok hidup di era ‘post-history’. Kami meragukan bahwa memang yang demikian itu merupakan bagian dari kebebasan manusia dan penghargaan dan pengakuan terhadap kemanusiaan? Ketika peran negara diminimalisir dalam kapitalisme, individualisme lebih dihargai dan kepedulian/solidaritas dicurigai sebagai ancaman bagi kebebasan manusia, lantas siapa yang harus bertanggungjawab dan berusaha mengatasi  masalah-masalah sosial (ekonomi dan politik) yang ada?




Endnotes:
[1]   Disusun oleh Candra Kusuma, Julia Kalmirah, Nazirin Aziz dan Whisnu Yonar, 6 Oktober 2011.
[2] Dapat dipahami, karena pada saat tulisan tersebut dimuat dalam The National Interest tahun 1989, Yoshihiro Francis Fukuyama (Ph.D dalam ilmu politik dari Harvard) bekerja sebagai Deputi Direktur pada State Departement Pemerintah AS. Sebelumnya, penulisnya bekerja sebagai analisis pada RAND yaitu sebuah perusahaan kontraktor/konsultan riset strategis yang banyak mengerjakan proyek-proyek kajian dari Pemerintah AS.
[3] Paper ‘The End of history?’ dimuat di The National Interest (Summer 1989) muncul pada konteks situasi ketika terjadi perubahan politik yang radikal di negara-negara Blok Komunis (Rusia dan Eropa Timur) pada tahun 1989. Peristiwa paling monumental di tahun itu adalah ‘Revolusi Damai’ di Jerman Timur, dan penghancuran Tembok Berlin. Singkatnya, rakyat di Blok Komunis menuntut agar dilakukan perubahan sistem politik dan ekonomi dari komunisme yang selama lebih dari 40 tahun ‘dipaksakan’ berlaku pada mereka.
[4] Dalam satu kesempatan wawancara di sebuah televisisi di tahun 1992, Fukuyama mengistilahkan bahwa akhir sejarah yang dimaksudkannya bukanlah seperti pemahaman umum bahwa seluruh kehidupan telah berakhir. Namun sejarah dengan hurus ‘S’ besar, sebagai konsep dari satu tahap dari proses evolusi peradaban masyarakat.
[5] Nietzsche menggunakan istilah ‘the last man’ untuk menyebut konsepnya tentang ‘budak yang jadi pemenang’. Dia mengkritisi ajaran Kristen, dan menganggap demokrasi sebagai suatu bentuk ‘Kekristenan sekuler’. Kesetaraan semua orang di hadapan hukum adalah realisasi Kristen yang ideal tentang kesetaraan dari semua orang yang percaya Kerajaan Surga.
[6] Menurut Nietzsche, makhluk hidup tidak bisa sehat, kuat, atau produktif, kecuali dengan hidup dalam cakrawala tertentu, yaitu, menetapkan nilai-nilai dan keyakinan yang benar-benar mereka terima dan tidak kritis terhadap keyakinan tersebut.
[7] Asvi Warman Adam dalam ‘1965: Orang-orang di balik Tragedi’, 2009:ix.


------------------------------

Judul          : The End of History and the Last Man
Penulis      : Francis Fukuyama.
Tahun       : 1992

"Community Development: 'Mimpi' yang Belum Mati"


Menggagas Perspektif “Baru” Pengembangan Masyarakat

Oleh: Candra Kusuma


Gagasan utama buku ini adalah mengenai pendekatan pembangunan berbasis masyarakat yang berlandaskan pada perspektif ekologis dan hak asasi manusia (HAM), sebagai alternatif jalan keluar dari krisis ekologis dan keadilan sosial/HAM yang terjadi di semua belahan dunia. Kebutuhan akan altenatif tersebut  dinilai justru semakin terasa signifikansinya di era globalisasi ini. Dalam membangun argumentasinya,  buku ini berangkat dari kritik terhadap dua isu di tataran makro, yaitu: krisis negara kesejahteraan, dan pendekatan pembangunan yang menimbulkan kerusakan ekologis dan melanggar HAM. Namun, --menurut amatan saya-- kedua penulis juga sekaligus mengkritisi dua isu penting lainnya, yaitu di tataran meso adanya ‘kesalahan’ dalam memaknai dan melakukan upaya community development atau pengembangan masyarakat (baik yang dilaksanakan oleh pemerintah, swasta/perusahaan, NGO, maupun oleh masyarakat sendiri), serta di tataran mikro yaitu kelemahan terkait dengan values, orientasi, dan kompetensi/keterampilan pada diri pekerja masyarakat yang terlibat dalam upaya tersebut. Buku ini secara komprehensif dan ‘provokatif’ mengajak untuk melakukan pemaknaan ulang atas gagasan pengembangan masyarakat, sebagai jalan ‘mendekonstruksi’ dan membumikan gagasan tersebut, untuk memberdayakan masyarakat (dan manusia) pada akhirnya.

Krisis Negara Kesejahteraan dan Krisis Ekologis

Ife dan Tesoriero tampaknya bersepakat dengan sejumlah penulis lain yang menilai bahwa krisis sumberdaya/fiskal di negara kesejahteraan ala Barat telah menimbulkan perlambatan ekonomi yang makin membebani pemerintah di negara-negara tersebut. Akibatnya, terjadi pengurangan jenis, jumlah dan mutu layanan publik.  Atas dasar itu negara kesejahteraan dianggap sudah tidak sanggup lagi memenuhi janji mereka akan kesejahteraan rakyatnya (Hal. 5-6). Dalam bahasa yang lebih lugas, tesis negara kesejahteraan dapat dikatakan telah gagal karena asumsi-asumsinya tidak mendukung pada prospek keberlanjutan gagasan itu sendiri (Hal. 20). Selain itu, negara kesejahteraan juga dinilai telah memberi dampak negatif bagi masyarakat, diantaranya adalah memandulkan modal sosial yang ada di masyarakat, dan menumbuhkan ‘ketergantungan pada orang asing’, karena hampir semua kebutuhan masyarakat diurus oleh negara melalui beragam tenaga professional sebagai perpanjangan tangan Negara (Hal. 35-40). Mengutip Dobson (1995), pendekatan berbasis masyarakat kepada layanan-layanan kemanusiaan adalah konsisten dengan gagasan dari suatu sistem ‘negara pasca-kesejahteraan’ (Hal. 26). Setelah institusi keluarga, institusi agama, pasar dan negara dianggap kurang berhasil memenuhi layanan masyarakat, Ife dan Tesoriero menganggap sekaranglah giliran ‘komunitas’ memikul tanggung jawab utama untuk menyampaikan provisi layanan dalam bidang seperti kesehatan, pendidikan, perumahan dan kesejahteraan” (Hal. 25-26).

Selanjutnya, Ife dan Tesoriero mengikuti kelompok pemikiran the Green dalam melihat masalah-masalah lingkungan hidup. Berbeda dengan kalangan pecinta lingkungan hidup tradisonal yang mengedepankan pendekatan konservatif yang lebih konvensional, Green menggunakan pendekatan yang mendasar dan radikal, yaitu perspektif ekologis, yang melihat  masalah lingkungan hanyalah merupakan gejala dari masalah mendasar yang lebih penting, yaitu sebagai konsekuensi dari suatu orde sosial, ekonomi dan politik yang secara mencolok tidak berkelanjutan, dan karenanya orde tersebut harus diubah (Hal. 55-56). Pandangan Green ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran kaum eko-sosialisme, eko-anarkhisme, eko-feminisme, eko-luddisme, anti pertumbuhan, ekonomi Green, kerja dan pasar tenaga kerja, pembangunan global, eko-filosofi, dan pemikiran paradigma baru (Hal. 56-86).  Dari pengaruh lingkaran pemikiran tersebut, saya melihat kecenderungan Green untuk menggunakan paradigma konflik dalam menganalisis masalah sosial yang ada, juga dari banyak rujukannya yang menggunakan argumentasi dari penulis teori sosial kritikal, seperti Paulo Freire dan Ivan Illich, serta para pemikir dari tradisi Marxis lainnya. 

Gagasan inti dari perspektif ekologis tadi tergambar dari empat prinsip ekologis yang mereka tawarkan, yaitu: (a) Holisme, yang memaknai bahwa setiap kejadian atau fenomena harus dilihat sebagai bagian dari keseluruhan, dimana ada interdependensi, integrasi dan sintesis. Sehingga, harus dibuat kaitan yang terpadu antara pengetahuan dan aksi, teori dan praktek, serta fakta dan nilai. Prinsip ini melahirkan filosofi ekosentris yang menghormati kehidupan alam, menolak solusi linier, dan menginginkan perubahan organik (Hal. 91-92); (b) Keberlanjutan, berarti sistem-sistem dan sumber daya harus mampu dipertahankan dan dimanfaatkan dalam jangka panjang, yang diwujudkan pada orientasi konservasi, mengurangi konsumsi, mengembangkan ekonomi tanpa pertumbuhan, membatasi perkembangan teknologi, dan anti kapitalisme (Hal. 93-95); (c) Keanekaragaman, yang dengannya berbagai sistem alam diyakini mampu berkembang, beradaptasi dan tumbuh. Konsekuensinya adalah pentingnya penghargaan atas perbedaan, tidak ada jawaban tunggal untuk semua masalah, desentralisasi, komunikasi jejaring dan lateral, dan teknologi tingkat rendah (Hal. 95-98); dan (d) Kesimbangan, yang menekankan pentingnya hubungan antara sistem-sistem dan kebutuhan untuk menjaga suatu keseimbangan diantara sistem tersebut, yaitu keterhubungan dan perpaduan global-lokal, hak-tanggungjawab, gender, perdamaian dan kooperasi (Hal. 98-100).

Dari keempat prinsip tersebut, saya cenderung melihat Green menggunakan paradigma strukturalis fungsional dalam menganalisis masalah ‘internal’ ekologis sebagai sebuah sistem. Namun tampak jelas mereka berupaya keras membedakannya dengan apa yang diusung oleh teori-teori modernisasi (yang juga lahir dari paradigma strukturalis fungsional), yang meyakini adanya perubahan linier, top-down dan seragam serta berambisi mengejar pertumbuhan ekonomi (yang dalam perspektif Green telah dianggap gagal karena tidak berkelanjutan). Turunan dari prinsip-prinsip di atas adalah bahwa pembangunan harus merupakan perubahan dari bawah (bottom-up), yang didasarkan pada pemanfaatan potensi dan sumberdaya lokal, menghargai keanekaragaman lokal-lokal tersebut, dan memberi peluang tiap-tiap lokal untuk tumbuh sesuai kebutuhannya (Hal. 282). Dalam hal ini, model pengembangan masyarakat menjadi solusi alternatif yang sangat logis dan ‘nyambung’ dengan perspektif ekologis tadi. Meskipun demikian, hal tersebut masih dipandang belum cukup, karena perspektif ekologis dipandang tidak cukup mampu memberi perhatian dan mengatasi masalah yang terkait dengan pemenuhan keadilan dan hak-hak dasar manusia (Hal. 100-101).

Saling melengkapi dengan perspektif ekologis tadi adalah perspektif keadilan sosial dan HAM. Berkaitan dengan isu HAM, pengembangan masyarakat lebih condong pada kombinasi antara perspektif struktural dan post-struktural, dibandingkan pada perspektif individual maupun reformis kelembagaan (Hal. 114-115). Karenanya, ketidakadilan dilihat lebih sebagai akibat dari adanya struktur yang merugikan/opresi terhadap kelas, ras, gender, distribusi pendapatan, kekuasaan, dsb., dibandingkan karena kesalahan individu atau ketidakberfungsian lembaga. Ketidakadilan juga dilihat sebagai akibat dari modernitas, dominasi dan kekerasan melalui bahasa, wacana, pengetahuan, dsb.  Upaya mewujudkan keadilan --sebagai lawan dari ketidakdilan tadi--, akan berkaitan erat dengan hak-hak, yang dalam hal ini HAM merupakan hak yang dianggap paling dasar dan bersifat universal (Hal. 116, 118, dan 121).

Ife dan Tesoriero berpandangan bahwa HAM merupakan komponen vital dalam pengembangan masyarakat, dimana proses pengembangan masyarakat tersebut seharusnya juga berarti penegasan HAM, memungkinkan orang mewujudkan dan melaksanakan HAM mereka, dan terlindung dari pelanggaran HAM (Hal. 122). Mewujudkan HAM sebagai kerangka bagi pengembangan masyarakat berarti mengupayakan terbangunnya suatu kebudayaan HAM yang kuat, yang sangat mungkin membutuhkan upaya dan waktu yang tidak sedikit (Hal. 125-126). Dalam hal ini, gagasan pemberdayaan (empowerment) merupakan gagasan sentral dalam strategi keadilan sosial dan HAM. Ife dan Tesoriero memaknai pemberdayaan sebagai upaya meningkatkan keberdayaan dari mereka yang dirugikan (the disadvantaged) akibat kelas, gender dan ras/etnisitas, maupun kelompok dirugikan lainnya seperti perempuan, masyarakat adat/pribumi, kelompok etnis minoritas, kaum miskin, dll.

Model Pengembangan Masyarakat yang Berperspektif Ekologis, Keadilan Sosial dan HAM

Pengembangan masyarakat bukanlah gagasan baru. Dalam hal ini, Ife dan Tesoriero --menggunakan kerangka analisis di atas-- menilai upaya pengembangan masyarakat yang selama ini banyak dilakukan oleh berbagai kalangan telah gagal dan justru menyebabkan berkembangnya sikap pesimis dan skeptis terhadap kelayakan gagasan tersebut. Sebabnya jelas, yaitu karena menempatkan pengembangan masyarakat dalam skema proyek dan mengandalkan tenaga professional eksternal yang tidak sejalan dengan semangat dasar dari pengembangan masyarakat itu sendiri. Dalam buku ini, dengan lugas Ife dan Tesoriero mengkritik keras model pengembangan masyarakat berformat program/proyek tersebut:

“Terdapat banyak proyek atau lembaga konsultansi yang berjalan hanya untuk beberapa bulan, biasanya dengan seorang pekerja eksternal, dan hal tersebut secara naïf diharapkan untuk membuat sebuah perbedaan besar pada kehidupan suatu masyarakat. Proyek-proyek seperti ini seringkali sia-sia dan tidak berhasil, dan menyebabkan laporan-laporannya tidak berguna dan berbagai struktur masyarakat yang gagal. Akibatnya, proyek-proyek ini memberikan reputasi buruk pada pengembangan masyarakat” . (Ife dan Tesoriero, 2008:671)

Mengkaitkan antara berbagai perspektif tadi dengan komunitas, Ife dan Tesoriero menyatakan bahwa perspektif keadilan sosial dan HAM sesungguhnya menyediakan suatu visi dari apa yang secara sosial diinginkan yaitu sebuah masyarakat yang didasarkan atas definisi dan penjaminan hak-hak, kesetaraan, pemberdayaan, yang mengalahkan opresi struktural dan keadaan yang merugikan, kebebasan menentukan kebutuhan dan terpenuhinya kebutuhan tersebut, dan seterusnya (Hal. 190). Sementara, perspektif ekologis meyediakan visi dari apa yang layak, dan menguraikan jenis masyarakat yang dapat hidup dalam jangka panjang, yaitu masyarakat yang didasarkan atas prinsip-prinsip holism, keberlanjutan, keanekaragaman dan keseimbangan (Hal. 190). Konsekuensi alamiah dari premis-premis kedua perspektif tadi adalah menempatkan komunitas sebagai basis pengembangan masyarakat (Hal. 190).

Jenis komunitas yang dipandang lebih cocok untuk pendekatan pengembangan masyarakat adalah komunitas geografis (Hal. 196). Penilaian tersebut berdasarkan ciri-ciri komunitas yang diajukan Ife dan Tesoriero, yaitu: (a) Komunitas melibatkan interaksi pada skala yang mudah dikendalikan individu-individu; (b) Didalamnya ada sebentuk rasa ‘memiliki’, diterima dan dihargai yang membentuk rasa identitas pada seseorang; (c) Ada tuntutan kewajiban dan kontribusi pada anggotanya; (d) Sebagai Gemeinschaft, interaksi tidak bersifat kontraktual dan dapat saling berkontribusi bagi kepentingan bersama; (e) Memungkinkan pemberian nilai, produksi dan ekspresi dari suatu kebudayaan lokal berbasis masyarakat yang mendorong adanya keanekaragaman dan partisipasi yang lebih luas (Hal. 191-194).

Berangkat dari analisis maupun prinsip-prinsip yang telah diuraikan di atas, Ife dan Tesoriero mendefinisikan pengembangan masyarakat sebagai proses pembentukan, atau pembentukan kembali, struktur-struktur masyarakat manusia yang memungkinkan berbagai cara baru dalam mengaitkan dan mengorganisasi kehidupan sosial serta pemenuhan kebutuhan manusia (Hal. 3). Pengembangan masyarakat harus bersifat holistik --tidak hanya berdimensi tunggal, seperti hanya menekankan dimensi ekonomi yang terbukti gagal--, dimana terdapat 6 dimensi paling penting yang harus dilaksanakan secara seimbang, yaitu: dimensi pengembangan sosial, ekonomi, politik, budaya, lingkungan, personal/spiritual (Hal. 410-482).

Selain itu, penekanan pengembangan masyarakat diarahkan lebih pada proses dan bukan hasil. Pendekatan ini memerlukan reorientasi khususnya bagi pekerja masyarakat yang umumnya terbiasa mengukurnya dari hasil (Hal. 335). Pengembangan masyarakat adalah perjalanan discovery (penjelajahan), dimana ketika terjadi atau menemui hal-hal yang tidak diharapkan, maka itu adalah peluang baru untuk belajar dan berkembang (Hal. 336). Seorang pekerja masyarakat yang sejak awal sudah mematok hasil yang jelas dari upayanya itu justru merupakan pekerja yang tidak memberdayakan masyarakat (disempowering community) karena justru akan menjauhkan masyarakat dari kontrol atas proses dan penentuan arah pengembangannya (Hal. 337). Dalam hal ini, sarana dan tujuan pengembangan masyarakat dipandang sebagai bukan sebagai dua hal yang terpisah. Sekedar mencapai tujuan pelestarian ekologis, keadilan sosial dan HAM tidak berarti apapun, dan hanya akan berarti jika proses itu sendiri mencerminkan prinsip-prinsip dasar pengembangan masyarakat (Hal. 341).

Ifo dan Tesoriero juga menegaskan, bahwa proses pengembangan masyarakat tidak dapat dipaksakan dari luar, sebagaimana yang umum terjadi selama ini. Keterlibatan masyarakat hanya dapat dicapai dari partisipasi penuh mereka. Proses pengembangan masyarakat harus menjadi proses masyarakat yang dimiliki, dikuasai, dan dilangsungkan oleh masyarakat sendiri (Hal. 342). Mengutip Putnam (1993), bahwa semua pengembangan masyarakat seharusnya bertujuan membangun masyarakat, yang didalamnya melibatkan pengembangan modal sosial, memperkuat interaksi sosial dalam masyarakat, menyatukan mereka, dan membantu mereka untuk saling berkomunikasi dengan cara yang dapat mengarah pada dialog yang sejati, pemahaman dan aksi sosial (Hal. 363). Sehingga, dalam kegiatan penelitian di masyarakat misalnya, model penelitian yang cocok dengan prinsip dan praktik pengembangan masyarakat adalah participatory action research (PAR), karena dianggap dapat menggabungkan penelitian tindakan dan kolaborasi (Hal. 607).

Terkait dengan tujuan pengembangan masyarakat tadi, partisipasi dipandang sebagai unsur sentral dan vital dalam pengembangan masyarakat yang ‘bottom up’. Partisipasi memungkinkan individu-individu memainkan peran kewarganegaraan dan bagi mereka terlibat secara kolektif dalam proses-proses kewarganegaraan sosial (Hal. 123, 139). Partisipasi terkait dengan HAM, karena mengaktifkan ide HAM, hak berpartisipasi dalam demokrasi dan memperkuat demokrasi deliberatif. Seperti halnya pengembangan masyarakat, demokrasi deliberatif menghargai kepakaran masyarakat, dan berupaya mencari peran bagi masyarakat dalam mendefinisikan parameter-parameter permasalahan, dan tidak menempatkan pemerintah sebagai pakar yang memiliki pengetahuan dan kebijakan yang superior (Hal. 294-295).

Pada akhirnya, menurut kedua penulis, sukses tidaknya upaya pengembangan masyarakat sampai tingkat tertentu sangat dipengaruhi oleh peran dan kemampuan aktor penggerak yaitu pekerja masyarakat  yang terlibat aktif bersama masyarakat dalam upaya tersebut. Keduanya berpandangan bahwa model profesionalisme pada pekerja masyarakat tidak cocok dengan aktivitas kerja masyarakat. Bahkan, pendekatan profesionalisme bertentangan dengan pengembangan masyarakat (Hal. 656, 658). Mengutip Ivan Illich, profesi-profesi cenderung untuk memistifikasi, mengasingkan dan tidak memberdayakan para pengguna layanan (Hal. 657). Sederhananya, profesionalisme dapat menjebak pekerja masyarakat memainkan peran ‘dokter dan pasien’ ketika berhubungan dengan masyarakat. Konsekuensi logis dari penolakan terhadap model professional spesifik bagi praktek kerja masyarakat adalah bahwa ide dari kualifikasi pendidikan khusus kerja masyarakat juga harus ditolak (Hal. 660). Menurut Ife dan Tesoriero, sesungguhnya ada banyak pengalaman pendidikan yang berbeda yang dapat membantu untuk mempersiapkan seorang pekerja masyarakat untuk praktik (Hal. 660). Mengikuti pemikiran Freire, proses belajar terbesar sesungguhnya justru melalui pertukaran pengalaman, pengetahuan, dan keterampilan bersama masyarakat.

Ife dan Tesoriero mengungkap paradox yang fundamental pada diri pekerja masyarakat, yaitu “semakin lebih terampil, berpengalaman dan efektif seorang pekerja masyarakat, maka semakin masyarakat tidak diberdayakan dalam proses pemberdayaan tersebut”. Hal ini terkait dengan dilema mengenai bagaimana berperan serta dalam sebuah proses pengembangan dan peningkatan kesadaran tanpa memaksakan nilai seseorang pada suatu masyarakat (Hal. 663-664). Kekuasaan (power) dan dominasi menjadi isu dalam hal ini. Pengembangan masyarakat bukanlah sesuatu yang bisa dicapai dengan cepat. Mustahil melaksanakan kerja masyarakat dalam waktu singkat. Setidakya ada dua isu disini, yaitu lamanya waktu komitmen dari pekerja masyarakat (khususnya pekerja masyarakat eksternal), dan terbatasnya orang atau organisasi yang mau membiayai atau mengelola berbagai program pengembangan masyarakat dalam jangka panjang (Hal. 669-671)

Setelah menganalisis sejumlah kelemahan atau keterbatasan yang ada pada pekerja masyarakat, Ife dan Tesoriero juga mengajukan karakteristik yang ‘harus’ ada pada pekerja masyarakat. Menurut mereka, para pekerja masyarakat dituntut untuk memiliki kompetensi praxis pengembangan masyarakat, yang dimaknai sebagai adanya kesatuan antara proses refleksi kritis, analisis dan tindakan yang dilakukan secara bersamaan (Hal. 554). Keterampilan yang penting ‘dimiliki’ pekerja masyarakat, yaitu: analisis, kesadaran, pengalaman, belajar dari orang lain, dan intuisi (Hal. 618-626). Selain itu, peran dan keterampilan memfasilitasi, mendidik, representasi, dan keterampilan teknis lain juga sangat diperlukan. Termasuk kemampuan mengatasi dilema moral dan mengembangkan jaringan pendukung dari berbagai pihak (Hal. 558-614, 673-674).

Penutup

Buku ini secara komprehensif telah menguraikan landasan pemikiran mengenai urgensi dari pengembangan masyarakat ditengah krisis global saat ini. Gagasan alternatif yang ditawarkan buku ini tidak hanya radikal dalam hal bagaimana model perubahan sosial dan pembangunan dijalankan, tapi juga  bagaimana model pengembangan masyarakat yang selama ini dikembangkan harus dirombak total mulai dari prinsip, pendekatan, model sampai dengan sikap dan keterampilan macam apa yang dibutuhkan untuk melaksanakan itu semua. Menurut saya, jika harus diberi label baru --untuk membedakan dengan pendekatan lama--, pendekatan dalam buku ini mungkin dapat disebut sebagai perspektif ‘baru’ pengembangan masyarakat atau ‘neo-community development’. Gagasan kedua penulis mungkin juga dapat dikaitkan dengan semangat perlawanan terhadap budaya dominan (counterculture) dan pembongkaran atas narasi-narasi besar yang diusung oleh modernisme (postmodernism) yang muncul dan berkembang di masyarakat Barat dalam beberapa dekade terakhir.

Gagasan buku ini dapat dianggap sebagai hipotesis ‘baru’ yang mungkin saja punya peluang untuk dapat diwujudkan menjadi kenyataan, dalam arti gagasan mereka dapat menginspirasi dan diadopsi oleh banyak komunitas dan/atau lembaga kemasyarakatan tertentu untuk melakukan pengembangan masyarakat sesuai atau setidaknya mendekati apa yang dicita-citakan kedua penulis tersebut. Namun ada sejumlah isu yang dalam pandangan saya menjadi titik kritis yang perlu dicermati. Salah satunya, kedua penulis kurang membahas dan tidak menyatakan dengan tegas tentang apa dan bagaimana peran negara (pemerintah) dalam pendekatan ‘neo-community development’ ini. Pengembangan masyarakat dapat menjadi alternatif solusi atas masalah-masalah sosial yang ada di masyarakat, seperti masalah kemiskinan, pengangguran, penanganan masalah narkoba, dll. Namun kemampuan komunitas untuk menangani masalah sosial, ekonomi dan politik yang lebih besar harus juga dipertanyakan. Padahal, dalam beberapa hal, pendekatan top-down yang hanya dapat dilakukan oleh institusi setingkat negara mungkin juga masih diperlukan. Kurangnya penjelasan dalam buku ini mungkin sepintas membuat gagasan kedua penulis tersebut menjadi mirip dengan gagasan komunalisme yang menganggap masyarakat terdiri dari bagian-bagian kecil, dimana negara hanyalah sekedar kumpulan dari komunal-komunal tersebut, atau anarkhisme yang memandang negara sebagai institusi yang tidak diinginkan, tidak diperlukan dan merusak.

Selain itu, gagasan Ife dan Tesoriero mungkin justru sulit diterima secara massif di negara-negara berkembang. Kedua penulis hidup di negara ‘Barat’ (mereka berasal dari Australia), yang sangat mungkin telah mengalami dan menyaksikan sendiri bagaimana gagasan negara kesejahteraan itu muncul, tumbuh dan belakangan ini mulai tampak meredup. Sehingga ketika konsep tersebut mulai berkurang daya tariknya, gagasan-gagasan alternatif menjadi logis untuk dimunculkan. Namun, bagaimana dengan negara-negara  yang bukan ‘penganut’ negara kesejahteraan? Dalam konteks negara yang ‘sedang berkembang’ macam Indonesia, dimana masalah-masalah sosial seperti  tingginya kemiskinan, pengangguran, eksklusi sosial dan rendahnya akses dan kualitas pemenuhan kebutuhan dasar masih dialami oleh sejumlah besar warga negara, gagasan negara kesejahteraan cenderung masih dianggap sebagai ‘model ideal’ sebuah negara yang peduli dan aktif melayani kebutuhan warga negaranya. Indikasinya, sejauh yang saya ketahui, dapat dijumpai di banyak analisis dan pendapat para ahli di berbagai media ilmiah maupun populer, atau bahkan di ruang-ruang kuliah ketika para dosen dengan bersemangat membandingkan antara pelayanan sosial yang ada Indonesia dengan negara yang menjalankan model negara kesejahteraan. Artinya, dalam kondisi demikian sangat mungkin kalangan intelektual akademis di Indonesia tidak akan menyambut gagasan Ife dan Tesoriero dengan antusiasme yang memadai.

Hal lain yang juga mungkin akan menyulitkan gagasan ini dapat dilaksanakan secara penuh adalah tingginya standar kompetensi yang diharapkan ada pada diri pekerja masyarakat. Tidaklah mudah untuk menjadi atau dapat menemukan orang-orang semacam ‘nabi komunitas’ yang memiliki kemauan, kekuatan moral, kepribadian, pemahaman ilmu-ilmu sosial, kepemimpinan, kemampuan manajerial, keterampilan dan dukungan sumber daya seperti yang diharapkan oleh buku tersebut. Sementara peran pekerja masyarakat (baik yang muncul dari dalam maupun dari luar komunitas) tampaknya memegang peran strategis, maka keterbatasan jumlah dan sebaran pekerja masyarakat tentunya akan mengurangi peluang keberhasilan upaya pengembangan masyarakat tadi secara luas, mengingat proses pengembangan masyarakat membutuhkan waktu yang tidak sebentar.

Meskipun demikian, menurut saya, buku ini memberikan kontribusi yang sangat penting dalam membangun visi tentang bagaimana masyarakat mampu memberdayakan dirinya sendiri tanpa tergantung pada bantuan dari aktor eksternal. Gagasan dalam buku ini juga dapat menjadi bahan refleksi seluruh pihak tentang bagaimana struktur, proses dan kultur masyarakat yang  berkelanjutan dan berkeadilan sosial. Gagasan mengenai pengembangan masyarakat dan pekerja masyarakat yang ‘ideal’ tidak harus dipandang sebagai sesuatu yang utopis semata. Jika model ‘ideal’ tadi dapat dijadikan sebagai indikator-indikator dalam mengukur ‘keberhasilan’ (dalam arti proses dan capaian) dari upaya pengembangan masyarakat dan kompetensi serta kinerja para pekerja masyarakat, maka tiap-tiap komunitas dan pekerja masyarakat dapat mengukur sendiri berada di level manakah mereka ada saat ini, dan hal-hal apa saja yang masih perlu diperbaiki lagi.


-----------------------------------
Judul          : Community Development:  Alternatif Pengembangan Masyarakat di Era Globalisasi, Edisi 3
Penulis       : Jim Ife dan Frank Tesoriero
Penerbit     : Pustaka Pelajar-Yogyakarta

Tahun        : 2008