Baca

Baca

Selasa, 15 Desember 2015

"Benedict Anderson: Cinta (dan) Mati (di) Indonesia"


Candra Kusuma


Sabtu malam tanggal 12 Desember 2015, Benedict Richard O’Gorman Anderson seorang Indonesianis terkenal asal AS meninggal dunia di Malang, Jawa Timur. Benedict Anderson, Ben Anderson, atau 'Om Ben’ bagi kalangan kolega dan teman-temannya di Indonesia, meninggal diduga karena serangan jantung pada usia 79 tahun. Jenazahnya dikremasi dan abunya disebar di Laut Jawa.

Saya sebagai orang biasa yang tidak kenal secara pribadi, tidak pernah bertemu secara langsung, dan hanya menjadi pembaca sebagian karya beliau, akan menyebutnya sebagai ‘Pak Ben’ saja.

Dari Irlandia, Tiongkok, ke Amerika

Pak Ben lahir tanggal 26 Agustus 1936 di Kunming-Tiongkok, dari pasangan Veronica Beatrice Mary Anderson dan James Carew O’Gorman Anderson. Waktu itu ayahnya bekerja sebagai petugas bea cukai kerajaan Inggris yang ditempatkan di Tiongkok.

Keluarga besar ibunya berasal dari Inggris, sementara keluarga ayahnya dari Irlandia. Dari Tiongkok, keluarganya tidak kembali menetap di Irlandia atau Inggris, namun malah berimigrasi ke Amerika Serikat pada tahun 1941 dan tinggal di California. Kehidupan multi-nasional dan multi-kultur tampaknya telah membentuk karakter anak-anak keluarga Anderson menjadi menghargai pentingnya budaya dan keberadaan negara-negara lain. Nantinya Pak Ben kerap berseloroh bahwa dirinya adalah semacam “orang buangan dengan loyalitas yang terbagi.” Selain itu, keterlibatan keluarga ayahnya dalam gerakan nasionalis Irlandia, bisa jadi juga turut mempengaruhinya untuk tertarik mendalami mengenai gerakan perjuangan kemerdekaan dan nasionalisme di Asia Tenggara dalam karier akademiknya.

Pak Ben kemudian meraih gelar BA dalam Classics (yang mempelajari budaya, bahasa dan filsafat) dari University of Cambridge-UK tahun 1957, dan Ph.D dari Cornell University pada tahun 1967 dengan disertasi berjudul The Pemuda Revolution: Indonesian Politics, 1945–1946. Selanjutnya Pak Ben mengajar di The Department of Government - Cornell University sejak tahun 1965 sampai pensiunnya tahun 2002. Pada tahun 1998, Pak Ben diangkat sebagai Aaron L. Binenkorb Professor Emeritus of International Studies, Government, and Asian Studies di Cornell University. Tahun 1994 Pak Ben menjadi anggota the American Academy of Arts and Science. Ben adalah saudara dari Perry Anderson, seorang ilmuwan sosial Marxis.

Kesadaran politik dan sikap anti-imperialisme Pak Ben baru terbentuk pada tahun 1957, justru setelah dia selesai kuliah dari Cambridge. Waktu itu terjadi krisis Suez dan terjadinya konflik dan perang sipil di Indonesia di mana CIA diduga terlibat, yang kemudian membangkitkan simpati sekaligus sentimennya sebagai orang yang pernah tinggal Asia. Ketika melanjutkan pendidikan doktornya, Pak Ben kemudian masuk ke The Interdisciplinary Indonesian Studies Programme - Cornell University (program studi interdisipliner kajian tentang Indonesia), yang menjadi awal dari keterlibatan seumur hidupnya dalam penelitian sejarah, politik dan budaya Indonesia. (lihat Wollman dan Spencer, dalam McClerry dan Brabon, 2007:3)

“Cornell Paper”

Menggauli Indonesia sejak tahun 1960-an, dapat terbayangkan kedekatan hati dan pikiran Pak Ben pada negeri ini. Karya monumental pertama Pak Ben, dan menjadi kontroversi bagi pemerintah Orde Baru di Indonesia, terkait dengan peristiwa G30S-1965. Pada tahun 1966, bersama Ruth T. McVey (dengan bantuan Frederick P. Bunnell), mereka menulis ‘Interim Report’ untuk The Cornell Modern Indonesia Project (CMIP) yang berjudul A Preliminary Analysis of the October 1, 1965, Coup in Indonesia. Laporan tersebut, yang kemudian populer sebagai “Cornell Paper,” menyimpulkan bahwa baik Partai Komunis Indonesia (PKI) maupun Presiden Soekarno bukanlah otak dan/atau pelaku dari peristiwa G30S, mereka justru harus dilihat sebagai korban. Kudeta tersebut dilakukan oleh internal angkatan bersenjata dengan mengeliminir sejumlah Jenderal yang dianggap telah bekerja sama dengan Amerika Serikat melalui CIA.

Laporan awal yang selesai pada tanggal 10 Januari 1966 ini, sedianya akan dilengkapi dengan data/informasi tambahan dan sekaligus tanggapan dari Pemerintah Indonesia. Upaya memperoleh informasi dan tanggapan tersebut dilakukan dengan bantuan seorang Indonesianis lain yang lebih senior, George McT. Kahin, yang punya banyak jaringan di lingkungan akademisi, militer dan pemerintah Indonesia kala itu. Sayangnya upaya tersebut gagal, hingga akhirnya Cornell menerbitkan laporan tersebut pada tahun 1971, tanpa ada bagian tanggapan dari pemerintah/militer Indonesia. Bahkan sebelumnya laporan tersebut “dibocorkan” pada tahun 1967 oleh seorang analis dari RAND Corporation yang dekat dengan pemerintah AS, hingga mendorong pemerintah Indonesia segera menyusun analisis tandingan yang menjadi versi resmi pemerintah/militer, yang dikomandani oleh sejarawan militer Nugroho Notosusanto. Sebagaimana umum diketahui, dalam versi resmi ini, PKI-lah yang menjadi dalang dan pelaku dari peristiwa G30S.

Pencekalan

Akibat “Cornel Paper” yang dianggap sebagai ancaman bagi stabilitas nasional, Orde Baru memasukkan nama Pak Ben dan Kahin dalam daftar hitam sebagai ilmuwan asing yang dicekal masuk ke Indonesia. Sambil tetap menulis tentang Indonesia, Pak Ben kemudian melebarkan kajiannya mengenai politik di negara-negara Asia Tenggara lainnya, terutama Philipina dan Thailand. Pak Ben kemudian banyak menulis tentang nasionalisme, perjuangan kemerdekaan, pembentukan bangsa dan negara, anarkisme, kolonialisme, bahasa, budaya, globalisasi, dll. Dalam berbagai buku dan makalahnya tersebut, jika tidak secara khusus menulis tentang Indonesia, Pak Ben tetap memasukkan analisisnya tentang politik di Indonesia, baik sebagai contoh kasus ataupun perbandingan.

Pak Kahin baru diberi izin datang ke Indonesia pada tahun 1991, sementara Pak Ben bahkan baru diperbolehkan berkunjung kembali ke Indonesia di tahun 1999, setelah Orde Baru ambruk. Kabarnya setelah diizinkan datang kembali ke Indonesia, Pak Ben hampir setahun dua kali tahun datang ke Indonesia, terutama untuk mengunjungi candi-candi di Jawa Timur yang amat disukainya.

Magnum Opus: “Imagined Societies…”

Pak Ben banyak menulis buku, diantaranya yang cukup dikenal yaitu: Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance, 1944-1946 (1972); Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism (1983, 2006); Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia (1990, 2006); The Spectre of Comparisons: Nationalism, Southeast Asia, and the World (1998); The Age of Globalization: Anarchists and the Anticolonial Imagination (2005, 2013); Under Three Flags: Anarchism and the Anti-Colonial Imagination (2005); dll.

Ada pula entah berapa banyak makalah yang pernah ditulisnya. Satu yang saya suka karena judulnya yang unik dan “jahil” yaitu sebuah makalah berjudul “Petrus Dadi Ratu”  (New Left Review3, May-Jun 2000). Pak Ben “memelesetkan” judul sebuah kisah perwayangan yaitu “Petruk Dadi Ratu,” yang menggambarkan bagaimana Petruk yang hanya merupakan orang biasa saja kemudian dapat menjadi raja. Dia menggunakan kata “Petrus” yang merupakan singkatan dari “Pembunuh Misterius,” yaitu operasi pembersihan ‘preman’ oleh pemerintah Orde Baru di awal tahun 1980-an, dengan cara dibunuh tanpa melalui pengadilan (extra-judicially assassinated). Dalam makalah tersebut, Pak Ben menyindir bagaimana seorang yang menjadi otak dari pembunuhan massal (1965, ‘Petrus’ dll.) kemudian dapat menjadi presiden dan berkuasa begitu lama di Indonesia.

Tanpa bermaksud mengecilkan tulisan-tulisan Pak Ben yang lain, Imagined Communities tampaknya menjadi karyanya yang paling fenomenal dan berpengaruh. Ketika Institute of Southeast Asian Studies dalam ulang tahun ke 40  tahun 2008 pernah menyusun daftar 14 buku paling berpengaruh dalam kajian Asia Tenggara, salah satu yang masuk dalam daftar tersebut adalah Imagined Communities karya Pak Ben (lihat Hui, 2009). Sebagai perbandingan, penulis lain yang juga masuk daftar tersebut adalah para raksasa dalam ilmu sosial, diantaranya J.S. Furnifall, Anthony Reid, Clifford Geertz, James C. Scott, George McTurnan dan W.F. Wertheim. Menurut Verso Publishing, sejak pertama kali diterbitkan tahun 1983, buku ini telah beberapakali dicetak ulang dan diterjemahkan dalam lebih dari dua lusin bahasa.

Buku ini kemudian segera menjadi karya klasik dalam kajian ilmu sosial dan politik, bahkan juga dalam kajian budaya dan sastra. Pada intinya buku tersebut membahas mengenai perkembangan nasionalisme di abad 18 dan 19 baik di Amerika maupun dunia. Dalam buku ini, mungkin dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan Classics-nya di University of Cambridge, Pak Ben juga menggunakan analisis peran budaya dan sastra dalam politik khususnya dalam membentuk rasa nasionalisme suatu bangsa.

Menurut Pak Ben, suatu bangsa pada dasarnya adalah merupakan sebuah imagined communities (‘komunitas imajiner’ atau ada pula yang mengartikannya sebagai ‘komunitas terbayangkan’) yang terbentuk karena adanya rasa persamaan dan persekutuan berupa “horizontal comradeship” (pertemanan horizontal) (h.7). Situasi tersebut dapat terjadi pada mereka yang meskipun mungkin belum kenal bahkan belum pernah bertemu namun memiliki rasa kolektivitas, atribut, sejarah, ciri-ciri, keyakinan dan sikap  yang sama. Di sisi lain, terjadi pula teritorialisasi agama dan penurunan ikatan kekerabatan. Menurut Pak Ben, bahasa sangat berperan dalam membentuk imagined communities ini karena dapat memberi effect particular solidarities (efek solidaritas tertentu) (h.133). Faktor lainnya, yang turut berperan diantaranya adalah karena adanya perubahan dalam birokrasi pemerintahan kolonial, yang kemudian mulai diisi oleh orang-orang dari negeri jajahan tersebut.

Dengan menggunakan pisau analisis dari teori Marxist mengenai nasionalisme, Pak Ben menyimpulkan bahwa nasionalisme itu dibangun dari penciptaan imagined communities melalui gerakan perlawanan terhadap kekuasaan absolut monarki, dan dengan mengimplementasikan sistem kapitalisme, yang perkembangannya didorong oleh tumbuhnya budaya cetak, yang disebutnya sebagai ‘print-capitalism’.

Dari buku itu saja terlihat betapa kaya perspektif yang ditawarkan oleh Pak Ben. Mungkin memang tidak mudah memasukkan Pak Ben dalam klasifikasi ilmuwan dalam disiplin ilmu tertentu. Latar belakang kehidupan pribadi, minat dan pendidikan akademis yang dijalaninya –program doktornya  pada The Interdisciplinary Indonesian Studies Programme, Cornell University--membuat Pak Ben menjadi ilmuwan lintas disiplin. Menurut Wollman dan Spencer (dalam McCleery dan Brabon, 2007:5), pembaca bukunya Pak Ben dapat saja menganggap beliau sebagai seorang antropolog, sejarawan, sarjana sastra serta (dan mungkin lebih dari) seorang ilmuwan politik. Karena itu pula barangkali Pak Ben dapat masuk dan diterima oleh berbagai kalangan baik aktivis, budayawan, mahasiswa maupun ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu.

Pesan Terakhir


Pak Ben datang ke Indonesia dalam rangka peluncuran bukunya yang berjudul “Di Bawah Tiga Bendera” pada hari Kamis tanggal 10 November 2015, dan sekaligus menjadi pembicara pada kuliah umum tentang “Anarkisme dan Nasionalisme” di Fakultas Ilmu Budaya – Universitas Indonesia, Depok. Buku tersebut adalah terjemahan dari Under Three Flags: Anarchism and the Anti-Colonial Imagination yang terbit tahun 2005. Kesediaan Pak Ben ini dianggap sangat istimewa, karena konon sebelumnya Pak Ben selalu menolak untuk diundang ke UI, karena menurutnya UI adalah loyalis Orde Baru.

Dalam wawancaranya dengan Majalah Loka setelah kuliah umum di UI tersebut, Pak Ben “mengeluhkan” bahwa generasi muda Indonesia sekarang sudah terlalu asik dengan dirinya sendiri. Pak Ben juga mengkritisi kecenderungan studi doktoral saat ini yang dominan tentang kajian Islam, dan minim tentang tema lainnya. Menurut Pak Ben ada kemalasan intelektual, kemiskinan kreativitas dan tidak adanya konsep baru tentang Indonesia ke depan seperti yang terjadi di dekade 1960-an.

Barangkali memang sudah takdirnya bahwa kuliah umum dan wawancara tersebut menjadi pesan terakhir Pak Ben sebelum meninggal dunia dua hari kemudian. Meskipun demikian, dalam suasana duka ini, tampaknya justru semakin terlihat jelas bahwa Pak Ben memang disukai dan banyak kawan di Indonesia. Umumnya mereka mengenang Pak Ben sebagai sosok yang bersahaja, ramah dan senang bercanda. Dari berbagai sumber di media massa dan media sosial, tergambarkan kesan para kolega, teman, atau orang yang pernah berinteraksi dengan beliau. Ada yang menganggap meskipun ‘jago nulis’ Pak Ben bukanlah pembicara yang asik karena gaya bicaranya yang monoton. Ada juga yang bilang bahwa meskipun sudah berusia lanjut, Pak Ben ini ‘kagak ada matinye’ karena masih terus beraktivitas mulai dari menulis biografi, menerjemahkan cerita pendek karya novelis Indonesia, dll. Ada juga yang mengajak untuk mengambil teladan dari sikap intelektualitas Pak Ben yang berani untuk menjelajahi wilayah dan isu yang baru, serta berani berbeda pendapat dan melawan arus dalam mencari kebenaran ilmiah.

Pak Ben memang sudah meninggal, tapi seperti sebuah ungkapan Yunani “verba volant, scripta manent,” bahwa kata-kata bisa hilang tertiup angin, namun tulisan akan “abadi.” Tariq Ali dari Verso Publishing menyebutkan bahwa segera dalam beberapa waktu ke depan pihaknya akan menerbitkan memoir/biografi Pak Ben yang telah selesai disusunnya berjudul “A Life Beyond Boundaries,” yang untuk pertama kali akan dipublikasikan di Jepang. Memoir ini bersama semua karya yang pernah ditulisnya akan membuat pemikiran Pak Ben menjadi “abadi” bagi semua murid dan pembaca karyanya.

Selamat datang di “keabadian” Pak Ben…

----------
Sumber: