Baca

Baca

Kamis, 28 Mei 2015

"John Nash: Antara Beautiful Mind dan Brilliant Madness"


Candra Kusuma

Jika bukan karena film A Beautiful Mind yang dirilis tahun 2001 lalu, rasanya kecil kemungkinan saya –dan banyak orang awam lainnya-- akan mengenal nama John Nash. Maklum saja, nama Nash rasanya tidak pernah disebut-sebut dalam buku pelajaran di sekolah. Meskipun mungkin memang jenius, Nash bukan ilmuwan terkenal penemu teleskop, telepon, bola lampu, atau bom atom.

Dalam film tersebut, digambarkan bagaimana sosok John Forbes Nash Jr. (yang diperankan oleh Russel Crowe) sebagai seorang matematikawan asal AS yang sepanjang hidupnya bergulat dengan rumus-rumus matematika, kekacauan relasi sosial, dan schizophrenia yang dideritanya semenjak muda. Mengharukan dan menggugah, barangkali itulah kesan umum dari film ini. Rasanya menjadi layak saja ketika film ini kemudian memperoleh empat penghargaan Academy Awards tahun 2002 untuk kategori  Best Picture, Best Director, Best Supporting Actress,  dan Best Screenplay.

Saya merasa cukup beruntung dapat membaca cepat buku yang kemudian diadaptasi menjadi film tersebut. Buku yang saya maksud adalah A Beautiful Mind: A Biography of John Forbes Nash, Jr. yang disusun Sylvia Nasar dan diterbitkan tahun 1998. Rentang waktu yang terbilang sangat singkat dari mulai dirilisnya buku tersebut hingga menjadi film layar lebar memberikan gambaran seberapa besar tanggapan publik atas kisah hidup seorang ilmuwan yang bisa dibilang umumnya hanya dikenal oleh kalangan tertentu saja. Tak menunggu terlalu lama, buku tersebut juga kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan judul A Beautiful Mind - Kisah Hidup Seorang Genius Penderita Sakit Jiwa yang Meraih Hadiah Nobel, yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2005.

Dalam buku tersebut, Nasar menggambarkan perjalanan hidup Nash yang dikisahkannya secara runtut sejak lahir tahun 1928, masa kecil/remaja, kuliah di Carnegie Institute of Technology, melanjutkan pasca-sarjana di Princeton, menulis paper yang kemudian menjadi disertasi tentang “non-cooperative game”pada tahun 1950, bekerja di RAND Corporation (lembaga global policy think tank yang dekat dengan Departemen Pertahanan AS), sampai dengan memperoleh Nobel untuk bidang Ekonomi pada tahun 1994.

Game Theory dan paranoid schizophrenic

Nash Jr. adalah anak pertama dari pasangan John Nash Sr. dan Margaret Virginia Martin, yang lahir pada tanggal 13 Juni 1928 di Bluefield, West Virginia. Orangtuanya menikah tahun 1924. Ayahnya adalah seorang ahli listrik di Appalachian Electric Power Company, dan juga merupakan veteran Perang Dunia 1.  Sementara ibunya adalah lulusan West Virginia University  dan pernah bekerja sebagai guru Bahasa Inggris dan Latin di sekolah setempat.  Nash Jr. memiliki seorang adik perempuan, Martha Nash Legg, yang lahir pada tahun 1930.

Nash kecil gemar mempelajari dan melakukan percobaan yang berhubungan dengan listrik dan kimia. Tidak aneh jika ketika kuliah di Carnegie Tech. – Pittsburgh, Nash mengambil jurusan teknik kimia. Semasa di Carnegie ini, Nash memperoleh beasiswa penuh dari  the George Westinghouse Scholarship. Namun ternyata itu hanya bertahan satu semester saja.  Nash merasa tidak betah, dan kemudian memilih untuk pindah ke jurusan kimia (murni). Namun lagi-lagi dia merasa tidak kerasan, karena baginya lebih penting menjadi orang yang mampu berpikir, mempelajari dan memahami fakta-fakta dan tidak semata hanya keahlian menggunakan pipet di labolatorium. Nash akhirnya pindah lagi ke jurusan matematika, dan memperoleh gelar sarjana dan master disana. Selama di Carnegie, Nash juga mengikuti kursus "International Economics." Dari situ Nash menulis paper berjudul "The Bargaining Problem" (yang kemudian dipublikasikan di jurnal Econometrical).

Nash kemudian  melanjutkan kuliah pascasarjana di Universitas Princeton, yang selain karena bujukan Prof. Albert William Tucker (saat itu adalah kepala Departemen Matematika di Princeton), juga secara geografis lokasinya dekat dengan Bluefield. Ketika memberikan rekomendasi ke Princeton, R. L. Duffin –profesor di Carnegie Tech-- mempromosikan Nash –yang saat itu baru berusia 20 tahun-- sebagai sosok yang genius (Siegfried, 1951: 51). Pada saat itu pula Nash tertarik dengan Game Theory Studies yang digagas oleh John von Neumann  dan Oskar Morgenstern. Keduanya berjasa mengembangkan analisis game theory dan hubungannya dengan economic behavior. Di tempat ini Nash belajar banyak tentang matematika dan aljabar, dan berhasil menulis paper “Non-Cooperative Games" yang kemudian dikembangkannya menjadi disertasi Ph.D-nya.

Teori Nash --populer sebagai “Nash-Equilibrium”— dikemudian hari dianggap berjasa merevolusi  teori ekonomi, dan 40 tahun kemudian memberinya penghargaan The Sveriges Riksbank Prize in Economic Sciences in Memory of Alfred Nobel (Nobel bidang ekonomi) tahun 1994 bersama dua pakar lain, yaitu John C. Harsanyi dan Reinhard Selten. Pada intinya, Nash-Equilibrium merupakan konsep solusi dari permainan non-kooperatif (non-cooperative game) yang melibatkan lebih dari dua pihak, di mana setiap pihak diasumsikan mengetahui strategi keseimbangan (equilibrium strategies) pihak lain, dan tidak ada pihak yang memiliki keuntungan hanya dengan mengubah strateginya sendiri.

Lulus dari Princeton, Nash sempat mengajar di almamaternya tersebut selama sekitar satu tahun. Pada tahun 1951, Nash memutuskan “pindah” ke Massachusetts Institute of Technology (M.I.T.) untuk menjadi "C.L.E. Moore Instructor," semata karena honornya lebih tinggi di sana. Di M.I.T. ini Nash berhasil menulis paper “Real Algebraic Manifolds.” Nash bekerja di M.I.T. sampai dengan tahun 1959. Namun pada 1956-1957, dia berhasil memperoleh hibah dari Alfred P. Sloan, dan menjadi anggota dari the Institute for Advanced Study in Princeton. Selama periode ini Nash Jr. banyak meneliti tentang geometri diferensial, teori relativitas umum, Euclidean, elliptic equations, dll.

Nash bertemu dengan Alicia Larde –kelahiran El Salvador-- di M.I.T. Alicia sudah lulus dari jurusan fisika di kampus tersebut, dan saat itu bekerja di New York. Mereka menikah ketika Nash sedang cuti akademik 1956-1957. Tak lama setelah menikah, Nash mengalami masalah dengan kesehatan jiwanya. Dalam biografi singkatnya untuk Panitia Nobel (1994), Nash Jr. mengakui dirinya mengalami: “…the delusional thinking characteristic of persons who are psychiatrically diagnosed as "schizophrenic" or "paranoid schizophrenic".” Saat itu tahun 1959, ketika Alicia tengah mengandung anak pertama mereka, Nash justru terpaksa mengundurkan diri dari M.I.T. dan menjalani pengobatan di McLean Hospital dengan insulin shock therapy, ditambah upaya menenangkan diri di Eropa selama beberapa waktu. Selanjutnya Nash secara sengaja menjalani pengobatan di New Jersey.

Setelah cukup membaik, Nash kembali menekuni penelitian matematika. Dia terlibat dalam beberapa penelitian: "Le Probleme de Cauchy pour les E'quations Differentielles d'un Fluide Generale"; "The Nash blowing-up transformation"; "Arc Structure of Singularities"; dan "Analyticity of Solutions of Implicit Function Problems with Analytic Data." Pada dekade 1960-an, Nash menyebut dirinya “became a person of delusionally influenced thinking but of relatively moderate behavior,” sehingga tidak harus dirawat inap dan dibawah pengawasan psikiater.

Terkait dengan aktivitas dan kedekatannya dengan RAND, pada sekitar pertengahan dekade 1950-an, Nash juga bekerja di Pentagon. Dapat dikatakan dia mengikuti jejak sejumlah matematikawan Princeton sebelumnya yang juga terlibat dalam berbagai proyek rahasia intelejen dan Departemen Perhanan AS. Nash dengan kepiawaiannya dalam matematika membantu Pentagon membuat mesin pemecah kode rahasia, dalam konteks ketegangan politik dan militer era Perang Dingin antara AS-Blok Barat dan Soviet-Blok Timur.

Sebagian korespondensi John Nash dengan NSA dalam proyek mesin pemecah kode

Di kalangan kolega dan mahasiswanya, Nash dianggap sebagai sosok “hantu.” Mereka menyebutnya sebagai Phantom of Fine Hall, gedung tempatnya terus-menerus mempelajari dan menulis tentang beragam topik dari berbagai disiplin ilmu berbeda: logika, game theory, kosmologi, grafitasi, dll. (Halber, 2002).  Mereka mengingat Nash sebagai orang tua yang berpakaian aneh, senang berjalan membisu di lorong-lorong kampus, sering bergumam sendiri, bertahun-tahun menulis pesan misterius di papan tulis, dll. Namun Nash juga dianggap sosok yang cemerlang, di mana namanya muncul dimana-mana di berbagai jurnal dan buku teks ekonomi, artikel tentang biologi evolusioner, risalah ilmu politik, dan jurnal matematika (Nasar, 1998).

Namun, baru pada tahun 1995 Nash secara penuh bergabung dengan dengan Departemen Matematika di Princeton sebagai Senior Research Mathematician. Meskipun terbilang uzur, Nash secara rutin selalu hadir di Princeton.

Bagi kalangan ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu, kontribusi Nash memang tidak terbantahkan. Roger Myerson (dalam “Nash Equilibrium and the History of Economic Theory,” 1999) memuji kontribusi Nash, yang tidak saja penting bagi disiplin matematika namun juga dapat diaplikasikan dalam berbagai ilmu sosial lainnya: “Nash membawa ilmu sosial ke dalam dunia baru di mana struktur analisis terpadu dapat ditemukan untuk mempelajari semua situasi konflik dan kerjasama. Teori Non-cooperative Games yang digagas Nash telah berkembang menjadi kalkulus praktis insentif yang dapat membantu kita untuk lebih memahami masalah konflik dan kerjasama di hampir semua institusi sosial, politik, atau ekonomi.” (Siegfried, 2006:52)

Antara buku dan film

Seperti biasa terjadi, ketika kisah dalam buku kemudian difilmkan –dan sebaliknya--, terbuka peluang adanya perbedaan, penyederhanaan, dramatisasi, dll.

Siegfried (2006:54) mengkritik buku A Beautiful Mind karya Nasar, yang dipandangnya hanya menawarkan wawasan yang terbatas mengenai upaya dan capaian Nash dalam kajian matematika, khususnya bagaimana kontribusinya terhadap bidang ilmu lainnya, yang belakangan semakin terlihat menonjol. Lebih buruk lagi, matematika yang digambarkan dalam versi film A Beautiful Mind  cenderung kacau dan sama sekali tidak mirip dengan apa yang sebenarnya dilakukan Nash dalam kehidupan nyatanya. Sylvia Nasar, baik buku maupun di film-nya kemudian tampaknya memang lebih banyak mengungkapkan masalah pribadi Nash. Gambaran Nasar tentang Nash memang tidak terlalu banyak menyanjung. Di mata Nasar, Nash adalah sosok yang brilian, namun juga sekaligus self-centered, arogan, tidak peduli, dan tidak sungguh-sungguh sadar dengan situasi sekitarnya.

Sementara Suellentrop (2001) menyayangkan banyaknya sisi persona Nash yang muncul dalam buku Nasar, namun hilang dalam versi film-nya. Bisa jadi, pertimbangan akan selera pasar menjadi penyebab utamanya, sehingga beberapa “sisi gelap” Nash memang sengaja tidak dimunculkan: kecenderungannya akan homoseksualitas; pengabaian anak hasil hubungan diluar nikah dengan Eleanor Stier; perceraiannya dengan Alicia Larde pada tahun 1962 (meskipun kemudian rujuk kembali pada tahun 1970, dan menikah ulang tahun 2001). Dramatisasi paling besar pada film tersebut adalah penggambaran pidato Nash pada saat penyerahan hadiah Nobel tahun 1994, karena pada kenyataannya Nash sama sekali tidak menyampaikan pidato tersebut karena “ketidakstabilannya,” dan hanya menyampaikan pidato penerimaan dalam sebuah perayaan kecil di Princeton saja.

Dramatisasi  lain yang juga agak berlebihan adalah di film digambarkan bahwa Nash sempat bekerja di salah satu lembaga penelitian bergengsi di M.I.T, yaitu Wheeler Defense Lab. Padahal menurut Profesor Isadore M. Singer yang menjadi pengajar senior di sana, tidak ada nama lembaga itu di kampus tersebut (Halber, 2002).

Film Dokumenter "A Brilliant Madness" tahun 2002

Selain itu, mungkin juga tidak banyak yang tahu, bahwa bukan hanya dalam A Beautiful Mind, kisah hidup Nash juga diangkat menjadi film bio-dokumenter dengan judul A Brilliant Madness: The Story of Nobel Prize Winning Mathematician John Nash pada tahun 2002. Film ini merupakan bagian dari serial tv The American Experience diproduksi oleh WGBH Educational Foundation-USA dan ditayangkan pada tahun 1988. Hal menarik dari A Brilliant Madness adalah ketika digambarkan bagaimana Nash mengaku bahwa dirinya dapat berkomunikasi dengan alien, dan menjadi special messenger bagi mereka. “Suara-suara” itulah yang kemudian membuatnya didiagnosa mengalami delusi dan paranoid schizophrenia  (lihat http://www.pbs.org/wgbh/amex/nash/filmmore/index.html  dan http://www.imdb.com/title/tt0319109/)

Akhir perjalanan Nash

Nash dan istrinya Alicia meninggal dunia secara tragis dalam kecelakaan taksi di New Jersey pada tanggal 23 Mei 2015 lalu. Saat itu mereka berusia 86 dan 82 tahun. 

Dari cerita di atas, setidaknya tergambarkan betapa penuh warna kehidupan Nash, sebagai ilmuwan genius, penderita paranoid schizophrenic, agen Pentagon, dan penerima Nobel Ekonomi. Dia juga menjadi apa yang disebut Cassidy (2015) sebagai “intellectual celebrity,” setidaknya karena memang sudah ada dua film tentang kehidupan pribadi dan intelektualnya. Memang tidak sama, tapi jika dikontekskan dengan sosok ilmuwan yang menjadi intellectual celebrity di Indonesia, barangkali hanya Habibie yang agak mendekati. Setidaknya karena –rasanya-- baru kehidupan Habibie sebagai ilmuwan-birokrat saja yang sudah difilmkan disini.

Sebagai penutup saya ingin mengutip salah satu bagian dalam script dialog pada salah satu scene –yang sayangnya konon justru tidak jadi dimunculkan-- di film A Beautiful Mind. Di bagian akhir film tersebut dikisahkan bagaimana Nash pada akhirnya menyadari bahwa lebih penting memiliki hati yang baik daripada sekedar pikiran yang cerdas: “Perhaps it is good to have a beautiful mind, but an even greater is to discover a beautiful heart.”

Saya pikir, mungkin karena memang penting disadari, bahwa bahkan ilmuwan yang paling genius dan berjasa bagi kehidupan, orang yang paling alim dan rajin beribadah, laki-laki dan perempuan yang rupawan namun rendah hati, mereka yang kaya dan dermawan, ataupun pemimpin yang adil sekalipun, semua memiliki sisi gelapnya sendiri-sendiri. “Every hero has a dark side…” Tinggal bagaimana caranya agar kebaikan pribadilah yang lebih besar, dan pada akhirnya yang ingin dikenang oleh orang lain hanyalah yang baik dan indahnya saja. Mungkin…?

-----
Sumber: