Baca

Baca

Rabu, 26 Maret 2014

“Kampanye: Pilih yang Hitam, Negatif, Kotor, Ilegal, atau...?”



Kampanye Negatif ?

Oleh: Candra

Buku ini berjudul “Going Dirty: The Art of Negative Campaining” yang ditulis pada tahun 2009 oleh David Mark, seorang jurnalis, penulis dan analis politik yang menjadi editor “Politix” yaitu sebuah situs forum politik di Palo Alto, California. “Going Dirty” menggambarkan sejarah mengenai “kampanye negatif” dalam politik di Amerika, terutama mengenai bagaimana para kandidat dan konsultan politik mereka merancang dan memainkan teknik-teknik kampanye yang kontroversial.

Apa itu negative campaining?
Mark memaknai “negative campaining” sebagai tindakan seorang kandidat untuk dapat memenangkan Pemilu dengan cara menyerang lawan dibandingkan menekankan sisi positif lawan ataupun kebijakannya. Menurut Mark, strategi  kampanye negatif mulai diperkenalkan dan berkembang sejak era televisi di Amerika. Beberapa contoh dari bentuk kampanye negatif, yaitu:
-    Membuat iklan di televisi atau media massa lain yang menceritakan kisah yang merusak mengenai lawan politik secara berulang-ulang;
-    Menyebarkan dan terus mempertajam kejanggalan yang ada pada lawan politik, baik secara verbal maupun fisik ;
-    Membuat iklan humor yang menyindir atau mentertawakan kelemahan atau kegagalan lawan politik;
-    Dll.

Ada perbedaan antara strategi kampanye negatif dengan trik kotor dan taktik kampanye illegal bentuknya sangat beragam, seperti: menyadap atau mencuri data/informasi secara langsung (seperti kasus Watergate yang menjatuhkan Nixon); mempengaruhi, menekan atau memaksa pemilih; mempengaruhi proses dan hasil pemungutan suara; dll.

Dalam buku ini Mark banyak sekali memberikan contoh dari bentuk kampanye negatif sejak tahun 1960-an sampai dengan pemilihan presiden AS tahun 2008. Sebagian besar contoh yang diberikan Mark adalah mengenai teknik iklan negatif di televisi yang memojokkan kandidat lawan daan efeknya terhadap hasil polling dan perolehan suara. Salah satunya sbb.: Pada Pemilu di AS tahun 2006, strategi Partai Republik yang mengangkat isu mengenai ancaman teroris direspon dingin oleh publik. Sementara Partai Demokrat berhasil mengeksploitasi perilaku tidak pantas dari seorang mantan anggota Konggres dari Republik. Pada akhirnya terbukti bahwa teknik kampanye negatif oleh Demokrat dan kondisi internal Republik yang tengah tidak kondusif berhasil mendongkrak perolehan suara Demokrat hingga berhasil memperoleh kursi mayoritas di Kongres dan Gubernur negara bagian setelah belasan tahun selalu didominasi oleh Republik (p.243-244). Intinya, dalam iklan politik paling efektif jika dapat menggambarkan secara langsung kelemahan atau kegagalan lawan politik: “Actors in negative ads are great, but actual footage of an opponent stumbling is political gold.” (p.247).

Seberapa efektifkah?
Menurut Mark, hasil penelitian akademik memberikan kesimpulan yang berbeda mengenai efektivitas kampanye negatif dan sikap pemilih terhadap praktek tersebut. Pemilih sering mengutuk model kampanye negatif. Bahkan di AS, 82% pemilih menyatakan mereka percaya bahwa “serangan kampanye negatif merongrong dan merusak demokrasi,” dan mayoritas percaya bahwa praktik yang tidak etis dalam kampanye terjadi “sangat” atau “cukup” sering (58%) (berdasar survei November 1999 oleh Lake Snell Perry & Associates untuk Pew Charitable Trusts dan The Institute for Global Ethics, serta survei September 2000 yang dilakukan oleh Yankelovich Partners, untuk The Center for Congressional and Presidential Studies.

Namun Mark juga menunjukkan hasil studi lainnya yang menunjukkan bahwa dengan adanya kampanye negatif membantu calon pemilih untuk mengetahui perbedaan antara kandidat. Contohnya, hasil studi oleh The Pew Research Center for the People and the Press pada bulan November 2004 mengenai sikap pemilih terhadap Bush dan Kerry (yang pertarungannya dianggap salah satu yang terburuk di AS), sebanyak 86% responden (calon pemilih) menyatakan bahwa “mereka memperoleh informasi cukup banyak tentang profil kandidat dan isu-isu yang mereka tawarkan.” Di sisi lain, 72% responden studi tersebut menyatakan bahwa mereka melihat adanya kampanye negatif yang lebih banyak dibanding pada kampanye presiden sebelumnya.

Selain itu, Mark juga menunjukkan bahwa meskipun banyak yang mengutuk model kampanye negatif, tetapi para calon pemilih tersebut mengaku juga mengapresiasi ditayangkannya isu-isu dan kepribadian para kandidat dalam kampanye. Dengan kata lain, tidak semua calon pemilih menganggap kampanye negatif itu tidak informasif atau bahkan berguna sama sekali. Mark juga menyebutkan bahwa hasil studi dalam pemilihan Gubernur di California menemukan bahwa dampak dari adanya kampanye negatif adalah semakin banyak calon pemilih yang tahu dan peduli dengan proses politik.

Terlebih, hasil studi yang komprehensif pada tahun 2004 mengenai pemilihan Senat AS tahun 1992-2002 menyatakan, bahwa dari berbagai literatur dan hasil studi mengenai kampanye negatif sebelumnya, tidak ada yang secara jelas dapat memberikan bukti bahwa teknik tersebut tidak efektif dan dianggap dapat merusak system politik. Terlebih, kampanye negatif umumnya tidak mengurangi jumlah pemilih, dan bila dikaitkan dengan biaya kampanye, teknik tersebut justru dapat meningkatkan jumlah pemilih. Ibarat acara infotainment gosip artis di televisi: Gosip = Makin digosok makin siip... katanya...

Bagaimana di Indonesia?
Perdebatan tentang negative campaign sudah lama terjadi, setidaknya pada saat pembahasan RUU Pemilu dan RUU Pilpres pada tahun 2007 lalu. Muhammad Qodari (Direktur Ekskutif Indo Barometer) berpendapat bahwa harus dibedakan antara negative campaign dan black campaign (kampanye hitam). Menurutnya, kampanye negatif tidak sembarangan, namun didasarkan pada fakta, sedangkan kampanye hitam tidak didasarkan pada fakta. Seorang kandidat dapat saja menuduh lawan politiknya melakukan korupsi, asalkan tuduhan tersebut berbasis fakta yang jelas. Contohnya kampanye negatif adalah kampanye untuk tidak memilih politisi busuk pada Pemilu 2004 lalu.

Secara prinsip kampanye negatif merupakan keniscayaan dalam berpolitik, karena setiap kandidat akan melakukan dua hal utama, yaitu menonjolkan hal-hal yang baik terkait dirinya, dan sebaliknya menonjolkan hal negatif dari lawan politiknya. Kampanye negatif bermanfaat memberikan informasi yang memadai mengenai track record kandidat, menilai mereka dan selanjutnya memutuskan siapa yang akan dipilih atau tidak dipilih. Dalam hal ini Qodari menyayangkan karena dalam tidak adanya pembedaan antara kedua jenis kampanye tersebut, di mana dalam RUU ada upaya untuk menghalangi black campaign, namun justru juga dapat mematikan negative campaign.

Jadi?
Dari dua sumber itu saja terlihat bahwa strategi dan teknik kampanye ternyata sangat beragam: ada yang positif, hitam, negatif, trik kotor, illegal. Tiap kandidat dan tim sukses sangat mungkin mengkombinasikan beberapa strategi dan teknik kampanye sekaligus.  

Terkait dengan kondisi aktual menjelang Pileg dan Pilpres tahun 2014 ini, marak sekali iklan politik dan berita di media massa maupun sosial media. Ada yang muatannya memuji-muji diri sendiri, mencitrakan sesuatu, menjanjikan sesuatu, mengkritik, menyindir, menuduh, membantah, menuding, menjelekkan, mengaburkan, mengalihkan, dll.   

Sejauhmana batasan agar kampanye negatif tidak tergelincir menjadi  kampanye hitam, kayaknya ya disitulah pinter-pinternya kandidat, partai, konsultan dan tim suksesnya…  Juga pinter-pinternya Bawaslu dan kawan-kawannya tentu saja…

Masing-masing strategi dan teknik tentu ada resikonya, bisa menarik simpati calon pemilih…  atau malah blunder dan bahkan dikecam dan ditinggalkan para calon pemilihnya nantinya ya…

Jadi baiknya memang nggak perlu gampang sewot kalau partai atau calon presiden yang anda gandrungi diiklankan atau diberitakan negatif oleh lawan-lawan politiknya… Namanya juga usaha…  Capres juga manusia… Kalau memang ada kampanye hitam ya tinggal lapor aja ke Bawaslu…

Apalagi dalam politik di Indonesia, politisi yang “berhasil mencitrakan diri sebagai korban”  seringkali justru malah dapat menuai banyak simpati dan suara, bukan?  he…he…


DISCLAIMER:  Model kampanye ini tidak dianjurkan buat yang masih menganggap bahwa ngomongin atau menyebarluaskan kekurangan dan kesalahan orang lain --apalagi sampai mengumpat dan cenderung fitnah-- sebagai dosa ya…  he..he..
-----------------------
Sumber:
-   David Mark. Going Dirty: The Art of Negative Campaigning. Updated Edition. Rowman & Littlefield Publishers, Inc. 2009.

Selasa, 25 Maret 2014

“Calon pemilih macam apa saya ini?!”



Rasional, ‘Die Hard’, ‘Easy Going’ atau Intuitif?

Oleh: Candra

Cara orang mengambil keputusan, dalam memilih Caleg atau pasangan Capres misalnya, pasti beda-beda. Faktor ekonomi, pendidikan, lingkungan, akses media, tingkat interaksi dan penilaian atas pengalaman berinteraksi dengan partai politik atau kandidat tertentu kemungkinan akan mempengaruhi juga. Ini ada salah satu contoh mengenai model-model pengambilan keputusan oleh pemilih dalam Pemilu.  

“Jangan terlalu percaya. Namanya juga teori. Boleh juga kok bikin teori sendiri nanti…  he..he..”

Model  I: Pilihan rasional
Calon pemilih (voter) yang "​​rasional" dan  sejalan teori ekonomi  dari von Newman dan Morgenstern (1947) dan Arrow (1951). Mencari tahu apa “konsekuensi” (untung rugi) buat dirinya (self interest, yaitu keuntungan jangka pendek yang terukur  untuk diri dan/atau keluarga dekatnya) jika memilih kandidat tertentu. Karena itu calon pemilih berupaya mencari informasi sebanyak mungkin mengenai kandiddat dari berbagai sumber dan dengan berbagai cara. Sederhananya, pemilih ini cenderung membuat “ranking” yang bersifat restrospective (misalnya track record kandidat) maupun prospective (misalnya isu atau program yang diusung) dari kandidat-kandidat yang masuk dalam kategorinya, dan menilai kandidat mana yang baik secara langsung ataupun tidak langsung dapat menguntungkannya.

Ada pula sub-model yang lebih “soft” dari contoh yang “super rasional” tadi. Calon pemilih ini juga cenderung berpikir rasional, dan mencoba melakukan kalkulasi serta mencari informasi mengenai kandidat. Namun calon pemilih ini tidak sengotot contoh pertama tadi. Calon pemilih ini akan senang jika dapat memperoleh informasi tersebut, namun jika upaya untuk memperoleh dan “mengolah” informasi tersebut dipandang terlalu menyita waktu dan merepotkan, maka dia cenderung mengerjakan hal lain yang menurutnya lebih produktif. Calon pemilih ini juga percaya bahwa pada dasarnya tidak aka nada banyak perbedaan atau manfaat bagi dirinya jika memilih parati atau kandidat yang ada. Karena itu biasanya calon pemilih sub-model ini hanya akan fokus mempertimbangkan pada kandidat-kandidat utama saja. Sub-model ini dapat disebut pemilih rasional dengan konstrain atau syarat tertentu (Gigerenzer dan Todd, 1999).

--> “Ada orang yang betul-betul mencermati kandidat dan partainya dengan niat mencari calon mana yang bisa memberikan terbaik buat banyak orang…. Tapi  kalau calon pemilih yang mau atau bahkan minta dikasih uang dari Caleg dan Capres atau tim suksesnya termasuk yang rasional apa nggak ya?”

Model  II: Sosialisasi awal dan konsistensi kognitif
Calon pemilih ini pada dasarnya seperti warga kebanyakan yang hanya sedikit tahu dan kurang peduli dengan persoalan politik. Namun model ini adalah pendukung/pemilih pertama dan utama dari partainya. Calon pemilih ini memiliki “sejarah yang panjang” dengan partai tertentu, sehingga sangat mempengaruhi cara pandangnya dalam menilai karakter personal, isu yang diangkat dan kinerja/performance dari kandidat-kandidat yang ada.  Karenanya, identifikasi diri (party id) dari calon pemilih  model ini dengan partai tertentu ini sulit dikatakan bersifat rasional, namun lebih menyerupai sesuatu yang “given” seperti ras, gender, kelas atau agama.

Berbeda dengan Model I di mana orientasi utama calon pemilih adalah keuntungan/kepentingannya sendiri, pada Model II ini yang memberi pengaruh paling kuat adalah identifikasi sosial awal (early-learned social identifications) yang cenderung diterima dan tanpa pertimbangan alternantif. Artinya, proses identifikasi  ini berkembangkan karena pengkondisian sederhana, dan buka didasarkan oleh kalkulasi self-interest (Sears, 1975; Sears & Funk, 1991).

Karena partai-partai  pada dasarnya tetap (ini kasus di Inggris atau Amerika lho…) maka umumnya dipandang tidak penting untuk terus menerus melakukan monitoring terhadap aktivitas partai. Akibatnya, paparan informasi politik umumnya terjadi secara serampangan dan tidak disengaja, sehingga sebagian besar warga hanya mengetahui masalah-masalah umum yang diliput oleh media massa. Selain itu, persepsi mengenai informasi politik yang diterima juga cenderung bias karena kuatnya perspektif yang sudah terbangun sebelumnya, sehinggai calon pemilih cenderung untuk mempertahankan keyakinan mereka sebelumnya. Singkatnya, calon pemilih model ini cenderung menolak perubahan atau gagasan baru, dan mengambil  sebagian besar keputusan atas dasar pengetahuan dan keyakinan mereka sebelumnya.

Selain itu, persepsi pemilih tersebu tterhadap informasi politik sering bias oleh kecenderungan untuk mempertahankan apa yang sudah mereka ketahui sebelumnya. Dengan kata lain, pemilih cenderung memilih berdasarkan pada keyakinan mereka sebelumnya (cognitive consistency).

--> “Nah, kalau ada calon pemilih yang ‘cinte mati’ sama satu calon atau partai , dan bener atau salah dukung itu calon atau partai, kayaknya termasuk model ini nih…”

Model  III: Pengambil keputusan yang cepat
Tidak semua calon pemilih memiliki waktu yang cukup untuk urusan politik. Pertimbangan utama dari calon pemilih model ini adalah didasarkan pada self-interest dan pertimbangan waktu dan biaya yang dibutuhkan untuk mengumpulkan informasi. Namun ada juga yang lebih mempertimbangkan waktu dan biaya yang dibutuhkan untuk “mengolah informasi” dan bukan saat mengumpulkannya. Model calon pemilih ini disebut “single issue voters.”

Model ini juga disebut calon pemilih yang berkutat di isu-isu “mudah” (Carmines & Stimson, 1980), yang dicirikan sebagai isu lama dalam agenda politik, isu yang sebagian besar bersifat simbolik daripada teknis, dan berurusan dengan capaian kebijakan dibandingkan cara mewujudkan kebijakan tersebut. Istilah tersebut digunakan untuk membedakan dengan tipe pemilih yang masuk dalam isu-isu “keras” yang dicirikan pada isu-isu yang bersifat detail ataupun mempermasalahkan cara mencapai tujuan.

Calon pemilih yang termasuk mode ini hanya memilih atau mengambil keputusan hanya berdasar pada isu besar atau informasi yang mereka temukan, dan mengabaikan yang lain. Pertimbangan cepat,  dan hanya fokus mengenai satu atau dua konsekuensi positif atau negatif dari pilihan yang ada. Prinsipnya efisien dan simple.

--> “Kalau calon pemilih model begini ya yang ‘easy going’ aja…  Siapa aja Presiden-nya juga nggak terlalu ngaruh kok… Gitu aja kok repot!”

Model 4: Rasionalitas dan pengambilan keputusan intuitif
Calon pemilih model ini mengambil keputusan berdasarkan informasi yang sangat sedikit yang diperoleh selama masa kampanye. Namun motivasinya cenderung berbeda dibandingkan model pemilih lainnya, Karen tidak didasarkan oleh pertimbangan rasional yang mendalam (Model I), juga tidak hanya didasarkan pada predisposisi politik yang sudah terbentuk sebelumnya, atau juga bukan berdasarkan pertimbangan atau hasil konfirmasi dengan pihak lain. Dalam pemilihan presiden misalnya, calon pemilih model ini hanya akan melihat kandidat presiden dari dua partai utama yang tengah bersaing.  Selanjutnya calon pemilih model ini hanya menilai kandidat tersebut berdasarkan stereotype atau presumsi yang dia sudah pernah ketahui sebelumnya dari pihak lain, contohnya media massa. Bahwa Kandidat I adalah calon presiden yang berkarakter A, B dan C, sedangkan Kandidat II adalah calon presiden dengan karakter Z, Y dan Z. Kondisi ini disebut “rasionalitas dengan informasi sedikit/terbatas” atau low information rationality (Popkin, 1991; Sniderman, Brody & Tetlock, 1991) di mana calon pemilih mengambil keputusan tanpa terlalu banyak usaha.

Salah satu versi dari “rasionalitas dengan informasi sedikit/terbatas” sejalan dengan calon pemilih Model 4 yaitu “pengambil keputusan intuitif” atau intuitive decision making. Calon pemilih pada model ini berpendapapat bahwa sebagian besar keputusan (termasuk sebagian besar keputusan politik) sebaiknya dipahami sebagai respon semi-otomatis dari situasi yang sering dihadapi , daripada respon yang memerlukan pertimbangan atau kalkukasi yang mendalam terhadap alternatif-alternatif berbeda.

Dari survei-survei sebelumnya diketahui bahwa sebagian besar orang tidak merasa tertarik dengan politik, memberikan penilaian berdasar buku teks dasar, dan tidak tahu cara kerja pemerintahan  (Delli Carpini & Keeter, 1996). Beberapa warga memiliki apa yang mendekati sebuah “ideologi” dan sebagian besar tidak memiliki perilaku yang “stabil” atau nyata bahkan terhadap isu-isu politik hari ini (Converse, 1964, 1975; Zaller, 1992). Model 3 dan 4 menggambarkan manusia sebagai  “prosesor dengan informasi terbatas” yang cenderung membuat keputusan secara “intuitif” (yaitu kurang formal dan kalkulatif).  Meskipun tetap mencari informasi, namun sebatas dipandang cukup untuk membuat keputusan (tanpa keragaman atau kedalaman informasi). Calon pemilih model ini biasanya mengambil cara berpikir pintas (cognitive shortcuts) yang tidak selalu rasional namun bersifat heuristik. Calon pemilih model ini cenderung mengambil keputusan dengan cara mudah dan menghindari pengorbanan yang berlebihan.

--> "Ini jenis pemilih yang maunya yang ‘sedeng-sedeng’ aja… Mikir tapi seperlunyalah… Ujung-ujungnya sih ikutin ‘feeling’ ajah… Nggak ada politisi yang sempurna... Apalagi banyak yang 'dimanipulasi' sama media... Jadi pilih aja yang kira-kira paling baik diantara yang terburuk...”


“Jadi…  dari empat model tadi saya ini mirip dengan model nomor berapa ya...?”

 ----------------------

Sumber: Richard R. Lau & David P. Redlawsk. How Voters Decide: Information Processing Election Campaigns. Cambridge University Press. 2006.

Minggu, 23 Maret 2014

"Dicari: Laki-laki yang 'bersih' dan mampu meningkatkan kesejahteraan..."


"Apa yang menjadi pertimbangan masyarakat dalam memilih Calon Presiden?"

Menjelang Pemilu saya selalu dihadapkan pada "kebingungan" mengenai siapa Caleg dan pasangan Capres/Cawapres yang akan saya pilih nanti. Berhubung saya bukan anggota, simpatisan apalagi menjadi apa yang disebut Eric Hoffer (1951) sebagai "true believer" dari partai politik atau Capres dan Cawapres tertentu --dan juga tidak memiliki akses yang kuat untuk memperoleh informasi yang "valid" mengenai figur, agenda politik dan program mereka--, pada akhirnya saya hanya mengandalkan informasi dari media massa dan intuisi saja. Di zaman internet seperti sekarang rasanya memang lebih mudah untuk mencari data atau informasi mengenai isu tersebut. Tulisan ini saya dasarkan pada salah satu hasil survei yang paling mudah saya temukan di internet, dan untuk sementara saya anggap cukup mewakili informasi yang saya perlukan. Saya ingin berbagi karena barangkali juga berguna buat kawan yang lain.

Beberapa chart berikut saya cuplik dari temuan survei nasional oleh Poltracking yang diberi judul "Menakar Peta Politik Nasional: Pengaruh Figur Terhadap Konfigurasi Politik 2014." Laporan hasil survei ini telah dirilis pada  Januari 2014. Beberapa informasi dasar mengenai metodologi survei ini, sbb.: (a) Jumlah sampel dalam survei ini adalah 1200 responden dengan margin error +/- 2,83% pada tingkat kepercayaan 95%; (b) Stratifikasi kedua: populasi dikelompokan menurut jenis kelamin: 50% laki-laki, dan 50% perempuan; (c) Pengambilan data survei (penentuan responden dan wawancara di lapangan) dilaksanakan pada 16-23 Desember 2013; (d) Pengambilan data dilakukan secara serentak dan nasional di 33 provinsi, secara random.

Saya hanya mencuplik beberapa temuan utama dari survei ini yang saya anggap dapat memberi gambaran memgenai pertimbangan atau alasan masyarakat memilih Capres/Cawapres tertentu. Saya mengesampingan informasi mengenai peluang elektabilitas calon-calon yang namanya sudah muncul di bursa Capres. Sebagai catatan, survei ini dilakukan pada akhir 2013 dan dirilis awal 2014, jadi belum "terpengaruh" oleh dinamika politik terakhir seperti: "sengketa" mengenai status Perjanjian Batu Tulis antara PDI-Perjuangan dan Gerindra; pencalonan Jokowi sebagai Capres dari PDI-Perjuangan; isu "jalan-jalan"-nya Ical ke Maladewa; dll. Beberapa komentar tambahan adalah tafsiran saya sendiri terhadap temuan survei tersebut, sbb:

Laki-laki lebih disukai. Laki-laki jauh lebih berpeluang untuk menjadi Capres. Dalam sejarah Pemilu di kita Capres perempuan memang baru Megawati saja ya... Kenapa bisa begitu? Sepertinya partai politik di Indonesia memang masih laki-laki sentris. Jangankan Capres/Cawapres, bahkan untuk memenuhi kuota 30% Caleg perempuan aja sudah pontang-panting dan terkesan sekedar ada ya...


Suku tidak penting. Ini menarik, karena meskipun responden survei ini 39% mengaku berasal dari etnis Jawa, namun hanya 25% dari total responden yang lebih suka Capres/Cawapres juga berasal dari Jawa. Sementara lebih dari 65% menganggap Capres/Cawapres boleh berasal dari suku apa saja.


Usia bukan pertimbangan utama. Hampir 47% responden menganggap usia tidak menjadi pertimbangan utama bagi mereka dalam memilih Capres. Namun ada hampir 38% responden yang ingin agar Capres 2014 berusia muda. Sayangnya saya tidak temukan ukuran/indikator usia tua dan muda yang digunakan dalam survei ini. 


Kapasitas dan karakter diutamakan. Kalau hasil survei ini benar, tampaknya masyarakat sudah tidak terjebak "hantu SARA" yang dimitoskan di masa Orba, dan lebih mengedepankan pertimbangan merit dari para Capres. Terlihat bahwa pertimbangan latar belakang partai, agama, suku dan asal daerah tidak menjadi alasan dominan dalam memilih Capres. Proporsi tertinggi yang menjadi pertimbangan masyarakat adalah kemampuan menyelesaikan masalah (45,95%), diikuti oleh karakter dan kepribadian Capres (32,61%). Jika temuan ini diterima, maka dapat dikatakan bahwa masyarakat pemilih sudah cukup rasional dalam memilih Capres-nya. 


Tampang tidak penting. Masyarakat pemilih tampaknya memang sudah sebel dengan pemimpin atau politisi yang bermasalah, korup dan elitis. Lebih dari 50% responden menginginkan Capres yang bersih/jujur, peduli dan dekat dengan rakyat tegas dan berani. Capres yang berpengalaman dan visioner diinginkan oleh sekitar 49% responden. Sementara hanya seperempat responden yang menjadikan penampilan menarik sebagai pertimbangan yang dianggap penting.


Masalah ekonomi dan hukum menjadi prioritas. Masyarakat menaruh harapan agar Pemilu 2014 menghasilkan Presiden yang memiliki kemampuan mengatasi masalah ekonomi dan hukum.


Informasi mengenai visi/misi dan rekam jejak dipandang penting. Jika informasi ini dapat diterima, maka tampaknya memperkuat temuan sebelumnya bahwa kapasitas dan karakter Capres dipandang penting oleh masyarakat. Karena secara resmi belum masuk masa pencalonan pasangan Capres/Cawapres (nanti setelah Pemilu Legislatif), maka hal ini perlu menjadi pertimbangan pasangan Capres/Cawapres dan Partai pendukungnya nanti untuk diagendakan menjadi bahan kampanye.


Seperempat responden sudah memiliki calon tertentu. Ada lebih dari 27% persen responden yang sudah memiliki calon dan merasa mantap dengan pilihannya. Sementara 56% lainnya masih mungkin akan berubah calon yang akan dipilihnya. Informasi ini tampaknya sejalan dengan chart sebelumnya, bahwa responden masih akan melihat visi/misi pasangan Capres/Cawapres nanti.


Sayangnya dalam laporan hasil survei ini tidak ada informasi pendukung mengenai bagaimana latar belakang ekonomi dan pendidikan responden. Juga bagaimana tingkat paparan media ( akses informasi dan intesitas penggunaan media) yang sangat mungkin dapat mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap figur Capres/Cawapres.

Informasi ini cukup membantu memberi gambaran mengenai kecenderungan persepsi masyarakat mengenai Capres/Cawapres yang diinginkan. Tapi ini baru satu versi saja bukan?. Jadi saya sendiri belum memutuskan siapa pilihan saya nanti. Masih ada waktu...
-----------------------
Sumber: http://www.poltracking.com/publikasi/rilis-riset-dan-survei/371-menakar-peta-politik-2014-pengaruh-figur-terhadap-konfigurasi-politik-2015


Jumat, 21 Maret 2014

"Demokrasi representatif saja tidak cukup?"


Menakar Peluang Gagasan Demokrasi Asosiatif di Indonesia

Oleh: Candra Kusuma
Dikemas ulang dari kumpulan tulisan “Renungan Depok” – Juli 2012


Pendekatan Empowered Participatory Governance (EPG)
Archon Fung dan Erik Olin Wright (2003) mengajukan pendekatan Empowered Participatory Governance (EPG) yang merujuk pada pengalaman di Chicago, Porto Alegre, West Bengal dan Kerala. EPG berperan sebagai perantara (intermediary) antara warga dengan struktur formal negara, sebagai institusional arena dimana warga dapat terlibat secara langsung dalam pengambilan keputusan, yang umumnya muncul akibat adanya desakan dari organisasi-organisasi gerakan sosial, yang bertujuan untuk mendukung upaya kontrol di tingkat lokal, akuntabilitas pemerintahan, atau keadilan sosial. Asosiasi dapat menjalankan peran sebagai pembentuk (generative role) dari model EPG tersebut. Asosiasi juga dapat berperan merekrut dan memobilisasi warga, serta melengkapi individu-individu dengan kapasitas yang diperlukan dalam partisipasi politik, seperti memotivasi, mendukung informasi, dan meningkatkan keterampilan politik, melalui berbagai bentuk pelatihan dan peningkatan kapasitas.

Fung (2003:523) berpendapat bahwa asosiasi dapat berkotribusi dalam meningkatkan kualitas representasi kepentingan warga terhadap lembaga perwakilan dan pemerintah, dengan cara:
a)      Meningkatkan cara bagaimana kepentingan warga dapat terwakili (diperjuangkan oleh para pembuat kebijakan) dan dituangkan dalam hukum dan kebijakan yang dibuat oleh negara;
b)      Menyediakan saluran tambahan atau alternatif bagi individu-individu untuk mendesakkan isu-isu publik yang menjadi perhatian mereka, misalnya melalui voting, lobby, dan kontak langsung dengan pejabat pemerintah;
c)       Melampaui batas-batas wilayah administratif, atau wilayah pemilihan jika terkait dengan anggota dan lembaga legislatif, sehingga lebih berpeluang dapat menyuarakan aspirasi warga di daerah-daerah yang jarang dijangkau politisi atau program pemerintah;
d)      Lebih berpeluang dapat lebih intensif melakukan desakan atau upaya mempengaruhi kebijakan dibandingkan dengan saluran-saluran perwakilan formal;
e)      Selain meningkatkan kualitas keterwakilan, asosiasi juga meningkatkan kesetaraan keterwakilan politik (equality of political representation), terutama bagi masyarakat yang terpinggirkan;

Model yang ditawarkan oleh Fung memang dibangun dari pengalaman negara-negara yang umumnya berbentuk federal, dimana negara-negara bagian tersebut memiliki kewenangan sangat besar dalam menentukan sendiri mekanisme perwakilan, perencanaan dan penganggaran pembangunan di wilayahnya masingmasing. Sebagai contoh, di Porto Alegre sebagai ibukota Negara Bagian Rio Grande do Sul dengan penduduk 1,3 juta jiwa, pada tahun 1988 partai politik yang berkuasa yaitu Workers’ Party atau Partido dos Trabalhadores (PT) yang beraliran “Kiri” dapat menginisiasi sebuah mekanisme baru dalam perencanaan pembangunan dan anggaran publik (participatory budgeting) melalui pembentukan Regional Plenary Assembly di 16 region yang anggotanya terdiri dari perwakilan pemerintah daerah dan perwakilan-perwakilan komunitas (representatives of community) seperti asosiasi warga, asosiasi pemuda, organisasi olahraga, termasuk organisasi pelaksana proyek kesehatan, transportasi, pendidikan, dan lainnya. Mereka bertemu secara rutin untuk berdiskusi mulai dari mengevaluasi program dan anggaran tahun berjalan/sebelumnya dan program dan anggaran untuk tahun berikutnya (lihat Fung, 2003:10-12). Model representativeness semacam itu membuat warga dapat terlibat langsung dalam perencanaan dan pengawasan kebijakan dan penganggaran publik.

Dalam teori politik, memang dibedakan antara sistem republik dan demokrasi. Sistem demokrasi lebih dekat dengan apa yang dikenal sebagai demokrasi langsung (direct democracy) di mana rakyat dapat secara langsung memberikan suara dan mempengaruhi keputusan politik, seperti praktek politik di masa Athena Kuno atau Swiss modern sekarang. Sementara dalam sistem republik, pada dasarnya rakyat memilih sejumlah wakil dari mereka, sehingga rakyat secara tidak langsung mempengaruhi keputusan atau kebijakan publik, dan kontrol atas pelaksanaan kebijakan tersebut. Mezey (2008:2) membedakan antara sistem republik atau representatif (representative democracy) dengan sistem demokrasi atau demokrasi langsung. Salah satu cirinya adalah bahwa legislator (representatives) bertanggungjawab atas apa yang mereka lakukan kepada konstituen yang telah memilih mereka. Pertanggungjawaban (akuntabilitas) tersebut dapat berupa: (a) Pertanggungjawaban sejak masa kampanye Pemilu, seperti tawaran atau janji kampanye yang memang terkait langsung dengan kepentingan dan kebutuhan konstituen; (b) Setelah Pemilu (misalnya terkait dana kampanye); dan (c) Secara regular dalam masa jabatan legislator tersebut, seperti aspirasi konstituen yang telah diperjuangkan, kebijakan yang dihasilkan, atau  program pemerintahan yang terkait dengan konstituen (mengenai akuntabilitas dan policy representation ini lihat Mezey, hal. 134-138).

Dalam sebuah laporannya, UNDP[1] mencatat bahwa dalam sebuah negara demokratis adalah sebuah keharusan bagi pemerintah termasuk lembaga legislative untuk secara rutin berkonsultasi, berinteraksi dan saling bertukar gagasan dan informasi dengan publik, sehingga warga dapat mengekspresikan preferensi dan memberikan dukungan atau penolakan terhadap kebijakan yang akan atau telah berpengaruh terhadap kehidupan mereka. Ketika warga dapat membuat kesepakatan-kesepakatan dengan anggota legisltif yang telah mereka pilih, hal tersebut akan memperkuat hubungan antara legislator dan konstituen dan member dukungan pada legislator untuk dapat bersuara dan bertindak atas nama konstituen. Hubungan legislator dan konstutien yang efektif akan berkontribusi terhadap demokrasi dengan memperkuat koneksitas warga terhadap pemerintahan, dana dengan menyediakan assessment kondisi dan kebutuhan sesungguhnya dari rakyat dalam hal perumusan dan pelaksanaan program pembangunan.

Menurut UNDP, legislator yang memiliki ikatan yang kuat dengan konstituennya --khususnya yang dipilih dalam sistem Pemilu distrik (single-member districts)--, umumnya lebih berpeluang dapat dipilih kembali sekaligus dapat meningkatkan karier politik mereka sendiri. Bagi konstituen, mereka memperoleh keuntungan bahwa gagasan dan isu-isu yang mereka angkat dapat didengar dalam proses perumusan kebijakan, atau setidaknya mereka memiliki perwakilan sekaligus pembela yang bertindak atas kepentingan warga dan atas nama warga ketika akan/ada kebijakan pemerintahan yang akan berpengaruh terhadap warga.

Dari hasil studinya di berbagai negara tersebut, UNDP mencatat bahwa di banyak negara ada sejumlah upaya yang dilakukan oleh institusi dan/atau anggota legislatif dalam upaya menyediakan waktu, tempat dan sumberdaya untuk dapat berinteraksi dengan konstituen mereka (constituency meetings) secara rutin dan bermakna. Pada intinya adalah bagaimana legislator dapat membangun sebuah  pola komunikasi yang rutin dan mudah diakses oleh konstituen. Beberapa pola yang umum digunakan seperti: (a) Membuka kantor atau sekretariat tempat pertemuan legislator dan konstituen, seperti dilakukan di Chili; (b) Legislator membuka sekretariat atau tempat pertemuan di distrik pemilihannya, seperti di Polandia dan Palestina; (c) Legislator menyiapkan staff dan sumberdaya pendukung yang dapat membantunya secara rutin berkomunikasi dengan konstituennya; (d) Dukungan dari anggaran publik bagi legislator untuk berkomunikasi dengan konstituen di daerah pemilihannya, seperti di Amerika Serikat dan Chili.

Realitas di Indonesia
Sistem perwakilan komunitas dalam perencanaan dan penganggaran publik seperti yang ditemukan di Kerala tidak ada di Indonesia. Kalaupun perwakilan masyarakat dilibatkan dalam Musrenbang misalnya, hal tersebut sekedar bentuk konsultasi publik, sementara keputusan akhir tetap ada di tangan institusi pemerintahan.  Selain itu, terkait dengan representativeness di Indonesia, sistem pemilihan umum yang digunakan tampaknya memang sejak awal telah beresiko menciptakan adanya jarak antara politisi/anggota legislatif dengan konstituen. Secara teoritik, sistem distrik (single-member constituency atau single-member-district) sesungguhnya memberi peluang lebih besar bagi terbangunnya kedekatan antara politisi dan konstituen, karena dari tiap distrik hanya ada satu wakil yang juga umumnya harus berasal dari distrik tersebut. Karena kecil atau tidak terlalu besarnya distrik maka biasanya ada hubungan atau kedekatan antara kandidat dengan masyarakat di distrik tersebut. Diasumsikan kandidat lebih mengenal masyarakat maupun kepentingan yang mereka butuhkan. Selain itu, sistem ini juga akan mendorong partai politik untuk melakukan penyeleksian yang lebih ketat dan kompetitif terhadap calon yang akan diajukan untuk menjadi kandidat dalam pemilihan.[2]

Sementara pada sistem proporsional terbuka seperti yang digunakan di Indonesia saat ini, lebih mengutamakan adanya proporsi atau perimbangan keterwakilan antara jumlah penduduk dengan kursi di suatu daerah pemilihan.[3] Meskipun dianggap dapat lebih menyelamatkan suara pemilih dan menguntungkan partai dengan suara lebih sedikit, namun calon-calon anggota legislatif yang dimunculkan sangat banyak, dan dimungkinkan bukan politisi yang memang berasal dari daerah tersebut. Akibatnya, antara pemilih dengan kandidat tidak ada kedekatan secara emosional. Pemilih tidak atau kurang mengenal kandidat, dan kandidat juga tidak mengenal karakteristik daerah pemilihannya, masyarakat pemilih dan aspirasi serta kepentingan mereka. Selain itu, kandidat lebih memiliki keterikatan dengan partai politik sebagai saluran yang mengusulkan mereka. Diasumsikan, kandidat yang terpilih mungkin tidak akan memperjuangkan dengan gigih kepentingan pemilih karena tidak adanya kedekatan emosional tadi.[4]

Meskipun demikian, bahkan para anggota legislatif atau legislator di negara-negara yang sudah lebih awal menggunakan sistem demokrasi sekalipun tidak lepas dari kritik. Kritik tersebut, antara lain: (a) Banyak legislator yang terlalu bergantung pada opini publik (dari media) dibandingkan apa yang sungguhsungguh terjadi di konstituennya; (b) Banyak legislator yang terputus hubungannya (disconnected) dari konstituen yang seharusnya mereka wakili; (c) Banyak legislator yang terlalu dipengaruhi oleh kelompok-kelompok kepentingan; (d) Ada pula yang mengkritik bahwa secara alamiah model demokrasi representatif memang kurang mampu mengambil peran sentral dalam proses penyusunan kebijakan publik (lihat Mezey, 2008:xi).

Model atau pola yang diulas UNDP tadi sesungguhnya juga sudah banyak dilakukan di Indonesia. Banyak anggota legislatif (khususnya di DPR) yang membuka kantor atau sekretariat komunikasi di daerah pemilihannya. Secara formal juga ada mekanisme dukungan dana/sumberdaya bagai anggota DPR dan DPRD untuk melakukan reses ke konstituennya. Selain yang sifatnya formal (pertemuan yang dirancang khusus), banyak pula politisi atau anggota legislatif yang mencoba mengembangkan pola-pola komunikasi informal dengan konstituennya. Thamrin (2009) dalam sebuah laporan untuk LGSP-USAID Indonesia mencatat sejumlah inovasi yang dilakukan anggota dan lembaga legislatif di beberapa daerah dalam upaya meningkatkan transparansi, partisipasi dan keterhubungan antara anggota legislatif dan konstituennya. Meskipun demikian laporan tersebut juga memberi catatan mengenai tidak jelasnya mekanisme dalam UU mengenai Susunan dan Kedudukan Anggota DPR, DPRD dan DPD, dan UU mengenai Pemerintah Daerah dalam hal pertanggungjawaban anggota DPR/DPRD terhadap konstituen.[5] Berbeda dengan pemerintah daerah yang secara reguler diwajibkan memberikan laporan pertanggungjawaban kepada pemerintah pusat, DPRD dan masyarakat, namun terhadap intsitusi dan anggota legislatif di pusat dan daerah justru tidak ada mekanisme pertanggungjawaban yang jelas, bahkan kepada konstituen di daerah pemilihannya sendiri sekalipun.

Contoh-contoh dari laporan LGSP-USAID memberikan informasi bahwa tidak semua anggota legislatif di daerah enggan atau takut bertemu konstituennya dan hanya menggunakan dana publik untuk kepentingannya sendiri. Namun dari sejumlah referensi yang ada, persepsi dan preferensi warga terhadap anggota dan lembaga legislatif pada faktanya masih belum banyak bergeser dari situasi yang disebutkan terakhir tadi. Dalam situasi demikian, asosiasi warga sangat berpeluang dan sekaligus diharapkan untuk dapat mengambil peran lebih besar dalam memberdayakan warga sekaligus anggota dan lembaga legislatif di daerah melalui praktik-praktik langsung bersama kedua pihak tersebut.

Hambatan dan peluang
Hambatan dari gagasan institusionalisasi pendalaman demokrasi berupa devolusi peran negara/pemerintah yang didesentralisasikan kepada institusi warga membutuhkan kemauan baik dari kekuatan civil society maupun --dan terutama-- pemegang kekuasaan politik yang ada, seperti yang terjadi di Porto Alegre dan Kerala. Prasyarat tersebut yang belum ada di Indonesia. Gagasan dan konsep desentralisasi masih bertarung pada pada tataran internal struktur pemerintahan dan birokrasi: dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah (melalui pelimpahan sejumlah kewenangan dan Dana Perimbangan), dan belakangan dari pemerintah daerah ke pemerintah desa (melalui Alokasi Dana Desa). Gagasan mengenai devolusi peran negara/pemerintah dan perencanaan serta pengelolaan bersama anggaran publik antara pemerintah dan civil society tampaknya belum lagi masuk dalam wacana mainstream pendalaman demokrasi di Indonesia. Bentuk konkret dari akses publik terhadap anggaran publik masih dalam skema hibah atau bantuan sosial dari pemerintah kepada organisasi kemasyarakatan saja.

Dengan kata lain, gagasan demokrasi asosiatif seperti dibayangkan Fung dan kawan-kawan masih memerlukan jalan cukup panjang untuk dapat direalisasikan di Indonesia, karena belum berkembang wacana mengenai konsep dan model intermediary institutions seperti dibayangkan Fung. Selain itu, tidak ada kekuatan politik besar (pemerintah atau partai politik dan civil society) yang menjadi pelopor untuk menginisiasi model tersebut seperti yang terjadi di Porto Allegre dan Kerala. Mengacu pada pendapat Cohen dan Rogers (2005,yang dikutip Fung, 2003:535) dan Baber (1984, yang dikutip Fung, 2007: 448-450), ada prasyarat yang perlu dipenuhi, yaitu adanya institusional reforms yang memungkinkan asosiasi-asosiasi warga dapat berpartisipasi secara kooperatif dengan para pejabat publik dan birokrasi dalam merumuskan kebijakan dan menjalankan administrasi publik. Dalam pandangan peneliti, institusionalisasi dan legalisasi “ruang bersama perencanaan dan pengelolaan sumberdaya publik” antara pemerintah dan CSO tersebut memang harus dilakukan oleh pemerintah, namun inisiatif awal untuk mendorong dapat dibangunnya ruang tersebut tampaknya memang harus dimulai dari tekanan civil society sendiri.





Endnotes:
[1] Sumber: http://mirror.undp.org/magnet/Docs/parliaments/notes/Constituency%20Relations%205%20.htm, diakses 23 Juni 2012.
[2] Lihat “Modul 1 Pemilih Untuk Pemula” dari KPU, Sumber: http://www.kpu.go.id/dmdocuments/modul_1b.pdf , diakses 23 Juni 2012.
[3] UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD pada Pasal 5 menyebutkan: (1) Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka; (2) Pemilu untuk memilih anggota DPD dilaksanakan dengan sistem distrik berwakil banyak.
[4] Lihat “Modul 1 Pemilih Untuk Pemula” dari KPU, Sumber: http://www.kpu.go.id/dmdocuments/modul_1c.pdf , diakses 23 Juni 2012.
[5] UU No. 22 tahun 2003 pada Pasal 351 Butir (k.) menyebutkan bahwa anggota DPRD kabupaten/kota memiliki kewajiban untuk “memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada konstituen di daerah pemilihannya”. Sementara pada UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah pada Pasal 45 menyebutkan bahwa Anggota DPRD mempunyai kewajiban yang salah satunya pada Butir (g.) yaitu “memberikan pertanggungjawaban atas tugas dan kinerjanya selaku anggota DPRD sebagai wujud tanggung jawab moral dan politis terhadap daerah pemilihannya.

Selasa, 18 Maret 2014

"Presiden Guyonan ala Butet Kartaredjasa"


Presiden Guyonan

Sebenarnya ini buku lama, tapi moment-nya kok rasanya pas buat dibaca lagi ya… “Presiden Guyonan” pertama kali diterbitkan dalam rupa buku pada tahun 2008 lalu. Buku ini merupakan kumpulan dari kolom mingguan terpilih yang ditulis Butet Kartaredjasa di Suara Merdeka sejak September 2007.

Butet yang mengaku sebagai seorang anggota “FPG” alias Front Penggemar Guyonan, memang berniat “mengajak pembaca bercanda agar menanggapi masalah tak harus selalu ngotot dan kenceng, apalagi dengan mengepalkan tinju. Dengan melihat persoalan lebih rileks, lebih sumeleh…” Dari persoalan politik, sosial, ekonomi, soal larangan merokok, sampai soal umum yang muncul dalam sebuah keluargapun dibicarakan khas Butet. Ndagel namun tetap satir juga… Lho, maksudnya… ?

Mohamad Sobary, dalam kata pengantarnya, menyebut gaya Butet ini sebagai khas Yogya. Di mana persoalan ‘ndak mesti selalu dihadapi dengan mengerutkan kening atau menarik urat leher, apalagi otot lengan, kaki, dll. Tetapi kadang persoalan cukup diladeni dengan “Ngguyu… alias menertawakan. Ini konsep campur aduk antara mengkritik, sekedar membuat lelucon, mengejek, atau mencemooh, sekaligus diam-diam membalas dendam. Mengejek, sekaligus mencemooh, ini serius dan sering mengandung beban atau muatan politik.” Tidak gentleman dan macho mungkin buat masyarakat dari budaya lain, tapi memang kadang lebih efektif membantu melihat persoalan dari perspektif yang sama sekali lain… dan tentu saja biasanya lebih menyenangkan ya… he..he..

Mengapa Butet bisa dan “boleh” seperti itu? Menurut Sobari hal itu karena “Butet berada di garis pinggir kekuasaan, dari tempat di mana menertawakan gerak-gerik mereka yang berkuasa menjadi sejenis kebajikan moral. Ini merupakan moralitas orang-orang yang bersikap resisten terhadap keangkuhan penguasa, atau siapa saja yang berlagak sok kuasa.”

Tokoh utama Butet dalam buku ini ini adalah keluarga Mas Celathu. Kata “celathu” buat orang Yogya memang punya makna lain. “Celathu” artinya berujar atau menyahut atau nyeletuk atau menyambar omongan. Tokoh si Mas Celathu ini hobinya memang melontarkan celetukan atau komentar yang terkesan asal bunyi saja. Bukan celetukan yang sekedar menyambar omongan orang macam acara “lawak-lawakan” yang makin banyak di tv itu, tetapi  lebih sebagai bentuk laku mengomentari peristiwa yang ada di sekitarnya. Mungkin juga bukan selalu soal yang “penting-penting amat.” Meski tidak mirip sekali, lakonnya agak miriplah dengan Danang dan Darto di acara “The Comment” yang sedang moncer di Net.tv. (Menurut saya lho ini...)

Pada satu bagian di buku ini dikisahkan bagaimana menjelang Pemilu, mas Celathu dan istrinya berkeliling kota dan berhenti untuk memberi hormat setiap bertemu spanduk atau poster Caleg yang sibuk menarik simpati. Alasannya sederhana saja: “Kasihan, kan, mereka itu. Mosok sudah susah-susah menyapa rakyat dicuekin. Dengan kasih hormat begini, artinya kami mencoba memberi makna atas eksistensinya.” Sementara pada bagian lain mas Celathu juga mengomentari perilaku Caleg yang “numpang ngetop” dengan memasang wajah tokoh terkenal tertentu, atau mengaku sebagai “Ayahnya Donna Agnesia” atau “Menantu Cucunya Jenderal Sudirman.”

Berhubung penulisnya adalah penduduk “Republik Rakyat Yogya”, jadi ya mesti maklum jika “Bahwasanya” ada banyak penggunaan kata-kata berbahasa Jawa. “Tapi ingat…!” (sambil memajukan jari telunjuk tanda mengingatkan), berhubung penulisnya adalah orang lucu dan tidak sombong, maka buat yang “ra dong” (kalau “tidak mengerti?” ya monggo cari sendiri di mbah Google)  dengan bahasa Jawa jangan merasa kuatir. Ada “Kamus mini” di halaman belakangnya kok…

Soal siapa Butet tentu sudah banyak yang lebih banyak tahu. Butet mungkin paling banyak diingat orang dari aksi monolog-nya menirukan suara tokoh-tokoh terkenal di Republik ini, khususnya adalah tokoh Suharto. Butet bahkan sudah me-monolog-kan Suharto sejak tahun 1988 pada sebuah lakon berjudul “Upeti.” Pada saat itu, cuma orang-orang nekad saja yang berani memparodikasikan penguasa secara terbuka. Tetapi pada saat sekarang, selain mungkin memang suaranya mirip, Butet dianggap mampu mewakili “suasana kebathinan” sebagian besar rakyat Indonesia terhadap tokoh satu itu. Ada yang kesel, ada yang kangen, ada yang ingin balikan lagi… (CLBK kata anak sekarang). Pokoknya nano-nano lah…

Jadi itu kenapa bukunya ini dikasih judul “Presiden Guyonan”? Terus terang saya tidak tahu. Beberapa kali membolak-balik buku ini rasanya tidak ada penjelasan mengenai hal itu ya…  Bisa jadi dari kebiasaannya me-monolog-kan para presiden itu tadi. Maaf atas ketidaktelitian saya ini… Lalu kenapa buku ini saya anggap penting? Karena lewat buku ini saya baru tahu kalau Butet hanya akan menirukan suara manusia saja. Itulah mengapa, menurut Sobary di bagian Pengantar, Butet tidak mau menirukan suara Baramuli katanya… He...he...  (Buat yang tidak tahu nama tokoh ini, sekali lagi monggo tanya mbah Goggle ya…). 

Dari sumber yang lain ada hal yang menarik pula. Butet ternyata juga mengaku tidak mau menirukan sembarang orang. Ketika dalam satu wawancara di tahun 1999 ada yang bertanya: “Siapa pemimpin ideal bangsa Indonesia menurut Anda?.” Butet menjawab serius: “Pokoknya, dia harus orang yang tidak bisa saya tirukan mimik dan suaranya. Karena saya tidak mau menjelek-jelekkan orang yang baik." Nah, kita lihat saja nanti, setelah ada presiden baru hasil Pemilu 2014, apakah Butet “bersedia” menirukannya atau tidak?. Jadi Jokowi, Prabowo, Ical, Paloh, Wiranto, atau lainnya, bersiap-siaplah…!!! He…he…

-----------------------
Judul         : Presiden Guyonan
Penulis      : Butet Kartaredjasa
Penerbit    : Mizan, 2013

Jumat, 14 Maret 2014

"Habis berapa...?": Balada Para Pencari Suara...



“Ente’ piro…?”  
(Bahasa Jawa: Habis berapa?)

 Oleh: Candra Kusuma
Diolah dari hasil penelitian lapangan tahun 2012

Tahun 2012 lalu, saya melakukan sebuah penelitian kecil (tanpa sponsor lho ini…)  mengenai relasi sosial dan politik masyarakat terkait dengan Pemilukada di sebuah daerah di Jawa Barat. Tujuannya adalah untuk melihat pengalaman mereka dalam membangun institusi warga, dan dalam membangun kontak dengan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta peran mereka dalam memantau proses pemerintahan dan pembangunan di daerah oleh Bupati/Wakil Bupati terpilih dalam Pemilukada.

Karena berurusan dengan Pemilukada, mau tidak mau akhirnya ngobrolin soal bagaimana pengalaman mereka (warga dan Cabub/Cawabub) berkaitan dengan “isu” politik uang dalam Pemilu secara umum: termasuk Pilpres, Pileg, Pemilukada bahkan Pildes. Sebagai sebuah penelitian kualitatif, datanya memang bersifat anekdotal saja, dan tentu tidak dapat dibuat gambaran penuh tabel dan diagram berwarna yang fancy ala lembaga-lembaga survei di televisi ya… 

Pola politik uang berubah: Rakyat Matre’?
Dari beberapa responden yang ditemui, baik dari kalangan aktivis warga maupun Cabub/Cawabub, ternyata punya pandangan yang sama bahwa DULU partai politik dan politisi hanya mengembangkan pola interaksi politik transaksional menjelang Pemilu atau Pemilukada saja. Tapi SEKARANG polanya sudah berubah sama sekali. Rakyat/pemilih cenderung LEBIH AKTIF, dalam arti mereka memulai terlebih dahulu terjadinya transaksi politik, berupa permintaan uang, barang, atau dukungan pembangunan fisik dan kegiatan di lokasi mereka.

Dahulu, di Kabupaten X mobilisasi politik dipandang lebih mudah dilakukan oleh para elit daerah, baik melalui pemanfaatan pengaruh para tokoh masyarakat, birokrasi, dan kekuatan uang. Kultur masyarakat dan birokrasi yang paternalistik mempermudah berlangsungnya proses pengendalian politik masyarakat. Dalam waktu lama, hubungan antara pemerintah dan masyarakat dikelola dalam relasi dimana salah satu pihak menganggap dirinya sebagai pemimpin yang harus mengarahkan, mengawasi dan mengendalikan, dan pihak lain sebagai yang harus diarahkan, diawasi dan dikendalikan. Relasi patron-client diciptakan dengan sengaja dalam hubungan antara masyarakat dan elit, dan warga dengan pemerintah.

“Peran birokrasi, dari mulai Bupati sampai dengan Kepala Desa itu sangat berperan besar… dengan menggunakan instrumen kekuasaan… anggaran, dan lain sebagainya, untuk memanipulasi kehendak rakyat. Jadi yang terjadi sesungguhnya adalah manipulasi kehendak rakyat, padahal itu kehendak segelintir elit tertentu saja… Nah kenapa terjadi proses pembodohan seperti itu, ya karena memang rakyat tidak tahu, sangat miskin dengan informasi kan… Siapa calon, calon yang tepat untuk dipilih seperti apa… kan mereka masih abu-abu… sehingga ketika Kepala Desa, Camat, birokrasi berperan, dan digerakkan oleh kekuatan tertentu, akhirnya rakyat menentukan pilihannya berdasarkan arahan elit-elit tersebut, karena tidak ada yang menyadarkan… Disitu money politics segala macem… Politicking anggaran kan terjadi…” (Kusnadi, nama samaran, Cabub)

Namun, perubahan perilaku politik yang terjadi di masyarakat Kabupaten X sangat menarik untuk dicermati. Menurut para informan penelitian ini, perilaku politik yang transaksional saat ini tampaknya terjadi merata di semua lapisan dan pelosok masyarakat, baik di perkotaan maupun perdesaan, baik mereka yang berpendidikan rendah maupun lebih tinggi. Dalam pengalaman mereka, perilaku tersebut bukan monopoli atau sepenuhnya inisiatif para politisi atau partai politik. Inisiatif untuk membuka ruang transaksional tersebut saat ini justru lebih banyak muncul dari masyarakat. Pengalaman dari calon independen yang mencoba membangun relasi politik non transaksional (tidak dengan “membeli suara”) menunjukkan sulitnya mengajak masyarakat untuk membangun relasi politik yang sehat. Diantaranya adalah pasangan Cabup dan Cawabup, sebut saja Jaka dan Toto (nama samaran), yang mengaku tidak mau terlibat transaksi politik uang, menyatakan kegelisahannya, sbb.:

Kemudian, sejauhmana respon masyarakat terhadap semua yang diomongkan calon… dan tuntutan masyarakat seperti apa?…. Itu dimana-mana, ketika saya omong ke sana omong ke sini, semua yang disampaikan itu usulan, seakan-akan kita ini adalah tim perencanaan anggaran, dan kita ini punya segudang duit untuk diimplementasikan di lapangan. Bahkan dia mintanya bukan setelah jadi, sebelum jadi dia sudah minta… Saya datang kesana, “Pak InsyaAllah lah, suara kami ke bapak. Tapi saya minta satu saja sekarang, punten itu jembatan kami diperbaiki…”. Nah itu… itu yang hampir selalu muncul… jadi udah ngga nyambung…”  (Jaka, nama samaran, mantan Cawabub)
----------------------------------------
“Intinya mah itu, masyarakat kita sebagian besar masih matre lah… urusannya duit… Jadi itu karena sebelumnya mereka kan merasa banyak dikhianati juga… Janji-janji kan banyak yang tidak terealisasi… Jadi apa yang bisa kepegang saja… Ya uang… Istilah mereka, lagi butuh aja nggak ngasih, nggak inget… apalagi nanti kalau sudah terpilih… pasti bohong… Logikanya sudah terbalik-balik seperti itu… Nah, di hari-hari terakhir menjelang pemilihan, tim sukses kita di lapangan itu termasuk calon-calon saksi menelpon, ‘Pak Toto, calon-calon lain mah ngasih beras 5 kg, 10 kg, plus uang Rp 20.000 an ke masyarakat … cik atuh barang Indomie-Indomie sabungkus atuh, sebagai tanda kita inget mereka….’ Tuntutannya tuh cuma Indomie barang sebungkus… Tapi saya tegas, selain juga nggak punya duit… Seorang satu Indomie, tapi kalau banyak kan tetap saja… Saya bilang, ‘Kalau memang nggak ikhlas milih, ya nggak usah milih… Saya tuh iklas mencalonkan diri mau melayani rakyat itu… Jadi saya juga butuh keikhlasan…,’itu aja jawaban saya…”  (Toto, nama samara, Cabub)
----------------------------------------
 “Bahkan warga di Kompleks Y yang orang-orang kaya, dan terdidik… Cina kaya, pribumi terdidik… Disitu orangnya kritis memang… Dari sekian calon, mereka melirik saya… Terus saya diundang… Wah kayak sidang ujian tesis… Gabungan warga beberapa RW… Tapi ujung-ujungnya mereka keukeuh wae mintaan duit… Nggak gede sih, minta buat biaya penyelenggaraan… Katanya mereka mau jadi relawan tim sukses tapi minta dana buat operasional… Tapi nggak menang saya disitu, tapi waktunya memang udah mepet, seminggu menjelang pemilihan baru ngundang saya… Ada suara untuk saya disitu, nggak besar, tapi minimal nggak nol-lah… Kelihatan ada bekas usaha mereka itu tadi…” (Toto, nama samaran, Cabub)
----------------------------------------
“Jadi memang money politics itu bukan cuma dari politisinya, tapi rakyat sendiri seperti itu… Itu pengalaman saya… Merata itu… Tapi ada yang tersentuh ya… Yang tersentuh itu yang militan… Jadi angka 4,9% suara yang dukung saya teh, saya yakin itu angka orang-orang idealis… Da’ pasti mereka kan digoda uang sama calon yang lain, tapi bertahan… Saya yakin mereka orang yang tegar… Suara murni lah… Jadi ya money politics itu bukan sistem… Orang pada nyalahin sistem dan politisinya yah… Tapi saya mah nyalahin rakyatnya juga… Tapi memang itukan ada sebab juga yah, kenapa rakyat jadi begini… Itu suatu persoalan sendiri…” (Toto, nama samaran, Cabub)

Pendidikan politik yang buruk dari para tokoh agama
Selain itu, dalam pandangan mereka, banyak tokoh agama dan lembaga keagamaan (khususnya pada agama yang dianut mayoritas penduduk Kabupaten X) yang justru seakan memberi contoh perilaku tersebut. Satu ungkapan menarik dari salah seorang calon mengenai hubungan antara fiqih (Keterangan: salah satu bidang ilmu dalam syariat yang secara khusus membahas persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun kehidupan manusia dengan Tuhannya) dengan perilaku politik transaksional pragmatis:

“Perilaku fiqih itu berpengaruh sekali terhadap perilaku politik orang… Perilaku fiqih yang akomodatif, cenderung perilaku politiknyapun akomodatif… Jadi ada Persxx, Muhaxxxxxxxx, Syarexxx Isxxx, Nahxxxxx Ulaxx,… Jadi semakin akomodatif perilaku fiqih, itu semakin mudah sekali untuk kesana kemari…” (Kusnadi, nama samaran, Cabub)
----------------------------------------
“Yang non formalnya, karena saya lihat di pendidikan non formal seperti pesantren, ini juga yang kemudian turut merusak pendidikan politik masyarakat. Jadi yang namanya kyai itu, semua calon itu diterima., ha…ha… Itukan di pesantren, disaksikan santrinya… Dan itu, kyai kan selalu pidato… selalu menerima calon, dan ujung-ujungnya minta pesantren dibereskan… mesjid dibereskan… Inikan selalu terjadi… momentum Pilkada… apalagi Pileg… Pileg itukan banyak calon… Calon ini diterima, itu diterima… begitu saja terus… didagangkan di depan majelis taklimnya, santri-santrinya…” (Kusnadi, nama samaran, Cabub)
----------------------------------------
“Dan yang paling parah itu di kalangan Nahxxxxx Ulaxx, itu paling parah…he..he.. Jadi, mereka itu sudah deklarasi pada Putaran Kedua, menyatakan dukungan… kemudian kita lihat, tiga hari menjelang pemilihan, incumbent itu ngasih, ngasih, ngasih… kita cek, pada orang dekat kyai itu, sudah rubah… cepet sekali itu perubahannya… Karena Nahxxxxx Ulxxx struktural kan dukung kita… Tapi basis mereka ini kan pesantren…Sampai ada teman saya Nahdliyin yang bilang, “Sayah mah Pak, mending pake tim sukses residivis… Daripada kyai, pusing Pak… Kalau residivis kan kalau A ya A… dan murah… cukup dikasih rokok, paling uang saku Rp 50.000… langsung jalan…. Tapi kalau kyai, udah mahal, sambil ngga jelas lagi…”, ha…ha…” (Kusnadi, nama samaran, Cabub)
----------------------------------------
“Saya melihat pesantren sekarang mengalami degradasi dalam hal partisipasi politik… Jadi kalau bicara politik, bersentuhan dengan pesantren, ya semua bakal tertipu habis… Kyai itu efektif sih ke santri atau jamaahnya… karena dianggap punya barokah… Jadi kalau berbicara politik, saya lebih percaya teman-teman daripada ke pak kyai…”  (Kusnadi, nama samaran, Cabub)
----------------------------------------
“Pesantren jangan ikut kemudian ikut mencemari perpolitikan… tapi harus mencerdaskan perpolitikan…Ada konsekuensi logis dari perilakukan politik kyai sekarang… Jadi kalau dulu kan, ketika Kyai X itu mengambil sikap, itu dampaknya puluhan ribu… Tetapi kalau kyai sekarang paling seribu dua ribu… Sekarang itu masih kuat, ada tokoh lain, berimbang sekarang… ada tokoh nasional, ada kyai… Nah sekarang masyarakat sudah menilai kan, kok begini..? Di mimbar ini suruh dukung ini… besoknya jadi rubah, sudah mulai bergeser… Karena harga mahal kyai itukan pada istiqomah… Begitu dia tidak istiqomah dia ditinggal… Lamun ceuk Sunda mah, ‘ulah murucan nu teu eucrek’… Jadi jangan memberi contoh buruk, karena pengawal moralitas bangsa itukan kyai… jadi kalau kyai sudah memberikan contoh buruk kepada masyarakat, itu pasti akan menggerus kharisma mereka… (Kusnadi, nama samaran, Cabub)

Biaya politik mahal
Biaya politik menjadi sangat tinggi, di mana pada akhirnya kekuatan uanglah yang menjadi faktor utama penentu kemenangan dalam Pemilukada. Konon, setidaknya setiap Cabup/Cawabub yang bertarung dalam Pemilukada 2010 di Kabupaten X tersebut harus keluar uang Rp 5 – 10 milyar.

Rakyat menerima pendidikan politik yang salah
Terjadinya perubahan perilaku rakyat sebagai pemilih tentu bukan tanpa sebab. Kondisi tersebut justru harus dipandang sebagai akibat dari gagalnya atau bahkan tidak adanya pendidikan politik yang sehat dari negara dan institusi politik khususnya partai-partai politik. Pendidikan politik selama Orde Baru hanya menghasilan pemilih yang hanya bisa “mencoblos” saja. Setelah “Reformasi” ternyata pendidikan politik bagi rakyat juga tidak sehat. Anggotannya, parlemen dan pemerintahan yang terpilih banyak yang justru menunjukkan perilaku yang tidak terpuji: banyak yang mangkir dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, serta menunjukkan perilaku snob serta banyak diantaranya yang terlibat kasus korupsi. Pada akhirnya rakyat juga “meniru” perilaku para politisi dan pejabat tersebut. Ungkapan “wani piro?” yang populer belakangan ini menjadi simbol dari perubahan perilaku dan relasi antara rakyat dan politisi dan pejabat tadi.

Sementara upaya pendidikan politik umumnya dilakukan NGO atau CSO, yang tentunya menjadi terbatas jangkauannya.

“Jadi pencerdasan-pencerdasan politik di kabupaten (ini) belum ada itu… Apalagi partai-partai politik yang melakukan pencerdasan politik itu cuma NGO-NGO kecil gitu kan… Ya dengan swadaya semampunya melakukan pencerdasanpencerdasan politik… Kalau partai politik ya gitu, yang diterapkan politik transaksionalnya, bukan pencerdasan masyarakat… Yang membawa visi misi untuk lima tahun ke depan gimana… jarang itu partai politik…” (Nanang, nama samaran, anggota Forum Warga)

Namun sebagai hiburan, perlu ditambahkan mengenai trend tersebut, yaitu bahwa fenomena vote buying juga terjadi dimana-mana di seluruh belahan dunia, meskipun secara normatif hal tersebut dipandang sebagai illegal. Uang dan politik memang saling terkait satu sama lain khususnya pada momentum pemilihan umum. Studi di Taiwan, Thaiand, dan Meksiko menunjukkan adanya jaringan broker politik yang berperan mempengaruhi jaringan sosial di masyarakat secara transaksional (Bryan dan Baer, eds., 2005). Sementara hasil studi di 22 negara Asia, Afrika, Eropa dan Amerika Latin oleh The National Democratic Institute (NDI), menggambarkan adanya keterkaitan antara politik uang saat Pemilu dengan korupsi yang terinstitusionalisasi dalam partai politik (Schaffer, ed., 2007). Dalam konteks Indonesia, temuan penelitian ini mengkonfirmasi kelemahan Pemilu/Pemilukada yang diulas Djojosoekarto dan Hauter (2003). Adanya jaringan broker politik dalam Pemilu/Pemilukada bahkan Pilkades juga dikemukan oleh Kusnadi, salah seorang Cabub yang menjadi informan dalam penelitian ini.

“Ente’ piro?"  -vs- “Entu’ piro?”
Apakah cerita tadi hanya anekdot yang terjadi di suatu tempat dan waktu tertentu saja? Atau ini juga yang dialami oleh para Calon Legislatif yang saat ini tengah “berjuang” merebut hati rakyat dalam Pemilu 2014? Bisa jadi ceritanya masih mirip-mirip ya.  Sangat menarik kalau ada yang mau share juga disini…  Singkat kata, kalau boleh tahu, Ente’ piro? (Bahasa Jawa: Habis berapa?) buat modal keliling dan kampanye?

Tapi mengikuti cara berpikir teman-teman yang selalu positive thinking, maka tentulah dilarang untuk pesimis…  Bisa jadi proses belajar masyarakat secara umum memang baru sanggup sampai di level ini ya… Selain itu, pastilah masih banyak Caleg yang berniat lurus dan dapat memperoleh dukungan suara yang tulus dari konstituennya. Berhubung banyak teman dari Sabang sampai Merauke yang saat ini menjadi Caleg, saya doakan semoga tabah dan sehat selalu (kesehatannya dan keuangannya tentu). Amiin…

Dan sebagai rakyat biasa, saya hanya bisa berharap, semoga setelah Pemilu 2014 nanti tidak sampai harus mengajukan pertanyaan tambahan, baik ke masyarakat maupun para Caleg  (terutama teman-teman yang jadi Caleg): “Entu’ piro?” (Bahasa Jawa: Dapat berapa?), baik mengenai perolehan suaranya, maupun hasil “pampasan perang”-nya… he...he...