Baca

Baca

Jumat, 13 November 2015

"International Citizens’ Tribunals: Ketika Warga Dunia Mencari Keadilan"


Pengantar Penerjemah:

Pada tanggal 10-13 November 2015 diselenggarakan The International People’s Tribunal for the 1965 Crimes Against Humanity atau tribunal rakyat internasional untuk kejahatan melawan kemanusiaan pada tahun 1965, yang diselenggarakan di kota Den Haag, Belanda. Pemerintah Indonesia menjadi tersangka dengan tuduhan telah melakukan pembunuhan, perbudakan, penahanan, penghilangan paksa orang-orang, dan penganiayaan melalui propaganda, yang berkaitan langsung dengan peristiwa 1965 (lihat "The International People’s Tribunal for the 1965 ...)

Untuk menambah pemahaman mengenai konsep tribunal tersebut, saya membaca kembali sebuah buku lama yang ditulis oleh Arthur Jay Klinghoffer dan Judith Apter Klinghoffer pada tahun 2002 yang berjudul International Citizens’ Tribunals: Mobilizing Public Opinion to Advance Human Rights. Agar lebih mudah membacanya bagi sebagian orang, saya berupaya menerjemahkan sebagian dari buku tersebut, yaitu pada Bab I yang berjudul “Citizens’ Power “ (hal.1-10).

Semua kesalahan dan kekurangan dalam terjemahan ini adalah karena keterbatasan saya semata. Bagi yang tertarik, ada baiknya membaca dan/atau membeli sendiri buku ini.

Salam

Candra





Bab I
Kekuatan Warga
(Citizens’ Power)

"'Kami akan menjadi hakim, Kami akan menjadi juri," kata Bertrand dengan amarah: Dan vonis baru saja kami rilis kepada pers'."[1]

Ode sarkastik ini dikirim ke Presiden Lyndon Johnson pada bulan Januari 1967 oleh ajudannya Joseph Califano. Pada saat itu, filsuf Inggris Bertrand Russell tengah sibuk menyiapkan tribunal internasional untuk menuntut Amerika Serikat dengan kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan genosida di Vietnam. Tribunal seperti tidak memiliki legal standing, tetapi pemerintah AS sangat khawatir dampak hubungan masyarakatnya. Kekuasaan seolah-olah sedang diserahkan ke tangan warga yang peduli, dan bahkan Amerika Serikat tidak bisa tidak juga menyadari adanya ancaman serius bagi kedaulatan dan status internasional-nya. Otoritas negara sedang ditantang atas dasar praktik hak asasi manusia, dan keadilan sedang dimainkan melintasi batas-batas nasional. Apakah proses tersebut latihan instruktif di pernyataan demokratis, kemenangan standar liberalisme tentang objektivitas, atau itu-seperti yang tersirat dalam lagu pendek-  sebuahbentuk baru dari  kangaroo court saja? Dapatkah cara populis ini mengangkat parodi terbesar keadilan dari penyimpangan negara?

Evolusi
Setelah Perang Dunia I, ada reaksi publik terhadap Realpolitik dan negarawan yang menjadi praktisi. Hukum dan etika tumbuh untuk kepentingan, seperti yang diserukan Woodrow Wilson pada masyarakat dunia yang diwujudkan dalam Liga Bangsa-Bangsa, yang bisa menyelesaikan perselisihan atas dasar hukum internasional. Opini publik menjadi dasar untuk  orde Wilsonian, karena presiden Amerika tidak membayangkan prospek Liga Bangsa-Bangsa sebagai pemerintahan dunia, melainkan sebagai kekuatan moral universal.

Walter Lippmann cepat membangun reputasinya sebagai ahli teori yang paling berpengaruh mengenai peran opini publik. Dia adalah seorang jurnalis lulusan Harvard dan intelektual publik yang membantu administrasi Wilson mempersiapkan konferensi perdamaian Versailles dan mempublikasikan pandangannya secara luas melalui kolom surat kabar, buku, dan perannya sebagai associate editor pada sebuah majalah liberal terkemuka, The New Republic. Lippmann menyadari bahwa intervensi opini dunia itu pasti akan bersifat intermiten (terputus-putus), dan bahwa orang-orang dengan keahlian tertentu dan "para penonton yang tertarik" pasti akan memimpin. Namun, warga negara internasional yang peduli adalah penting untuk memeriksa kekuasaan yang sewenang-wenang. Tujuannya adalah untuk mempengaruhi "jalannya urusan," tapi, tentu saja, publik hanya dapat menjadi aktor yang dilibatkan dan tidak dapat mengangkat masalah itu dengan sendirinya. Lippmann menjelaskan: "Opini publik pada ideal tertingginya akan membela orang-orang yang siap untuk bertindak atas alasan mereka melawan kekuatan yang mengganggu orang-orang yang hanya menyatakan keinginan mereka."[2]

Tekanan publik, terutama di Inggris, memberikan kontribusi untuk menuntut Kaiser Wilhelm II dari Jerman dengan kejahatan perang dan pemimpin Turki dengan kejahatan terhadap kemanusiaan atas kekejaman yang dilakukan selama pengusiran warga  Armenian.[3] Pertimbangan diplomatik dan masalah yurisdiksi domestik, menyebabkan, dengan cepat mengalihkan jalannya keadilan, dan tidak ada penuntutan yang berarti terhadap para pelaku.

Para pembela HAM membentuk komisi penyelidikan internasional selama periode antara sebagai penangkal terhadap tidak efektifnya hukum. Panel beranggptakan para intelektual ini meneliti lembaga-lembaga hukum Nazi Jerman dan Uni Soviet dengan menyelenggarakan dengar pendapat tentang Reichstag tahun 1933 dan acara persidangan Moskow 1936. Komisi seperti itu selaras dengan keyakinan Lippmann bahwa orang-orang dengan pengetahuan khusus dan pendidikan akan berada di garis depan pembentukan opini publik di bidang kompetensi khusus mereka. Bagian dari masyarakat yang kurang informasi hanya akan memiliki peran yang kecil dalam mempengaruhi urusan negara, karena ada kebutuhan untuk "sebuah organisasi ahli independen untuk membuat fakta-fakta yang tak terlihat dapat dimengerti oleh mereka yang harus membuat keputusan."[4]

Pendekatan elitis ini persis yang diadopsi oleh komisi tadi. Anggota mereka bukanlah warga negara rata-rata, seperti mereka yang bertugas menjadi juri di pengadilan, tapi adalah mereka yang memiliki kepribadian yang menonjol dengan keterampilan hukum dan memiliki kedudukan sosial dan politik yang cukup tinggi. Mereka menyadari keterbatasan resmi dari usaha mereka tersebut tetapi memiliki keyakinan yang kuat bahwa masyarakat akan mengkompensasi dengan mengerahkan pengaruh mereka terhadap jalannya keadilan.

The Russell Tribunal melanjutkan tradisi dua tribunal sebelumnya dalam arti memanfaatkan opini publik sebagai kendaraan bagi perjuangan hak asasi manusia. Ini berbeda, dengan bentuk hubungan antar negara di bawah hukum internasional -- sehingga setting arena untuk dengar pendapat nanti yang mengubah hukum tersebut ke arah radikalisme kiri. Dalam teori hukum yang muncul dari kalangan Kiri Baru, istilah "pengadilan rakyat internasional" (international people’s tribunals) telah menjadi standar sejak akhir 1970-an. Penggunaan istilah "rakyat" disini dengan konotasi ideologis dari konsep totaliter dan terroristik tentang keadilan, sayangnya merusak citra demokrasi yang oleh para pendukungnya coba didorong. Memang, Nazi memiliki "pengadilan rakyat" yang dapat menjatuhkan hukuman mati pada orang-orang yang dianggap anti-Hitler dengan cara apapun, dan Brigade Merah di Italia yang mementaskan "pengadilan rakyat" untuk menentukan nasib pejabat negara yang diculik. Penelitian ini, dalam rangka untuk menonjolkan norma partisipatif tapi non-extremis, karena itu akan mengacu pada badan kuasi-yudisial di bawah pemeriksaan "pengadilan warga internasional" (international citizen’s tribunals).

Tribunal macam ini sekarang semakin sering dilakukan, dan ruang lingkup mereka semakin luas dengan memasukkan hak-hak perempuan, hak masyarakat adat, dan hak-hak pekerja. Sebuah metamorfosis dinamik dari sistem hukum internasional sekarang sedang diupayakan, tapi hanya ada sedikit perhatian pada fenomena ini. Perbaikan diperlukan dalam rangka, agar  international citizen’s tribunals layak untuk diakui- seperti yang sudah dievaluasi secara kritis.

Peningkatan Humanitarian
Sebelum abad kedua puluh, individu-individu hanya menjadi objek dalam sistem hukum internasional yang berfokus pada negara. Saat ini mereka telah menjadi subyek sebagai akibat dari menurunnya kedaulatan negara dalam tatanan internasional yang baru. Kekurangan dari hukum internasional dalam mengatur perilaku negara telah terbukti sejak Sistem Hague (Hague System) gagal mencegah atau menghentikan Perang Dunia I, dan Liga Bangsa-Bangsa tidak mampu untuk mencegah Perang Dunia II.

Konflik antara negara telah, tentu saja, menjadi endemik selama ribuan tahun. Lebih penting bagi perkembangan hukum internasional meningkatnya kekhawatiran tentang bagaimana negara, melalui penyimpangan hukum dalam negeri mereka masing-masing, memperlakukan warga negara mereka sendiri. Nazi Jerman dan Uni Soviet Komunis telah menggunakan instrumen kekuasaan mereka untuk melakukan represi internal sehingga konsep totalitarianisme masuk ke dalam kosakata politik. Dalam keadaan seperti itu, legitimasi tribunal telah dipertanyakan oleh para intelektual liberal yang menekankan pada cara ketimbang tujuan, dan kebenaran obyektif daripada dogma ideologis. Hal demikian menjadi wajar saja ketika dua tribunal pada international citizens’ tribunals yang pertama kali diselenggarakan adalah yang berkaitan dengan Jerman dan Uni Soviet, yang dibentuk untuk menyelidiki proses hukum dalam konteks berkembangnya totalitarianisme. Intervensi sementara atas ketidakadilan tersebut masih sedang dilakukan yang mungkin dapat mempengaruhi proses peradilan atau, setidaknya, mengekspos kepalsuan yang dilakukan oleh sistem hukum totaliter.

Relatif suksesnya  Pengadilan Militer Internasional (International Military Tribunal) yang diselenggarakan di Nuremberg dan Tokyo setelah Perang Dunia II menandai titik balik yang penting dalam hubungan negara dan warga negara. Prinsip-prinsip hukum baru yang diterapkan mengenai yurisdiksi global terhadap masalah internal dan tanggung jawab individu atas tindakan negara-- termasuk penuntutan pejabat pemerintah atas tindakan-tindakan yang dilakukan sesuai dengan hukum nasionalnya. Pembentukan Komisi PBB tentang Hak Asasi Manusia (1946), Konvensi Genosida (1948), dan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi dan Sosial dan Hak Sipil dan Politik (1966) segera dijalankan.[5]

Tribunal Russell (The Russell Tribunal) terkait perang Vietnam (1967 ) mencoba melanjutkan tradisi Nuremberg. "Kejahatan terhadap kemanusiaan" (crimes against humanity) dan akuntabilitas hukum dari para pejabat pemerintah sepatutnya diakui. Jadi, juga, adalah pentingnya membangun struktur yuridis baru, seperti tribunal, yang sebelumnya tidak ada. PBB tidak termasuk badan/lembaga yang berwenang untuk memeriksa masalah seperti dugaan kejahatan perang Amerika di Vietnam. Dapat ditebak, Amerika Serikat tidak berniat atas kehendak sendiri untuk menyampaikan isu itu ke proses evaluasi yang dilakukan oleh panel supranasional, bahkan atas dasar standar hukum Nuremberg. Ini dikhawatirkan, secara realistis, bahwa dokumentasi dan fakta yang diajukan sebagai bukti dapat merusak basis etika dari kebijakan tersebut.[6]

Bagi para pendukung Russell Tribunal, hal itu merupakan titik kunci. Nuremberg adalah ex post facto, tapi tribunal mereka berpotensi mengubah tindakan Amerika dan menghentikan war.[7] Nuremberg itu dianggap "keadilan oleh para pemenang " (victors’ justice) yang diterapkan oleh para hakim dari pihak Sekutu, sedangkan Russell Tribunal termasuk panelis dari Amerika-- meskipun tidak mewakili pemerintahnya.[8] Hal yang paling signifikan disini adalah, bahwa warga dan bukan negara-negara yang menjalankan mesin keadilan itu. Russell, mengulang apa dipikirkan oleh Lippmann, dengan bangga berseru: "Tribunal kami, harus dicatat, tidak dijalankan oleh kekuasaan Negara. Juga tidak dilakukan oleh kekuatan para tentara pemenang perang. Tidak ada klaim lain selain otoritas moral."[9]

Sejak berakhirnya Perang Dingin, masyarakat internasional telah berusaha untuk menegaskan otoritas bagi kelanjutan hak asasi manusia. Intervensi militer PBB atas dasar Bab VII ketentuan Piagam PBB sekarang ditafsirkan sedemikian rupa sehingga tindakan internal dalam negara dapat dianggap ancaman terhadap perdamaian dan keamanan internasional karena menciptakan pengungsi lintas batas. PBB juga telah membentuk tribunal untuk menangani pelanggaran hak asasi manusia (termasuk genosida) di bekas negara Yugoslavia dan Rwanda, dan Mahkamah Pidana Internasional yang baru juga sedang dibentuk. Namun demikian, upaya tersebut memiliki cacat umum: Amerika yang memegang hak veto di Dewan Keamanan dapat membuatnya menghindar sebagai target. International citizens’ tribunals karenanya dapat berfungsi sebagai mekanisme korektif di mana intelektual publik memobilisasi opini publik dunia terhadap negara-negara kuat yang sebelumnya terlindung dari sanksi di bawah hukum internasional. Jika tidak adanya struktur hukum yang efektif dan permanen menjadi masalah, maka tribunal ini dapat menawarkan solusi yang tepat.

Tantangan Radikal
Tribunal yang menangani the Reichstag fire (pembakaran Reichstag yaitu gedung parlemen Jerman tahun 1933), Moskow Trials (pengadilan Moskow ala Stalin tahun 1936-1938), dan Perang Vietnam didasarkan pada konsep hukum yang agak tradisional. Sekarang sebagian pendukung tribunal (meskipun sesungguhnya mereka adalah para elit intelektual itu sendiri) mengajukan visi yang lebih radikal dan populis yang didasarkan pada konsep "demokrasi transnasional" (transnational democracy) dan "globalisasi dari bawah" (globalization from below), dan menggambarkan panel-panel itu sebagai kesatuan dari sebuah "kemunculan masyarakat sipil global" (emerging global civil society). Mereka menolak globalisasi yang diarahkan dari atas, dan secara pejoratif disebut sebagai "kapitalisme global." Tujuan utamanya adalah untuk mengubah hukum internasional sehingga keadilan dapat didasarkan pada menyuarakan mereka yang dianggap lemah dan tertindas. Sayangnya, ini mungkin dengan mengorbankan proses hukum.

Spesialis hukum internasional dari Universitas, Richard Falk, berpendapat bahwa "hukum milik kita semua" dan "kita harus merebut kembali dari kekuatan destruktif yang mengkristal dalam politik kekuasaan kekaisaran pada saat ini."[10] Pengacara dan politisi sosialis dari Italia, Lelio Basso, sekarang sudah meninggal, mengartikan tribunal sebagai "emanasi dari kehendak rakyat" dan menyatakan bahwa masyarakat sendiri, bukan negara, harus menjadi lokus kekuasaan dalam masyarakat internasional. Dia melihat legitimasi tribunal berasal dari interpretasi atas kesadaran moral.[11] Harvey Cox, profesor ilmu keagamaan Harvard, sama mendalilkan bahwa hukum alam harus dilakukan bahkan jika negara tidak menyusun prinsip-prinsip ke dalam hukum positif. Pemerintah yang gagal melindungi warganya dianggap melanggar hukum alam/kodrat.[12]

Sesuai dengan interpretasi ini, warga negara memiliki tanggung jawab sekunder untuk bertindak melawan ketidakadilan jika negara-negara dan organisasi internasional lalai untuk melaksanakan tanggung jawab utama mereka. Peraih hadiah Nobel Perdamaian Jose Ramos Horta dari Timor Leste menyatakan bahwa jika pemerintah tidak membela hak-hak rakyat, maka "kita harus menemukan bentuk-bentuk baru dari tindakan yang dibutuhkan."[13] Klausul Martens dalam Konvensi Den Haag 1907 dikutip sebagai preseden penting. Hal ini menunjukkan bahwa negara-negara terikat oleh penggunaan yang berasal dari "hukum kemanusiaan dan perintah dari hati nurani publik." Juga disajikan sebagai pembuktian untuk perkembangan pendekatan radikal ini adalah Pasal 1 dan 55 dari Piagam PBB dan Resolusi Majelis Umum 1514 (1960) , yang menyatakan bahwa semua orang berhak untuk menentukan nasib sendiri. Deklarasi Universal Hak-Hak Rakyat (The Universal Declaration of the Rights of Peoples), dirumuskan di Aljir pada tahun 1976, berfungsi sebagai fondasi ideologis gerakan radikal dalam hukum internasional.[14]

Richard Falk menyatakan bahwa "orang-orang di dunia menikmati kedaulatan tertinggi, termasuk hak untuk memiliki bentuk hukum yang sesuai, dan untuk membangun institusi dan prosedur sah yang diperlukan."Dia memandang kedaulatan dalam konteks teoritis Revolusi Perancis, di mana kehendak rakyat ditekankan dan bahwa negara didiskreditkan. Dalam interpretasinya tentang kontra traditional mengenai apa yang merupakan hukum internasional, kedaulatan rakyat secara bertahap diperluas untuk hak kelompok kolektif yang mengacu pada kedaulatan "rakyat." Falk menggambarkan hukum sebagai senjata "progresif", sebuah "alat politik" yang digunakan untuk memfasilitasi perubahan dan dia menyandingkan penafsirannya dengan analis mengenai kelompok "borjuis" yang menekankan pada prosedur dan beresiko jatuh menjadi hanya "legalisme kosong." Bagi Falk, hukum harus menjadi sarana pemberdayaan dan itu termasuk pada perjuangan kelas.[15] Fakta bahwa hukum "borjuis"dalam masyarakat demokratis berasal dari pertimbangan para wakil-wakil terpilih tidak disebutkan.

Masalah, seperti yang berhubungan dengan lingkungan, semakin memperoleh dimensi internasional dan praktik bisnis perusahaan yang semakin menjadi bersifat transnasional. Undang-undang negara, menurut ahli teori hukum Sally Engle Merry, karena itu harus diganti dengan "hukum jamak" (plural law) yang juga mencakup "hukum adat" dan "hukum hak asasi manusia global." International citizens’ tribunals dengan demikian menantang keutamaan hukum negara dan menunjukkan pengakuan dari "gagasan keadilan global." Merujuk pada tribunal tentang hak-hak masyarakat adat di Hawaii, Merry jelas menghubungkan konsep hukum dengan aktivisme politik ketika ia mengacu pada perampasan "bentuk dan simbol hukum dalam upaya untuk memanfaatkan kekuatan dan legitimasi hukum dalam gerakan perlawanan."[16]

International citizens’ tribunals tidak bisa memaksakan keputusan mereka yang melampaui batas negara, tetapi kelemahan ini jelas dapat berubah menjadi keuntungan-- setidaknya secara teoritis. Tribunal tersebut tidak berhutang budi kepada negara, mereka juga tidak dipengaruhi oleh negara-negara tersebut. Ketidakberdayaan demikian terbukti dapat menjadi atribut positif, dan memberi kontribusi bagi legitimasi. Bagaimanapun, militer Sekutu sebagai pemenang perang yang melakukan pengadilan Nuremberg dan Tokyo-- legitimasi mereka masih dipertanyakan saat ini. Tribunal harus secara hati-hati dibedakan dengan komisi kebenaran, meskipun keduanya beroperasi secara terpisah dari sistem pengadilan, karena pada yang terakhir tadi sanksi dijatuhkan oleh negara, didanai dan diselenggarakan sebagai investigation resmi.[17]

Gambaran Paralel
Ketika membandingkan international citizens’ tribunals, isu-isu hubungan masyarakat, waktu, dan efek pada negara yang menyediakan tempat menjadi sangat penting. Karena tribunal ini tidak memiliki kedudukan hukum dan mungkin tidak memberlakukan hukuman, dampak hubungan masyarakat melalui perhatian media adalah kunci untuk memajukan kasus hukum dan moral mereka. Seperti hasil pengamatan Lelio Basso: "Media massa merupakan saluran utama antara kami dan masyarakat internasional, yang sekaligus matriks dan lengan eksekutif kami."[18] Seperti yang akan ditunjukkan, tribunal telah mencoba untuk memaksimalkan cakupan dengan menekankan peran selebriti seperti Albert Einstein, John Dewey, Jean-Paul Sartre, dan Simone de Beauvoir, dan dengan mengakui bahwa perhatian media suatu negara dapat ditingkatkan ketika salah satu warganya yang memiliki kredibilitas tinggi dapat berperan sebagai anggota tribunal.

Terkait dengan waktu, adalah penting untuk juga mempertimbangkan apakah tribunal dilaksanaan untuk mempengaruhi putusan sidang yang sedang berlangsung. Jika demikian, perilaku negara bisa dimodifikasi dan tribunal dapat memiliki efek jera pada tindakan di masa depan melalui proses yang sama dengan pemberian sanction.[19] Sebaliknya, ex post facto tribunal yang berurusan dengan genosida Armenia tahun 1915 sampai1916 dan perlakuan terhadap penduduk asli Amerika di abad sebelumnya kurang memiliki dari dampak terhadap kebijakan kontemporer. Mereka tetap melakukan fungsi penting dari pengakuan publik, atau bahkan permintaan maaf.

Hal yang perlu dipertimbangkan juga adalah dampak bagi negara-negara yang menjadi tuan rumah pelaksanaan tribunal. Apa tujuan kebijakan luar negeri yang ingin dicapai ketika suatu negara mengizinkan international citizens’ tribunal untuk dilaksanakan di wilayahnya, dan bagaimana sesi tribunal tersebut berinteraksi dengan perpecahan politik internal yang terjadi negara itu? Selanjutnya, apa upaya yang dilakukan oleh negara-negara yang dituduh melemahkan organisasi tribunal?

Tribunal, sejauh ini, memiliki kekurangan yang telah menghambat keberhasilan, tetapi kebanyakan dari masalah tersebut dapat diperbaiki. Mereka dibentuk dalam cara yang agak elitis, bukan demokratis, oleh komite yang menunjuk dirinya dan mencoba untuk mengumpulkan para partisan. Akibatnya mungkin ada beberapa alasan politis yang tidak diumumkan ke publik selain dari alasan keadilan, dan panelis dapat dipilih berdasar kecenderungan ideologis dan bukan semata karena kejujuran hukum mereka. Bertrand Russell yang telah mencoba untuk menangani isu ini yang menjadi opini sebelum pengadilan diselenggarakannya tribunal Vietnam, mengakui bahwa mereka diundang untuk dapat memberi  keyakinan yang kuat. Dia mempertahankan, bagaimanapun, bahwa panelis tersebut adalah orang-orang yang memiliki karakter yang kuat dan dapat bersikap adil. Anda tidak perlu menjadi acuh tak acuh, menurut Russell, tidak memihak, dan tidak memiliki pikiran yang kosong untuk menjamin adanya sebuah pemikiran terbuka.[20] Mungkin dapat saja memang begitu, tapi penampilan mereka yang cenderung  memihak dapat merusak kredibilitas tribunal di mata media-- terutama ketika vonis yang dijatuhkan agak ekstrim, termasuk temuan genosida, diumumkan. Jelaslah bahwa panelis pada tribunal sering menalankan tugas mereka dengan keyakinan yang jelas bahwa ketidakadilan telah terjadi. Daripada mempertanyakan premis-premis dari kasus itu yang perlu mereka pertimbangkan, mereka lebih peduli dengan pengumpulan bukti yang dapat digunakan untuk memvonis (effect a remedy).[21]

Hal yang juga diperdebatkan adalah penolakan umum oleh pendukung tribunal dengan kesetaraan moral. Sama seperti halnya ketika kejahatan yang dilakukan Sekutu tidak diangkat dalam pengadilan Nuremberg atau Tokyo, international citizens’ tribunals yang kemudian ternyata juga tidak ingin memberikan status yang sama dengan kejahatan oleh mereka yang telah diidentifikasi sebagai korban. Mereka yang dalam posisi lemah, menurut para pendukung tribunal, namun mewakili kehendak rakyat dan karena itu mungkin mengambil jalan tindakan tindakan kekerasan sebagai "perlawanan." Setiap kejahatan perang yang dilakukan sebagai bentuk perlawanan tidak dianggap memiliki kesetaraan moral dengan tindakan oleh mereka yang memiliki kekuatan superior dan melanggar norma-norma internasional secara sistematis.[22] Namun, kegagalan untuk mengakui tanggung jawab ganda telah menjadi amunisi yang kuat bagi para pengkritik tribunal.

Meskipun international citizens’ tribunals  bukan merupakan badan peradilan formal, mereka tetap menekankan kepatuhan terhadap prosedur hukum dalam rangka meningkatkan legitimasi mereka. Ketika mengevaluasi keadilan mereka, perlu diajukan pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah ada anggota tribunal yang berkomentar sebelum dengar pendapat tentang masalah kesalahan (the matter of guilt)? Apakah pemeriksaan silang pada saksi diizinkan? Adalah panelis absen dari persidangan selama presentasi bukti? Apakah tuduhan pelanggaran hukum telah memperhitungkan perbedaan antara apa yang direncanakan terlebih dahulu dan konsekuensi yang tidak diinginkan? Hal yang juga dapat  bermasalah dalam konteks hukum adalah mengenai partisipasi para tertuduh. Mereka sering diundang tapi jarang setuju untuk muncul karena apa yang mereka anggap sebagai forum bias. Kadang-kadang, tribunal menunjuk seorang ahli untuk menyajikan kesaksian atas nama tertuduh-- namun pasti dari kubu penuntut tetap yang mendominasi jalannya tribunal. Absennya tertuduh kemudian cenderung menjadi norma (hal yang umum) dan bukan pengecualian.

Tribunal kadang-kadang sampai pada keputusan/vonis namun tanpa melalui musyawarah. Hal ini terutama berlaku dalam hal sesi yang berlangsung hanya satu atau dua hari-- termasuk didalamnya untuk mendengar pernyataan/testimoni dari para saksi. Hal ini menyebabkan munculnya kecurigaan bahwa putusan/vonis telah ditentukan sebelumnya, atau bahkan sudah ditulis sebelum tribunal dimulai. Meskipun tidak secara langsung mengacu pada pengadilan Reichstag fire, Moskow show trial, dan tribunal Vietnam, itu sayangnya hal semacam itu terjadi kasus lain. Sebagai contoh, sebuah tribunal yang menyelidiki bahaya globalisasi mengakui bahwa dakwaan telah disetujui dengan cepat, tapi mereka membenarkan tindakan tersebut dengan alasan bahwa para panelis sebelumnya telah memiliki pengetahuan yang cukup tentang masalah tersebut dan "tidak mulai lagi dari nol." Lebih jauh, ada juga dugaan yang kuat bahwa teks dakwaa telah disiapak sebelumnya, yang ditunjukkan oleh komentar bahwa "panel akan menandatangani surat dakwaan jika mereka setuju dengan maksudnya" (the panel will sign the indictment if they agree with its general tenor)[23]

Menerapkan terminologi legalistik dalam hal ini sering membingungkan. Komisi penyelidikan menonjolkan pencarian kebenaran karena mereka mengumpulkan bukti dan datang dengan "temuan;" mereka tidak terlalu menganggap fungsi yuridis, tapi jangan mencoba untuk mempengaruhi proses hukum yang sedang berlangsung. Sejak dengar pendapat Russell tahun 1967, istilah "tribunal" --dengan nuansa siding pengadilan-- telah menjadi standar yang digunakan. Tidak ada klaim mengenai otoritas aktual atau yurisdiksi, tapi format kuasi-legal ini telah menimbulkan kebingungan tentang peran anggota tribunal. Karena tidak ada struktur perdebatan hukum secara formal, mereka mungkin tampak bertindak seperti jaksa. Secara keseluruhan, di sana tidak akan ada tribunal dan yang ada hanyalah bukti-bukti kejahatan saja.

Gambaran anggota tribunal sebagai hakim atau juri adalah bertentangan dengan peran penuntutan.[24] Hakim cenderung mencerminkan orang yang memiliki pelatihan hukum dan mengajukan perbedaan pendapat. Juri adalah orang awam yang merumuskan vonis atas dasar konsensus. Mengacu pada Russell Tribunal, Sartre berkomentar bahwa anggota tribunal tidak akan mengenakan jubah, karena juri tidak memakai pakaian seperti itu. Namun Russell sendiri memiliki interpretasi yang agak berbeda, karena melihat para anggota tribunal lebih sebagai "saksi."[25] Pengamatan ini sejalan dengan argumen populis radikal bahwa anggota tribunal tidak harus mengambil tanggung jawab sebagai hakim, karena setiap orang berhak untuk menghakimi, terutama mereka yang terkena dampak langsung dari masalah yang disidangkan.[26] Melihat tribunal sebagai dewan juri mungkin paling tepat (instruktif). Mereka dapat menyaring melalui bukti untuk menentukan apakah sebuah surat dakwaan harus disusun, fungsi yang lebih cocok daripada menyiapkan putusan, karena pihak tertuduh jarang memiliki kesempatan untuk mempresentasikan kesaksiannya.

Refleksi
Pada tribunal Reichstag fire dan Moskow show trial ditekankan hak tertuduh untuk memiliki proses dengar pendapat  yang adil dan tidak memihak, dengan ketua panel terakhir, John Dewey, menekankan bahwa demokrasi adalah lebih sebagai proses daripada tujuan.[27] Dimulai pada Russell Tribunal, prosedur standar yang pragmatis telah memberikan cara untuk interpretasi yang lebih didasarkan pada penerapan hukum internasional (dengan kasus Mumia Abu-Jamal menjadi pengecualian).[28] ini adalah karena pengaruh dari pengalaman pengadilan Nuremberg, serta upaya universalisasi pedoman pengadilan. Hal ini penting untuk mengenali, bagaimanapun, bahwa kerangka hukum sejak Russell Tribunal telah didasarkan pada perkembangan baru dalam interpretasi radikal atas hukum internasional yang ditolak oleh banyak kalangan tradisionalis.

Tribunal telah bergeser dari pemeriksaan atas kesalahan dalam menegakkan keadilan (examinations of miscarriages of justice) terhadap individu tertentu menjadi dakwaan yang lebih luas terhadap "sistem." Anti-kapitalis, sikap dekonstruksionis secara jelas hadir dalam deskripsi mengenai tribunal berikut ini: "Mereka membantu pindah ke pengetahuan yang lebih dalam, menjalin bersama-sama analisis obyektif dengan kesaksian subjektif, pribadi dengan politik, menantang logika mengenai wacana dominan hak asasi manusia, pembangunan, globalisasi, dari semua yang hegemonik dan berkuasa."[29] Pada intinya, tribunal telah menjadi senjata dari kaum kiri radikal dalam pertempuran melawan "kapitalisme global"; jika negara-negara dapat bersatu untuk menciptakan kerangka G-7, maka anti-kapitalis dapat melawannya dengan tribunals.[30] Sampai dengan contoh yang barusaya terjadi yaitu dengar pendapat tentang komunisme Lithuania, tidak ada tribunal yang memiliki agenda politik sayap kanan dan infrastruktur untuk tribunal telah disediakan oleh kaum radikal melalui tribunal Russell II, Lelio Basso International Foundation yang berbasis di Italia, dan Permanent People’s Tribunal.

Para pendukung tribunal mendorong pendekatan baru dalam hukum internasional untuk mengidentifikasi faktor kelembagaan yang menjadi penyebab masalah, dan mengkritik kaum liberal yang mereka tuduh telah gagal untuk melakukannya, meskipun mereka sadar akan efeknya.[31] Konflik antara penekanan pada  tujuan ideologi dan dan konsentrasi kaum liberal pada cara mencapai tujuan, sekarang menjadi ciri dari pola sebelumnya. Sedikit perhatian perlu diberikan pada Arthur Garfield Hays dan John Dewey, para pendukung liberal dari dengar pendapat Reichstag fire dan Moskow show trial. Berkembangkannya hubungan antara international citizens’ tribunals dan platform populis radikal memiliki dampak negatif dalam hal hubungan masyarakat, yang ditunjukkan dengan berkurangnya perhatian media terhadap sejumlah kasus belakangan ini.

International citizens’ tribunals mengisi kebutuhan dalam sistem keadilan saat ini, dan tidak mengherankan bahwa jumlah mereka teru bertambah. Melalui pemeriksaan tiga contoh terobosan (path breaking) di abad kedua puluh lalu, ditambah sejumlah proses dengar pendapat pada beberapa tahun terakhir, penelitian ini mencoba untuk mengeksplorasi mengapa tribunal dibentuk, oleh siapa, prosedur apa yang mereka mengadopsi, dan apa hasil yang mereka hasilkan. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi cacat, dan kemudian mengusulkan solusi yang dapat memperkuat proses. Tribunal memang dapat berkontribusi untuk kepentingan publik, dan kondusif terhadap memajukan masyarakat sipil, tapi pertama mereka harus menjalani reformasi dan kembali ke prinsip dasar dalam mempromosikan nilai-nilai demokrasi dan keadilan tanpa memandang perbedaan ideologi (the ideological blindness of justice).



Endnote:
[1] Sajak Ogden Nash dikutip dari memo Joseph Califano kepada Lyndon Johnson, 12 January 1967 (White House Central Files, box 339, nama file [Russell], LBJL).
[2] Walter Lippmann, The Phantom Public (New York: Harcourt, Brace, 1925), pp. 55, 69–70, and 197.
[3] Henry Kissinger, Diplomacy (New York: Simon and Schuster, 1994), pp. 232, 235, and 247 and Gary Jonathan Bass, Staying the Hand of Vengeance (Princeton, NJ: Princeton University Press, 2000), chapters 3 and 4.
[4] Walter Lippmann, Public Opinion (New York: Macmillan, 1947), pp. 31 and 408. Buku ini diterbitkan pertama kali tahun 1922.
[5] Genosida disebutkan pada pengadilan Nuremberg, tapi tidak termasuk dalam dakwaan terhadap terdakwa dan bukan merupakan konsep hukum yang operatif. Untuk diskusi tentang evolusi konsep genosida dan penerapannya di pengadilan, lihat Arthur Jay Klinghoffer, The International Dimension of Genocide in Rwanda (London: Macmillan, 1998).
[6] John Duffett, ed., Against the Crime of Silence (New York: Simon and Schuster, 1970), p. 33; Frank Browning and Dorothy Forman, eds., The Wasted Nations (New York: Harper and Row, 1972), pp. vii–viii; dan Ebbe Reich, Ekstra Bladet, November 22, 1967.
[7] Duffett, p. 650.
[8] Russell in Duffett, p. 4 and Sartre in Duffett, p. 44.
[9] Bertrand Russell, War Crimes in Vietnam (London: Allen & Unwin, 1967), p. 125.
[10] Richard Falk adalah terotisi hukum yang paling menonjol dalam isu international citizens’ tribunals. Lihat The International People’s Tribunal, The People vs. Global Capital (New York: Apex, 1994) dan Marlene Dixon, ed., On Trial: Reagan’s War Against Nicaragua (San Francisco: Synthesis, 1985), p. 20. Lihat juga James Crawford, “Negotiating Global Security Threats in a World of Nations,” American Behavioral Scientist, Vol. 38, No. 6 (May 1995)–available in EBSCO.
[11] Lelio Basso, “Inaugural Discourse,” in William Jerman, ed., Repression in Latin America (Nottingham: Spokesman Books, 1975), pp. 4–5.
[12] Harvey Cox, “Foreword,” in Dixon, pp. ii–iii.
[13] “The 1997 People’s Summit on APEC,” http://www.vcn.bc.ca/summit/popindex.htm; Permanent People’s Tribunal, A Crime of Silence: The Armenian Genocide (London: Zed, 1985), p. 242; and Gunnar Myrdal in Browning and Forman, pp. vii–viii.
[14] Guenther Lewy, America in Vietnam (Oxford: Oxford University Press, 1978), pp. 224–25; Basso in Jerman, p. 5; dan Bill Bowring, “Socialism, Liberation Struggles and the Law,” http:// members.netscapeonline.co.uk/suzyboyce1/files/book1/3_9.htm
[15] The International People’s Tribunal, p. 4, and interview with Richard Falk, March 6, 2001.
[16] Sally Engle Merry, “Resistance and the Cultural Power of the Law,” Law and Society Review, Vol. 29, No. 1 (1995)—available in EBSCO.
[17] Duffett, pp. 15 and 43; Russell autobiography, p. 215; and Jean-Paul Sartre, “Imperialist Morality,” New Left Review. no. 41 (January–February 1967): 10. Untuk analisis yang sangat baik tentang komisi kebenaran, lihat Priscilla Hayner, Unspeakable Truths: Confronting State Terror and Atrocity (New York: Routledge, 2001), especially pp. 14, 16, 23, and 239.
[18] Basso in Jerman, p. 9.
[19] Priscilla Hayner menyatakan bahwa komisi kebenaran yang memeriksa kesalahan masa lalu harus dievaluasi, sebagian, atas dasar dampak kemudian mereka. Lihat Hayner, p. 252. International citizens’ tribunals, sebaliknya, berusaha untuk memiliki dampak yang lebih langsung karena mereka yang berharap untuk menghentikan ketidakadilan sementara hal itu masih berlangsung. Tentu saja, ini adalah tugas yang sulit, karena mengorganisir pengadilan memang memakan waktu.
[20] Bertrand Russell, The Autobiography of Bertrand Russell, Vol. III, 1944–1967 (London: Allen dan Unwin, 1969), p. 216; Russell, War Crimes in Vietnam, p. 126; and National Guardian, December 3, 1966.
[21] Falk interview.
[22] Dalam bahasa Perancis, tanpa keterangan penulis (10.5/384, BRA), dan Russell, War Crimes in Vietnam, p. 127.
[23] The International People’s Tribunal, pp. 5 dan 8.
[24] Duffett, p. 6; Russell, War Crimes in Vietnam, p. 127; and The International People’s Tribunal, p. 1.
[25] Duffett, pp. 32 and 315.
[26] Diana Russell dan Nicole Van de Ven, eds., Crimes Against Women: Proceedings of the International Tribunal (Millbrae, CA: Les Femmes, 1976), p. 240 dan The International People’s Tribunal, p. 123.
[27] Xenia Zeldin, “John Dewey’s Role in the 1937 Trotsky Commission,” Public Affairs Quarterly, Vol. 5, No. 4 (October 1991): 393.
[28] Mumia Abu-Jamal adalah seorang Afro-Amerika radikal yang dihukum pada tahun 1981 karena membunuh seorang perwira polisi Philadelphia, dan dijatuhi hukuman mati. Banding telah menyelamatkannya dari hukuman tersebut.
[29] http://www.grisnet.it/filb, p. 10. This passage appears in a commentary supporting a tribunal investigating sweatshop labor practices. Bagian ini muncul dalam sebuah komentar yang mendukung pengadilan yang menyelidiki praktek kerja sweatshop.
[30] The International People’s Tribunal, p. 124.
[31] The Citizens Commission of Inquiry, The Dellums Committee Hearings on War Crimes in Vietnam (New York: Vintage, 1972), p. 335.


Catatan dari penerjemah:
  • Kangaroo court adalah istilah untuk pengadilan yang tidak resmi dan tidak regular (an irregular unauthorized court).
  • Kangaroo Court adalah juga digunakan sebagai judul lagu dari sebuah grup musik bernama Capital Cities.
  • Ex Post Facto adalah terkait dengan penelitian untuk menyelidiki peristiwa yang telah terjadi, dan selanjutnya merunut ke belakang untuk mengetahui apa yang menjadi penyebab peristiwa tersebut.
  • Sweatshop adalah industri di mana buruh bekerja di pabrik dengan kondisi kerja yang buruk, upah rendah dan jam kerja yang panjang.



"The International People’s Tribunal for the 1965 Crimes Against Humanity"

IPT 1965





Candra Kusuma

Tanggal 10-13 November 2015 menjadi babak sejarah yang baru dalam polemik seputar ‘peristiwa 1965’ di Indonesia. Jauh di Den Haag negeri Belanda sana, di sebuah gedung antik bekas gereja, digelar sebuah pengadilan dalam kasus kejahatan terhadap kemanusiaan pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965. Nama resmi kegiatan ini adalah The International People’s Tribunal for the 1965 Crimes Against Humanity,” tetapi di Indonesia umum disingkat menjadi ‘IPT 1965.’(Tentang konsep tribunal internasional, lihat "International Citizens’ Tribunals: Ketika Warga D...).

Meskipun diselenggarakan di Belanda, kegiatan ini bukanlah atas prakarsa pemerintah Belanda, namun merupakan inisiatif dari kalangan NGO, aktivis HAM, akademisi, praktisi hukum, analis, dan kelompok pendamping korban 1965 dari berbagai negara. Kabarnya, IPT 1965 sedianya akan diselengarakan pada bulan Oktober 2015, bertepatan dengan peringatan 50 tahun peritiwa G30S. Namun karena beberapa sebab akhirnya diundur menjadi tanggal 10 November 2015. Entah disengaja atau tidak, tanggal itu juga merupakan Hari Pahlawan di Indonesia.

Ketua Panitia Penyelenggara IPT 1965 ini adalah Nursyahbani Katjasungkana. Ada tujuh hakim yang memimpin sidang, yaitu Zak Yacoob (ketua), Sir Georffrey Nice, Helen Jarvis, Mireille Fanon Mendes France, John Gittings, Shadi Sadr, Cees Flinterman. Hakim Panitera adalah Szilvia Csevar. Sedangkan yang bertindak sebagai Jaksa Penuntut Umum adalah Silke Studzinsky dan enam orang lagi dari Indonesia, yang salah satunya adalah praktisi hukum Todung Mulya Lubis.

Selain itu, ada sekitar lima orang yang menjadi saksi ahli (diantaranya sejarahwan Asvi Warman Adam), dan sepuluh orang saksi fakta, yaitu mereka yang merupakan korban serta mengetahui dan/atau mengalami langsung peristiwa 1965 lalu. Para saksi fakta tersebut ada yang merupakan WNI, dan ada juga para exile yang terpaksa tinggal diluar negeri karena tidak diakui sebagai WNI atau mereka yang merasa terancam jika kembali ke tanah air pasca peristiwa 1965.

Dalam persidangan ini, pihak yang menjadi tergugatnya adalah negara Republik Indonesia. Jadi gugatannya tidak ditujukan pada individu atau organisasi tertentu. Pemerintah Indonesia tidak mengirimkan wakil/utusannya dalam sidang ini (in absentia). Dalam hal ini Indonesia dituduh telah melakukan pembunuhan, perbudakan, penahanan, penghilangan paksa orang-orang, dan penganiayaan melalui propaganda. Semua tindakan yang dituduhkan tersebut dianggap sebagai bagian dari serangan yang meluas dan sistematik terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI), dan termasuk terhadap orang-orang yang dituduh sebagai anggota dan simpatisannya. Dua dakwaan utama yang diajukan para Jaksa dalam sidang ini adalah pembunuhan massal dan perbudakan.

Dari penyampaian kesaksian, ada banyak informasi dan cerita mengenai pembunuhan, kekerasan fisik dan verbal, pelecehan maupun pembiaran yang sudah pernah didengar oleh publik sebelumnya. Namun ada banyak pula yang tampaknya merupakan informasi yang baru bagi kebanyakan orang dan cukup membuat publik terhenyak, Contohnya, ketika salah seorang perempuan yang menjadi saksi fakta menyebutkan nama salah seorang introgrator --yang belakangan menjadi guru besar yang dihormati (laki-laki, dan saat ini sudah meninggal) di sebuah universitas ternama di Yogyakarta-- sebagai salah seorang pelaku kekerasan dan pelecehan pada masa itu.

Putusan pengadilan rencananya baru akan disampaikan tahun 2016 di Jenewa, Swiss. Namun sebagai ‘pengadilan rakyat,’ IPT 1965 sesungguhnya tidak memiliki yurisdiksi untuk menghukum siapapun. Bagi para inisiator dan pelaksananya, proses dan hasil IPT 1965 lebih diharapkan sebagai bagian dari membangun opini publik dunia yang dapat memberikan tekanan kepada pemerintahan saat ini agar mengakui adanya kejahatan oleh negara terhadap rakyat dan menyelesaikan kasus 1965.

Sidang ini tampaknya cukup menyedot perhatian, diliput banyak media internasional, dan juga dihadiri oleh banyak kalangan termasuk para exile baik yang hidup di Belanda maupun sejumlah negara Eropa lainnya. Dari sejumlah pemberitaan media, tampaknya mereka merasa senang pada akhirnya kasus ini dapat diangkat di pengadilan. Mereka berharap ini dapat membuka jalan penyelesaian yang adil, setidaknya berupa permintaan maaf dari pemerintah Indonesia, bukan kepada PKI, tetapi kepada para korban dan keluarganya.

Respon di Indonesia

Meski sudah 50 tahun berlalu, peristiwa seputar 1965 nyatanya masih merupakan isu yang paling sensitif di Indonesia. Meski terkesan tidak peduli, pemerintah Indonesia tampaknya cukup terganggu dengan kegiatan IPT 1965 tersebut.

Wakil Presiden Jusuf Kalla menganggap IPT 1965 hanyalah pengadilan semu dan bukan pengadilan sungguhan, sehingga tidak perlu ditanggapi serius. Menteri Sekretaris Negara Pratikno menyatakan bahwa Indonesia memiliki sistem hukum sendiri, dan pemerintah sudah berupaya  keras menyiapkan solusi untuk isu pelanggaran HM yang sistematis. Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan menentang pelaksanaan IPT 1965, dan menyatakan pemerinta tidak perlu minta maaf kepada PKI. Dia juga mengkritik pemerintah Belanda yang telah memfasilitasi pelaksanaan IPT 1965. Sementara Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu menyatakan bahwa PKI-lah yang memulai pemberontakan dan melakukan pelanggaran HAM terlebih dahulu. Jusuf Kalla membandingkan dengan tindakan Belanda selama menjajah, di mana banyak rakyat Indonesia yang terbunuh. Kalla malah mengusulkan agar dilakukan pengadilan rakyat di Indonesia terhadap penjajahan Belanda tersebut. Luhut dan Ryamizard juga meminta Belanda tidak usah ikut campur, karena semasa mereka menjajah dulu juga banyak sekali terjadi pelanggaran HAM, seperti yang terjadi pada peristiwa Westerling.

Respon serupa juga muncul dari kalangan di luar pemerintahan. Budayawan Taufiq Ismail menyebut pelaksanaan IPT 1965 di Belanda sebagai tindakan ikut campur dan kurang ajar. Menurutnya pelaksanaan IPT 1965 di Belanda tidaklah tepat, karena Belanda-lah yang pernah ratusan menjajah Indonesia, dan sampai saat ini Belanda belum mengakui kemerdekaan Indonesia secara hukum. Ridwan Saidi juga berpendapat senada. Menurutnya IPT 1965 tidak memiliki legitimasi. Belanda tidak punya hak untuk mengadili, justru sebaliknya Indonesia-lah yang lebih berhak mengadili Belanda. Baginya, pihak asing hanya memperkeruh situasi di Indonesia saja. Sementara pakar hukum dan Guru Besar Ilmu Hukum UNPAD Romli Atmasasmita berpendapat bahwa pemerintah harus bersikap tegas, dan WNI yang terlibat dalam IPT 1965 harus ditangkap dan dipidanakan karena telah melanggar Pasal 154 KUHP karena secara aktif telah menyebarkan perasaan permusuhan, kebencian dan penghinaan terhadap Pemerintah Indonesia. Menurutnya pemerintah seharusnya mengirimkan nota protes diplomatik kepada Pemerintah Belanda karena mengizinkan diselenggarakannya IPT 1965 di negara mereka.

Rasanya belum ada survei khusus mengenai persepsi rakyat Indonesia terhadap IPT 1965 ini. Kalaupun nanti ada yang melakukan penelitian tentang hal ini, tampaknya hasilnya cenderung akan sangat dipengaruhi dengan pemahaman dan persepsi mereka sebelumnya mengenai ideologi komunisme, PKI dan peristiwa G30S. Namun demikian, dukungan dan simpati terhadap upaya IPT 1965 juga cukup banyak, setidaknya jika melihat respon dari kalangan NGO, aktivis dan akademisi yang peduli dengan isu HAM di Indonesia 

Namun, tanpa bermaksud menuduh Pemerintah Indonesia atau siapapun, ketika sidang IPT 1965 masih berlangung, nyatanya situs resmi IPT 1965 yaitu http://1965tribunal.org/id/ pada tanggal 12 November 2015 sudah di blok dan tidak dapat diakses di Indonesia.

Implikasi dan Kecenderungan

Pengadilan semacam IPT semacam ini bukan yang pertama kali dilaksanakan. Awalnya dirintis oleh dua orang filsuf yaitu Bertrand Russell dan Jean-Paul Sartre yang mengangkat isu mengenai kejahatan perang Amerika Serikat di Vietnam pada tahun 1967. Model ini kemudian dikenal sebagai The Russell Tribunal, yang pada akhirnya berkembang menjadi Permanent People’s Tribunal (PTT). Sejak tahun 1970-an, PTT sudah mengorganisir 20 sesi tribunal yang mengangkat isu intervensi militer ke negara dunia ketiga (contohnya kasus invasi Amerika ke Irak tahun 200-an), pelanggaran hak masyarakat adat dan pengrusakan sumer daya alam (kasus di Brazil), pelanggaran HAM oleh kediktatoran (kasus Marcos di Philippina), pelanggaran oleh perusahaan multinasional, kasus genosida di Armenia (tahun 1915), dll.

Tampaknya, ada kecenderungan dalam pengadilan/tribunal semacam ini, bahwa putusan/vonis yang dijatuhkan tidak melenceng jauh dari apa yang didakwakan kepada para tertuduh. Meskipun kemungkinan putusan IPT 1965 baru akan dibacakan pada tahun 2016 nanti, patut diduga bahwa vonisnya adalah bahwa sampai tingkat tertentu Pemerintah Indonesia terbukti bersalah, dan minimal harus meminta maaf kepada para korban.

Jika benar itu yang akan terjadi, maka itu merupakan kemenangan bagi para pendukung IPT 1965 dan penegakan HAM di Indonesia, dan akan menjadi amunisi tambahan bagi mereka dalam mengangkat isu ini selanjutnya.

Seperti disinyalir oleh Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, meskipun hasil IPT 1965 tersebut tidak memiliki memiliki makna hukum dan dapat diabaikan oleh Pemerintah Indonesia, namun tetap akan mengundang kontroversi di publik Indonesia. Opini publik akan terbangun bahwa pemerintahan yang lalu telah bersalah melakukan kejahatan kemanusiaan, dan pemerintah yang sekarang juga bersalah karena tidak mau mengakui, meminta maaf dan mengupayakan penyelesaian yang memadai dan adil bagi para korbannya.

Tidak dapat dipastikan apa tindakan lanjutan dari Pemerintah Indonesia atas IPT 1965 dan hasil putusannya nanti. Kemungkinan pemerintah tidak akan mengambil tindakan keras berupa penangkapan dan pemidanaan terhadap mereka yang terlibat IPT 1965, seperti yang disarankan oleh Romli Atmasasmita, karena justru akan memperburuk citra pemerintah di mata rakyat. Melayangkan nota protes diplomatik ke Pemerintah Belanda juga tampaknya tidak akan dilakukan karena akan membuat pemerintah terlihat konyol di mata dunia.

Namun membaca respon yang muncul, kemungkinan Pemerintah Indonesia saat ini juga tidak akan memenuhi hasil vonis IPT 1965, bahkan untuk ‘sekedar’ permintaan maaf sekalipun. Pelarangan penyebaran informasi dan diskusi terkait peristiwa 1965 juga masih akan dibatasi dan diawasi. Pelarangan dan deportasi bagi para exile yang dituduh terlibat PKI untuk sekedar pulang kampung dan berziarah ke makam keluarganya seperti yang belum lama ini terjadi, tampaknya juga masih akan berulang.

Karenanya, bisa jadi, bagi para pendukung upaya penyelesaian peristiwa 1965, tampaknya masih harus bersabar menunggu 50 tahunan lagi untuk memperoleh pengakuan dan permintaan maaf dari Pemerintah Indonesia. Nanti, barangkali setelah mereka yang terlibat dalam peristiwa tersebut sudah meninggal dunia, dan rakyat Indonesia saat itu sudah lebih ‘rasional’ memandang masa lalu dengan segala kebaikan dan kesalahannya.

---------------
Sumber: