Baca

Baca

Selasa, 11 Maret 2014

"Berkelit dari Kutukan Sumber Daya Alam"


Kalau ada buku yang mesti segera dibaca sebelum sumber daya alam di Indonesia benar-benar rusak atau habis adalah buku ini. Buku versi aslinya terbit di tahun 2007. Puji Tuhan… karena buku ini telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh The Samdhana Institute (yang berkedudukan di Bogor). Kalau benar, buku ini dapat disebut fenomenal, karena sangat jarang terjadi di mana sebuah buka dapat diterjemahkan dan diterbitkan pada tahun yang sama dengan versi Inggrisnya.

Penulisnya memang bukan orang sembarangan. Macartan Humphreys adalah pakar ilmu sosial dan politik dari Columbia University. Jeffrey D. Sachs menjabat sebagai Professor of Sustainable Development, Professor of Health Policy and Management, dan sekaligus Director of the Earth Institute juga di Columbia University. Sementara Joseph E. Stiglitz adalah pakar ekonomi, pengarang, dan peraih penghargaan Nobel bidang Ekonomi, yang juga pernah mengajar di MIT dan Yale. Selain itu  belakangan Stiglitz juga lebih dikenal sebagai “suara mantan orang dalam” karena pernah menjabat posisi strategis di Bank Dunia yaitu sebagai Senior Vice-President dan Chief Economist (1997 – 2000) yang konon kemudian "dipaksa" berhenti karena kebijakannya dianggap tidak sejalan lagi lembaga tersebut. Dan seperti lazimnya adat istiadat ilmiah di luar sana, buku ini didasarkan pada sebuah paper ilmiah berjudul sama di (journal) European Economic Review, Volume 45, tahun 2001.

Buku ini berangkat dari gagasan Richard Auty dari Lancaster University-Inggris pada tahun 1993. Dia memperkenalkan istilah “resource curse” atau “kutukan sumber daya alam” dalam bukunya Sustaining Development in Mineral Economies: The Resource Curse Thesis. Seperti dikutip oleh  Humphreys dkk., dalam bukunya Auty menganalisis bahwa negara-negara yang kaya sumber daya alam (khususnya minyak dan gas alam) ternyata justru menunjukkan performa pembangunan ekonomi dan tata kelola pemerintahannya dibanding negara-negara yang sumber daya alamnya lebih terbatas. Menurutnya, meskipun kekayaan alam yang besar member peluang untuk memperoleh kekayaan negara dari eksploitasi sumber daya alam, namun “anugrah” tersebut kerap justru berubah menjadi “kutukan” dan menjadi faktor penghambat pembangunan yang berkelanjutan. Sebaliknya, keterbatasan sumber daya alam (seperti Hong Kong, Korea, Singapura, dan Taiwan) tidak selalu terbukti menjadi hambatan dalam menciptakan pembangunan yang stabil dan berkelanjutan. Selain itu, pada sejumlah negara kaya sumber daya alam, selain banyak yang gagal dalam mencapai pertumbuhan ekonomi yang diharapkan, juga ada hubungan antara kekayaan sumber alam dengan kemungkinan lemahnya perkembangan demokrasi (Ross 2001), korupsi (Salai-Martin and  Subramanian 2003), dan perang saudara (Humphreys 2005).

Ada satu analisis yang mengena dengan konteks Indonesia, yaitu bahwa variasi dari efek kekayaan sumberdaya alam terhadap kesejahteraan bukan hanya terjadi di tingkat negara, tetapi juga “di dalamnegara itu sendiri. Singkat kata, kekayaan sumber daya alam tidak menjamin dapat diciptakannya keadilan dan pemerataan bagi seluruh rakyatnya. Kesenjangan ekonomi antara kaya dan miskin juga terjadi pada negara dengan kekayaan alam yang besar, seperti terjadi di Venezuela (sebelum Chavez???), dan meski tidak disebutkan oleh para penulisnya, kita juga dapat menambahkan Indonesia dalam kategori ini.

Intinya, ada dua kakteristik pemanfaatan sumber daya alam, yaitu:
(a)   Kekayaan alam hasil ekstraksi atau bahan galian. Umumnya lokasi berada dalam sebuah kawasan terpisah/tersendiri atau enclave. Hal ini diakibatkan oleh karena proses produksi relatif tidak terkait dengan proses ekonomi pada umumnya. Dalam kasus Indonesia, kita tentu dapat dengan mudah teringat pada kota-kota mandiri di kawasan pertambangan emas, tembaga, nikel, dll. milik TNC yang diantaranya terdapat di Sulawesi, NTT dan Papua.
(b) Karakteristik kedua, adalah bahwa ekstraksi sumber daya alam juga dapat terjadi tanpa bergantung pada proses politik. Dalam buku ini disebutkan bahwa tak jarang suatu pemerintahan dapat dengan mudah mengakses sumber daya alam, terlepas dari apakah dari apakah ia sungguh-sungguh yang mendominasi hubungan dengan rakyatnya, atau memang secara efektif mengendalikan institusi-institusi negara.

Terpisahnya mekanisme ekonomi politik dan sektor pertambangan misalnya, ternyata justru memunculkan proses ekonomi dan politik yang tidak sehat. Diantaranya adalah munculnya perilaku pemburu rente (rent-seeking behavior). Karena imun dari kontrol politik oleh publik, banyak individu-individu baik para para aktor dari sektor swasta atau para politisi, ternyata memiliki insentif untuk menggunakan mekanisme dan pengaruh politik mereka untuk menangguk keuntungan secara pribadi ataupun berjamaah. Kasus aktual di Indonesia saat ini (2014) salah satunya adalah terungkapnya kasus suap di SKK Migas yang melibatkan para pejabat teras lembaga tersebut yang juga menyeret nama sejumlah politisi Senayan.

Masalah lain yang mencerminkan ketidakadilan dalam pemanfaatan sumber daya alam adalah pada umumnya ada ketimpangan pembagian hasil antara negara dan perusahaan yang umumnya adalah TNC. Besarnya investasi dan mahalnya teknologi kerap menjadi isu yang dimainkan TNC dalam proses negosiasi kegiatan ekstraksi sumber daya alam. Pada negara-negara yang secara teknologi masih lemah, di sisi lain ada keinginan untuk secepatnya memperoleh pendapatan dari hasil sumber daya alam (terlepas dari betu dengan tujuan untuk pembangunan ataupun untuk keuntungan kelompok tertentu saja), posisi tawar mereka tentu sangat lemah. Istilah pasarannya: “Jual Butuh” lah…

Efek lain adalah bahwa melonjaknya pendapatan dari hasil ekstraksi sumber daya alam, justru membuat sektor ekonomi peroduktif lain khususnya diluar pertambangan menjadi rusak. Fenomena ini disebut sebagai “Dutch Disease” (Ebrahim-Zadeh 2003), yang diambil dari pengalaman Belanda, yang rusak kapasitas ekspornya akibat temuan gas alam di Laut Utara. Kemampuan memproduksi dan mengekspor digantikan dengan kebiasaan membeli/impor. Dalam kasus Indonesia, oil boom di era tahun 70-an masuk dalam kategori ini. Setelah bertahun-tahun terbiasa mengimpor, bahkan  bahan makanan dan garam-pun juga mesti diimpor dari luar.


(Lanjut lagi nanti deh ya…)


-----------------------
Judul asli           : Escaping The Resource Curse (2007)
Judul teremahan : Berkelit dari Kutukan Sumberdaya Alam
Penyunting        : Macartan Humphreys, Jeffrey D. Sachs & Joseph E. Stiglitz
Penerbit            : The Samdhana Institute, Bogor
Tahun              : 2007

"Piye Kabare, Enak Jamanku Tho?!"


Hari ini 11 Maret (2014), tanggal penting bagi bangsa ini karena konon menandai salah satu proses "peralihan politik" yang paling mulus sepanjang sejarah, setidaknya di Republik ini. Sangat pas untuk membaca kembali sejarah politik dari Soeharto, Jenderal Besar dan Presiden Ke-2 RI ini.

Salah satu buku yang dapat menjadi salah satu referensi dan pembanding adalah Soeharto: The Life and Legacy of Indonesia's Second President. Buku ini diterbitkan tahun 2007. Penulisnya Retnowati Abdulgani-Knapp, anak dari seorang tokoh nasional Ruslan Abdulgani. Dapat dianggap sebagai karya yang penting, karena merupakan an authorised biography, yang artinya penulisan buku ini disusun dengan seizin atau sepengetahuan tokoh yang ditulis. Dengan demikian, wajar saja jika muncul prasangka di awal bahwa isinya akan kurang gereget, khususnya jika dibandingkan dengan buku-buku mengenai Soeharto yang ditulis pasca kejatuhan Orde Baru, seperti karya Aspinal, Anderson, Bunte, Eklof, Hunter, Holt, dll.

Ada beberapa Chapter dalam buku ini, yaitu:

  • Distant Dreams in Kemusuk
  • Building the Nation
  • Sailing Into the Sunset
  • The Foundations
  • Reflections
Jadi setelah membaca buku ini, mungkin akan muncul pertanyaan buat diri sendiri: Apa benar makna tulisan yang belakangan yang juga digunakan sebagai tag line salah satu parpol itu:"Piye kabare, enak jamanku tho?"


(Lanjut nanti ya...)
-------------------------------
Judul         :  Soeharto: The Life and Legacy of Indonesia's Second President
Penulis      :  Retnowati Abdulgani-Knapp
Penerbit    :  Marshall Cavendish, Singapore
Tahun       :  2007

"Ketidakadilan Tak Mengenal Ideologi...."



Ini buku tentang kesaksian sejumlah orang yang pernah dianggap sebagai ancaman dan musuh Orde Baru. Cerita pertama dari Hasan Raid, seorang Muslim sekaligus komunis. Cerita lain datang dari para mantan tahanan politik yang bertahun-tahun dipenjara di Pulau Buru. Juga ada cerita dari Utuy Tatang Sontani seorang sastrawan yang menjadi exile di Moskow-Rusia. Dari sisi yang lain, juga ada kesaksian dari sejumlah tokoh Muslim yaitu A.M. Fatwa dan Deliar Noer. Yang menarik, juga ada cerita dari sejumlah mahasiswa Muslim yang bergerak di saat-saat kejatuhan Orde Baru.

Untuk mereka yang telah biasa membaca cerita dari mengenai para "musuh Orba" mungkin buku ini menjadi kurang menarik. Karena garis besar persoalannya sangat tipikal dan klasik, terlebih buku ini ditulis dalam bahasa Inggris. Jadi -- tanpa mengurangi rasa hormat pada penulis dan para pemberi testimoni -- buku ini bolehlah dibaca dan dikutip seperlunya saja  :)

Meskipun demikian, buat saya, buku ini berhasil mengingatkan bahwa ketidakadilan itu tidak dapat diidentikkan dengan dan/atau dilakukan oleh ideologi tertentu saja: apakah itu komunis, liberal, Islam, Hindu Fundamentalis, Budha Radikal, dll. Namun, ketidakadilan sangat mungkin diciptakan oleh negara, penguasa atau pemenang dari suatu persaingan politik atau konflik, apapun ideologi resmi yang di-klaim-nya. Itulah mengapa, di Indonesia pasca peristiwa 1965 banyak jatuh korban dari pihak (yang sebagian besar dituding) komunis. Sementara di Kamboja, Partai Komunis disana justru yang melakukan pembantaian terhadap mereka yang dituding anti komunis. Banyak mantan pimpinan partai komunis disana banyak yang pada tahun-tahun belakangan ini diadili dan didakwa telah melanggar HAM. Begitu pula kelakukan para penguasa tunggal seperti di banyak di negara Asia dan Afrika khususnya. Setidaknya kita bisa banyak melihat apa yang sesungguhnya dilakukan Khadafi di Libya dan Keluarga Kim di Korut terhadap lawan politik dan rakyatnya sendiri. 

Ini juga yang menurut saya perlu saya ingat pada saat menonton atau membicarakan film "Jagal" yang sedang trend awal 2014 ini, misalnya. Apa yang diceritakan dalam film tersebut mungkin banyak benarnya. Tapi simpati harus hanya ditujukan pada para korban (apapun "ideologi" yang disematkan kepadanya), dan bukan pada kubu-kubu politik yang digambarkan dalam film tersebut.

(Lanjut nanti deh ya...)

----------------------
Judul          : Of Self and Injustice: Autobiography and Repression in Modern Indonesia
Penulis       : C.W. Watson
Penerbit     : KITLV, Leiden
Tahun        : 2006