Baca

Baca

Selasa, 25 Maret 2014

“Calon pemilih macam apa saya ini?!”



Rasional, ‘Die Hard’, ‘Easy Going’ atau Intuitif?

Oleh: Candra

Cara orang mengambil keputusan, dalam memilih Caleg atau pasangan Capres misalnya, pasti beda-beda. Faktor ekonomi, pendidikan, lingkungan, akses media, tingkat interaksi dan penilaian atas pengalaman berinteraksi dengan partai politik atau kandidat tertentu kemungkinan akan mempengaruhi juga. Ini ada salah satu contoh mengenai model-model pengambilan keputusan oleh pemilih dalam Pemilu.  

“Jangan terlalu percaya. Namanya juga teori. Boleh juga kok bikin teori sendiri nanti…  he..he..”

Model  I: Pilihan rasional
Calon pemilih (voter) yang "​​rasional" dan  sejalan teori ekonomi  dari von Newman dan Morgenstern (1947) dan Arrow (1951). Mencari tahu apa “konsekuensi” (untung rugi) buat dirinya (self interest, yaitu keuntungan jangka pendek yang terukur  untuk diri dan/atau keluarga dekatnya) jika memilih kandidat tertentu. Karena itu calon pemilih berupaya mencari informasi sebanyak mungkin mengenai kandiddat dari berbagai sumber dan dengan berbagai cara. Sederhananya, pemilih ini cenderung membuat “ranking” yang bersifat restrospective (misalnya track record kandidat) maupun prospective (misalnya isu atau program yang diusung) dari kandidat-kandidat yang masuk dalam kategorinya, dan menilai kandidat mana yang baik secara langsung ataupun tidak langsung dapat menguntungkannya.

Ada pula sub-model yang lebih “soft” dari contoh yang “super rasional” tadi. Calon pemilih ini juga cenderung berpikir rasional, dan mencoba melakukan kalkulasi serta mencari informasi mengenai kandidat. Namun calon pemilih ini tidak sengotot contoh pertama tadi. Calon pemilih ini akan senang jika dapat memperoleh informasi tersebut, namun jika upaya untuk memperoleh dan “mengolah” informasi tersebut dipandang terlalu menyita waktu dan merepotkan, maka dia cenderung mengerjakan hal lain yang menurutnya lebih produktif. Calon pemilih ini juga percaya bahwa pada dasarnya tidak aka nada banyak perbedaan atau manfaat bagi dirinya jika memilih parati atau kandidat yang ada. Karena itu biasanya calon pemilih sub-model ini hanya akan fokus mempertimbangkan pada kandidat-kandidat utama saja. Sub-model ini dapat disebut pemilih rasional dengan konstrain atau syarat tertentu (Gigerenzer dan Todd, 1999).

--> “Ada orang yang betul-betul mencermati kandidat dan partainya dengan niat mencari calon mana yang bisa memberikan terbaik buat banyak orang…. Tapi  kalau calon pemilih yang mau atau bahkan minta dikasih uang dari Caleg dan Capres atau tim suksesnya termasuk yang rasional apa nggak ya?”

Model  II: Sosialisasi awal dan konsistensi kognitif
Calon pemilih ini pada dasarnya seperti warga kebanyakan yang hanya sedikit tahu dan kurang peduli dengan persoalan politik. Namun model ini adalah pendukung/pemilih pertama dan utama dari partainya. Calon pemilih ini memiliki “sejarah yang panjang” dengan partai tertentu, sehingga sangat mempengaruhi cara pandangnya dalam menilai karakter personal, isu yang diangkat dan kinerja/performance dari kandidat-kandidat yang ada.  Karenanya, identifikasi diri (party id) dari calon pemilih  model ini dengan partai tertentu ini sulit dikatakan bersifat rasional, namun lebih menyerupai sesuatu yang “given” seperti ras, gender, kelas atau agama.

Berbeda dengan Model I di mana orientasi utama calon pemilih adalah keuntungan/kepentingannya sendiri, pada Model II ini yang memberi pengaruh paling kuat adalah identifikasi sosial awal (early-learned social identifications) yang cenderung diterima dan tanpa pertimbangan alternantif. Artinya, proses identifikasi  ini berkembangkan karena pengkondisian sederhana, dan buka didasarkan oleh kalkulasi self-interest (Sears, 1975; Sears & Funk, 1991).

Karena partai-partai  pada dasarnya tetap (ini kasus di Inggris atau Amerika lho…) maka umumnya dipandang tidak penting untuk terus menerus melakukan monitoring terhadap aktivitas partai. Akibatnya, paparan informasi politik umumnya terjadi secara serampangan dan tidak disengaja, sehingga sebagian besar warga hanya mengetahui masalah-masalah umum yang diliput oleh media massa. Selain itu, persepsi mengenai informasi politik yang diterima juga cenderung bias karena kuatnya perspektif yang sudah terbangun sebelumnya, sehinggai calon pemilih cenderung untuk mempertahankan keyakinan mereka sebelumnya. Singkatnya, calon pemilih model ini cenderung menolak perubahan atau gagasan baru, dan mengambil  sebagian besar keputusan atas dasar pengetahuan dan keyakinan mereka sebelumnya.

Selain itu, persepsi pemilih tersebu tterhadap informasi politik sering bias oleh kecenderungan untuk mempertahankan apa yang sudah mereka ketahui sebelumnya. Dengan kata lain, pemilih cenderung memilih berdasarkan pada keyakinan mereka sebelumnya (cognitive consistency).

--> “Nah, kalau ada calon pemilih yang ‘cinte mati’ sama satu calon atau partai , dan bener atau salah dukung itu calon atau partai, kayaknya termasuk model ini nih…”

Model  III: Pengambil keputusan yang cepat
Tidak semua calon pemilih memiliki waktu yang cukup untuk urusan politik. Pertimbangan utama dari calon pemilih model ini adalah didasarkan pada self-interest dan pertimbangan waktu dan biaya yang dibutuhkan untuk mengumpulkan informasi. Namun ada juga yang lebih mempertimbangkan waktu dan biaya yang dibutuhkan untuk “mengolah informasi” dan bukan saat mengumpulkannya. Model calon pemilih ini disebut “single issue voters.”

Model ini juga disebut calon pemilih yang berkutat di isu-isu “mudah” (Carmines & Stimson, 1980), yang dicirikan sebagai isu lama dalam agenda politik, isu yang sebagian besar bersifat simbolik daripada teknis, dan berurusan dengan capaian kebijakan dibandingkan cara mewujudkan kebijakan tersebut. Istilah tersebut digunakan untuk membedakan dengan tipe pemilih yang masuk dalam isu-isu “keras” yang dicirikan pada isu-isu yang bersifat detail ataupun mempermasalahkan cara mencapai tujuan.

Calon pemilih yang termasuk mode ini hanya memilih atau mengambil keputusan hanya berdasar pada isu besar atau informasi yang mereka temukan, dan mengabaikan yang lain. Pertimbangan cepat,  dan hanya fokus mengenai satu atau dua konsekuensi positif atau negatif dari pilihan yang ada. Prinsipnya efisien dan simple.

--> “Kalau calon pemilih model begini ya yang ‘easy going’ aja…  Siapa aja Presiden-nya juga nggak terlalu ngaruh kok… Gitu aja kok repot!”

Model 4: Rasionalitas dan pengambilan keputusan intuitif
Calon pemilih model ini mengambil keputusan berdasarkan informasi yang sangat sedikit yang diperoleh selama masa kampanye. Namun motivasinya cenderung berbeda dibandingkan model pemilih lainnya, Karen tidak didasarkan oleh pertimbangan rasional yang mendalam (Model I), juga tidak hanya didasarkan pada predisposisi politik yang sudah terbentuk sebelumnya, atau juga bukan berdasarkan pertimbangan atau hasil konfirmasi dengan pihak lain. Dalam pemilihan presiden misalnya, calon pemilih model ini hanya akan melihat kandidat presiden dari dua partai utama yang tengah bersaing.  Selanjutnya calon pemilih model ini hanya menilai kandidat tersebut berdasarkan stereotype atau presumsi yang dia sudah pernah ketahui sebelumnya dari pihak lain, contohnya media massa. Bahwa Kandidat I adalah calon presiden yang berkarakter A, B dan C, sedangkan Kandidat II adalah calon presiden dengan karakter Z, Y dan Z. Kondisi ini disebut “rasionalitas dengan informasi sedikit/terbatas” atau low information rationality (Popkin, 1991; Sniderman, Brody & Tetlock, 1991) di mana calon pemilih mengambil keputusan tanpa terlalu banyak usaha.

Salah satu versi dari “rasionalitas dengan informasi sedikit/terbatas” sejalan dengan calon pemilih Model 4 yaitu “pengambil keputusan intuitif” atau intuitive decision making. Calon pemilih pada model ini berpendapapat bahwa sebagian besar keputusan (termasuk sebagian besar keputusan politik) sebaiknya dipahami sebagai respon semi-otomatis dari situasi yang sering dihadapi , daripada respon yang memerlukan pertimbangan atau kalkukasi yang mendalam terhadap alternatif-alternatif berbeda.

Dari survei-survei sebelumnya diketahui bahwa sebagian besar orang tidak merasa tertarik dengan politik, memberikan penilaian berdasar buku teks dasar, dan tidak tahu cara kerja pemerintahan  (Delli Carpini & Keeter, 1996). Beberapa warga memiliki apa yang mendekati sebuah “ideologi” dan sebagian besar tidak memiliki perilaku yang “stabil” atau nyata bahkan terhadap isu-isu politik hari ini (Converse, 1964, 1975; Zaller, 1992). Model 3 dan 4 menggambarkan manusia sebagai  “prosesor dengan informasi terbatas” yang cenderung membuat keputusan secara “intuitif” (yaitu kurang formal dan kalkulatif).  Meskipun tetap mencari informasi, namun sebatas dipandang cukup untuk membuat keputusan (tanpa keragaman atau kedalaman informasi). Calon pemilih model ini biasanya mengambil cara berpikir pintas (cognitive shortcuts) yang tidak selalu rasional namun bersifat heuristik. Calon pemilih model ini cenderung mengambil keputusan dengan cara mudah dan menghindari pengorbanan yang berlebihan.

--> "Ini jenis pemilih yang maunya yang ‘sedeng-sedeng’ aja… Mikir tapi seperlunyalah… Ujung-ujungnya sih ikutin ‘feeling’ ajah… Nggak ada politisi yang sempurna... Apalagi banyak yang 'dimanipulasi' sama media... Jadi pilih aja yang kira-kira paling baik diantara yang terburuk...”


“Jadi…  dari empat model tadi saya ini mirip dengan model nomor berapa ya...?”

 ----------------------

Sumber: Richard R. Lau & David P. Redlawsk. How Voters Decide: Information Processing Election Campaigns. Cambridge University Press. 2006.