Baca

Baca

Senin, 20 Maret 2017

Jebakan Precariat (Precariat: Bagian 3)

Precariat: Liberalisasi Ketenagakerjaan di Era Globalisasi

Bagian 3: Jebakan Precariat
  
Oleh: Candra

Sumber: https://www.weforum.org/agenda/2016/11/precariat-global-class-rise-of-populism/

Tulisan ini merupakan lanjutan dari


Pada bagian sebelumnya telah diulas mengenai precariat sebagai kelas yang tengah dalam proses pembentukan, juga mengenai komodifikasi dan fleksibilitas ketenagakerjaan. Dari paparan Guy Standing dalam bukunya The Precariat: The New Dangerous Class (2011) tersebut, disinggung mengenai kaitan precariat dan pengangguran.

“Tapi, bagaimana sesungguhnya hubungan dan siklus yang terjadi antara pengangguran dan precariat tersebut?

Pengangguran dan Precarity Trap

Di bagian sebelumnya Standing telah menyebutkan bahwa pengangguran juga menjadi bagian dari kehidupan kaum precariat. Jika di era pra-globalisasi para pengangguran dilihat sebagai akibat faktor ekonomi dan struktural, maka di era neo-liberal kaum pengangguran ini dianggap sebagai masalah tanggung jawab individu, yang pada sebagian kasus dipandang hampir dilakukan secara 'sukarela'. Perangkap pengangguran (unemployment trap) terjadi di banyak tempat, khususnya di negara yang menjalankan model negara kesejahteraan (welfare state) dengan program tunjangan penganggurannya.

Dalam hal ini Standing menjelaskan dampak dari dinamika ekonomi global terhadap meningkatnya pengangguran dan precariat. Dalam pandangan Standing, di pasar tenaga kerja yang mengglobal, resesi mempercepat pertumbuhan precariat tersebut. Saat ini ada lebih banyak tenaga kerja sementara dan pekerja tidak terlindungi lainnya. Sebagian karena mereka yang kehilangan pekerjaan kemudian masuk dalam situasi di mana pilihan yang tersedia hanyalah pekerjaan dengan jumlah pendapatan yang lebih rendah daripada pekerjaan mereka sebelumnya. Situasi ini semakin diperburuk karena banyak perusahaan telah menggunakan alasan resesi sebagai momentum untuk merestrukturisasi perusahaan, termasuk dengan cara offshoring dan outsourcing.

Di sini Standing menggunakan istilah ‘jebakan precariat’ (precarity trap) atau, yaitu situasi di mana ‘biaya’ yang harus dikeluarkan oleh pengangguran untuk memperoleh pekerjaan baru lebih besar dibandingkan dengan pendapatan yang diperoleh dari pekerjaan baru. Biaya tersebut termasuk kurangnya pendapatan di periode itu, waktu dan biaya yang terkait dengan mencari pekerjaan, waktu dan biaya selama belajar/beradaptasi pada pekerjaan baru, serta waktu dan biaya yang diperlukan dalam menyesuaikan kegiatan di luar pekerjaan untuk mengakomodasi tuntutan pekerjaan sementara yang baru tersebut. Di negara-negara yang menjalankan model negara kesejahteraan di mana pengangguran memperoleh tunjangan, situasi precarity trap  ini lebih menonjol, karena mereka akan terus ada dalam situasi dilema antara terus mengajukan tunjangan sosial atau mengambil pekerjaan sementara dengan upah rendah (dan kehilangan tunjangan tadi, dan ada ‘biaya’ selama proses mencari pekerjaan tadi).

Precariat trap  diperburuk dengan semakin berkurangnya dukungan sosial dari lingkungan baik keluarga maupun masyarakat.  Kondisi ini makin parah ketika ada masalah hutang dan penyakit sosial lain yang kerap mengikuti ketika situasi ekonomi sedang sulit. Ketidakstabilan ekonomi keluarga dapat menyebabkan stress akibat kehilangan harga diri dan ketidakmampuan memenuhi kebutuhan keluarga.

Precariat dan disfungsional sosial

Ketika penggangguran dapat mengalami precariat trap, mereka yang dapat bekerjapun tidak begitu jelas nasibnya. Menurut Standing, dalam ekonomi pasar terbuka yang mengglobal saat ini, dalam dunia ketenagakerjaan sangat umum adanya kontrak tidak resmi/informal, pekerjaan paruh waktu dan pekerjaan sementara, orientasi proyek dan jasa pribadi sangat kondusif bagi berkembangnya tenaga kerja bayangan (shadow labour).

Akibatnya, peluang mobilitas sosial ke atas yang didasarkan pada kemampuan (merit-based social mobility) menjadi berkurang. Salah satu penyebabnya adalah karena berkurangnya pekerjaan dengan penghasilan menengah, yang juga mengakibatkan gangguan pada kelas menengah (middle class) akibat ketiadaan jaminan penghasilan, dan pada akhirnya mereka juga terdesak menjadi precariat juga.

Standing mencermati bahwa ada perubahan signifikan dalam tradisi ketenagakerjaan pada umumnya. Menurutnya, pada masa sebelumnya masih ada semacam social compact (kesepatan untuk bekerjasama dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan bersama) di mana perusahaan/pekerja diharapkan untuk menerima pekerja fleksibel sebagai upaya untuk melestarikan pekerjaan sehingga mayoritas mengalami kenaikan standar hidup. Namun di akhir era globalisasi keberadaan social compact  tersebut telah rusak. Era precariat juga ditandai dengan rapuhnya loyalitas dan kepercayaan. Dengan semakin meningkatnya jumlah precariat juga menyebabkan semakin banyaknya aspek sosial yang tidak berfungsi (dysfunctional). Ketiadaan jaminan atau keamanan sosial menumbuhkembangkan penyakit sosial, kecanduan dan kecemasan anomi.

Precariat, perempuan, lembaga pendidikan dan magang

Uniknya, menurut Standing, para precariat tersebut tidak seluruhnya dapat disebut sebagai ‘korban.’ Sebagian diantaranya menjadi precariat karena mereka tidak ingin mengambil alternatif yang tersedia. Sebagian lagi karena menganggap menjadi precariat sesuai dengan keadaan khusus mereka pada saat itu. Penyebabnya beragam, antara lain: karena kecelakaan atau kegagalan; karena didorong ke dalamnya; karena berharap itu akan menjadi batu loncatan untuk pekerjaan yang lain, bahkan jika itu tidak menawarkan rute langsung; karena bersifat instrumental, termasuk di dalamnya orang berusia lanjut dan pelajar/mahasiswa yang ingin mendapatkan sedikit uang atau pengalaman; dan beberapa menggabungkan aktivitas precariat dengan kegiatan lainnya. Sementara sebagian lainnya menemukan bahwa apa yang telah mereka lakukan selama bertahun-tahun, atau apa pelatihan yang mereka ikuti, ternyata menjadi bagian dari proses menjadi precariat.

Dalam hal ini Standing secara khusus menyoroti keterlibatan perempuan, lembaga pendidikan dan mekanisme magang di dunia industri/usaha dan kaitannya dengan reproduksi precariat. Dalam pandangan Standing, di awal era globalisasi, terjadi feminisasi tenaga kerja (feminization of labour) di mana terjadi peningkatan proporsi perempuan di hampir semua jenis pekerjaan (Standing, 1989, 1999a). Fenomena ini bermakna ganda, bahwa selain lebih banyak perempuan terlibat dalam pekerjaan, juga lebih banyak pekerjaan berubah menjadi jenis yang bersifat fleksibel yang kemudian juga lebih banyak dikerjakan oleh perempuan. Kecenderungan ini tercermin dari meningkatnya informalisasi tenaga kerja (labour informalisation), meningkatnya pekerjaan jasa, dan penggunaan perempuan muda di zona pengolahan produk ekspor. Meski demikian, ketidakadilan masih dirasakan karena adanya upah berbasis gender dan perbedaan pendapatan sosial.

Kaum perempuan juga umumnya terlibat dalam pekerjaan paruh waktu dan pekerjaan sementara atau buntu (dead-end jobs), yang tidak memiliki prospek pengembangan kerja. Dengan meningkatnya keterlibatan perempuan sebagai precariat, banyak perempuan yang kemudian berperan sebagai pencari nafkah utama di keluarga, selain peran tradisional mereka dalam mengurus keluarga.

Selain itu, dalam amatan Standing ada tanda-tanda bahwa tengah terjadi restrukturisasi dan komodifikasi sistem pendidikan yang mendorong para pemuda untuk masuk ke dalam sistem tenaga kerja yang fleksibel. Pendidikan diklasifikasi menjadi tiga, yaitu pendidikan untuk kaum elit istimewa, kelas pekerja dan untuk pengembangan precariat. Precarity traps mencerminkan kejanggalan antara aspirasi anak-anak muda dan sistem persiapan 'modal manusia' melalui dunia pendidikan, karena kebanyakan pekerjaan yang ditawarkan sesungguhnya tidak memerlukan sekolah selama bertahun-tahun.

Begitu pula dengan dilema yang terjadi dalam mekanisme magang bagi pencari kerja. Standing melihat, pada masa sebelumnya perusahaan membuka peluang untuk pekerja baru yang disiapkan untuk menjadi pekerja tetap melalui proses belajar dan penyesuaian diri, katakanlan selama dua tahun (apprenticeship). Sementara saat ini yang lebih umum adalah yang disebut magang (internship), sekedar pengenalan suasana kerja dalam waktu singkat (sekitar beberapa minggu) dan tanpa orientasi menjadi pekerja tetap. Pada akhirnya pola internship ini menjadi jalan bagi terlibatnya para pemuda menjadi precariat dan strategi pengusaha untuk memperoleh tenaga kerja sementara yang bersedia dibayar murah.

Namun demikian, magang ternyata juga merupakan ancaman bagi precariat lainnya, karena mereka adalah calon precariat yang baru, yang dapat menggantikan precariat yang sudah bekerja sebelumnya. Nasib para pemagang ini juga tidak selalu beruntung. Tak jarang mereka ‘diberi kesempatan belajar bekerja’ tanpa menerima upah atau fasilitas lain (uang makan atau uang transport, misalnya). Bahkan jika peserta magang memperoleh upah sekalipun, mereka melakukan pekerjaan murah tanpa peluang pengembangan diri (cheap dead-end labour), di bawah tekanan untuk memperoleh upah lebih rendah, dan ancaman akan digantikan oleh tenaga kerja lainnya. Menurut Standing, magang adalah precariat yang menggantikan tenaga kerja biasa.

Bersambung ke
Bagian 4: Masa depan precariat

----------
Referensi:

Standing, Guy (2011). The Precariat: The New Dangerous Class. Bloomsbury, London.