Baca

Baca

Kamis, 14 Agustus 2014

"Sindrom Pra dan Pasca-Pemilu"


Sindrom Pra dan Pasca-Pemilu

Candra Kusuma

Mungkin nggak suatu peristiwa politik tertentu bisa mempengaruhi kondisi psikologis seseorang?  Kalau iya, bisa nggak gangguan psikologis akibat peristiwa politik itu juga dialami oleh banyak orang, sehingga tidak lagi hanya menjadi masalah individual tetapi juga menjadi masalah sosial? Kayaknya memang bisa begitu ya. Manusiawi banget orang bisa mengalami gangguan jiwa (ringan ataupun berat) akibat kecewa, sedih, dll. Kalau orang patah hati aja bisa galau, politisi gagal pasti juga bisa stress kan…?

Peristiwa politik seperti Pemilihan Umum (Pemilu, di dalamnya termasuk Pilkada, Pileg dan Pilpres) yang melibatkan banyak orang dan diliput media massa secara luas, kayaknya bisa jadi juga dapat mempengaruhi kondisi psikologis dan kesehatan mental banyak orang. Kita bisa baca, dengar dan lihat dari media massa dapat diketahui banyaknya kasus politisi (dari tingkat desa, kabupaten/kota provinsi sampai tingkat nasional), tim sukses atau para pendukung fanatik yang mengalami stres, gangguan pikiran dan suasana hati atau perubahan perilaku akibat terlalu terlibat dalam proses politik tersebut.

Political Stress Syndrome

Sebagian orang menyebut kondisi gangguan kejiwaan (psychiatric disorder) tersebut sebagai Political Stress Syndrome (PSS). Istilah ini --dan beberapa istilah turunannya berikutnya-- bisa jadi memang bukan (atau belum?) jadi istilah ‘resmi’ dalam disiplin psikologi, dan lebih sebagai istilah yang populer di kalangan jurnalis, penulis media/blog dan pengamat serta aktivis sosial/politik saja.

Political Stress Syndrome yang terkait dengan Pemilu bisa dibagi dua:

(1)    Sindrom Pra-Pemilu

Pernah merasa muak dan sebel denger atau nonton berita kampanye Pemilu kemarin? Pernah meng-unfriend, di-unfried sama temen di media sosial yang marah gara-gara sering mostingin atau dipostingin berita kampanye Pemilu?  Kalau pernah, itu kemungkinan ada hubungannya dengan sindrom yang oleh sebagian orang disebut sebagai Pre-Election Stress Syndrom (PrESS).

Gejala permukaannya (bukan diagnosis langsung sama psikolog/psikiater sesungguhnya lho…) yang bisa dilihat orang awam, seperti:
  • Kekhawatiran atau kecemasan bila terkena imbas kampanye (mendengar/melihat informasi seputar kampanye, melihat media kampanye Pemilu, dll.);
  • Atau sebaliknya menjadi terlalu asyik dan menjadi terlalu terlibat dengan kampanye politik, dan kesulitan untuk mengambil jarak dari proses kampanye politik;
  • Perasaan kelelahan jika mendengar atau terlibat dalam pembicaraan politik, dan menjadi merasa kurang tertarik untuk terlibat dalam Pemilu (misalnya, menjadi sangat frustrasi dan tidak lagi ingin memberi suara dalam Pemilu);
  • Merasa kecewa, jijik, atau depresi terhadap: (a) Keadaan negara; (b) Integritas rakyat; atau (c) Masa depan diri sendiri;
  • Keinginan untuk menghabiskan waktu berlibur di negara lain selama masa Pemilu dan jauh dari berita dan pembicaraan politik. (Lihat http://www.drstephaniesmith.com/pre-election-stress-disorder-do-you-have-it/ )

(2)    Sindrom Pasca-Pemilu

Sebagian orang menyebut sindrom pasca-Pemilu ini sebagai Post-Election Stress Syndrom (PoESS). Tapi, ternyata ada banyak sekali istilah yang digunakan para penulis terkait sindrom tersebut, diantaranya: Post-Election Stress (PES); Post-Election Syndrome (PES); Post-Election Depression (PED); Post-Election Stress Syndrome (PESS); Post-Election Loss Syndrome (PELS); Post-Election Depression Syndrome (PEDS); Post Election Traumatic Syndrome (PETS); Post-Election Selection Trauma (PEST); Post-Election Stress Disorder (PESD); Post-Election Stress Syndrome (PESS); Post Election Selection Syndrome (PESS); Post-Election Withdrawl Syndrome (PEWS); Post-Election Stress and Trauma Syndrom (PESTS); Post-Election Traumatic Stress Disorder (PETSD).

Sindrom ini tidak sebatas dialami oleh pihak yang kalah saja, tapi juga bisa terjadi di kubu yang menjadi pemenang Pemilu, meskipun kelihatannya memang lebih banyak dialami oleh kubu yang kalah tadi. Penyebabnya bisa sangat beragam, yang diantaranya: Merasa telah memenangi Pemilu, tapi kemenangan itu telah dicuri oleh pihak pesaing; Merasa menang, dan kemenangannya dicuri pihak pesaing politik; Kekecewaan karena angan-angan dan harapan mereka untuk memperoleh jabatan, kehormatan, gaji yang tinggi  dan fasilitas yang berlimpah tidak dapat dicapai; Ketidakpuasan dengan proses dan hasil Pemilu; Kesulitan menerima kemenangan pihak pesaing;  Keengganan menerima dan mengakui kekalahan; Dll.

Ekspresi dari sindrom pasca-Pemilu ini bisa jadi berbeda bentuk dan kadarnya pada tiap-tiap orang. Stress-nya seorang Calon Presiden yang kalah dalam Pilpres bisa jadi beda bentuknya dengan stress-nya Calon Kepala Desa yang gagal atau sekedar pendukung ‘fanatik’ yang cuma aktif di media sosial saja. Meskipun istilah yang digunakan juga sangat beragam, namun semuanya memiliki kemiripan karena merujuk pada sejumlah gejala (symptoms) yang di dalamnya termasuk --tapi tidak terbatas pada--:

--> Perasaan tertekan dan kosong setelah hari pencoblosan; sibuk membuka link internet tanpa tujuan, mencari-cari sesuatu yang tidak jelas; merasa lelah tanpa sebab yang jelas; menarik diri; merasa tidak peduli; merasa terganggu melihat simbol-simbol kampanye Pemilu; perasaan terisolasi; marah; emosional dan kepahitan; kebencian; bicara kasar, agresif atau pasif-agresif; berkomentar sembarangan yang bernada menghina atau merendahkan pihak ‘lawan politik’ di media sosial; melamun; kehilangan nafsu makan; sulit tidur; mimpi buruk; kemurungan mendalam termasuk merajuk tak berujung; menjadi terlalu khawatir tentang arah dan masa depan negara; merasa kehilangan harga diri; dll. Dalam skala yang akut, sindrom dapat berupa dorongan melakukan bunuh diri, melakukan amuk publik (public tantrums), atau menghasut orang lain untuk berbuat kerusuhan, dll.

Bisa dibilang bahwa yang terjadi mirip dengan efek ‘pasca-pesta’ yaitu perasaan sepi setelah secara tiba-tiba semua histeria, keramaian, kehebohan, kegaduhan, dan ketegangan mereda atau usai, dan harus menerima realitas dan kembali melanjutkan hidup. Orang atau individu yang terkena sindrom ini kemungkinan dapat terlibat dalam kegiatan irasional impulsif, yang akhirnya dapat menyebabkan terganggu bahkan hilangnya kehidupan sosial dan kehancuran ekonominya. Sementara kelompok masyarakat yang menderita sindrom ini juga dapat terjebak pada histeria massa, panik dan hiruk-pikuk kegilaan yang tindakannya mereka tidak dapat secara dijelaskan secara rasional, yang ujung-ujungnya juga dapat menimbulkan kerusakan yang luas dan susah dikendalikan (lihat http://worldnewsvine.com/2013/08/raila-suffering-from-acute-post-election-loss-syndrome/).

Sindrom macam begini kayaknya terjadi di semua negara ya. Media di Taiwan melaporkan terjadinya peningkatan yang tidak biasa sebanyak 10% pada pasien yang mengalami depresi atau kecemasan pasca-Pemilu tahun 2004.  Para dokter di sana menyimpulkan bahwa para penderita mengalami "gangguan penyesuaian" yaitu, tekanan mental yang disebabkan oleh gangguan dalam pandangan seseorang tentang realitas. Pemilu bagi para politisi dan pemilih di Taiwan taruhannya memang selalu tinggi, yaitu kelangsungan hidup pemerintah, kelangsungan hidup partai politik, dan ancaman konflik dari hubungan Taiwan dengan China yang memang masih selalu tegang (lihat http://atimes.com/atimes/China/FL01Ad03.html). Sementara pasca-Pemilu tahun 2008 di Malaysia, banyak warganya yang mengaku kesulitan untuk kembali ke rutinitas harian mereka. Bahkan, banyak diantaranya yang mengaku sudah merasa cemas untuk menyambut Pemilu berikutnya (lihat http://www.mysinchew.com/node/64068).

Kasus serupa juga terjadi di Kenya. Pasca-Pemilu di Kenya 2007-2008 juga dilaporkanya banyaknya politisi yang mengalami sindrom ini, sampai harus menerima pengobatan dan perawatan rumah sakit. Dalam kasus yang ekstrem bahkan dapat berakibat pada munculnya kesakitan dan kematian yang tak terjelaskan, serta reaksi-reaksi tak rasional yang ditunjukkan oleh para politisi dan pendukung fanatiknya yang kalah dalam Pemilu (election losers’ illnesses and irrational post-election reactions). Di negara-negara Afrika, sindrom tersebut diyakini sebagai pemicu dari meningkatnya kekerasan, gelombang petisi atau gugatan ke pengadilan pasca-Pemilu, dan bahkan kudeta, khususnya oleh pihak militer (lihat http://worldnewsvine.com/2013/08/raila-suffering-from-acute-post-election-loss-syndrome/).

Gangguan kejiwaan akibat Pemilu juga dialami oleh politisi dan para pendukungnya di Amerika Serikat. Pasca-Pemilu Presiden tahun 2004 banyak pendukung Calon Presiden John Kerry yang juga merasa mengalami sindrom tersebut. Menurut American Health Association (AHA), gejala yang dilaporkan mirip dengan gangguan stres pasca-trauma. Meskipun ada sebagian analis lain kurang setuju penggunaan istilah trauma –yang terkait dengan gangguan psikologis yang mendalam dan berimplikasi kompleks--, dan lebih memandang kondisi tersebut sebagai kesedihan dan kecemasan yang bersifat sementara saja. Karenanya para terapis (psikolog dan psikiater) di AHA kemudian memberikan kesempatan konsultasi gratis bagi siapapun yang merasa mengalami ‘post-election selection trauma.’ Reaksi AHA tersebut dipicu oleh adanya kasus bunuh diri yang diduga terkait dengan kekalahan Kerry dalam Pilpres tersebut. Gangguan psikologis tersebut tetap perlu disembuhkan melalui konsultasi dan pendampingan, namun diyakini akan menghilang seiring para pendukung politisi yang kalah tersebut mulai dapat menerima realitas politik yang ada (lihat http://www.freerepublic.com/focus/fr/1300571/posts). (Catatan: Ulasan tentang reaksi psikologis pasca-Pemilu yang perspektif dari teori Elisabeth Kübler-Ross tentang empat tahap kesedihan diantaranya lihat http://haicandra.blogspot.com/2014/07/pilpres-2014-denial-anger-bargaining.html).

Namun demikian, selain Post-Election Stress Syndrom (PoESS) yang identik dengan kondisi yang dialami kubu yang kalah dalam Pemilu, ada pula dikenal sindrom lain yang umumnya diidap oleh pihak pemenang, yaitu  Post-Election Victory Syndrome (PEVS). Sindrom ini mewujud dalam perilaku ‘merasa penting, superior dan berkuasa’ (sense of self-importance, superiority complex, newly found aura of confidence and ungrounded sense of power) (lihat http://worldnewsvine.com/2013/08/raila-suffering-from-acute-post-election-loss-syndrome/). Namun sindrom yang paling parah di kalangan pemenang Pemilu ini sesungguhnya adalah ‘Sindrom Lupa Janji’ yang pernah digembar-gemborkan sebelumnya pada saat kampanye Pemilu.

Bagaimana di Indonesia?

Persaingan dan kegaduhan politik selama Pilpres 2014 di Indonesia saat ini juga dapat memicu persoalan kejiwaan. Bahkan sebelum hari pencoblosan 9 Juli 2014 lalu, Kementerian Kesehatan RI juga sudah memprediksi bahwa jumlah orang yang mengalami gangguan jiwa atau setidaknya mengalami gejala  stres ringan bertambah. Stres  itu kemungkinan akan terjadi pada orang  yang ikut atau terlibat dengan terlalu  memikirkan masalah Pilpres (lihat http://www.republika.co.id/berita/Pemilu/berita-Pemilu/14/07/09/n8fjvt-pilpres-membuat-penderita-). Masalahnya, sindrom ini dapat terjadi pada semua orang, dari mulai cuma para penggembira di sosial media sampai dengan para  Calon Presiden dan Wakil Presiden itu sendiri.

Sebelumnya berkenaan dengan Pemilu Legislatif 2014 juga banyak diberitakan mengenai Calon Legislatif yang stres akibat tidak terpilih, merasa kecewa dan dikhianati oleh orang/pihak yang sebelumnya berjanji mendukungnya namun tidak terbukti. Selain itu stress juga akibat banyaknya hutang biaya kampanye dan janji ke banyak pihak yang sulit mereka penuhi. Peluang stress lebih besar terjadi pada Caleg yang baru pertama kali mencalonkan diri dalam Pemilu (lihat http://health.kompas.com/read/2014/04/08/1359548/Kalah.Pemilu.Caleg.Berpotensi.Stres.dan.Gangguan.Jiwa). Pakar Kejiwaan Prof. Dadang Hawari memprediksi jumlah calon legislatif (caleg) yang mengalami gangguan jiwa pada Pemilu Legislatif 2014 April lebih banyak dibandingkan Pemilu 2009 (lihat http://www.gatra.com/lifehealth/sehat-1/48540-diprediksi-banyak-caleg-alami-gangguan-kejiwaan-di-Pemilu-2014.html).

Dari pengalaman pasca-Pemilu 2009, ada cukup banyak Caleg yang dirawat di rumah sakit (jiwa), di tempat-tempat pengobatan tradisional, dan panti rehabilitasi mental karena mengalami gangguan jiwa (lihat http://pelita.or.id/baca.php?id=68604).  Dari data yang dikeluarkan oleh kementrian Kesehatan (kemenkes) pada Pemilu 2009 lalu kurang lebih ada 7.736 Caleg yang mengalami gangguan jiwa berat alias gila. Sebanyak 49 orang Caleg DPR, 496 orang Caleg DPRD Provinsi, 4 Caleg DPD dan 6.827 orang Caleg DPRD Kabupaten/Kota. Sementara untuk Pemilu Legislatif 2014, dr. Teddy Hidayat, psikiater yang juga Ketua Penanggulangan Narkoba RS Hasan Sadikin Bandung, meramalkan jumlah caleg yang stres akan mencapai 30%. Menurutnya,  baik Caleg yang terpilih maupun gagal sama berpeluang untuk mengalami stress (lihat http://www.gatra.com/lifehealth/sehat-1/48540-diprediksi-banyak-caleg-alami-gangguan-kejiwaan-di-Pemilu-2014.html).

Sindrom ini umumnya telah diabaikan oleh para ilmuwan sosial, psikiater dan psikolog, karena takut dan kurangnya minat dalam mempelajri perilaku politik pemain kunci dan dampak sosial dari dinamika politik nasional. Dampaknya adalah bahwa sebagian besar rakyat hanya menjadi korban dari persaingan kepentingan politik individu/politisi, dan negara mereka berubah menjadi ladang pertempuran untuk memenuhi citra diri pribadi, harga diri dan gelembung ego (lihat http://worldnewsvine.com/2013/08/raila-suffering-from-acute-post-election-loss-syndrome/).

Situasi paling akhir dari sengketa hasil Pemilu Presiden 2014 saat ini adalah masih dalam tahap persidangan di Mahkamah Konstitusi. Kelihatannya masih banyak pihak yang sejauh ini masih dirundung sindrom pasca-Pemilu, baik Post-Election Loss Syndrome (PELS) maupun Post-Election Victory Syndrome (PEVS). Semoga saja tidak menjadi bertambah akut dan bisa segera pulih ya. Dan semoga bisa seperti di beberapa negara lain yang ada fasilitas gratis untuk konsultasi dan pendampingan kalau ada anggota masyarakat yang merasa terkena sindrom politik macam ini. Semoga pula masalah psikologis yang dialami individu-individu tidak berakumulasi menjadi masalah sosial yang meluas. Masalah akan menjadi lebih rumit jika para pemimpin politik yang terkena sindrom politik ini, justru secara sadar atau tidak malah ‘menularkan’-nya kepada para pendukungnya. Seperti orang bilang, ‘ikan busuk mulai dari kepalanya,’ dan sebaliknya, ‘kebaikan dimulai dari teladan para pemimpinnya.’

Pada akhirnya kuncinya memang hanya satu: gimana kubu yang kalah ya bisa realistis dan ngaku kalah, dan kubu yang menang juga nggak jumawa…  Dan yang paling penting dari itu semua adalah, gimana agar yang jadi pemenang tidak lupa dan serius mencoba merealisasikan semua janji kampanye mereka tentunya… :)

Disclaimer:
Saya bukan psikolog atau psikiater. Tulisan ini hanya kompilasi dari beberapa sumber di internet.

----------------------------------
Sumber:

http://pelita.or.id/baca.php?id=68604

http://www.republika.co.id/berita/Pemilu/berita-Pemilu/14/07/09/n8fjvt-pilpres-membuat-penderita-

http://www.drstephaniesmith.com/pre-election-stress-disorder-do-you-have-it/

Sabtu, 02 Agustus 2014

“Demokrasi: Antara Konsensus dan Disensus”



“Demokrasi: Antara Konsensus dan Disensus”

Candra Kusuma

Demokrasi minimalis umum dipahami hanya sebatas keikusertaan warganegara dalam Pemilu. Jika demokrasi tidak ingin dipahami secara minimalis sebagai demokrasi elektoral atau agregatif yang mengacu pada suara terbanyak dalam voting atau Pemilu, maka proses diantara dua Pemilu harus dilihat sebagai proses demokratis, yang menurut Jurgen Haberman, harus dilalui dengan upaya deliberasi atas keputusan dan kebijakan publik (F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif: Menimbang Negara Hukum dan Ruang Publik dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas, 2009: 132). Proses deliberasi dengan jalan dialogis yang rasional diantara para pihak secara setara dan terbuka, sampai dengan tercapainya konsensus bersama.

Namun proses deliberasi dalam demokrasi konsensus tersebut sesungguhnya tidaklah mudah untuk dilakukan jika mengikuti syarat dan prosedur ideal yang dianjurkan Habermas dan kawan-kawannya. Menurut para pengkritik teori demokrasi deliberatif, tidak semua warganegara memiliki kemampuan yang layak dan memenuhi syarat untuk melakukan dialog secara rasional dalam sebuah diskursus yang yang setara, yang akibatnya mereka menjadi tereksklusi dan terpinggirkan dari ruang politik. Bahkan oleh sebagian pemikir lain, idealisasi dari demokrasi konsensual tadi dipandang sulit dapat dicapai dan nyaris mustahil untuk dapat dipertahankan untuk waktu lama dalam riil politik.

Kritik terhadap demokrasi konsensus

Budiarto Danujaya dalam bukunya Demokrasi Disensus: Politik Dalam Paradoks (2012), --yang dikembangkan dari disertasinya yaitu Demokrasi Sebagai Politik Disensus (Utopia Koeksistensial di Era Paradoks) di Departemen Filsafat Universitas Indonesia (2010)-- mengkritisi obsesi akan konsensus dalam politik yang diusung oleh demokrasi konsensus. Keranjingan akan konsensus tersebut diyakini pada akhirnya akan mereduksi daya hidup dan kreasi dari demokrasi itu sendiri. Karenanya Danujaya menyodorkan konsep demokrasi disensus sebagai antithesis dari kecenderungan berlebihan terhadap gagasan demokrasi konsensus.

Menurut Danujaya, dalam demokrasi konsensus setiap warga diasumsikan sebagai individu yang merupakan agen rasional dan mandiri yang akan memberikan respon yang seragam dalam menanggapi keadaan yang diasumsikan sama, --sejauh tidak ada bias-- baik dalam bentuk hegemoni, delusi, ataupun parsialitas informasi (2012: xxiii). Karenanya dalam menghadapi perbedaan dan konflik, maka individu diyakini akan merespon dengan berupaya mencari kesepakatan atau konsensus yang disepakati bersama. Konsensus ini dimaknai sebagai adanya citarasa bersama (sensus communis atau common sense). Konsensus politik adalah kesepakatan politik yang sungguh mampu menggalang segenap warga  atau mampu mewadahi aspirasi sebagian besar warga, sehingga dapat diterima sebagai landasan bersama bagi segenap masyarakat, dan mampu menjembatani perbedaan kepentingan, ideologi, maupun doktrin komprehensif para pihak di dalamnya (2012: xix).

Danujaya mencatat bahwa demokrasi sebagai politik konsensus mempercayai kesanggupan sistem politik tertentu dalam mengatasi perbedaan akibat keragaman kepentingan, agama, ideologi dan doktrin komprehensif lainnya, dan dapat mencapai sebuah kesepakatan politik yang relatif dapat dimufakati bersama (2012: xvii). Ada dua aliran teori demokrasi konsensus ini, yaitu:

  1. Idealisasi kontrak sosial. Diantaranya yang diusung oleh John Rawls (antara lain lihat A Theory of Justice, 2000:14; Political Liberalism, 1996:192-193), yang menyatakan bahwa terlepas dari adanya kemajemukan, tetap ada kemungkinan untuk mencapai mufakat politik, asalkan masing-masing pihak yang terlibat bersikap nalar dalam upaya membangun landasan bersama (publik) melalui sebuah konsensus politik.
  2. Proses ideal. Diantaranya adalah teori demokrasi deliberatif yang diusung Jurgen Habermas (“The Public Sphere: An Encyclopedia Article,” dalam Blaug dan Schwarzmantel ed., Democracy: A Reader, 2001),  dan Seyla Benhabib (Democratic and Difference: Contesting the Boundaries of the Political, 1996), yang percaya bahwa kapasitas rekonstruktif dalam sistem politik akan mampu mencapai konsensus, asalkan dikelola lewat proses yang deliberatif, dalam arti adanya dialog yang mendalam dan hati-hati, bebas, terbuka serta rasional, sehingga memungkinkan kritik-diri berkelanjutan (Danujaya, 2012: xvii-xviii). (Catatan: Ulasan singkat tentang teori demokrasi deliberatif diantaranya lihat http://haicandra.blogspot.com/2014/03/belajar-teori-demokrasi-dari-mas.html).

Danujaya mengutip kritik yang diajukan oleh Nicholas Rescher (Pluralism: Againts the Demand for Consensus, 1995: 188-189), yang berpendapat bahwa orientasi metodis dari praksis demokrasi konsensus pada dasarnya lebih bertumpu pada pengupayaan bersusah-payah berkelanjutan untuk mencapai kesepakatan aktual dengan cara memaksimalkan jumlah individu yang menyetujui tindakan atau kebijakan yang akan ditempuh (Danujaya, 2012: xix). Karenanya, kedua pendekatan ideal tersebut (baik idealisasi kontrak sosial maupun proses ideal) memerlukan banyak prasyarat dan tidak senantiasa dapat diwujudkan.

Demokrasi disensus: cara pandang berbeda terhadap keberagaman dan oposisi

Danujaya banyak merujuk pada filsafat politik dari Ernesto Laclau, Chantal Mouffe dan Nicholas Rescher dalam merumuskan tafsirnya atas konsep demokrasi konsensus dan mengkontekskannya dalam politik kontemporer di Indonesia. Dalam hal ini, paradigma disensus memandang setiap warga sebagai individu yang unik (sebagai suatu ‘unikum’) dan berbeda dengan individu lain, yang tidak dapat terjembatani apalagi terleburkan dalam hubungannya dengan indivud-individu lain, sehingga mengakibatkan adanya otonomi radikal dalam korelasi tersebut (Danujaya, 2012: xxiii).

Kontras dengan pandangan para pemikir demokrasi konsensus, para pemikir  yang memandang demokrasi sebagai politik disensus justru tak mempercayai kesanggupan sistem politik untuk menggalang konsensus. Laclau dan Mouffe (dalam Hegemony and Socialist Strategy: Toward a Radical Democratic Politic, 1994: 127) berpendapat bahwa masyarakat tak mungkin dapat mewujud sebagai identitas utuh dan terpadu, karena masyarakat senantiasa berada di arena politik (Danujaya, 2012: xix).

Danujaya menyitir pandangan Mouffe (dalam The Democratic Paradox, 2000: 101) yang membedakan antara konsep ‘politikal’ dan ‘politik.’ Menurut Mouffe, ‘politikal’ terkait dengan dimensi antagonisme yang inheren dalam relasi antarmanusia, karena merupakan perwujudan ketegangan relasional antara kami dan mereka, yang selalu menandai relasi sosial, termasuk politik. Sementara ‘politik’ merujuk pada rangkaian praktik, wacana, dan institusi yang berusaha menegakkan tertib tertentu dan mengorganisasikan kondisi manusia yang hidup saling berdampingan dan dipengaruhi oleh dimensi ‘politikal’ tadi, sehingga juga cenderung antagonistis. Politik bertujuan menciptakan kesatuan dalam konteks konflik dan keberagaman. Masalah krusial dalam politik adalah mengubah relasi ‘kami dan mereka’ agar yang bersifat ‘kawan dan lawan’ menjadi lebih sekedar ‘kawan dan seteru’ (friend - adversary). Upaya menselaraskan tersebut bukan bertujuan menghapus antagonisme namun lebih sebagai upaya menyediakan koridor yang dapat menselaraskan antagonisme tersebut agar sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi pluralistik (Danujaya, 2012: xx).

Menurut para pemikir teori demokrasi disensus tersebut, perbedaan antara ‘aku’ dan pihak lain (the other, yang dalam bahasa Indonesia umum diterjemahkan sebagai ‘liyan’) tidak sepenuhnya dapat direduksi dan dijembatani. Perbedaan tersebut akan senantiasa ada. Keikutsertaan para pihak dalam keputusan politik bukan hanya bersifat senantiasa sementara, melainkan juga senantiasa terbuka terhadap kemungkinan artikulatif baru, sehingga sekedar  merupakan batu pijak menuju ketegangan disensual selanjutnya (Danujaya, 2012: xxi).

Rescher (1995: 189) berpendapat bahwa orientasi metodis dari praksisnya bertumpu pada ‘agoni disensual’ yaitu pengupayaan bersusah payah berkelanjutan untuk menampik ketaksepakatan yang kelewat tajam sehingga menghambat ketercakupan dalam keikutsertaan sementara itu dengan cara terus-menerus meminimalisasi kadar dan jumlah ketaksetujuan pada kebijaksanaan yang ditempuh. Relasi yang coba dibangun adalah lebih merupakan ‘hegemoni yang senantiasa terbuka’ (open-ended hegemony), dan bukan sebagai ‘konsensus yang senantiasa terbuka’ (open-ended consensus) (Danujaya, 2012: xxii).

Antagonisme tersebut merupakan konsekuensi bawaan dari keragaman sebagai sifat dasar relasi sosial yang tidak saja kompleks tapi juga penuh kepentingan seperti relasi politik, sehingga selalu menghambat setiap upaya mencapai ‘objektivitas sosial’ yang menjadi basis bagi tercapainya konsensus politik (Danujaya, 2012: xxv). Namun, mengandaikan dapat ditiadakannya disensus dalam relasi sosial politik justru dapat berbahaya karena akan menutup ruang konstitutif politik demokrasi, yaitu jarak yang senantiasa ada antara konsensus dan disensus, juga antara keputusan dan posibilitas perbedaan-perbedaan sebagai konsekuensi keragaman (Danujaya, 2012: xxvii). Dengan kata lain, orientasi pada konsensus mengandaikan adanya politik yang monosemi (bermakna tunggal), sementara realitas politik senantiasa terbuka sebagai polisemi (bermakna banyak).

Politik disensus memperlihatkan bahwa sebagai sebuah fenomena spasial, politik adalah ajang perebutan artikulatif manusia-manusia konkrit yang hidup dan nyata, sehingga antagonisme relasional adalah sebuah keniscayaan yang tak dapat dielakkan. Karenanya, keberadaan oposan bukan saja merupakan konsekuensi relasional wajar belaka, melainkan bahkan antagonisme laten pada sekutu atau kawan politik sekalipun juga wajar saja, karena sekedar perwujudan alteritas dan diskursivitas keliyanan masing-masing individu sebagai agen sosial belaka (Danujaya, 2012: 415).

Hasrat berlebih pada konsensus mendorong ke arah unipolaritas (politik satu kubu) yang menghadirkan ‘dilema politik tanpa seteru’ (Mouffe, 2000: 108-127). Kondisi tersebut pada akhirnya justru merugikan politik demokrasi karena mengebiri kapasitasnya sendiri untuk melakukan perbaikan dan pengembangan diri secara terus menerus, yang hanya dapat terlaksana jika ada dinamika ketegangan kreatif dalam relasi antar anasir yang berbeda atau bertentangan akibat adanya perbedaan kepentingan dan perbedaan artikulatif di dalamnya (Danujaya, 2012: xxxi).

Singkatnya, orientasi berlebih pada konsensus justru cenderung akan membuat demokrasi menafikan keragaman (pluralitas) yang ada di masyarakat. Dalam pandangan ini, ‘pluralism agonistic’ memiliki dua wajah, yaitu: (a) Di satu sisi, menjadikan politik sebagai perjuangan untuk merawat antagonisme relasional sebagai upaya terus membangun mekanisme kontrol, koreksi dan koreksi sehingga demokrasi dapat terus menerus meremajakan gagasan, manusia dan lembaganya; (b) Di sisi lain, menjaga agar antagonisme tersebut tidak menjadi liar dan senantiasa berada dalam koridor demokrasi pluralis (Danujaya, 2012: 415-416).

Demokrasi disensus di Indonesia

Jacques Rancière dalam Dissensus: On Politics and Aesthetics (2010: 38), menyatakan: “The essence of politics is dissensus.” Bahwa inti dari politik adalah manifestasi dari disensus. Menurutnya, disensus bukanlah konfrontasi antar kepentingan-kepentingan atau opini-opini. Akan tetapi merupakan manifestasi dari kesenjangan atas hal-hal yang masuk akal. Manifestasi tersebut membuat apa yang sebelumnya dianggap tidak rasional untuk eksis, justru dapat menyuarakan eksistensinya. Bagi Rancière, inilah alasan mengapa politik tidak dapat diletakkan dalam kerangka model tindakan komunikatif (communicative action) yang menjadi dasar bagi konsep demokrasi deliberatif seperti yang ditawarkan Habermas dan kawan-kawan, di mana mereka yang dipandang tidak mampu berdiskursus secara ‘benar’ maka dianggap tidak layak untuk terlibat dalam politik.

Penegasan akan pentingnya disensus juga disampaikan Donny Gahral Adian (Dosen Filsafat Politik di Universitas Indonesia) dalam artikelnya yang berjudul Demokrasi Tanpa Suara di Harian KOMPAS tanggal 25 Januari 2013. Adian berpendapat bahwa disensus adalah sebuah keniscayaan, karena konsensus sangat sulit dicapai dalam politik, dan kalaupun bisa namun sifatnya hanya sementara saja. Dalam artikel tersebut Adian menulis: “Satu hal yang paling sulit dipenuhi oleh politik adalah konsensus. Konsensus dalam politik adalah momen yang selintas datang. Demokrasi disesaki oleh momen-momen konsensus yang tidak pernah mengabadi. Sebab, dalam demokrasi, disensus adalah kodrat sehingga konsensus dibuat untuk dibatalkan.” Barangkali dapat dikatakan bahwa disensus dan konsensus sesungguhnya adalah sebuah siklus dalam politik.

Karenanya, menurut Danujaya, perlu ada perubahan paradigma di mana politik perlu lebih dilihat sebagai sebuah upaya pengelolaan konflik, dan demokrasi sebagai politik disensus. Menurutnya, perlu ada kesadaran historis bahwa bangsa Indonesia telah berulang kali mengalami krisis multidimensi, yang diantaranya disebabkan oleh berlebihannya dalam menerapkan politik harmoni dan demokrasi konsensus. Semua pihak perlu menyadari bahwa jargon-jargon politik demokrasi dalam paradigma konsensus, baik secara teoritis maupun praksis, terbukti mudah diselewengkan untuk melakukan pemusatan kekuasaan sehingga gampang tergelincir menjadi eksesis menuju totalitarian (Danujaya, 2012:  xxxv).

Persoalannya kemudian adalah “Bagaimana caranya untuk dapat mengelola disensus tersebut agar tetap ‘berada dalam koridor demokrasi pluralis’ seperti yang disitir Danujaya (2012: 416) sebelumnya?.” Dari berbagai pendapat para pemikir tersebut, ada beberapa prinsip yang dapat menjadi acuan, yaitu: 
(a)  Koeksistensial (pengakuan atas keberadaan pihak lain serta keberagamannya, dan kehendak untuk hidup berdampingan tanpa saling mengganggu), dan dialog yang terbuka serta memberi ruang partisipasi dan transparansi bagi publik untuk terlibat dan mengawasi proses politik dan pemerintahan;
(b) Agonisme, yang diperlukan agar tidak melihat politik secara hitam putih dan konstan, sehingga kurang menyadari pentingnya oposisi sebagai pembanding dan kontrol dalam sistem demokrasi. (Danujaya, 2012: 416);
(c) Kepastian dan penegakan hukum atau aturan main yang ‘disepakati’ menjadi panduan dalam kontestasi politik;
(d) Jika mengacu pada teori demokrasi, maka hal tersebut akan kembali pada praksis dari civic virtue atau keutamaan publik yang dianut dan menjadi panduan hidup untuk menjadi warganegara yang baik (good citizen), juga sebagai pemimpin yang baik (good leader), dan negarawan yang baik (good statesman). Pada saat itu, kebebasan dan kepentingan individu –sebagaimana dianjurkan oleh demokrasi liberal-- mesti mampu diubah menjadi prinsip kebaikan warganegara (diantaranya lihat Donny Gahral Adian, Demokrasi Substansial: Risalah Kebangkrutan Liberalisme, 2010: 118). Bisa jadi, civic virtue inilah sesungguhnya yang mampu menjadi landasan utama untuk membangun koridor bagi demokrasi pluralis dalam mengelola siklus disensus dan konsensus tersebut.

Sebagai contoh aktual, yaitu terkait dengan sengketa Pilpres 2014 yang tengah terjadi saat ini. Ketika hasil quick count oleh lembaga-lembaga survey politik dan real count oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) atas hasil perhitungan suara pemilih telah gagal mencapai konsensus yang dapat diterima semua pihak, maka sesungguhnya mekanisme disensus-lah yang harus dioperasikan. Meskipun menjadi catatan --dan masih menjadi perdebatan-- mengenai pernah dikeluarkannya pernyataan mengundurkan diri dari proses Pemilu oleh salah satu pasangan Capres dan Cawapres, namun langkah yang ditempuh pasangan tersebut yang mengadukan kasus sengketa Pilpres ke Mahkamah Konstitusi (MK) tetaplah perlu dihormati, sebagai penerapan dari prinsip koeksistensial yang disinggung sebelumnya. Langkah hukum tersebut --meskipun mungkin menyebalkan bagi sebagian orang-- adalah yang paling sesuai dengan mekanisme hukum yang ada terkait upaya penyelesaian sengketa Pilpres dan Pemilu pada umumnya. Langkah politik lain juga masih dimungkinkan, sejauh tidak menggunakan intimidasi dan kekerasan baik terhadap institusi penyelenggara Pemilu maupun kubu pesaingnya.

Hasil keputusan MK nantinya mungkin tidak akan memuaskan sebagian pihak. Dalam kondisi demikian, civic virtue dari semua pihak --khususnya pihak yang kalah-- pada akhirnya yang akan menentukan dan paling mampu menggiring ke arah konsensus yang baru, yaitu menerima keputusan hukum siapapun pihak/kubu yang dinyatakan sebagai pemenang Pilpres. Selain itu, bagi kubu yang kalah, masih ada ruang yang sama mulianya dalam demokrasi dan sejalan dengan prinsip ‘agonisme’ tadi, yaitu untuk berperan sebagai kontrol atau ‘oposisi’ bagi pemerintahan terpilih yang baru nanti.

------------------------
Sumber:

  • Budiarto Danujaya. Demokrasi Disensus: Politik Dalam Paradoks. Gramedia Pustaka Utama. 2012.
  • Donny Gahral Adian. Demokrasi Substansial: Risalah Kebangkrutan Liberalisme. Penerbit Koekoesan. 2010.
  • Donny Gahral Adian. Demokrasi Tanpa Suara. KOMPAS. 25 Januari 2013.
  • F. Budi Hardiman. Demokrasi Deliberatif: Menimbang Negara Hukum dan Ruang Publik dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas. Kanisius. 2009.
  • Jacques Rancière. Dissensus: On Politics and Aesthetics. Edited and translated by Steven Corcoran. Continuum. 2010.