Baca

Baca

Senin, 15 Juni 2015

"Rasa Cinta dalam Secangkir Kopi"



Candra Kusuma


Suka minum kopi?, atau bahkan sudah kecanduan?”

Saya juga peminum kopi. Sehari diupayakan paling banyak dua gelas saja. Jauh lebih sedikit dibanding beberapa tahun lalu –sebelum diperingatkan dokter karena terkena maag cukup berat-- yang bisa sampai 4-6 gelas sehari. Boleh dibilang agak kecanduan, karena saya bisa senewen  kalau sehari saja tidak ketemu kopi. "Rasanya, kopi bisa membantu saya menjadi lebih tenang..."

Bisa jadi saya ketularan ibu yang memang rutin minum kopi. Sejak remaja saya suka ikutan mencicip kopi yang beliau buat tiap siang, dan akhirnya keterusanlah sampai sekarang ini.

Tapi sayangnya saya sama sekali bukan ahli tentang kopi. Saya tidak paham jenis, asal-usul dan ‘deskripsi rasa’ dari tiap biji kopi yang berbeda. Jadi saya senang sekali ketika awal 2013 lalu berjumpa dengan novel ini di deretan rak toko buku. Novel yang saya maksud adalah The Various Flavours of Coffee: Rasa Cinta dalam Kopi yang ditulis oleh Anthony Capella. Novel terjemahan ini diterbitkan oleh Gramedia pada tahun 2012, sementara edisi aslinya dalam Bahasa Inggris terbit pertama kali tahun 2008.

----

Novel ini berkisah tentang Robert Wallis, seorang penyair amatir dengan gaya hidup borjuis muda yang gemar kongkow di café-café di London. Pada akhir 1890-an, café memang menjadi bagian dari gaya hidup kaum elite dan menengah di Eropa sebagai tempat ngobrol, diskusi, berdebat, atau sekedar saling pamer diri saja. Di kemudian hari para pemikir sosial seperti Habermas dkk., menyebut café sebagai bagian penting dari tumbuhnya public sphere dan pemikiran demokrasi di Eropa.

Satu ketika secara kebetulan Wallis bertemu dengan Samuel Pinker, pemilik Castle Coffee, yaitu perusahaan yang terlibat dalam perdagangan kopi internasional. Sadar bahwa Wallis pandai mengolah kata, Pinker kemudian memberinya pekerjaan untuk menyusun daftar “kosakata kopi” berdasarkan cita rasa dan aroma kopi, yang kemudian mereka sebut sebagai “Metode Pinker-Wallis Untuk Penjelasan dan Klasisifikasi Berbagai Rasa Kopi” atau kemudian mereka singkat sebagai “Pedoman Pinker-Wallis” saja. Pedoman tersebut dijadikan Pinker dan Castle Coffee sebagai dasar dan standar dalam mengklasifikasi dan mengolah jenis kopi yang akan diproduksinya. Bahkan kemudian mereka juga menciptakan “kotak sampel” yang berisi wewangian yang merupakan bau inti yang dapat dipakai sebagai acuan bagi para pencicip kopi di distributor dan pabrik Castle Coffee.

Deskripsi yang dibuat Wallis memang terlihat unik, dan umumnya mengacu pada bau, bentuk, warna dan rasa yang sudah dikenal cukup umum sebelumnya. Coba simak contoh dari daftar deskripsi rasa dan aroma berikut:

Pikirkan rasa-rasa ini. Asap adalah api yang berderak dalam tumpukan dedaunan mati di musim gugur; udara dingin, terasa garing dalam lubang hidung. Vanili adalah pulau rempah-rempah hangat dan sensual yang dihangatkan oleh matahari tropis. Berdamar mempunyai ketajaman kental dari biji cemara atau terpentin. Semua kopi, Kalau diamati dengan seksama, samar-samar mempunyai bau bawang bakar, kain linen bersih atau rumput yang sudah dipotong. Ada yang sudah mengeluarkan bau yang sudah meragi, seperti apel yang baru saja dikupas, sementara yang lain mempunyai rasa asam seperti kanji, dari kentang mentah. Ada yang mengingatkanmu pada lebih dari satu rasa: kami mendapati satu kopi yang menggabungkan seledri dan blackberry, yang lain mengawinkan melati  dengan roti jahe, yang ketiga yang menyatukan cokelat dengan bau wangi yang samar-samar dari timun segar yang renyah… 
(The Various…, hal.82)

Novel ini juga mengambil kutipan yang menarik tentang rasa dan aroma kopi dari beberapa buku lainnya yang juga mengangkat tema mengenai kopi. Diantaranya ini: ‘Cemara’ –aroma nikmat, segar, dan seperti pedalaman ini berasal dari kayu yang belum diolah, dan hampir serupa dengan serutan pensil. Ditandai oleh minyak inti alami dari cemara Atlas. Berbau lebih tajam pada panen matang (Jean Lenoir, Le Nez du Café). Atau ini: ‘Hijau’ –rasa keasaman yang dikeluarkan kacang hijau yang belum matang (Michael Sivetz, Coffee Technology). Juga ini: ‘Bergelora’ –rasa yang pahit yang umumnya terjadi karena pemanggangan berlebihan (Smith, Coffee Tasting Terminology). Dan juga ini: ‘Seperti ter’ –cacat rasa yang memberi kopi sifat gosong yang tidak enak (Lingle, The Coffee Cupper’s Handbook).

-----

Namun bagi saya, sejatinya buku ini bukan hanya bicara tentang kopi, tapi juga kritik sosial terhadap imperialisme Barat. Dari pengalamannya mengelola perkebunan dan perdagangan kopi di Afrika, Wallis melihat adanya ketidakadilan yang nyata. Dalam berbagai kesempatan, baik secara samar maupun terang-terangan, Wallis mengkritik kelakuan para penguasa dan pedagang di Eropa yang menjadikan Afrika sebagai tanah jajahan, memperlakukan penduduknya sebagai budak, dan mengambil kekayaan alamnya sesuka hati.

Artikel-artikelku muncul, dan dalam beberapa minggu aku tahu apa artinya dihormati dan dijamu. Ada undangan-undangan ke rumah-rumah pribadi—pesta malam di mana aku diharapkan mendebarkan para tamu dengan kisah-kisah tentang orang biadab yang haus darah dan keeksotisan Afrika, semuanya dikemas dengan rapi dengan komentar-komentar basi bahwa Perdagangan suatu hari  akan mengubah tempat itu menjadi Eropa lain. Aku mengecewakan. Dalam artikel-artikelku aku terpaksa melembutkan pendapatku atau harus mengalami tulisanku ditolak, tetapi di ruang-ruang tamu Mayfair dan Westminster aku tidak terlalu hati-hati. Aku menunjukkan bahwa orang-orang biadab dan haus darah satu-satunya yang pernah kutemui, memakai kulit putih dan seragam khaki; bahwa apa yang sekarang kami sebut Perdagangan hanya kelanjutan perbudakan dengan cara yang lebih berliku-liku; bahwa orang-orang pribumi di tempat aku tinggal sama tinggi wawasan kebudayaan mereka dengan masyarakat manapun yang kutemui di Eropa. Orang-orang mendengarkan aku dengan sopan, sesekali saling melempar tatapan berarti, lalu berkata hal-hal semacam, “Tetapi kalau begitu, Mr Wallis, apa yang harus Dilakukan dengan Afrika?
           
Dan aku menjawab, “Astaga, tidak ada. Kita harus menyingkir dari sana—mengakui bahwa kita tidak memiliki sedikitpun, dan pergi saja. Kalau kita ingin kopi Afrika, kita harus membayar orang Afrika untuk menanamnya. Bayar sedikit lebih banyak kalau perlu, sehingga mereka punya kesempatan untuk mulai sendiri. Akan menguntungkan dalam jangka panjang.

Ini bukan sesuatu yang ingin mereka dengar…
(The Various …, hal.498-499)

Membaca novel ini membuat saya teringat novel lain yang juga berkisah tentang kolonialisme dan perkebunan kopi di Indonesia masa lampau, yakni Max Havelaar: Or the Coffee Auctions of the Dutch Trading Company yang ditulis Multatuli alias Douwes Deker tahun 1860. “Apakah novel Capella ini memang diinspirasi oleh kisah yang ditulis Multatuli hampir 150 tahun sebelumnya? Bisa jadi…



-----

Selain itu novel ini juga berkisah tentang pemberontakan yang lain, yakni keterlibatan Emily Pinker, putri tunggal Samuel Pinker, dalam gerakan persamaan hak perempuan di Inggris. Dia terlibat dalam demonstrasi dan mogok makan, ditangkap, diadili, dipenjara, tetap ngotot melanjutkan mogok makan selama di penjara, sampai akhirnya meninggal di rumah sakit.

Kisah Emily tampaknya juga mengambil latar belakang konteks sosial yang sesungguhnya terjadi di Inggris, Eropa dan Amerika pada awal Abad 20. Pada awal tahun 1900-an, Inggris memang tengah bergejolak berkenaan dengan tuntutan keras dari kaum perempuan yang dimotori oleh para buruh perempuan dari pabrik tekstil di Northern England, yang awalnya menuntut kelayakan upah. Gerakan tersebut kemudian meluas dan dengan tuntutan lain yang lebih politis, yaitu hak perempuan untuk juga ikut memilih dalam Pemilu dan menjadi pejabat publik. Salah satu tokohnya kala itu adalah Emmeline Pankhurst yang menjadi pendiri Women's Social and Political Union (WSPU) (diantaranya, lihat June Purvis (2002), Emmeline Pankhurst: A Biography, Routledge). “Apakah nama dan kisah Emily juga diinspirasi dari tokoh Emmeline ini? Bisa jadi…”



-----

Saya suka novel ini, dan meskipun terjemahannya cukup tebal –lebih dari 650 halaman— ternyata saya sudah dua kali membacanya. Rasanya cukup lengkap buat saya: ada kisah tentang kopi, ada sejarah kopi dan gerakan sosial juga, plus bumbu roman barang sedikit. Ungkapan “If a book is well written, I always find it too short” dari Jane Austen rasanya ada benarnya juga dalam kasus novel ini.

-----

Sebagai penutup, bagi yang gemar membaca tentang kisah kopi dan kaitannya dengan konteks sosiologis dan political ekonomi per-kopi-an, izinkan saya menyarankan beberapa buku dan artikel yang saya anggap cukup menarik untuk dibaca:
  • Multatuli (1868). Max Havelaar: Or the Coffee Auctions of the Dutch Trading Company. Edmonton & Douglas.
  • Charles W. Bergquist (1986). Coffee and Conflict in Colombia, 1886-1910. Duke University Press.
  • Ralgh S. Hattox (1996). Coffee and Coffeehouses: The Origins of a Social Beverage in the Medieval Near East. University of Washington Press.
  • Stewart Lee Allen (2001). The Devil’s Cup: Coffee, The Driving Force in History. Canongate.
  • William Gervase Clarence-Smith and Steven Topik  (Eds.) (2003). The Global Coffee Economy in Africa, Asia, and Latin America, 1500–1989. Cambridge University Press.
  • Steven Topik (2004). “The World Coffee Market in the Eighteenth And Nineteenth Centuries, from Colonial To National Regimes,”  Working Paper No. 04/04, May, 2004.
  • Brian Cowan (2005). The Social Life of Coffee: The Emergence of the British Coffeehouse. Yale University Press.
  • John Scalzi (2007). You're Not Fooling Anyone When You Take Your Laptop to a Coffee Shop: Scalzi on Writing. Subterranean Press.
  • Dana Sajdi (2007). Ottoman Tulips, Ottoman Coffee: Leisure and Lifestyle in the Eighteenth Century. Tauris Academic Studies.
  • Bryant Simon (2009). Everything but the Coffee: Learning about America from Starbucks. University of California Press, Ltd.
  • Mark Pendergrast (2010). Uncommon Grounds: The History of Coffee and How it Transformed Our World. Basic Books.
  • Catherine M. Tucker (2011). Coffee Culture: Local Experiences, Global Connections. Routledge.
  • Scott F. Parker and Michael W. Austin (2011). Coffee: Philosophy for Everyone. Grounds for Debate. John Wiley & Sons, Ltd.
  • Anette Moldvaer (2014). Coffee Obsession. DK Publishing.

Juga bagi yang berminat membaca literatur mengenai isu ketidakadilan dalam industri kopi dan makin kuatnya tuntutan agar dapat dibangun sistem perdagangan yang lebih adil (fair trade), saya sarankan beberapa sumber berikut:
  • Marco Palacios (1980). Coffee in Colombia, 1850-1970. Cambridge University Press.
  • Benoit Daviron and Stefano Ponte (2005). The Coffee Paradox: Global Markets, Commodity Trade and the Elusive Promise of Development. Zed Books.
  • Nina Luttinger and Gregory Dicum (2006). The Coffee Book: Anatomy of an Industry from Crop to the Last Drop. The New Press.
  • Daniel Jaffee (2007). Brewing Justice: Fair Trade Coffee, Sustainability, and Survival. University of California Press.
  • Catherine M. Tucker (2008). Changing Forests: Collective Action, Common Property, and Coffee in Honduras. Springer.
  • Christopher M. Bacon (Eds.) (2008). Confronting the Coffee Crisis: Fair Trade, Sustainable Livelihoods and Ecosystems in Mexico and Central America. The MIT Press.
  • Peter Luetchford (2008). Fair Trade and a Global Commodity: Coffe in Costa Rica. Pluto Press.
  • Sarah Lyon (2011). Coffee and Community: Maya Farmers and Fair-Trade Markets. University Press of Colorado.
  • Ruerd Ruben and Paul Hoebink (Eds.) (2015). Coffee Certification in East Africa: Impact on Farms, Families and Cooperatives. Wageningen Academic Publishers.

Sementara bagi yang tertarik dengan teknologi produksi dan pengolahan kopi, beberapa literatur yang dapat saya sarankan adalah:
  • M.N. Clifford and K.C. Wilson (1985). Coffee: Botany, Biochemistry and Production of Beans and Beverage. Croom Helm Ltd.
  • R.J. Clarke and R. Macrae (1989). Coffee. Vol. 2: Technology. Elsevier Science Publishers Ltd.
  • Kevin Knox and Julie Sheldon Huffaker (1997). Coffee Basics: A Quick and Easy Guide. John Willey & Sons, Inc.
  • Ivon Flament (2001). Coffee Flavor Chemistry. John Willey & Sons, Inc.
  • R.J. Clarke and O.G. Vitzthum (Eds.) (2001). Coffee: Recent Developments. Blackwell Science.
  • Consumers International and IIED (2005). From Bean to Cup: How Consumer Choice Impacts Upon Coffee Producers and the Environment. Consumers International.
  • S.K.Mangal (2007).  Coffee: Planting, Production and Processing. Gene-Tech Books.
  • Bee Wilson (2008). Swindled: Tthe Dark History of Food Fraud, from Poisoned Candy to Counterfeit Coffee. Princeton University Press.
  • Kevin Sinnott (2010). The Art and Craft of Coffee: An Enthusiast’s Guide to Selecting,   Roasting, and Brewing Exquisite Coffee. Quarry Books.
  • Jonathan Rubinstein and Gabrielle Rubinstein (2012). Joe: The Coffee Book. Lyons Press.
  • Robert W. Thurston, Jonathan Morris and Shawn Steiman (2013). Coffee: A Comprehensive Guide to the Bean, the Beverage, and the Industry. Rowman & Littlefield.
  • Ivette Perfecto and John Vandermeer (2015). Coffee Agroecology: A New Approach to Understanding Agricultural Biodiversity, Ecosystem Services, and Sustainable Development. Routledge.

Terakhir, buat yang berminat mencari tahu atau memperdebatkan tentang untung ruginya minum kopi dan efeknya bagi kesehatan, silakan membaca beberapa sumber berikut:
  •  Astrid Nehlig (Ed.) (2004). Coffee, Tea, Chocolate, and The Brain. CRC Press.
  • James N. Parker and Philip M. Parke (Eds.) (2003). Coffee: A Medical Dictionary, Bibliography, and Annotated Research Guide to Internet References. ICON Group International, Inc.
  • Cal Orey (2012). The Healing Powers of Coffee: A Complete Guide to Nature’s Surprising Superfood. Kensington Books.
  • Victor R. Preedy (Ed.) (2015). Coffee in Health and Disease Prevention. Elsevier.

Jika ada kesempatan, saya berharap dapat membahas lebih banyak tentang beberapa buku tersebut….”


Rabu, 10 Juni 2015

"Pendekatan Transdisipliner" (Bagian 1)


Candra Kusuma

Pengertian transdisipliner

Menurut Balsiger (2004; yang dikutip Lawrence dalam Brown, 2010:17), tidak ada sejarah lengkap dari istilah atau konsep transdisipliner (seperti halnya istilah cross-disciplinary, multidisipliner, dan interdisipliner), dan tampaknya juga ada tidak ada konsensus tentang maknanya.

Dari sejumlah referensi, saya memberanikan diri untuk mengusulkan pengertian dari beberapa jenis pendekatan penelitian yang bukan merupakan kajian/penelitian satu disiplin ilmu (monodisipliner), yaitu:
  1. Cross-disciplinary, yaitu pendekatan lintas disiplin, berupa modus “meminjam” teori,  metode atau pendekatan dari disiplin ilmu lain;
  2. Multidisipliner (multidisciplinary), yaitu pendekatan di mana dua atau lebih disiplin ilmu bersama-sama mengkaji suatu topik atau isu tertentu, namun menggunakan metode dan menganalisis berdasarkan disiplin ilmunya masing-masing. Hasil akhir kajian kemudian dihubungkan dan dibandingkan untuk saling memperkuat atau menyanggah hasil analisis masing-masing;
  3. Interdisipliner (interdisciplinary), yaitu pendekatan di mana dua atau lebih disiplin digunakan untuk mengkaji suatu topik atau isu tertentu, di mana terjadi komunikasi, kolaborasi dan integrasi mulai dari definisi, tujuan, proses, pengumpulan data sampai analisis dan penarikan kesimpulan;
  4. Transdisipliner (transdisciplinary), yaitu pendekatan lintas disiplin dan lintas aktor/stakeholder, yang bertujuan yang mencari pengetahuan kritis dan transformatif atas isu atau masalah mendasar bagi kehidupan manusia (lihat Kusuma, 2013:43).

Berkenaan dengan istilah transdisipliner, para ahli juga membedakan antara transdisipliner sebagai “pendekatan atau cara memperoleh pengetahuan” dan sebagai “pendekatan penelitian” (lihat Kusuma, 2013:36-39), yakni:

Pendekatan transdisipliner:
  • Miller (1982:6) berpendapat bahwa pendekatan transdisciplinary atau transdisipliner menampilkan model pemikiran menyeluruh yang bertujuan untuk menggantikan pandangan dunia yang ada pada masing-masing disiplin;
  • Klein (1990, yang dikutip Choi dan Pak, 2006:355) mengemukakan bahwa pendekatan transdisciplinarity menyediakan skema holistik di mana disiplin subordinat (lebih rendah) melihat dinamika seluruh sistem yang ada;
  • Gibbons et. al. (1994, yang dikutip Grigg, Johnston dan Milsom, 2003:9) menyatakan bahwa transdisciplinarity melibatkan upaya membentuk kembali praktik kognitif dan sosial yang tepat, dengan cara yang melibatkan konteks aplikasi dalam membentuk upaya penelitian dari awal, dan dengan cara yang dinamis melanjutkan. Selain kontribusi yang dihasilkan untuk pengetahuan mungkin tidak dalam bentuk disiplin, dan dapat ditransfer langsung ke stakeholder;
  • OECD (1998:4, yang dikutip Grigg, Johnston dan Milsom, 2003:8-9) mengemukakan bahwa transdisciplinarity merujuk pada apa yang sekaligus berada diantara disiplin ilmu, di seluruh disiplin ilmu yang berbeda, dan di luar semua disiplin ilmu;
  • Klein (1990) berpendapat bahwa transdisciplinarity pada awalnya didefinisikan sebagai perspektif meta-teoritis interdisipliner, seperti strukturalisme dan Marxisme. Belakangan, Gibbons et.al. (1994) menggunakan konsep transdisciplinarity dengan cara yang berbeda. Dalam pandangan mereka, pendekatan interdisipliner ditandai dengan formulasi eksplisit yang seragam, disiplin yang melampaui terminologi atau metodologi umum. Pendekatan transdisciplinary berjalan satu langkah lebih jauh, karena didasarkan pada pemahaman teoritis umum, dan harus disertai dengan saling interpenetrasi dari epistemologi disiplin. Dalam pandangan ini, van den Besselaar dan Heimeriks (2001:2) berpendapat bahwa bidang transdisciplinary memiliki teori yang telah terhomogenisasi (homogenized);
  • Tress et.al. (2006:16) memaknai transdisiplinary sebagai pendekatan yang melampaui batas-batas disiplin ilmu dan dunia akademik, melalui integrasi partisipan dari disiplin akademik dan non-akademik, di mana dilakukan perumusan tujuan bersama, dengan tujuan pengembangan pengetahuan dan teori yang terintegrasi antara sains dan masyarakat.

Penelitian transdisipliner:
  • Defila dan Di Giulio (1999:13, yang dikutip Pohl et.al., 2010:4) berpendapatan bahwa dalam penelitian transdisciplinary menunjukkan adaya kerjasama lintas disiplin, yang melibatkan tidak hanya para ilmuwan tetapi juga praktisi dari luar bidang ilmu (misalnya, pengguna) dalam pekerjaan penelitian;
  • Stokols et.al. (2003:24, yang dikutip Pohl et.al., 2010:3) memaknai transdisciplinarity sebagai suatu proses di mana peneliti bekerja bersama-sama untuk mengembangkan dan menggunakan kerangka konseptual bersama yang menjalin teori, konsep, dan metode dari beberapa disiplin-spesifik untuk mengatasi masalah bersama;
  •  Kerne (2006, yang dikutip Choi dan Pak, 2006:357) berpendapat bahwa “Trans-“ berarti "di, atau pada sisi jauh, di luar, lebih." Untuk dapat melampaui batas-batas disiplin, melalui proses merakit disiplin ilmu dan informasi bergabung kembali. Penjajaran (juxtaposition) adalah titik awal untuk integrasi. Penjajaran dan rekontekstualisasi menarik pikiran untuk teka-teki tentang koneksi potensial antara elemen informasi. Langkah selanjutnya adalah rekombinasi informasi, yaitu "proses mengambil kode komposisi yang ada, memecah dan membawa mereka kembali ke elemen-elemen penyusunnya, dan mengkombinasikan unsur-unsur untuk membentuk komposisi yang baru", atau pengetahuan baru;
  • Davies dan Devlin (2007, yang dikutip Bolitho dan McDonnell, 2010:6), transdisciplinarity mungkin dapat dipandang memiliki nilai tertentu dalam mengembangkan strategi penelitian masa depan, berdasarkan cara memposisikan penelitian dalam kaitannya dengan apa yang disebut Klein (2008) sebagai bersifat “trans-sektor, penelitian berorientasi masalah yang melibatkan partisipasi pemangku kepentingan dalam masyarakat”.
  • Häberli et.al. (2001, yang dikutip Zierhofer dan Burger, 2007:51) menyatakan bahwa transdisipliner adalah bentuk baru dari belajar dan pemecahan masalah yang melibatkan kerjasama antara berbagai bagian masyarakat dan akademisi dalam rangka memenuhi tantangan yang kompleks masyarakat. Penelitian transdisciplinary mulai dari hal yang nyata, yaitu masalah di dunia nyata. Idealnya, setiap orang yang memiliki sesuatu untuk dikatakan tentang masalah tertentu dan bersedia untuk berpartisipasi dapat berperan dalam proses tersebut. Melalui proses saling belajar, pengetahuan dari semua peserta ditingkatkan, sehingga pengetahuan yang diperoleh akan lebih besar dari pengetahuan dari setiap disiplin atau peserta tunggal. Dalam proses ini, bias dari perspektif masing-masing juga akan diminimalkan.
  • Krishnan (2009:5-6) berpandapat bahwa transdisciplinarity dapat dimaknai sebagai bekerja sama dengan stakeholder penelitian dari non-perguruan tinggi. Sebuah strategi yang berbeda untuk melakukan penelitian interdisipliner adalah mencari kolaborator penelitian di luar konteks akademik/universitas. Tujuannya adalah untuk menghasilkan produk penelitian yang terutama berorientasi pada hasil yang bersifat aplikatif, misalnya perkembangan teknologi baru atau perumusan kebijakan. Jenis penelitian ini merupakan kecenderungan utama dan telah disebut “mode kedua produksi pengetahuan” oleh Michael Gibbons dkk., yang menganggapnya sebagai produksi pengetahuan transdisciplinary, yang dianggap berbeda dengan produksi pengetahuan dari satu disiplin tertentu saja. Fenomena riset kolaborasi antara universitas dengan industri dan organisasi non-perguruan tinggi lainnya semakin penting, terutama dalam konteks kontrak konsultasi dan pengembangan teknologi. Meskipun penelitian kolaborasi dengan stakeholder non-perguruan tinggi paling umum terjadi pada disiplin ilmu-ilmu alam, teknik dan ilmu komputer, namun terlihat juga adanya peluang pengembangannya pada akademisi dari ilmu-ilmu sosial untuk bekerjasama dengan pihak dari luar  universitas, seperti sektor swasta, LSM dan institusi sukarela dan, tentu saja, sektor publik atau pemerintah.

Lawrence (dalam Brown, 2010:17) berpendapat bahwa ciri-ciri dari transdisipliner diantaranya sebagai berikut:
  • Transdisipliner menangani kompleksitas dalam ilmu pengetahuan dan tantangan fragmentasi (Sommerville dan Rapport, 2000). Ini berkaitan dengan masalah penelitian dan organisasi yang didefinisikan dari domain yang kompleks dan heterogen, seperti perubahan iklim atau perumahan dan kesehatan (Lawrence , 2004). Serta dengan kompleksitas dan heterogenitas, cara produksi pengetahuan juga dicirikan oleh sifat hibrida, non-linear dan refleksivitas, serta melampaui setiap struktur disiplin akademik (Balsiger , 2004).
  • Penelitian transdisipliner menerima konteks lokal dan ketidakpastian, yang merupakan negosiasi spesifik dalam konteks pengetahuan (Klein, 2004).
  • Transdisipliner berarti tindakan inter-komunikatif. Pengetahuan transdisipliner adalah hasil dari inter-subjektivitas (Despres et.al., 2004; Klein et.al., 2001). Karenanya, penelitian dan praktek transdisipliner memerlukan kerjasama yang erat dan berkesinambungan dalam semua fase dari proyek penelitian - apa yang disebut 'mediasi ruang dan waktu' ( Despres et.al., 2004) atau 'kerja perbatasan' (Horlick - Jones dan Sime 2004 ).
  • Penelitian transdisciplinary sering berorientasi tindakan (Despres et.al., 2004 ). Hal ini menuntut untuk membangun hubungan tidak hanya melintasi batas-batas disiplin, tetapi juga antara pembangunan teoritis dan praktek profesional (Lawrence, 2004 ). Kontribusi transdisipliner sering berurusan dengan topik dunia nyata dan menghasilkan pengetahuan yang tidak hanya menangani masalah-masalah sosial , tetapi juga memberikan kontribusi solusi mereka (Pohl dan Hirsch Hadhorn, 2007).

Dari definisi dan cirri-ciri yang dikemukakan para ahli tersebut, saya mengusulkan untuk memaknai transdisipliner (transdisciplinary) sebagai pendekatan lintas disiplin (melibatkan sejumlah ahli, peneliti, analis, dan perencana dari disiplin ilmu berbeda) dan lintas aktor/stakeholder (gabungan sejumlah unsur dari perguruan tinggi, pemerintah, perusahaan, NGO, masyarakat, media massa, dll.), yang bertujuan yang mencari pengetahuan kritis dan transformatif (melalui penelitian, kajian dan analisis), yang keluarannya dapat berupa rekomendasi strategis, kebijakan dan program tertentu yang bersifat holistik dan komprehensif, dengan tujuan untuk mengurangi dan/atau menyelesaikan  isu-isu atau masalah-masalah mendasar bagi kehidupan manusia (bukan masalah yang umum).

Saya memaknai frase “isu-isu atau masalah-masalah mendasar bagi kehidupan manusia” sebagai wicked problems (lihat tulisan sebelumnya Wicked Problems: Upaya Mengenali Masalah-masalah Besar dan Kompleks”dan "Wicked Problems dan Upaya Mengatasinya"). Memang ada sejumlah ahli yang berpandangan bahwa wicked problems tersebut dapat pula dikaji dengan pendekatan multidisipliner dan interdisipliner (diantaranya lihat Balint, 2011). Namun saya pribadi cenderung memandang bahwa dalam kedua pendekatan tersebut titik berangkat dan titik beratnya masih pada peran dari tiap disiplin ilmu yang terlibat. Sementara dalam pendekatan transdisipliner, titik berangkat dan titik beratnya adalah pada masalah mendasar yang ingin dikurangi/diatasi, dan bagaimana semua sumberdaya yang ada (teori, metode, referensi, orang, institusi, dana, dll.) dapat berperan dalam upaya tersebut.

Relevansi pendekatan transdisipliner untuk menjawab wicked problem diulas oleh Brown et.al. (dalam Tackling Wicked Problems: Through the Transdisciplinary Imagination, 2010). Dia merujuk pada analisis tentang kompleksitas masalah yang dikategorikan sebagai wicked problem dari Rittel dan Webber (1973). Menurutnya, tingginya urgensi untuk mencari penyelesaian wicked problem menuntut diterapkan pendekatan baru dalam melakukan penelitian dan pengambilan keputusan strategis berdasarkan hasil penelitian tersebut. Pendekatan tersebut harus bersifat inklusif terhadap berbagai disiplin ilmu maupun para pihak (stakeholders) yang terkait. Dari berbagai pendekatan yang dikenal, Brown dkk. berpendapat bahwa pendekatan transdisipliner-lah yang paling tepat. Hal senada juga disampaikan oleh Cassinari et.al. (lihat Transdisciplinary Research in Social Polis, 2011:8 ).

Penelitian dan perumusan kebijakan dengan pendekatan transdisipliner

Menurut Morse et.al. (2007, yang dikutip Kusuma, 2013:42), spektrum integrasi dari penelitian yang bersifat transdisipliner mencakup beberapa isu berikut:
  • Integrasi istilah: Istilah dikombinasikan secara bersama, berbagi, kolektif, dan melampaui (transcending);
  • Tingkat interaksi: Anggota tim bertindak, merencanakan, dan mengkombinasikan penelitian sebagai kolektif;
  • Definisi masalah: Melampaui batas-batas disiplin, di mana konteks masalah disusun secara spesifik dengan perspektif beberapa stakeholder;
  • Epistemologi: Anggota tim bergantung pada epistemologi transenden yang mencerminkan sifat dari definisi masalah;
  • Desain, pertanyaan penelitian, metode dan teori: Anggota tim mengembangkan kerangka konseptual baru yang melampaui batas-batas disiplin; Desain penelitian, pertanyaan, metode, dan skala dikembangkan secara kolektif.
  • Pengembangan pengetahuan: Pengetahuan direstrukturisasi melalui penciptaan pengetahuan baru yang saling berbagi; Kesimpulan mendorong kerangka teoritis baru dan bidang penelitian.
  • Produk: Berupa sintesis naskah bersama yang melampaui orientasi disiplin.

Pohl dan Hadorn, dalam Principles for Designing Transdisciplinary Research (2007:36) berpendapat bahwa dalam penelitian transdisipliner ada tiga jenis pengetahuan dan pertanyaan penelitian yang umum diajukan:
  1. Pengetahuan sistem-sistem (systems knowledge): Pertanyaan-pertanyaan tentang asal-usul dan kemungkinan pengembangan bidang masalah, dan interpretasi terhadap masalah dalam dunia-kehidupan.
  2. Pengetahuan target (target knowledge): Pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan menentukan dan menjelaskan tujuan berorientasi pada praktek.
  3. Pengetahuan transformasi (transformation knowledge): Pertanyaan-pertanyaan tentang teknis, sosial, hukum, budaya dan lainnya yang mungkin bermakna, yang bertujuan untuk mengubah praktek-praktek yang ada dan memperkenalkan praktek yang diinginkan.

Wiesmann et.al. (dalam Hadorn et.al., Handbook of Transdisciplinary Research, 2008:433-441) mengajukan 15 proposisi berkekenaan dengan penelitian transdisipliner, yaitu yang terkait dengan lingkup, proses, hasil penelitian, serta hambatan dan tantangan dalam penelitian transdisipliner. Saya berupaya menyusun ulang gagasan Weismann dengan sejumlah penyesuaian, sebagai berikut:

  1. Lingkup, Proses dan Hasil Penelitian Transdisipliner:

Definisi: Transdisipliner adalah, di satu sisi, berakar pada munculnya apa yang disebut sebagai “masyarakat pengetahuan,” yang mengacu pada kondisi semakin pentingnya pengetahuan ilmiah di segala bidang sosial. Di sisi lain, ia mengakui bahwa pengetahuan juga ada dan diproduksi di bidang sosial selain ilmu pengetahuan. Perbedaannya adalah bahwa sistematisasi yang mengarah ke spesialisasi lebih menonjol dalam ilmu daripada di bidang sosial lainnya. Penelitian transdisipliner berfokus pada hubungan antara ilmu-ilmu yang berbeda dan antara ilmu pengetahuan dan bagian lain dari masyarakat.
Proposisi 1:
Penelitian transdisipliner adalah penelitian yang mencakup kerjasama dalam komunitas ilmiah dan perdebatan antara penelitian dan masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu penelitian transdisipliner melampaui batas-batas antara disiplin ilmu, dan antara ilmu pengetahuan dan bidang sosial lainnya, dan termasuk pertimbangan tentang fakta-fakta, praktik dan nilai-nilai.

Ruang lingkup dan relevansi: Penelitian transdisipliner muncul dari meningkatnya jumlah masalah yang kompleks dalam kehidupan dunia, di mana solusi berbasis pengetahuan dengan hanya bertumpu pada disiplin ilmu tunggal atau bidang sosial tertentu tidak lagi dipandang memadai.
Proposisi 2:
Penelitian transdisipliner adalah bentuk penelitian yang tepat ketika mencari solusi berbasis ilmu pengetahuan untuk masalah dalam kehidupan dunia dengan tingkat kompleksitas tinggi, berkenaan dengan ketidakpastian faktual, nilai-nilai dan taruhan sosialnya. Dengan menjembatani berbagai komponen pengetahuan ilmiah dan sosial yang berbeda dapat secara signifikan meningkatkan kualitas, penerimaan dan keberlanjutan solusi tersebut. Deliberasi fakta-fakta, praktik dan nilai-nilai akan bermanfaat dalam kehidupan dunia maupun bagi komunitas ilmiah.

Proses rekursif (pengulangan atau fungsi memanggil dirinya sendiri):  Dalam proses penelitian transdisipliner, penentuan masalah penelitian merupakan keputusan mendasar dalam hal aspek apa saja yang dianggap penting, dan apa yang merupakan area yang diperdebatkan. Selain itu, keputusan harus mencerminkan ketidakpastian dalam pengetahuan seputar masalah. Tantangan-tantangan ini dapat diatasi dengan restrukturisasi masalah dan memperbaiki asumsi dalam proses penelitian. Oleh karena itu penelitian transdisipliner membutuhkan desain penelitian yang pada dasarnya rekursif.
Proposisi 3:
Transdisipliner menyiratkan bahwa sifat yang tepat dari masalah yang harus ditangani dan diselesaikan tidak ditentukan sebelumnya (non-predetermined), dan perlu didefinisikan secara kooperatif oleh para pihak yang terlibat, baik dari kalangan ilmuwan maupun non-akademisi. Untuk memperjelas definisi masalah serta komitmen bersama dalam memecahkan atau mengurangi masalah, penelitian transdisipliner menghubungkan identifikasi masalah dan penataan, mencari solusi-solusi, dan membawa temuan menjadi hasil dalam proses rekursif  dan negosiasi penelitian.

Bentuk pengetahuan:  Penelitian transdisipliner menganalisis pertanyaan empiris yang kompleks (systems knowledge), yang bertujuan untuk menentukan tujuan yang lebih baik untuk menangani masalah (target knowledge), dan menyelidiki bagaimana praktik-praktik yang ada dapat diubah (transformation knowledge). Penelitian transdisipliner membutuhkan keterkaitan antara bentuk-bentuk pengetahuan, termasuk beragam sumber-sumber pengetahuan serta secara  iteratif (pengulangan sampai batas tertentu yang sudah ditetapkan) mengintegrasikan komponen dan bentuk pengetahuan.
Proposisi 4:
Sehubungan dengan sifat masalah yang dibahas dalam penelitian transdisipliner, norma/aturan dari partisipasi disiplin ilmu dan kompetensi --dari ilmu-ilmu alam, teknis dan sosial, dan humaniora -- tidak dapat didefinisikan sebelumnya. Hal ini akan ditentukan selama proses penelitian, di mana pengetahuan harus diintegrasikan untuk memperhitungkan , memproduksi dan mengintegrasikansystems knowledge,” “ target knowledge” dan “transformation knowledge.”

Kontekstualitas dan umum: Beralih ke hasil penelitian transdisipliner, kita melihat bahwa sifat dari masalah ditangani telah mencapai konsekuensi yang jauh. Dalam hal hasil yang nyata dan kontribusi pemecahan masalah, ini harus dikontekstualisasikan dan mengembangkan pengetahuan yang dapat disebarluaskan.
Proposisi 5:
Penelitian transdisipliner harus dididasarkan oleh konteks masalah yang konkret dan setting sosial terkait, dan hasilnya pada dasarnya berlaku untuk konteks ini. Namun, dengan mempertimbangkan prasyarat kontekstualisasi, penelitian transdisipliner juga secara umum bertujuan untuk menyediakan wawasan, model dan pendekatan yang dapat ditransfer ke pengaturan kontekstual lain setelah validasi dan adaptasi yang hati-hati.

Spesialisasi dan inovasi:  Penelitian transdisipliner berkomitmen untuk mengembangkan inovasi ilmiah pada interaksi antara transdisipliner dan penelitian disiplin. Hal ini didorong oleh ketegangan antara spesialisasi dalam metode transdisipliner dan memicu transformasi disiplin ilmu.
Proposisi 6:
Kualitas penelitian transdisipliner terikat oleh konsepsi mengenai integrasi, dan dengan demikian memerlukan pengembangan bentuk spesialisasinya sendiri. Namun, penelitian transdisipliner tidak berarti tanpa kontribusi dari disiplin ilmu yang terlibat, dan memiliki potensi untuk merangsang inovasi dalam disiplin ilmu yang berpartisipasi. Mengembangkan potensi ini agar dapat membuahkan hasil memerlukan sebuah perguruan tinggi yang mampu menjembatani spesialisasi disiplin dan transdisipliner.

  1. Batu sandungan (stumbling blocks) dalam praktek transdisipliner

Partisipasi dan saling belajar: Kolaborasi antara ilmu pengetahuan dan masyarakat dalam penelitian transdisipliner menyiratkan adanya proses partisipatif . Pada saat yang sama partisipasi merupakan salah satu hambatan utama dalam praktek transdisipliner. Mengabaikan keragaman tujuan , nilai-nilai , harapan dan konstelasi kekuasaan terkait di masyarakat dan ilmu pengetahuan mengekspos bahaya bahwa partisipasitersebut bersifat hanya murni simbolik, yang hasilnya hanya memperkuat peran dan posisi dari disiplin ilmu, dan rendahnya pengembangan potensi inovatif transdisipliner . Pengabaian ini dapat mengarah kondisi di mana semua posisi , peran dan kontribusi kehilangan kredibilitas dan menyebabkan semua pemangku kepentingan utama dalam masyarakat dan ilmu pengetahuan mulai meragukan relevansi dan kehilangan minat terhadap proses partisipatif.
Proposisi 7:
Proses partisipatif dalam praktek transdisipliner memerlukan penstrukturan, pentahapan, negosiasi dan interaksi yang hati-hati. Sumber daya, tujuan dan nilai-nilai yang berbeda yang dipertaruhkan, dan representasi sosial mereka dalam masyarakat dan ilmu pengetahuan juga perlu dipertimbangkan . Membangun pendekatan saling belajar dengan menjembatani beragam peran dan posisi tanpa melarutkan mereka, adalah titik masuk yang menjanjikan untuk partisipasi yang berorientasi pada tujuan.

Integrasi dan kolaborasi: Terkait erat dengan partisipasi, fitur inti lain yang juga penting dalampenelitian transdisipliner, yakni kolaborasi untuk mengintegrasikan perspektif dan pengetahuan tentang berbagai disiplin ilmu dan stakeholder. Tantangan integrasi kolaboratif yang idealnya dimulai dengan definisi masalah dan berlanjut sepanjang proses penelitian secara keseluruhan adalah lagi, merupakan salah satu esulitan dalam praktek transdisipliner. Ini dapat berubah menjadi batu sandungan, khususnya, ketika upaya kolaborasi tersebut hanya terbatas pada tindakan komunikatif saja, atau ketika proses sintesis ditunda sampai akhir proses penelitian. Kesulitan utama juga muncul jika integrasi diserahkan kepada salah satu disiplin ilmu yang berpartisipasi saja, atau jika konsep integratif terlalu ketat dirancang, dan tidak meninggalkan ruang untuk disiplin ilmu yang berpartisipasi dan peneliti untuk manuver.
Proposisi 8:
Upaya kolaboratif integrasi harus selalu memperhitungkan sifat rekursif penelitian transdisipliner. Menggabungkan berbagai cara integrasi , yaitu mengembangkan kerangka teoritis bersama, model yang diterapkan , dan output umum konkret - dalam proses berulang-ulang atau melingkar - telah terbukti sangat sukses. Pada saat yang sama, pola kerja transdisipliner harus diatur dengan cara yang memungkinkan keseimbangan produktif antara kolaborasi terstruktur dan kepentingan pribadi oleh mitra dan disiplin yang berpartisipasi.

Nilai-nilai dan ketidakpastian: Berurusan dengan nilai-nilai dan ketidakpastian adalah salah satu kesulitan utama dalam penelitian, praktek dan pengembangan kapasitas terkait transdisipliner. Dalam banyak kasus hal ini ternyata menjadi salah satu hambatan yang paling penting . Nilai-nilai yang berbeda-beda dan sering bertentangan diantara peneliti dan pemangku kepentingan yang berpartisipasi adalah yang paling menentukan dalam definisi masalah transdisipliner. Selain itu , mereka sangat mempengaruhi desain dan proses upaya transdisipliner, yaitu apa-apa yang disertakan atau dikecualikan - serta penafsiran dan penerapan keluaran dan hasil. Selain itu, landasan ontologis dan epistemologis dari disiplin ilmu yang berpartisipasi adalah sangat penting (value-loaded). Jika dimensi nilai ini tersembunyi atau diabaikan, maka kolaborasi transdisipliner dapat berubah menjadi palsu atau seolah-olah, atau lebih didorong oleh konstelasi kekuatan yang mewakili nilai-nilai tersebut. Hal yang juga terkait erat dan perlu dipertimbangkan adalah ketidakpastian yang berasal dari sifat masalah ditangani, keterbatasan pengetahuan masing-masing sistem yang terlibat, serta pertentangan nilai-nilai yang mempengaruhi semua tahap proses transdisipliner. Dalam hal ini juga penting untuk mengingat bahwa penelitian transdisipliner pada dasarnya terikat dengan konteks sosial politik , sehingga menimbulkan ketidakpastian mengenai validitas dari hasil di luar konteks ini. Jika tidak ditangani dengan aktif, ketidakpastian ini dapat menyebabkan hasil yang sangat melebar, tidak jelas dan terlalu memancing perdebatan, atau --lebih buruk lagi-- di mana interpretasi hasilnya terlalu berlebihan (over-interpretation) dan terlalu digeneralisasi (over-generalised).
Proposisi 9:
Dalam rangka memberikan perhatian yang cukup terhadap nilai-nilai dan tonggak pada semua tahap dari proses transdisipliner, kolaborasi dan negosiasi harus didominasi oleh sikap saling belajar, dan bukan semata oleh posisi atau kedudukan pihak-pihak yang terlibat. Hal ini sebaiknya dipromosikan dengan alokasi waktu yang cukup, sehingga dapat menciptakan kepemilikan yang luas dari masalah dan dengan membangun nilai-kesadaran melalui proses refleksif diantara para peneliti. Refleksivitas juga fitur inti dalam menangani ketidakpastian dan batas luar pengetahuan (outer boundaries knowledge) yang dihasilkan dari usaha transdisipliner.

Manajemen dan kepemimpinan (leadership):  Struktur proyek dan manajemen dalam upaya transdisipliner cenderung menjadi kompleks dan kelebihan beban, mengingat penelitian transdisipliner secara default  mencakup berbagai mitra dan lembaga. Karena sifat rekursif dari definisi masalah dan penelitian, lembaga dan disiplin ilmu yang berpartisipasi dapat bervariasi dari waktu ke waktu, membuat manajemen dan kepemimpinan bahkan lebih menantang. Pada saat yang sama, manajemen dan kepemimpinan dalam proses transdisipliner sering terjebak dalam memperbaiki  detil dari proses tersebut. Di satu sisi, itu adalah masalah yang berhubungan dengan tekanan produksi, di mana hasil dari proyek yang kompleks dan karena itu menjadi mahal tersebut dipaksa untuk lebih baik dan bersaing dengan penelitian lain yang bersifat mono-disipliner di pasar ilmu. Di sisi lain, ada kebutuhan yang besar akan alokasi waktu yang cukup, ruang dan sumber daya harus disediakan untuk saling belajar dan proses penelitian rekursif. Konflik dasar ini diperkuat dengan fakta bahwa referensi dan sistem kontrol peneliti dan stakeholder yang berpartisipasi umumnya masih dilakukan di dalam institusi disiplin dan lembaga masing-masing, dan tidak di dalam tim transdisipliner.
Proposisi 10:
Proyek transdisipliner yang berhasil terutama menyiratkan adanya  keseimbangan yang memuaskan antara tahap kerjasama yang intens dengan output gabungan yang jelas, dan periode di mana memperdalam kontribusi disiplin dan multi-disiplin dapat dilaksanakan dengan baik. Keseimbangan tersebut dapat dicapai terutama jika didukung oleh manajemen proyek yang baik, yang secara bersamaan meringankan tugas-tugas administrasi bagi peserta, adanya komunikasi yang jelas struktur dan waktunya, integrasi dan refleksivitas, dan mendukung pengakuan internal dan eksternal dari semua pihak yang berkontribusi, yaitu melalui penyediaan akses yang luas.

Pendidikan dan pengembangan karir:
Ketika mempertimbangkan pendidikan , pelatihan dan pengembangan karir dan untuk penelitian transdisipliner,hal yang mungkin menjadi batu sandungan awal adalah kesalahpahaman bahwa transdisipliner adalah merupakan disiplin ilmu tambahan atau disiplin baru. Posisi ini mengabaikan fakta bahwa transdisipliner adalah bentuk spesifik dari kerjasama penelitian dan upaya integratif, dan karena itu berakar pada disiplin ilmu yang berpartisipasi. Masalah kedua muncul ketika pelatihan dan pendidikan dirancang dengan cara yang mengurangi makna transdisipliner menjadi hanya sebagai komunikasi dan interaksi sosial. Karena --meskipun sangat penting-- keterampilan komunikasi dan kompetensi sosial sendiri tidak membuat transdisipliner menjadi mudah dilakukan. Kompetensi yang berhubungan dengan refleksivitas pada metodologi disiplin dan interdisipliner atau keterampilan konseptual dan teoritis adalah sama pentingnya. Namun, batu sandungan yang paling umum dalam pendidikan , dan khususnya dalam membangun karir masing-masing , adalah yang terkait dengan sistem rujukan yang saling bertentangan bagi peneliti yang terlibat dalam penelitian transdisipliner: yaitu dari disiplin ilmu mereka sendiri, dari konteks penelitian interdisipliner, dan dari masyarakat yang terkait. Untuk para peneliti perorangan yang bertujuan membangun karir mereka , misalnya menjadi PhD atau tingkat post-doctoral, hal tersebut dapat menjadi kendala yang dihadapi.
Proposisi 11:
Pelatihan dan pendidikan transdisipliner sebaiknya dikembangkan dalam hubungan yang erat dengan disiplin asal. Selain membangun kapasitas komunikasi dan kolaborasi melalui paparan praktis, penekanan harus diletakkan pada refleksivitas dan keterampilan metodologis, konseptual dan teoritis yang memungkinkan eksplorasi batas-batas dan hubungan antara disiplin ilmu. Pengembangan  karir terkait dapat didukung oleh perencanaan yang matang dan pengaturan waktu yang tepat dalam penyampaian hasil penelitian untuk sistem referensi pada disiplin asal dan komunitas transdisipliner.

Evaluasi dan kontrol kualitas: Dari konsep dan proposisi sebelumnya, jelaslah bahwa evaluasi eksternal dan kontrol kualitas internal dalam penelitian transdisipliner adalah tantangan besar dan dapat berubah menjadi batu sandungan. Dalam situasi makin meningkatnya kompetisi pada komunitas ilmiah dan dalam masyarakat ilmu-kritis, maka evaluasi independen sangat penting untuk meningkatkan kualitas riset transdisipliner. Jika ketetapan tersebut hanya mengacu ke perbatasan pengetahuan dalam satu atau beberapa disiplin dan tidak menghormati prestasi integratif dan spesifik konteks penelitian tersebut, transdisipliner akan didiskreditkan secara default. Transdisipliner juga dapat didiskreditkan oleh output miskin dan hasil yang berasal dari kurangnya kontrol mutu internal. Penting untuk dicatat bahwa wacana dan prosedur yang berkaitan dengan kontrol kualitas sering terhambat atau bahkan menolak pertimbangan agar tidak melampaui batas ke bidang mitra lain 'kompetensi dan peran yang ditugaskan.
Proposisi 12:
Evaluasi penelitian transdisipliner harus melampaui sistem referensi tradisional. Evaluasi tersebut harus mencakup integrasi kualifikasi dan kolaborasi disiplin dan pemangku kepentingan, desain rekursif dari proses penelitian, basis dari proyek, masukan atau kontribusinya terhadap pengetahuan ilmiah dan penanganan masalah sosial. Dalam rangka memperkuat upaya pengendalian mutu internal, peneliti harus berkonsentrasi untuk dapat menemukan keseimbangan antara menggunakan atau mengesampingkan semenetara kompetensi tertentu, dalam dialog yang konstruktif dan kritis dalam tim transdisipliner.

  1. Pilar untuk mengembangkan penelitian transdisipliner

Menghadapi tantangan ilmiah:  Sebagian besar dari komunitas ilmiah memandang penelitian transdisipliner, --paling buruk-- sebagai aplikasi semi-ilmiah beberapa disiplin, atau, --paling baik-- sebagai meta-disiplin baru yang menjanjikan. Kondisi tersebut mengabaikan fakta bahwa transdisipliner adalah mode penelitian yang ditujukan untuk mempertemukan ilmu pengetahuan dan masyarakat, bertujuan memberikan kontribusi berbasis pengetahuan untuk menjawab masalah kehidupan dunia dan berakar dalam dan dibangun di atas disiplin ilmu yang terlibat di dalamnya. Pengaruh dari citra dominan terhadap pendekatan transdisipliner tersebut setidaknya ada tiga, yaitu: Pertama, menghalangi pengembangan dan inovasi konseptual dan metodologis pada pengembangan keilmuan dankolaborasi  komunitas ilmiah dengan masyarakat. Kedua, mencegah pengembangan pengakuan dan referensi sistem antara disiplin ilmu dan upaya transdisipliner. Ketiga, memberi label “penipuan ilmiah” dengan latar belakang gambaran akan kebaruan transdisipliner.
Proposisi 13:
Praktek transdisipliner yang baik dan nyata harus dilengkapi dengan upaya di tingkat landasan ilmiah dan pengakuan ilmiah. Upaya-upaya tersebut harus melampaui sistematisasi prosedur penelitian transdisipliner dan bertujuan untuk pengembangan teoritis, metodologis, topik dan inovasi pada interaksi disiplin yang terlibat, bagi kepentingan semua pihak. Untuk menjawab tantangan ini dibutuhkan pengembangandan perluasan jaringan peneliti sejawat dan jaringan kolaboratif lainnya yang dapat menjembatani referensi transdisipliner dan disiplin maupun sistem kontrol terhadap kualitas.

Menghadapi tantangan kelembagaan:  Terkait dengan citranya dalam komunitas kebijakan ilmiah dan ilmu pengetahuan, penelitian transdisipliner berada pada posisi pinggiran (peripheral) kelembagaan perangkat di akademisi . Hal ini sering diasosiasikan dengan lembaga penelitian terapan dan lembaga konsultan, atau dikemas dalam proyek atau program yang bersifat terbatas dan sementara saja. Posisi perifer ini memiliki keuntungan, yaitu membuat transdisipliner memiliki koneksi yang lebih langsung dalam hal pertemuan antara ilmu dan masyarakat. Namun, ia memiliki kelemahan besar yaitu tidak dapat leluasa mempromosikan pengembangan teoritis, konseptual dan refleksivitas , dan bahkan lebih buruk lagi, bahwa tidak mungkin untuk merangsang sinergi inovatif antara penelitian disiplin dan kurikulum disiplin. Salah satu alasan yang mungkin adalah bahwa meskipun banyak peneliti dan disiplin berpartisipasi dalam upaya transdisipliner, inti dari sistem referensi mereka memandang partisipasi ini sebagai layanan ilmiah bukan sebagai minat yang tulus dari disiplin masing-masing. Dengan demikian , posisi kelembagaan yang lemah tersebut dapat menghalangi atau bahkan dapat mencegah para peneliti transdisipliner untuk menyadari potensi sepenuhnya dari pendekatan ini.
Proposisi 14:
Dalam rangka untuk meningkatkan penelitian transdisipliner, harus diperkuat fondasi ilmiah dan potensi inovatif untuk disiplin ilmu yang berpartisipasi, maupun posisi kelembagaan ilmu pengetahuan dan akademisi. Ini berarti menggabungkan aspek transdisipliner ke dalam penelitian, kurikulum dan mengembangkan karir dalam lembaga disiplin yang mapan, dan mungkin termasuk mempromosikan lembaga spesialis transdisipliner. Jaringan yang tumbuh dari sejawat peneliti sangat diperlukan dan memainkan peran kunci, hingga memungkinkan untuk mempromosikan praktek transdisipliner secara lebih pro-aktif oleh komunitas ilmiah.

Menghadapi tantangan sosial:
Tugas utama transdisipliner adalah untuk menjembatani ilmu pengetahuan dan masyarakat, dan mengingatkan pentingnya peran dan citra ilmu pengetahuan dalam hal masyarakat, seperti halnya konsepsi masyarakat dalam ilmu pengetahuan. Namun, mempertahankan peran, gambaran dan konsepsi ini akan dapat bertentangan dengan tujuan penelitian transdisipliner untuk mengatasi masalah kehidupan dunia yang ditandai dengan tingkat kompleksitas tinggi dalam hal ketidakpastian faktual, banyaknya nilai- nilai dan taruhan sosialnya. Jika dibiarkan, konvensi ini dapat mengarah ke kondisi stagnasi (dead-locks) dan berkembangnya harapan palsu akan praktek transdisipliner.
Proposisi 15:
Upaya untuk meningkatkan peran pendekatan transdisipliner harus disertai dengan dan melibatkannya ke dalam perdebatan di masyarakat mengenai peran ilmu pengetahuan dalam masyarakat, terutama ketika berhadapan dengan ketidakpastian faktual. Pada saat yang sama, komunitas ilmiah didesak untuk terus memperbaharui perdebatan tentang peran nilai-nilai dan kontribusi dalam penelitian. Berkontribusi untuk memecahkan masalah dunia kehidupan melalui penelitian transdisipliner membutuhkan ilmu pengetahuan, sehingga dapat menjadi sadar dan eksplisit dalam hal nilai-nilai dan dalam hal batas-batas pengetahuan dan temuan,  dan membangun gambaran yang sesuai mengenai peran ilmu pengetahuan dalam masyarakat.

BERSAMBUNG…

Tulisan lain yang terkait:

“Mengapa Satu Disiplin Ilmu Saja Tidak Cukup…?: Lahirnya Cross-disipliner, Multidisipliner, Interdisipli
ner dan Transdisipliner"


“Mengapa Perlu Pendekatan Interdisipliner?”


Senin, 08 Juni 2015

"Book Club"


Book Club

Semua kisah pasti punya akhir. Itulah saat kita menghela nafas dan menutup buku, mungkin sembari duduk di kursi dan meletakkan telapak tangan kita pada sampul buku, momen yang disambut oleh perasaan melankolis. Di satu sisi, kita puas kalau sang penulis berhasil membereskan berbagai masalah, menciptakan frase yang patut dikenang, dan memberi ganjaran atas pilihan moral sang tokoh utama yang menuruti kata hatinya. Tapi kita juga sedih karena petualangan telah berakhir.
Kadang saat kita tahu bahwa hanya tinggal beberapa halaman yang tersisa, kita membaca dengan lebih lambat, menikmati setiap kata, menunda apa yang tidak terhindarkan. Tokoh-tokoh yang telah kita kenal dan cintai tidak lagi menjadi bagian dari hidup kita. Keadaan ini bisa meninggalkan semacam kerinduan dalam hati kita. Mungkin kita akan membuka buku itu kembali dan membacanya sambil lalu, mencari kalimat-kalimat kesayangan kita untuk kembali membangkitkan perasaan-perasaan yang kuat itu. Tapi gairah membaca itu tak pernah bergejolak dengan kekuatan yang sama pada bacaan kedua.
Sama halnya dengan hidup. Kita bergegas melalui hari-hari yang diberikan, tak sabar ingin terlibat dalam aneka konflik dan gairah, memaksa dan menaklukkan, dan melihat bagaimana akhir segalanya. Saat mendadak titik akhir itu terlihat, kita terkejut. Kita menunda, kelabakan menikmati setiap momen. Cahaya matahari bersinar lebih cerah, senyuman tampak lebih lembut, dan kita mendengarkan kata-kata cinta dengan keseriusan yang menyentuh hati, kalau tidak malah menghancurkan hati…”*

-----

Saya menyukai tiga alinea di atas. Rasanya saya pernah –beberapa kali— mengalami situasi serupa demikian. Mungkin disitu nikmat dan indahnya membaca, atau lebih tepatnya dapat membaca bahan bacaan yang bagus. “Pernah menemui pengalaman serupa?”

Tentu saja bukan saya penulisnya. Alinea tersebut adalah bagian dari  “Epilog” dalam novel karya Marie Alice Monroe** yang berjudul The Book Club: Kisah Lima Wanita, dan diterbitkan oleh VioletBooks pada tahun 2014 lalu. Novel ini merupakan terjemahan dari versi asli dalam Bahasa Inggris-nya yang berjudul The Book Club, dan diterbitkan pertama kali tahun 1999 oleh Harlequin.

-----

Weekend lalu saya membaca buku ini, yang saya beli beberapa bulan sebelumnya, di akhir 2014. Saya ingat, awal melihat sampulnya di toko buku, saya agak ragu, karena khawatir buku ini terlalu “perempuan,”  atau sejenis buku motivasi atau pengumbar kata-kata bijak saja. Namun saat membaca sinopsis pada sampul belakangnya, saya merasa ada yang bisa saya pelajari dari kisah para tokohnya. Selain juga, saya tertarik dengan tema buku ini, yakni persahabatan diantara para anggota kelompok membaca (book club atau reading group).

Berbeda dengan Monroe –sang penulis— yang dalam kehidupan nyata juga menjadi anggota dari beberapa book club, saya belum pernah bergabung dengan kelompok diskusi buku macam itu. Kalaupun pernah terlibat dalam diskusi buku, biasanya terkait dengan buku akademik atau yang bertema sosial-politik, sehingga lebih merupakan ajang “senam otak” dibandingkan medium berbagi rasa.

Sementara bagi para tokoh dalam buku ini, book club bukan hanya tempat bertemu dan berbagi perspektif mengenai tema, alur, kisah para tokoh dalam buku, namun juga menjadi ruang untuk berbagi pengalaman hidup dan saling menguatkan. Bahkan, pemilihan tema dan judul buku yang akan didiskusikan, juga dapat disesuaikan dengan konteks kondisi emosional dari para anggota club sendiri.

Terus terang saya iri…

-----

Dalam arus kehidupan modern dengan segala kebutuhan ekonomi, rutinitas, dan terbatasnya ruang dan kesempatan bersosialisasi secara langsung, maka membuat atau terlibat dalam book club adalah rasanya sebuah pengalaman yang sangat mewah, yang mungkin hanya dapat dinikmati oleh segelintir kaum berpunya,  kalangan sastrawan/seniman, dan/atau sekedar mereka yang memang punya banyak waktu luang dan kebetulan bertemu dengan kawan yang punya minat sama.

Belum lagi, butuh keberanian untuk berbagi hati, dan bukan sebatas kognisi, diantara sesama anggota book club. Entahlah, bisa jadi karena itu lebih banyak perempuan yang yang terlibat dalam book club (“Apa iya?”). Dibandingkan laki-laki, bisa jadi perempuan memang lebih punya kemampuan dan keberanian untuk berbagi rasa diantara kawan atau sahabat mereka sendiri.

Benarkah...?

-----
Endnote:

*Dalam versi Inggris-nya, sebagai berikut:

“All stories come to an end. That moment when we sigh and close the book, perhaps sit back in our chair and rest our palm over the cover, is met with quixotic emotions. On the one hand, we’re satisfied if the author successfully tied up loose ends, turned a memorable phrase and rewarded the hero’s moral choice with his heart’s desire. Yet we’re alsosaddened that the adventure is over.
Sometimes when we see that we only have a few pages left we slow down, savoring each word, staving off the inevitable. The characters we’ve come to know and love are no longer part of our lives. This can leave us with a certain longing. Perhaps we’ll open the book again and skim through it, searching out favorite passages to kindle again those powerful emotions. But the passion is never stirred quite as strong the second time around.
So it is with life. We rush through the days that we’re given, eager to engage in the conflicts and passions, to push through and conquer and see how it all ends. When suddenly the end is in sight, we’re surprised. We stall, frantically savoring each moment. The sun shines brighter, the smiles appear more tender and we listen for words of love with an urgency that would be poignant if it were not so heartbreaking.”

**Monroe termasuk dalam daftar penulis laris di New York Times dan USA Today. Pernah memperoleh beberapa penghargaan yaitu Award for Writing (dari South Carolina Center for Book), International Fictioan Award for Green Book, dan RT Book Reviews Lifetime Achievement Award.