Baca

Baca

Kamis, 02 Juli 2015

"Mitos Dijajah 350 Tahun"


Candra Kusuma


Saya ingin cerita sedikit tentang satu buku yang saya beli beberapa tahun lalu. Judulnya "Bukan 350 Tahun Dijajah," yang ditulis oleh G.J. Resink*, dan diterbitkan oleh Penerbit Komunitas Bambu pada tahun 2012. Buku ini judul aslinya "Indonesia’s History Between the Myths: Essays in Legal History and Historical Theory" yang terbit pertama kali tahun 1968 oleh University of British Colombia-Canada.

Saya tertarik dengan buku ini, awalnya karena judulnya lugas dan covernya-pun keren, yaitu ilustrasi sebuah pertempuran yang menggambarkan ekspedisi militer Belanda pada tahun 1894 ke Puri Cakranegara di Lombok, yang kemudian mengakhiri kekuasaan dinasti Bali di pulau tersebut.

Lebih tertarik lagi karena sinopsis yang ada di bagian cover belakang buku ini, dengan singkat dan jelas memberikan gambaran mengenai isinya, yaitu bantahan terhadap klaim penjajahan Indonesia selama 350 tahun. Coba simak:

Siapa bilang Indonesia dijajah 350 tahun? Bohong. Mitos belaka. Melalui buku ini G.J. Resink sebagai sejarawan dan ahli hukum internasional sekaligus penyair memaparkan bukti-bukti betapa semua itu konstruksi politik colonial. Kebohongan 350 tahun dijajah dipopulerkan politisi Belanda dan buku-buku pelajaran sekolah kolonial, tetapi semakin kuat dipercaya sebagai kebenaran sejarah ketika Sukarno dan para pejabat juga politisi kerap menggunakannya dalam pidato-pidato. Tidak kecuali para sejarawan. Celakanya lagi, pemerintah malah memasukkan mitos 350 tahun dijajah itu ke dalam kurikulum pelajaran di sekolah-sekolah sampai akhirnya diterima dan tertanam sebagai kebenaran absolut di mayarakat.

Dalam buku ini Resink memberikan bukti-bukti kuat yang menggambarkan betapa banyak kerajaan-kerajaan dan negeri-negeri di Indonesia yang belum pernah takluk dan di bawah cengkeraman tangan besi hukum kolonial Negara Hindia Belanda. Resink siap dengan segudang sumber, terutama detail fakta hukum yang membuat argumennya bukan saja fokus dan kukuh, tetapi juga punya vitalitas dalam memperlihatkan wilayah-wilayah Indonesia yang berdaulat selama kekuatan kolonial bercokol. Hitungan Resink, paling-paling Hindia Belanda sebagai negara hanya ada selama 40 tahun, tetapi itupun tidak benar-benar seluas wilayah Republik Indonesia hari ini, meskipun Belanda sudah benar-benar mengusahakan penaklukan selama 350 tahun.

Menolak klaim Pax Nerlandica

Resink memang menolak mitos 3,5 abad Pax Neerlandica, atau klaim pemerintah Belanda bahwa mereka telah berhasil menciptakan perdamaian (Pax) di daerah kekuasaan Nederland (Neerlandica). Dalam 14 bagian tulisan di buku ini, Resink menggunakan analisis hukum dan sejarah dengan merujuk segudang dokumen masa kolonial milik Belanda sendiri untuk membantah klaim tersebut.

Secara awampun sesungguhnya klaim tersebut memang sulit diterima akal. Jika akhir penjajahan dianggap terjadi pada tahun 1945 pada saat Indonesia merdeka, sementara klaim lama penjajahan adalah 350 tahun, maka penjajahan Belanda dianggap mulai terjadi sejak tahun 1595. Sementara jika akhir penjajahan Belanda adalah pada tahun 1949 pada saat “penyerahan kedaulatan,” maka penjajahan dianggap dimulai pada tahun 1599. Sementara jika merujuk ke suber-sumber sejarah, para pelaut Belanda yang dipimpin Cornelis de Houtman pertama kali tiba di Banten tahun 1596. VOC sebagai perusahaan dagang yang ditunjuk oleh Kerajaan Belanda untuk menjalin perdagangan baru memperoleh izin membuka kantor perwakilannya di Banten pada tahun 1603. Jadi sampai awal 1600-an itu dapat dikatakan belum ada wilayah “Indonesia” yang dikuasai Belanda sepenuhnya.

Kerajaan-kerajaan tersebut eksis dan berdaulat atas wilayah dan rakyatnya sendiri. Banyak bahkan yang telah menjalin hubungan diplomatik dan perdagangan dengan bangsa-bangsa lain di Asia dan Eropa. Namun jelas ada persaingan diantara kerajaan-kerajaan di Nusantara itu sendiri, yang kemudian berujung pada peperangan dan perebutan wilayah. Sayangnya persaingan tersebut kemudian juga melibatkan "pihak ketiga" yaitu para kolonialis, seperti yang terjadi pada perang antara kerajaan Gowa yang dipimpin Hasanuddin dengan kerajaan Bone-Soppeng dengan Arung Palakka sebagai pimpinannya du Sulawesi pada sekitar abad 17 lalu.

Belum lagi jika mencermati bahwa bahkan sampai dengan awal tahun 1900-an masih banyak kerajaan di Nusantara yang merdeka. Sebagai contoh, Kesultanan Aceh di Sumatera baru dapat dikalahkan Belanda pada tahun 1903-1904. Begitupula Kerajaan Bone di Sulawesi yang baru ditaklukan Belanda pada tahun 1905, dan Kerajaan Klungkung di Bali yang tunduk tahun 1908. Jadi paling lama ketiga kerajaan tersebut dijajah Belanda sekitar 40-an tahun saja. Dengan demikian, sesungguhnya tidak ada satupun wilayah “Indonesia” yang pernah benar-benar dijajah selama 350 tahun.

Bagaimana klaim tersebut dapat bertahan?

Jelas klaim tersebut sangat Belandasentris. Konstruksi sejarah yang mereka bangun tersebut dapat diduga tujuannya adalah untuk mengukuhkan eksistensi dan dominasi mereka sebagai salah satu negara Eropa yang menjadi penguasa daerah jajahan, khususnya di Dutch East Indies atau Hindia Belanda.

Lantas kenapa klaim tersebut kemudian diadopsi oleh para pejuang kemerdekaan dan pemerintah Indonesia?. Di awal kemerdekaan, bisa jadi klaim tersebut digunakan oleh para pejuang dan pemimpin kemerdekaan untuk membangun sentimen rakyat Nusantara bahwa mereka adalah “satu bangsa,” yaitu bangsa Indonesia, dan kemudian menjadi “satu negara,” yaitu negara Republik Indonesia. Sumpah Pemuda 1928 menunjukkan dengan jelas kecenderungan tersebut. Upaya membangun sentimen sebagai “satu bangsa” yang sama-sama mengalami penjajahan dan penindasan selama ratusan tahun ini kemudian menjadi mantra yang terus dipelihara sampai saat ini.

Meskipun sesungguhnya logika tersebut tampaknya juga tidak tepat benar. Jika meminjam istilah "imagined community" atau “komunitas yang dibayangkan” dari Benedict Anderson, konstruksi sejarah bahwa wilayah Indonesia adalah sama dengan wilayah kerajaan-kerajaan Nusantara dan bekas jajahan Belanda di masa lalu juga tidaklah tidak tepat. Negara Indonesia adalah konstruksi sosial yang sama sekali baru, yang “dibayangkan” oleh para pemuda dan tokoh pejuang sebagai gabungan dari kerajaan dan wilayah bekas jajahan Belanda tersebut.

Lantas lagi, kenapa mitos tersebut dipelihara sampai saat ini? Resink menduga sebagian disebabkan oleh kemalasan para sejarawan Indonesia untuk menggali sendiri sejarah bangsanya ini. Mereka lebih asik mengadopsi sumber-sumber sejarah tertulis lama, yang tentu saja sebagian besar juga berasal dari para bangsa penjajah itu sendiri, atau para orientalis yang juga menggunakan perspektif Eropasentris ketika menganalisis negara-negara jajahannya.

Belum berubah

Sambil menulis ini, saya sempat bertanya pada anak saya yang masih duduk di Sekolah Dasar, apakah di buku pelajarannya masih ada bagian yang menyebutkan bahwa Indonesia dijajah selama 350 tahun? Dia bilang masih, dan adanya di pelajaran Pendidikan Kewarnegaraan (PKn).

Jadilah selama hampir setengah jam saya “terpaksa” mesti bercerita padanya mengenai isi buku Resink ini. Nasib


-----
* Nama lengkapnya adalah Gertrudes Johan Resink. Dia lahir di Yogyakarta tahun 1911. Resink keturunan Indo, namun pada tahun 1950 di memilih menjadi WNI. Tidak aneh jika Resink menyukai kebudayaan Jawa, dan cukup pandai berbahasa Jawa. Dia adalah seorang ahli hukum, penyair dan sejarawan, dengan karya-karya yang cukup dihargai di semua bidang tersebut. Resink pernah menjadi guru besar hukum di Universitas Indonesia, sejak tahun 1947 sampai 1976. Di akhir 1950-an dia juga pernah menjadi peneliti di School of Oriental and African Studies (SOAS). Resink meninggal pada tahun 1997. Seluruh karyanya kemudian dihibahkan kepada Pemerintah Republik Indonesia, dan disimpan di Museum Sonobudoyo, Yogyakarta.

 -----

Sumber: