Baca

Baca

Minggu, 16 Agustus 2015

"Ismail Kadare, Piramid dan Kekuasaan yang Despotik"


Candra Kusuma


Ismail Kadare dalam novelnya yang berjudul Piramid (2011) mengisahkan bagaimana pada satu saat ribuan tahun lalu, istana Mesir dilanda kegemparan yang sangat ketika Firaun yang baru, Cheops, memutuskan tak ingin lagi membangun piramid sebagaimana telah dilakukan dan menjadi tradisi leluhurnya. Keluarga kerajaan dan para petinggi istana kaget, dan sekaligus amat sangat cemas. Bagi mereka, piramid adalah satu hal yang sudah dibuat, dan selamanya harus terus dibuat, karena sudah menjadi bagian dari denyut kehidupan bangsa Mesir sejak ribuan tahun.

Tak ada cara --dan tak ada yang berani pula mencoba-- untuk memaksa Cheops, karena sebagai Firaun, dia adalah sang penguasa tunggal yang punya kuasa menentukan hidup dan mati siapapun yang diinginkannya. Salah bicara, atau sekedar dianggap menghina, maka penjara atau kehilangan nyawa yang jadi taruhannya.

Sebagian dari para elit istana kemudian berupaya keras mencari cara dan argumentasi untuk meyakinkan Cheops mengenai “nilai historis dan strategis” dari piramid bagi Mesir. Mereka menggali informasi tentang piramid  dari papirus-papirus lama. Ternyata isinya lebih banyak tentang cara, alat, bahan, tenaga kerja, biaya maupun tetek bengek lain mengenai pembangunan sebuah piramid. Namun tak ada yang menjelaskan nalar rahasia akan keberadaan piramid itu sendiri: “untuk apa sesungguhnya –dibalik semua alasan resmi dan normatif— alasan dan tujuan dari pembangunan piramid-piramid tersebut.”

Setelah mempelajari lagi dengan seksama sejarah Mesir sejak pembangunan piramid pertama di masa Firaun Zoser, dilanjut dengan diskusi dan debat panjang mengenai “apa tujuan dan kegunaan tersebunyi” dibalik pembangunan piramid-piramid itu, akhirnya mereka sampai pada satu kesadaran. Namun, ternyata kesadaran tersebut justru sulit untuk mereka bicarakan diantara mereka sendiri, meskipun hal itu sesungguhnya sudah mereka masing-masing pahami sebelumnya, bahkan tanpa harus membuka satu lembarpun papirus-papirus lama tersebut. Sampai akhirnya tiba saatnya bagi mereka –dengan dipimpin oleh Pendeta Tinggi Hemiunu-- untuk mempresentasikan hasil kajian tentang pentingnya piramid ke hadapan Cheops sang Firaun.

Ternyata, meskipun secara fisik  --dan pemahaman awam menganggap bahwa-- piramid adalah sebuah tempat pemakaman yang menakjubkan bagi Firaun dan keluarganya, namun gagasan awal pembangunannya ribuan tahun sebelumnya sama sekali tidak berhubungan dengan urusan kematian dan makam. Gagasan pembangunan piramid ternyata dimulai dari suatu krisis. Bukan krisis akibat kemiskinan, kekeringan berkepanjangan, banjir besar Nil, dan wabah penyakit ataupun perang, namun justru krisis akibat kelimpahan. Kemakmuranlah ternyata yang telah membuat rakyat menjadi mandiri dan berpikir bebas, yang ujungnya menimbulkan pembangkangan terhadap pemerintah, dalam hal ini kekuasaan Firaun.

Para birokrat Mesir dan “Tim Konsultan Firaun” yang terdiri dari para ahli, peramal dan penasehat Firaun pada masa lalu tersebut kemudian berdebat panjang untuk menemukan cara meredam kelebihan dan kemakmuran rakyat tersebut, agar visi akan kejayaan Firaun tetap terjaga tanpa pembangkangan dari rakyatnya. Sampai akhirnya, Sobekhotep si dukun-peramal menemukan satu solusi orisinil dan jenius untuk mengatasi akar masalah tersebut. Misi yang dia ajukan untuk mengatasi kemakmuran adalah dengan “meniadakan kemakmuran itu sendiri.” Tapi bagaimana caranya? Sekali lagi para Tim Konsultan Firaun berdebat untuk menemukan strategi mengatasi kemakmuran rakyat.

Solusi jenius berikutnya konon justru muncul dari balik istana harem Firaun sendiri. Reneferef sang dayang-dayang harem, entah bagaimana berhasil membisikkan gagasannya sampai ke kalangan elit dan Tim Konsultan Firaun. Menurutnya, Mesir harus meniru apa yang telah dilakukan oleh kerajaan tetangga Mesopotamia dalam mengendalikan rakyatnya. Di sana, rakyat Mesopotamia setiap saat selalu sibuk membangun kanal-kanal raksasa, yang jika dinalar secara sederhanapun tampak tidak sesuai dengan kemampuan ekonomi kerajaan dan kebutuhan bangsa dan rakyat mereka sendiri. Karenanya,  Mesir harus dapat menemukan cara yang sama untuk mengkonsumsi kelebihan energi rakyatnya. Dalam bahasa Pendeta Tinggi Hemiunu sendiri, caranya adalah:

“Dengan menyelenggarakan kerja raksasa yang melampaui batas imajinasi, yang akan memperlemah warganya, menghisap kering mereka. Pendeknya, hal yang meletihkan, hal yang menghancurkan jiwa raga, pun tanpa menghasilkan manfaat sama sekali. Atau lebih tepatnya, sebuah proyek tak bermanfaat bagi rakyat namun akan berguna bagi Negara” (hal.12)

Lantas, mega proyek macam apa yang sesuai dengan strategi tersebut? Lagi-lagi “Tim Konsultan Firaun” berdiskusi, berdebat dan menggali berbagai data dan informasi dari masa lalu maupun pengalaman bangsa dan kerajaan lain. Usulannya sangat beragam. Dari mulai membuat lubang besar tanpa dasar, tembok raksasa, air terjun buatan, dll. Namun semuanya ditolak Firaun. Dalam pandangan Hemiunu:

“Yang harus dicari adalah hal lain, sesuatu yang membuat masyarakat terus-menerus sibuk siang-malam sehingga jadi linglung. Namun, hal itu mestilah sebuah proyek yang pada dasarnya bisa diselesaikan, tanpa mencapai penyelesaian. Singkatnya, sebuah proyek yang memperbaharui dirinya terus menerus. Dan itu harus benar-benar dapat dilihat… Pusara Raksasa… Dengan segera Mesir akan mengidentifikasikan diri dengannya, dan ia juga bakal menjadi identifikasi Mesir” (hal.13)

Firaun kala itu takjub dan setuju dengan gagasan mega proyek pembangunan makam raksasa bagi keluarga istana tersebut. Para arsitek Firaun kemudian merancang sejumlah usulan bentuk kuburan raksasa, yang kemudian pilihan jatuh pada bentuk piramid. Di mana setiap Firaun akan punya piramidnya sendiri. Sehingga, meskipun rakyat belum lagi beristirahat dan pulih dari lelah dan kehebohan dalam membangun sebuah piramid, mereka sudah akan disibukkan lagi untuk membangun piramid baru bagi Firaun yang baru berkuasa pula.

Sampai disini, Pendeta Tinggi Hemiunu menutup presentasinya kepada Cheops. Kata-kata penutup dari Hemiunu-lah yang pada akhirnya dapat meyakinkan Cheops bahwa piramid itu memang “enak dilihat dan perlu” bagi kelanggengan kekuasaan Firauan di dunia, sekaligus memastikan tempat terbaik bagi Firaun di alam sana. Hermiunu, sang tokoh keagamaan terpenting di Mesir, menutup presentasinya dengan sekali lagi menekankan urgensi piramid, yang tidak saja untuk kelanggengan kekuasaan Firaun, namun juga kekuasaan para elit Mesir itu sendiri:

“Sedari mula, yang Mulia, piramid adalah kekuasaan. Ia adalah penindasan, kekuatan, kesejahteraan. Namun juga penakluk pemberontakan, penyempit pikiran, pelemah kehendak, kebosanan, dan kesia-siaan. O Firaunku, ia adalah bentaramu yang paling handal. Polisi rahasiamu. Bala tentaramu. Armadamu. Gundikmu, Makin tinggi ia, makin rapuh rakyatmu terlihat. Dan makin kecil rakyatmu, makin paduka menjulang, O Termulia, demi sepenuhnya kebesaranmu… Piramid adalah pilar penyangga kekuasaan. Jika ia terguncang, segalanya rubuh berantakan… Jadi jangan berpikir, Firaunku, untuk mengubah tradisi… Paduka bakal jatuh dan menyungkurkan kami bersamamu.” (hal.14-15)

Cheops akhirnya mengalami “pencerahan” dan menemukan “kebenaran” dari paparan “hasil kajian tentang urgensi piramid” berikut “analisis mengenai dampak politis (AMDAP)” jika tidak membangun piramid, yang telah disampaikan Pendeta Tinggi Hemiunu dan para petinggi istana lainnya. Sang Firaun pada akhirnya memutuskan untuk tetap melanjutkan tradisi leluhurnya dengan juga mendirikan piramid baru: yang lebih tinggi, dan paling megah dari semua.

Tepat pada saat keputusan dibuat dan pertemuan di istana itu berakhir, saat itu pula penderitaan rakyat Mesir dimulai lagi. Sejarah kembali berulang, dan kekuasaan Firaun dapat terus dipertahankan.

-----

Tulisan di atas adalah “cerita ulang” saya atas bagian awal dari novel Ismail Kadare. Menurut saya itulah bagian yang paling menarik, karena menawarkan tafsir unik tentang bagaimana para tiran dan penguasa despotik serta elit sosial pendukungnya di masa lalu memandang kekuasaan sebagai kepentingan utama mereka semata, dan pelemahan kekuatan rakyat sebagai agenda terpenting untuk melanggengkan kekuasan mereka sendiri. Selain polisi rahasia dan hukuman brutal, ternyata pembangunan pun dapat dijadikan instrumen untuk mengendalikan rakyat dengan jalan mengurangi kemakmuran dan kemandirian mereka. Caranya dengan membuat rakyat sibuk dan terserap habis energinya untuk hal-hal yang sesungguhnya tidak perlu, dan pada akhirnya dapat menjadi sarana efektif untuk menundukkan dan menciptakan kepatuhan rakyat pada penguasa.

Di masa sekarang, mungkin sudah tidak ada lagi penguasa despotik yang dapat semena-mena dan punya kuasa penuh atas hidup dan mati rakyatnya. Kalaupun harus menyebut satu yang tersisa, barangkali negara itu adalah Korea Utara. Namun negara-negara dengan kebijakan pembangun mereka yang secara langsung maupun tidak langsung justru berakibat memiskinkan dan melemahkan rakyatnya dapat kita jumpai di banyak tempat. Pembangunan mega proyek macam monumen, gedung pemerintahan, bandara super modern, pembangkit listrik super canggih, dam raksasa, dan banyak lainnya, selalu ibarat pedang bermata ganda: dapat menghasilkan keuntungan dan kebaikan tertentu, namun dampaknya juga dapat merugikan bagi sebagian yang lain. Mulai dari penggunaan anggaran publik yang tidak tepat guna, sampai pada penggusuran, alih fungsi lahan, pengangguran, urbanisasi, keresahan sosial, dan lainnya.

Bagaimana dengan Indonesia? Mari kita sama merenungkannya…

-----
*Ismail Kadare, penulis kelahiran Albania. Akibat tekanan dari rejim otoriter Enver Hoxha, Kadare terpaksa menyelundupkan naskah-naskah novelnya untuk diterbitkan di luar negeri. Pada tahun 1990, Kadare akhirnya melarikan diri dan kemudian menetap di Perancis. Karya-karyanya dianggap telah menginspirasi perlawanan terhadap rezim otoriter Albania.
Kadare menerima sejumlah penghargaan Prix modial Cino Del Duca (1992), Man Booker International Prize (2005), dan Premios Principe de Asturias (2009). Dia juga pernah beberapa kali dinominasikan sebagai pemenang Nobel. Pada tahun 2009 diangkat menjadi anggota kehormatan Academie des Sciences Morales et Politiques di Perancis menggantikan Karl R. Popper. Novelnya yang berjudul La Pyramide diterbitkan pertama kali pada tahun 1992, dan telah diterjemahkan dalam beberapa bahasa.


Sumber:
  • Ismail Kadare. (terj. Dwi Pranoto) (2011). Piramid: Sebuah Novel. Margin Kiri.