Baca

Baca

Jumat, 27 Maret 2015

"Nasionalisme Indonesia Kini dan di Masa Depan" - Benedict Anderson


Penulis       : Benedict Anderson
Judul asli    : “Nationalism Today and in the Future” yang dimuat dalam New Left Review I/235 May-                     June 1999.
Penerjemah : Bramantya Basuki - Penerbitan Anjing Galak.


Dalam pengalaman saya, nasionalisme seringkali disalah mengertikan. Untuk itu, saya akan memulai tulisan saya dengan membahas dua jenis kesalahpahaman yang sering terjadi, menggunakan Indonesia sebagai contoh dari fenomena yang terjadi hampir sama di seluruh dunia dalam sebuah abad yang hampir berakhir saat ini.[1] Yang pertama, nasionalisme merupakan sesuatu yang sudah sangat tua dan diwariskan tentu saja oleh “kejayaan nenek moyang yang begitu agung“ (“absolutely splendid ancestors“). Bagaimanapun nasionalisme merupakan sesuatu yang tumbuh secara alamiah dalam darah dan daging tiap-tiap dari kita. Namun faktanya, nasionalisme merupakan sesuatu yang masih anyar, dan sampai saat ini “baru“ berusia dua abad. Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat, yang diproklamirkan di Philadelphia pada 1776, tidak menyebut sedikitpun tentang “nenek moyang“, termasuk tidak juga menyebut tentang orang Amerika. Deklarasi Kemerdekaan oleh Soekarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945, juga tampak mirip. Namun kebalikannya, mereka yang mengusung “kejayaan nenek moyang yang begitu agung“ biasanya hanya memunculkan omong kosong belaka, dan seringnya sebentuk omong kosong yang sangat berbahaya.

Contoh dari sejarah setempat yang paling bagus adalah Pangeran Diponegoro (1787-1855), yang pada tahun 1950 diangkat sebagai Pahlawan Nasional, selayaknya Diponegoro telah memimpin perjuangan kemerdekaan Indonesia keluar dari jerat kolonialisme Belanda. Namun, jika kita perhatikan lagi apa yang Diponegoro tulis dalam memoarnya, kata yang ia gunakan untuk menggambarkan tujuan politiknya adalah ia berniat untuk “menaklukkan“ (Subjugate) –ya, “menaklukan“- Jawa. Konsep mengenai “Indonesia“ masih sangatlah asing bagi dirinya –begitu juga dengan gagasan mengenai “kebebasan“. Memang, sejauh yang kita ketahui neologisme asing dari Yunani-Romawi ini masih sangatlah anyar: baru mulai jadi terkenal semenjak 80 tahun yang lalu.Organisasi pertama yang menggunakan kata ini adalah Partai Komunis Indonesia –pada tahun 1920 (ketika ibu saya masih seorang gadis berumur 15 tahun).
Kesalahpahaman kedua adalah tentang “bangsa“ (nation) dan “negara“ (state), jika dianggap tidak mirip, paling tidak hubungan mereka layaknya suami dan istri yang berbahagia. Namun dalam kenyataan sejarah yang terjadi justru berlawanan. Mungkin 85% dari gerakan nasionalis memulai perjuangannya sebagai sebuah gerakan anti-negara (anti-state) melawan struktur negara-dinasti yang kolonialistik dan absolutistik. Negara dan bangsa baru “menikah“ akhir-akhir ini, dan pernikahan tersebut seringnya jauh dari bahagia. Pemahaman yang umumnya muncul muncul adalah bahwa negara –atau apa yang oleh saya dan beberapa kawan sering kami sebut sebagai Buto[2] (Ogre)- jauh lebih tua daripada bangsa itu sendiri.

Dari Batavia menjadi Indonesia

Indonesia sekali lagi, menyajikan sebuah contoh yang bagus. Genealogi perihal negara di Indonesia dimulai di Batavia pada awal abad ke-17. Runutan perkembangannya terlihat sangatlah jelas, meskipun perluasan wilayahnya semakin lama semakin lebar. Luas wilayah di Indonesia saat ini –dengan pengecualian Timor-Timur- merupakan wilayah jajahan Belanda di Hindia Timur saat mereka merampungkan penaklukan terakhir mereka di Aceh, Bali Selatan dan Irian (Papua sekarang –Penj) di awal abad ini. Selanjutnya, kita harus selalu ingat bahwa di akhir masa kejayaan Belanda di Indonesia, sekitar tahun 1930-an, 90 persen –saya ulangi, 90 persen- dari pegawai pemerintahannya merupakan “pribumi“. Tentu saja ada beberapa pergantian -tekanan dan penambahan- selama masa revolusi, namun, sebagian besar personil dari negara republik muda ini merupakan kelanjutan dari negara kolonial yang ada sebelumnya. Parlemen pertama sesudah tahun 1950 juga penuh dengan para mantan kolaborator kolonialisme, dan tentara republik yang baru ini juga terdiri dari banyak prajurit dan pegawai negara yang melawan keberadaan Republik selama masa Revolusi.[3]

Sejauh pemahaman mengenai wilayah nasional yang ada, terdapat sebuah ironi yang pertama kali disebutkan salah satunya oleh Jenderal Sayidiman. Karena rezim Suharto membuat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menjadi sesuatu yang sakral –walaupun pada kenyataannya, Undang-Undang itu dibuat dengan ketergesaan yang sangat tinggi di bulan Agustus 1945 dalam situasi yang darurat dan penuh kebingungan- penentuan batas wilayah Indonesia tidak dapat dirubah (dengan ketakutan akan mengurangi kesakralannya). Ini berarti bahwa pencaplokan Timor-Timur, yang berada di luar batas yang ditentukan tadi, sedari awal sangatlah tidak konstitusional. Untungnya, Sayidiman merupakan seorang Jenderal, jadi tak terlalu berbahaya baginya untuk mengucapkan itu.

Singkatnya: apa yang baru saja saya tuturkan merupakan sebuah peringatan. Waspadalah kepada siapapun yang membuat negara menjadi sesuatu yang sakral dan senantiasa dipuja, dan waspadalah kepada siapa saja yang selalu membanggakan “kejayaan nenek moyang yang begitu agung“. Milikmu akan segera dicurinya.

Lalu apa sebenarnya nasionalisme itu? Jika kita mempelajari tentang sejarah dunia, maka dapat dikatakan bahwa nasionalisme bukanlah sesuatu yang diwariskan dari masa lampau, namun lebih kepada sebuah “proyek bersama“ (common project) untuk kini dan di masa depan. Dan proyek ini lebih membutuhkan pengorbanan pribadi, bukannya malah mengorbankan orang lain. Inilah mengapa tidak pernah terjadi pada para pejuang kemerdekaan bahwa seolah-olah mereka memiliki hak untuk membunuh sesama bangsa Indonesia; sebaliknya mereka merasa harus memiliki keberanian jika nanti mereka akan dipenjara, dianiaya, dan diasingkan demi kebebasan dan kebahagiaan di masa depan para sesamanya.

Perihal Pemuda dan Pertaruhan Mereka

Nasionalisme muncul di dalam suatu wilayah tertentu ketika para penduduknya mulai merasa mereka memiliki sebuah tujuan bersama, juga masa depan bersama. Atau seperti yang sudah saya tulis sebelumnya, mereka diikat oleh rasa persaudaraan yang dalam. Biasanya, perasaan itu muncul secara cepat dan begitu saja pada sebuah generasi, sebagai suatu penanda bagi kebaruanya. Kita dapat melihat betapa nasionalisme dapat begitu lekat dengan harapan untuk masa depan, jika kita perhatikan nama-nama dari organisasi awal yang bergabung dengan gerakan kemerdekaan pada awal abad-20: Jong Java, Indonesia Muda, Jong Islamietenbond (Liga Muslim Muda), Jong Minahasa, dan sebagainya. Tak ada satupun organisasi yang menamai diri mereka Jawa Tua, Bali Abadi, atau sejenisnya. Orientasi mereka adalah menuju masa depan dan basis sosialnya adalah para pemuda (Bahkan hingga saat ini, kekuatan politik istimewa yang dimiliki mahasiswa terletak pada posisi sosial mereka sebagai simbol masa depan bangsa). Lebih jauh lagi, para pemuda pada masa itu menggunakan identitas kedaerahan mereka bukan atas nama nasionalisme lokal yang separatis, namun sebagai penanda akan komitmen kedaerahan mereka terhadap kebersamaan sesama koloni dan proyek bersama untuk pembebasan. Mereka tak terlalu lagi mempedulikan bahwa dulu raja Aceh pernah “menjajah“ wilayah pesisir Minangkabau, bahwa raja orang Bugis pernah memperbudak orang-orang di perbukitan Toraja, bahwa bangsawan-bangsawan Jawa pernah mencoba untuk menaklukan dataran tinggi Sunda, atau maharaja Bali yang pernah dengan sukses menundukan Pulau Sasak.

Jika kita dapat kembali ke tahun 1945-1949 dan bercengkrama dengan para pejuang kemerdekaan pada masa itu, bisa dipastikan bahwa mereka akan sulit mempercayai bahwa lima puluh tahun kemudian fungsi dari angkatan bersenjata Republik ini tidak lagi untuk melindungi negara dari musuh eksternal, namun justru malah menindas rakyat sendiri, yang dengan ini berarti juga mengadopsi tradisi militer pada masa kolonial. Namun inilah yang selalu sering terjadi. Mungkin orang-orang pada masa lalu itu tak begitu waspada pada konsekuensi yang mungkin terjadi pada perkawinan antara negara dan bangsa.
Jika nasionalisme merupakan sebuah proyek bersama untuk kini dan masa depan, maka ia tak akan pernah mengenal garis final. Nasionalisme memang harus diperjuangkan dalam setiap generasi. Di dalam pandangan orang tuanya, dan juga negara, seorang bayi uang lahir di Madura, katakanlah, sudah menjadi seorang “warga Indonesia“, namun si bayi belum tentu juga berpikir demikian. Proses untuk si Bayi menjadikan dirinya seorang warga Indonesia, dengan jiwa seorang Indonesia, dengan komitmen untuk Indonesia, dan dengan budaya Indonesia, merupakan sebuah jalan yang panjang, tanpa ada jaminan pasti akan adanya keberhasilan. Dengan kata lain, kita dapat juga melihat bahwa “kelanjutan“ dari sebuah bangsa pada dasarnya tidak pernah memiliki sebuah jawaban pasti, dan juga layaknya sebuah pertaruhan.

Pertaruhannya apakah gagasan mengenai “masa depan Indonesia“ akan cukup mengakar pada jiwa semua warga negara, yang jika perlu, tiap calon warga Indonesia yang baru selalu seiap menyingkirkan ambisi personal dan mendedikasikan kesetiaannya pada gagasan besar tersebut. Taruhan ini dapat dimenangkan dalam jangka waktu yang panjang, hanya jika bangsa Indonesia cukup terbuka pikirannya dan berhati besar untuk menerima keberagaman dan kompleksitas dari masyarakatnya –dimana dalam kasus Indonesia terdapat 200 juta jiwa. Dunia modern saat ini telah memberikan kita bukti yang cukup mengenai sebuah bangsa yang terpecah-pecah karena banyak dari warga negaranya yang berhati kerdil dan berpikiran sempit –belum termasuk keinginan yang berlebih untuk berkuasa atas sesamanya.

Warisan Bersama atau Proyek Bersama

Ketika saya masih kanak-kanak, ibu membelikan sebuah buku bekas berjudul History of English Literature (Sejarah Kesusastraan Inggris). Saya mengingat dengan jelas bahwa bagian pertama dari buku ini ditujukan bagi cerita Cuchulain and the Brown Cow yang ditulis pada abad ke-12 di Irlandia Kuno –yaitu, sebelum bahasa Inggris pun ada. Lalu apa yang membuat ini aneh? Karena edisi buku yang ibu saya belikan adalah terbitan tahun 1900-an, saat Irlandia masih dijajah oleh Inggris, yang berusaha dengan susah payah untuk “mengintegrasikan“ penduduk lokal, seperti halnya cara rezim Soeharto mencoba untuk “mengintegrasikan“ penduduk Timor-Timur. Beberapa tahun kemudian, saya menemukan sebuah edisi baru dari buku tersebut, diterbitkan sekitan 1930-an, dan saya kagum mendapati bagian pertama dari buku tersebut telah hilang, karena, pada waktu itu Republik Irlandia (dimana saya menjadi warga negaranya) telah mendapatkan kemerdekaannya –kurang lebih 22 tahun sebelum Indonesia. Dari cerita sederhana ini, kita dapat melihat betapa mudahnya membuat dan membinasakan “nenek moyang yang agung“ tergantung pada situasi politik. Sejujurnya saat ini tak ada seorang orang Inggris pun yang merindukan The Brown Cow. Di lain sisi, kebanyakan orang Irlandia berbicara dengan bahasa Inggris daripada bahasa Irlandia sendiri, jadi banyak dari mereka hanya dapat membaca cerita The Brown Cow tadi dalam terjemahan bahasa Inggris. Dan hubungan antara Irlandia yang merdeka dan Inggris sekarang ini jauh lebih baik daripada seratus atau lima puluh tahun yang lalu, ketika puluhan ribu petani Irlandia dipaksa oleh kelaparan akibat penjajahan untuk kabur ke Amerika. Ada sebuah perlajaran menarik di sini untuk Indonesia dan hubungannya dengan Timor-Timur.

Saya memberikan kilasan singkat ini karena saya masih melihat banyak sekali warga Indonesia masih cenderung berpikir Indonesia sebagai sebuah “warisan“ semata, bukan sebagai sebuah tantangan atau sebuah proyek bersama. Dimana seseorang memiliki warisan, lalu seseorang itu memiliki pewaris, dan, seringnya, terjadi perselisihan pahit diantara mereka sebagai siapa yang lebih berhak untuk mewarisinya. Seseorang yang masih memandang bahwa “perasan“ dari Indonesia merupakan sebuah “warisan“ yang harus dijaga dengan segala cara dapat berujung pada perlakuan kekerasan kepada warga yang hidup dalam ruang geografis yang abstrak tersebut.

Mari kita ambil dua contoh paling jelas yang sedang banyak diberitakan: Aceh dan Irian.[4] Sepanjang sejarah pergerakan kemerdekaan saat masa penjajahan, tak ada satu pun orang Aceh yang saya ketahui pernah mengungkapkan ide mengenai “Aceh Merdeka“. Selama masa Revolusi, Aceh adalah satu-satunya provinsi dimana Belanda tidak lagi berani untuk kembali ke sana. Namun, bukannya mengambil kesempatan itu untuk memerdekakan diri, orang Aceh memberikan, dengan dasar sukarela –saya hendak menekankan kata “sukarela“ di sini- kontribusi yang sangat besar kepada perkara revolusi tersebut baik dalam hal tenaga manusia maupun sumber daya ekonomi dan keuangan. Mereka melakukan hal ini dikarenakan, di masa-masa itu, Jogjakarta[5] sama sekali tidak memiliki niatan ataupun tujuan untuk bertindak seperti Diponegoro, yaitu mencoba menaklukan Aceh.

Memang benar bahwa, di bahwa pimpinan Daud Beureueh,[6] beberapa orang Aceh memutuskan untuk memberontak kepada Jakarta pada awal 1950-an, karena mereka telah dikecewakan oleh beberapa kebijakan yang diterapkan oleh pusat; namun pemberontakan ini pertama-tama ditujukan untuk merubah kebijakan ini, bukan untuk memisahkan diri dari Indonesia. Pada tahun 1970-an, Aceh begitu damai dan makmur di bawah pemerintahan sispil, dan tak ada seorang pun yang percaya bahwa, pada akhir dekade berikutnya, provinsi tersebut akan menjadi sebuah Daerah Operasi Militer (DOM) yang penuh kengerian. Pada saat itu, Hasan di Tiro[7]  tidak terlalu diangap penting oleh siapa saja, dikarenakan dia telah cukup lama meninggalkan Indonesia dan koneksinya kepada CIA (Central Intelligence Agency) di masa lalu. Bahwa “Aceh Merdeka“ menjadi begitu populer pada akhir 1980-an dikarenakan semakin banyaknya orang Aceh yang kehilangan harapan dan kepercayaan bahwa mereka sedang berbagi dalam sebuah proyek bersama dengan manusia Indonesia lainnya. Kerakusan yang begitu hebat dari Jakarta, dan kaki tangan serta anak buah mereka di pemerintahan provinsi, begitu juga penggantian pemimpin sipil putra daerah dengan mereka yang dari militer, yang kebanyakan berasal dari Jawa, sepertinya hendak berujar pada para penduduk Aceh: “Kita sama sekali tidak membutuhkanmu; yang kita butuhkan adalah sumber daya alam milikmu. Alangkah bagusnya jika Aceh dikosongkan dari orang Aceh sendiri“. Inilah muasal dari rangkaian kekejian yang media massa seringkali luput untuk diliput.

Akar dari Separatisme

Cerita Irian dalam banyak hal sangat bisa dibandingkan. Kemunculan OPM (Organisasi Papua Merdeka) bukan sebelum Orde Baru –dimana mulai sekarang akan saya sebut sebagai Orde Keropos- berkuasa, namun sesudahnya. Dan bahasa yang mereka gunakan masih bahasa Indonesia. Namun berbagai macam ancaman dan manipulasi yang diarsiteki oleh Ali Murtopo[8]  dan antek-anteknya, memberi sebuah gambaran seolah-olah semua orang Irian merupakan pelayan yang patuh kepada Orde Keropos tersebut. Bagi orang Irian sendiri, hal ini jelas-jelas menunjukan bahwa di mata orang-orang di pusat, yang paling penting itu adalah Iriannya, bukan manusia yang hidup di sana. Dalam segala macam keberagaman yang dimiliki, mereka justru dicap sebagai populasi primitif yang diberi sebutan mengacu pada nama provinsi mereka. Sekali lagi, yang hanya akan dipahami dari tindakan Jakarta ini adalah perkataan: “Sayang ya, ada orang Irian yang tinggal Irian“. Rakyat di Irian tak pernah secara serius diajak bergabung pada sebuah proyek bersama, jadi wajar saja kalau mereka mulai merasa bahwa mereka sedang dijajah. (Sambil lalu, saya mencatat bahwa masih saja ada warga Indonesia yang berpikir bahwa penjajahan hanya dapat dilakukan oleh orang Barat kepada orang non-Barat. Ini sangatlah berbahaya dan secara historis merupakan sebuah ilusi ketidakacuhan.)

Dari perilaku kolonial Orde Keropos tersebut, munculah karakteristik yang begitu keji. Institut Bantuan Hukum cabang setempat mencatat, sebagai contoh, dibawah kepemimpinan biadab Jenderal Abinowo, ada sebuah kasus dimana sebuah desa disangka menampung geriliyawan OPM lalu setengah penduduk yang tinggal disana dibakar hidup-hidup bersama dengan rumah mereka oleh pihak militer, sedangkan setengah penduduk yang lain dipaksa oleh oknum militer yang sama untuk memakan daging para keluarga dan tetangga mereka yang telah gosong terpanggang. Kekejian terencana seperti ini sama sekali tak dapat dibayangkan selama masa revolusi, dan bahkan pada era PRRI dan DI.[9]  Mereka jelas-jelas menunjukan bahwa, pada bagian angkatan bersenjata di bawah Orde Keropos, orang Irian bukan saja tidak termasuk dalam sesama bangsa Indonesia, namun juga sekedar “barang milik“ dari si Buto.

Kita dapat menyimpulkan dengan demikian bahwa, Gerakan Aceh Merdeka dan OPM muncul kepermukaan sebagai reaksi atas sebuah mentalitas, kebijakan dan pelaksanaan kebijakan dari Orde Keropos, dengan sikap dasar: “Sayang ya, ada orang Aceh yang tinggal Aceh dan orang Irian yang tinggal di Irian“, dan pandangan terhadap warga yang terkucilkan ini bukan sebagai manusia Indonesia, namun lebih sebagai “objek“, “barang milik“, “pembantu“, dan “halangan“ bagi si Buto. Situasi saat ini sangatlah serius dan hanya perubahan radikal pada pola pikir para pemimpin politik di Jakarta. Sangatlah penting bahwa Aceh dan Irian diakui keasliannya dan diberi otonomi penuh sehingga mereka, sekali lagi, dapat merasakan diri sebagai tuan di rumah sendiri. Proses ini akan memerlukan hadirnya pemilihan daerah yang bebas dan reguler, serta pemerintah provinsi dan kabupaten yang dipilih secara langsung –bukan ditunjuk lagi oleh menteri dalam negeri. Otonomi ini juga akan memerlukan adanya Dewan Perwakilalan Rakyat Daerah dimana “fraksi militer“ -mereka yang tidak melalui pemilihan umum, namun ditunjuk, dan kebanyakan berasal dari bagian barat Indonesia- tidak termasuk di dalamnya. Saya tidak ragu lagi bahwa, jika perubahan ini diwujudkan dalam waktu dekat dan dengan benar, maka gerakan separatis akan kehilangan gaungnya.

Saya juga yakin bahwa nanti akan ada rintangan kedepan: sengketa di daerah, korupsi, dan bahkan kekerasan, sebagai bagian dari sisa-sisa tiga puluh tiga tahun kekejaman dan korupnya kekuasaan Orde Keropos tadi. Namun kondisi tersebut hanyalah sementara, dan dalam berbagai hal, kondisi-kondisi tadi masih belum ada apa-apanya dibandingkan dengan eksploitasi dan kekejian saat era Orde Keropos. Dengan cara ini, warga Aceh dan Irian sekali lagi akan diundang kembali secara lebih serius dalam sebuah proyek bersama dan akan memunculkan perasaan persaudaraan yang mendalam dimana daripadanya mereka tak akan pernah dikucilkan lagi.

Untuk sebuah Indonesia yang Federal

Kita juga harus menjadi lebih realistik dan menyadari bahwa otonomi yang asli, bukan “otonomi palsu“ yang ditunjukan saat ini dengan status Daerah Istimewa, juga berarti federalisasi Indonesia. Hal ini sepenuhnya normal. Bahkan hampir semua negara berwilayah luas di dunia mempunyai institusi federal dalam berbagai macam jenis: Kanada, Brasil, Amerika Serikat, India, Nigeria, Jerman, Rusia, dan lain sebagainya. Cina merupakan salah satu pengecualiannya, dan saya agak ragu jika ada banyak warga Indonesia yang merasa sistem seperti di Cina merupakan salah satu yang ingin mereka jadikan model. Saya yakin bahwa ada orang-orang di Jakarta yang akan berteriak, dengan gaya yang sudah dapat ditebak, bahwa Indonesia yang federal merupakan proyek peninggalan kolonial Belanda –tanpa menghiraukan fakta bahwa Belanda telah tidak mempunyai peranan penting lagi di Indonesia selama hampir setengah abad. Yang lain akan mencibir bahwa federalisme merupakan sebuah rencana yang dikompori oleh pihak “asing“ untuk memecah-mecah Negara Kesatuan. Orang asing mana yang masih memiliki minat dalam urusan pemecah-belahan ini di masa sesudah Perang Dingin usai? Saya pikir tak ada lagi. Kejadian di Yugoslavia telah cukup membuat semua negara-negara di dunia paham untuk mencegah tragedi yang serupa berulang. Sedangkan orang lain yang masih saja tertambat pada mentalitas Orde Keropos, akan menentang dengan mengatakan bahwa federalisme bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Namun Undang-Undang itu pun buatan anak manusia, bukan buatan Tuhan, dan untuk dapat bertahan di keadaan yang serba berubah, Undang-Undang harus senantiasa disesuaikan. Jika para Founding Fathers Amerika dapat dibangkitkan kembali saat ini, mereka akan begitu terkejut mengetahui bahwa naskah yang telah mereka susun bersama dua abad yang lalu telah begitu berubah, baik dalam isi maupun semangatnya. Undang-Undang Dasar 1945 sudah begitu usang. Lebih tepatnya, sudah usang semenjak tahun 1950, dan seharusnya tak akan pernah digunakan lagi jika pada tahun 1959 tidak muncul aliansi oportunis antara militer yang haus kekuasaan dan Presiden Soekarno yang mulai bertindak otoriter. Undang-Undang tersebut sangat memerlukan, jika bukan pembongkaran total, paling tidak sebuah perbaikan yang menyeluruh.

Menghadapi Masa Lalu

Jika “proyek bersama“ dihidupkan kembali dan menjadi semakin nyata, maka yang tak kalah penting untuk dilakukan adalah mengakhiri berbagai macam praktek kekerasan dan kekejian yang sudah begitu mengakar. Jika kita membaca memoir para aktivis yang ditangkap oleh rezim kolonial, jarang kita temukan adanya penganiayaan dan penyiksaan, kemaluan yang dibiarkan menempel pada alat sengat listrik, dan semacamnya. Namun, selama tiga puluh dua tahun yang lalu, hal ini menjadi aktivitas “normal“ dari polisi dan personil militer pada tingkat bawah. Hari-hari ini, sangatlah “normal“ untuk memukul seseorang yang ditangkap bahkan sebelum dia diintrogasi; begitu juga saat “mengeksekusi“ tahanan, dengan dalih mereka “mencoba untuk melarikan diri“.

Beberapa hal ini juga terjadi antara tahun 1950-an dan 1960-an, namun saat itu belum bisa disebut “rutin“. Kejadian tersebut telah menjadi rutinitas juga berarti bahwa hal tersebut telah dipergunakan untuk mempertahankan kekuasaan yang seharusnya berdasarkan atas hukum, namun pada kenyataannya justru mengingkari hukum tersebut dengan adanya impunitas (kekebalan hukum –penj) total. Situasi ini tidak hanya merusak moral dari para penegak hukum, namun juga cenderung merusak mental para korbannya juga. Banyak dari tahanan yang melihat aparat yang menahan mereka menjadi para penyiksa yang keji, bahkan juga seorang tukang jagal, cenderung akan mengikuti contoh tersebut. Inilah sumber utama dari menjamurnya, dalam lima belas tahun terakhir, kelompok yang sering mengutamakan kekerasan yang disebut sebagai preman, yang kerapkali malah menjadi “tangan kiri“ dari si Buto. Kita semua paham mengenai sejauh mana proses “premanisasi“ dan “gangsterisasi“ telah terjadi dalam wilayah politik di Indonesia. Partai politik mempunyai premannya sendiri, begitu juga para pengusaha dan instansi pemerintah. Dan media massa memainkan perannya sendiri, dengan sedikit banyak “mengagung-agungkan“ para preman kondang seperti Yorries Raweyai, Sumargono, Anton Medan, Yapto, Hercules dan yang lain-lain.

Namun sebenarnya proses kekejaman ini telah dimulai jauh sebelum tahun 1980-an. Selama masa gerakan kemerdekaan, cukup sering terjadi pertikaian yang sengit antara berbagai kelompok yang ada waktu itu. Namun saya tidak yakin bahwa kondisi tersebut akan membuat mereka melakukan penganiayaan atau pembunuhan kepada kelompok lain yang berlawanan dengan mereka. Lawan adalah lawan, bukan “binatang“. Masih ada unsur saling menghormati dalam konflik diantara mereka. Sesudah itu, timbul kemerosotan yang perlahan namun pasti. Kekejaman yang begitu parah dilakukan oleh kedua belah pihak dalam perkara Madiun 1948,[10] dalam situasi nasional yang kondisinya serba darurat dan ketegangan sosial dan ekonomi yang begitu tinggi. Orang mulai melihat para lawan politiknya, bukan sebagai sesama bangsa Indonesia, namun sebagai pion dari kekuatan asing -NICA,[11] CIA, NKVD (Narodnyy Komissariat Vnutrennikh Del/Komisariat Rakyat untuk Urusan Dalam Negeri, organisasi polisi rahasia pada masa Uni Soviet –Penj), dan lain sebagainya. Namun, dua tahun setelah peristiwa Madiun, partai yang kalah, pihak Komunis, kembali sebagai anggota parlemen, yang dengan kata lain, sebagai sesama bangsa Indonesia sekali lagi.

Perubahan yang cukup besar muncul pada tahun 1965-1966. Dan selama peristiwa”65-66” tidak dihadapi, secara jujur dan terbuka, oleh manusia Indonesia, proses pengeroposan dan kekejaman akan terus terjadi. Di sini, saya tidak berniat untuk membahas peristiwa ”65-66” secara mendetail. Saya hanya ingin menggaris bawahi dua poin penting:

(i)      Pada 4 Oktober 1965, Soeharto dan kelompoknya menerima hasil autopsi resmi yang dikeluarkan oleh pihak militer dan ahli forensik sipil pada tubuh dari para Jenderal yang terbunuh pada 1 Oktober. Jelas disebutkan dalam laporan tersebut bahwa para Jenderal ditembak hingga mati, dan mayat mereka rusak karena jatuh ke sumur yang sangat dalam di Lubang Buaya. Namun pada 6 Oktober, media massa, yang sepenuhnya dikontrol oleh kekuasaan Soeharto melancarkan pemberitaan bahwa yang terjadi kepada para Jenderal adalah mata mereka dicongkel keluar dan kemaluan mereka dikebiri dengan sadis oleh para anggota Gerwani.[12]  Kampanye penuh kebohongan ini dilakukan dengan berdarah dingin oleh mereka yang sadar betul apa yang sedang mereka lakukan. Jika kita hendak membaca gambaran fiksional akan betapa luar biasanya kesadisan ini, tidak ada yang jauh lebih bagus penggambarannya selain novel karya Putu Wijaya berjudul Nyali. Yang paling menegerikan dari Kampanye propaganda ini adalah munculnya atmosfir mencekam diseluruh Indonesia yang nantinya mengakibatkan, selama beberapa bulan berikutnya, lebih dari setengah juta dari mereka yang seharusnya ikut serta dalam proyek bersama dibunuh dengan cara yang paling mengerikan, sama sekali tidak mengindahkan hukum yang berlaku, dan tidak satu orang pun yang membunuh dihadapkan pada pengadilan. Secara kasar dapat kita katakan demikian: bahwa dasar sebenarnya dari apa yang disebut sebagai Orde Baru merupakan gunungan tulang-belulang.

(ii)    Akibatnya terasa hingga saat ini. Kita kesampingkan dulu para inisiator dari kekejian ini –dengan kata lain, Soeharto dan lingkaran dalamnya- kita dapat bertanya pada yang sekarang: Pernahkah Abdulrahman Wahid,[13]  terkenal dengan pidatonya yang mendukung Hak Asasi Manusia dan toleransi beragama, meminta maaf untuk NU untuk sepuluh ribu orang yang terbunuh oleh Ansor pada 1965-1966? Saya percaya jawabannya ialah tidak. Pernahkah Megawati,[14] yang menganggap dirinya sebagai korban dari rezim Soeharto, pernah meminta pengampunan untuk PNI-PDI akan puluhan ribu –termasuk anggota sayap kiri dari PNI sendiri- dibunuh oleh komplotan pemuda PNI, terutama di Bali? Sekali lagi, saya pikir jawabannya adalah tidak. Pernahkan tokoh Katolik terkemuka pada masa Orde Baru seperti Benny Murdani, Frans Seda, Liem Bian-kie dan Harry Tjan Silalahi[15]   pernah meminta maaf atas keterlibatan pemuda Katolik dalam aksi pembantaian? Lagi-lagi tidak. Kaum Protestan? Para mantan PSI?[16]  Kaum Intelektual? Para Akademisi? Hampir tak ada satu kata pun. Saya ingat hanya seorang kolega muda yang begitu saya rindukan Soe Hok-Gie memiliki keberanian itu, sejak tahun 1967, untuk menyuarakan fakta yang terjadi. Dari sudut pandang ini, kita dapat melihat bahwa hampir semua ”oposisi” saat ini tidaklah, secara mendasar, merupakan oposisi sesungguhnya bagi Orde Keropos, dan Indonesia yang akan mereka bangun kembali, akibatnya, akan tetap menyimpan gunungan tulang-belulang terkubur di dalam gudang bawah tanahnya. Semuanya terus saja menghindari fakta yang terjadi pada masa lalu politik mereka, meminta maaf, berjanji pada diri mereka sendiri tak akan pernah membiarkan segala hal seperti tahun 1965-66 terjadi lagi, dan menyambut kembali kedalam sebuah proyek bersama sekali lagi mereka yang masih tertinggal dan keturunan dari para korban periode tersebut. Dan, di sekolah-sekolah, anak-anak masih saja disuapi dengan wacana sejarah yang semu mengenai ”trauma bangsa” atau ”tragedi bangsa” –Hentikan sekarang juga!

Pendangkalan Kekejian

Kengerian akan 1965-66, ketika jutaan manusia Indonesia dianggap oleh manusia Indonesia yang lain sebagai binatang atau setan, yang karenanya dapat dan harus diperlakukan dengan kejam dan tidak memperdulikan segala hukum yang berlaku, mempunyai banyak konsekuensi berat pada saat ini. Sebuah kebiasaan telah terbangun di kalangan militer dimana jika menyangkut persoalan ”keamanan”, setiap aspek kesusilaan dari manusia dapat disingkirkan dan mereka dibekali dengan impunitas yang mutlak –disediakan oleh “atasan” yang memberi mereka perintah. Konsekuensi politiknya menjadi semakin jelas melihat  pada peristiwa “aneksasi”[17] Timor-Timur sesudah 1975. Sudah menjadi rahasia umum bahwa antara tahun 1977 dan 1980, sekitar sepertiga dari populasi daerah bekas koloni Portugis mati dengan cara yang tidak wajar –ditembak senjata api, dibakar dengan napalm,[18] dibiarkan mati kelaparan di ‘kamp pengungsian”, atau korban dari penyakit menular yang menyebar cepat akibat kondisi pemukiman yang tidak manusiawi. Penyiksaan menjadi standar prosedur kerja (SOP –Standard Operating Procedure), belum lagi berbagai macam pemerkosaan dan pembunuhan. Jika kita menggunakan presentase diatas untuk pulau Jawa, maka ini berarti kematian tak wajar paling tidak 25 juta jiwa dalam waktu tiga tahun. Menakutkan? Jelas! Kejahatan tingkat tinggi? Apakah masih ada yang meragukannya?

Kenapa itu semua harus terjadi? Seharusnya tak ada lagi ada orang yang ditipu mengenai retorika “Selamat datang kawanku, ke dalam haribaan Ibu Pertiwi” atau warga Timor Timur dengan sukarela bergabung dalam proyek bersama ini. Operasi di Timor Timur, yang sebagian besar (faktanya -penj) ditutup-tutupi dari bangsa Indonesia sendiri, merupakan proyek “penaklukan” dari si Buto, yang masih satu garis turunan langsung sejak van Heutsz, Diponegoro, dan pendahulunya yang jauh lebih brutal: Sultan Agung.[19]  Sudah tidak jarang lagi kita dengar dari seorang pejabat tinggi mengatakan tentang betapa “tidak tahu terima kasihnya” orang Timor Timur untuk segala hal baik yang Jakarta telah berikan untuk mereka. Saya yakin benar bahwa tidak ada satupun dari mereka sadar, bahwa yang dilakukan sama saja dengan mendengungkan lagi sikap “nenek moyang penjajah Belanda yang agung” dahulu kala, yang saat itu juga mengeluh tentang betapa “tidak tahu terima kasihnya” para pribumi (Indonesia) atas segala kebaikan dari kolonial Belanda atas rust en orde dan juga opbow (pembangunan!!)[20]   yang telah diberikan untuk mereka. (Untuk merasakan betapa tidak adilnya pernyataan ini, kita boleh membayangkan apakah mungkin akan ada pejabat tinggi yang mengeluh di depan publik perihal tak tahu terima kasihnya orang Jawa atau Sunda terhadap segala kebaikan yang telah dibawakan Orde Baru untuk mereka.) Di timor Timur juga, pikiran orang-orang dipenuhi dengan kesan yang ditangkap dari sikap si Buto: “Ah sayang ya, ada orang Timor Timur yang tinggal di Timor Timur”.

Dari akhir 1970-an hingga akhir 1980-an, Timor Timur merupakan sebuah wilayah yang tertutup tidak hanya untuk orang asing, tapi juga untuk kebanyakan orang Indonesia sendiri –yang harus memiliki izin khusus untuk bisa pergi ke sana. Lalu menjadi wilayah yang “semua boleh masuk”. Kopassus[21]  menjadi garda depan dan pemberi contoh yang pertama dalam segala macam kekejaman tersebut. Pemerkosaan, penyiksaan dan pembunuhan menjadi hal yang “normal”. Dan para “Ninja” juga muncul pertama kali di tempat ini –para preman yang memakai penutup wajah yang bekerja sebagai tangan kiri dari si Buto. Dari waktu ke waktu, “budaya penaklukan” menyebar dan mengakar ke seluruh bagian Indonesia. Kita dapat melihatnya dalam pembunuhan massal yang diarsiteki oleh Soeharto, Murdani, dan Kopassus dalam aksi Petrus pada 1983.[22]  Dari sana, “aksi” tersebut menyebar ke Aceh, Lampung, Irian, dan yang lainnya. Ketika sebuah wilayah yang damai menjadi “bermasalah”, bukan atas kehendak mereka sendiri, namun karena mereka “dibuat jadi masalah” oleh para agen dari si Buto. Mari kita coba pikirkan lebih dalam: Jika kita coba reka jumlah keseluruhan dari orang yang meninggal dengan tidak wajar dalam era Orde Baru –dan kita kesampingkan dulu mereka yang terluka, secara psikologis terguncang, yang jadi yatim piatu, serta yang lainnya,  maka dapat kita buat daftar sebagai berikut: 1965-66, setidaknya 500.000, Timor Timur 200.000; Petrus 7.000; Aceh, mungkin 3.000; Irian, mungkin 7.000. Mendekati seperempat juta orang, yang disangka sebagai bagian dari proyek bersama semua orang. Jika anda benar-benar memikirkan hal ini, maka anda akan paham kenapa saya hanya dapat menggelengkan kepala, tidak percaya dengan tuntutan para “oposisi” dimana Soeharto dan keluarganya di panggil pengadilan atas penilapan begitu banyak uang –mungkin mereka pikir itu sebagai uang “kita”? –dan sebagian besar menutup mata untuk segala kejahatan yang seribu kali jauh lebih buruk: Pembunuhan secara sistematik dan terencana pada skala yang tak pernah dapat dibandingkan lagi dalam sejarah nusantara.

Hak Asasi Manusia Indonesia

Dan sekarang kita menghadapi sebuah fakta yang ironis. Presiden Habibie yang telah dicerca dan disalahkan sebagai penerus dan pion dari Soeharto, Namun justru, disamping memberi kebebasan kepada pers, dan melepaskan sebagian besar tahanan politik, dia memiliki keberanian untuk memutuskan akhir dari proyek “penaklukan” dari mantan atasannya di Timor Timur. Disamping itu, pemimpin “oposisi” yang lain telah cukup menunjukan bahwa, dalam mentalitasnya, mereka masih hidup dalam kegelapan moral dari era Orde  Keropos. Hal yang paling memalukan adalah anak perempuan dari Soekarno –yang telah dikucilkan, dihina, dan secara tidak langsung dipenjara seumur hidup oleh Soeharto, dan nota bene, tak pernah menyatakan bahwa Timor Timur merupakan bagian dari Indonesia –telah secara publik membela proyek “penaklukan” oleh Soeharto. Suatu hal yang sangat disayangkan.Yang dirasakan adalah, mengacu pada ucapanya, yang berbicara bukan lagi Megawati, namun Miniwati. Di bawah sulur-sulur yang rimbun dari pohon beringin hanya tanaman kerdil nan buluk yang dapat tumbuh.[23]

Lalu apa yang harus dilakukan? Kita lihat sekarang bahwa banyak organisasi dan institusi, baik yang lokal maupun asing, maupun yang campuran keduanya, yang mendedikasikan kerjanya untuk “Hak Asasi Manusia” di Indonesia. Memang sudah seharusnya demikian adanya. Namun yang tak kita saksikan adalah mereka yang bekerja untuk Hak Asasi, bukan sebagai manusia pada umumnya, namun  sebagai Manusia Indonesia. Apa yang saya maksudkan di sini adalah hak bagi orang-orang Indonesia, yang ditakdirkan untuk lahir di tanah Indonesia sewaktu menjadi Republik, untuk berpartisipasi secara sukarela, semangat, setara, dan tanpa ketakutan ikut serta dalam proyek bersama Nasionalisme Indonesia. Dengan kata lain, hak mereka untuk tidak diperlakukan sebagai binatang, setan, pelayan, atau hak milik bagi manusia Indonesia yang lainnya. “Hak Asasi Manusia Inonesia” ini hanya dapat diperjuangkan dan disadari oleh manusia Indonesia sendiri.

Jika perjuangan ini tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh dan dalam skala yang luas, maka masa depan dari usaha bersama ini sangatlah gelap. Jika ada yang memulai dengan “Sayang ya, ada orang Aceh yang tinggal di Aceh”, maka dengan mudah akan beralih pada, “Sayang ya, ada orang Katolik di Flores”, “Sayang ya, ada warga Tionghoa yang tinggal di Semarang”, “Sayang ya, ada orang Dayak yang tinggal di Kalimantan”. Secara logis ini akan merambat juga ke: “Sayang ya, ada orang Jawa yang tinggal di Jawa”. Dan yang paling sulit dibayangkan: “Sayang ya, ada orang Jakarta yang tinggal di Jakarta”. Karena di Jakarta itu sendiri, dalam masyarakat kelas menengah dan atas yang banyak berpengaruh, mentalitas “Sayang ya…” ini sangatlah mengakar dalam.

Dalam media massa dan di Internet dapat kita baca mengenai kesepakatan akan adanya reformasi dan sewaktu-waktu bahkan “revolusi”. Hal ini bisa diterima sepanjang istilah ini dimaknai secara sungguh-sungguh dan tidak ada “udang dibalik batu”. Namun sebagai tambahan, saya percaya (dan berharap) akan kebangkitan kembali dari proyek bersama yang telah dicetuskan hampir seratus tahun yang lalu. Usaha yang hebat seperti ini cenderung menghasilkan manusia-manusia yang hebat pula. Dr. Soetomo, Natsir, Tan Malaka, Sjahrir, Yap Thiam Hing, Kartini, Haji Misbach, Sukarno, Sjauw Giok Tjan, Chairil Anwar, Suwarsih Djojopoespito, Sudirman, Roem, Pramoedya Ananta Toer, Hatta, Mas Marco, Hasjim Ansjari, Sudisman, Armijn Pane. Haji Dahlan,[24]  dan masih banyak lagi yang datang pada zaman tersebut. Betapa sedih jika saya bandingkan dengan masa sekarang. Sudah hampir lebih dari sepuluh tahun, saya biasa bertanya kepada pemuda dari Indonesia yang mengunjungi Cornell, atau yang datang belajar ke sini, dengan pertanyaan sederhana: Siapa di Indonesia yang begitu anda kagumi dan hormati sekarang? Reaksi yang lazim terjadi adalah, bingung dengan pertanyaan tersebut, lalu mengaruk-garuk kepala dan akhirnya, baru secara lugas menjawab…. Iwan Fals.[25]  Bukankah ini mengerikan? Saya tak bermaksud bahwa setiap orang harus atau dapat menjadi manusia hebat  tadi. Namun sebaliknya, saya pikir setiap orang dapat memutuskan sendiri untuk menolak menjadi kerdil.

Hidup Rasa Malu!

Bangkitnya kembali kehidupan nasional yang sebenarnya akan membutuhkan perombakan total sistem pemerintahan, terutama ke arah otonomi daerah –bukan etnik-. Hal ini membutuhkan pertumbuhan budaya politik yang sehat dan berlapang dada, dan penghapusan politik yang penuh sadisme dan premanisme. Yang juga dibutuhkan adalah rasa sayang, yang sebenarnya, untuk institusi nasional. Saya berikan satu contoh, yang paling dekat dengan kehendak saya sebagai seorang guru. Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa kualitas universitas di Indonesia sudah begitu menurun, paling tidak semenjak kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus oleh Daud Yusuf yang menggelikan pada akhir 1970. Kita tahu seperti apa lingkaran setannya: Profesor yang terlalu sibuk dengan kerja yang memberikan tambahan penghasilan, proyek-proyek pemerintah, konsultansi-konsultansi, dan sedikit kemungkinan untuk mengajar mahasiswanya secara serius; mahasiswa yang tumbuh bersama dengan budaya mencontek; perpustakaan yang menyedihkan; birokrasi kampus yang korup dan otoriter –dan lain sebagainya. Salah satu alasan yang jarang sekali disebutkan untuk segala macam kemunduran ini adalah kebiasaan antipati untuk segala macam yang berbau dalam negeri dari kaum kelas atas maupun sebagian kelas menengahnya, yang lebih memilih untuk mengirimkan anak mereka ke sekolah-sekolah internasional di Indonesia, atau universitas mahal di luar negeri. Kebiasaan ini membuktikan bahwa, di mata orang-orang ini, universitas-universitas di Indonesia diperuntukan untuk warga “kelas dua”, yang tak memiliki rekening bank yang banyak dan koneksi yang luas. Seperti berujar, siapa yang akan peduli jika mereka hancur? Saya seringkali berharap dapat melarang seluruh akses studi ke luar negeri, kecuali untuk tingkatan MA dan PhD, untuk semua warga Indonesia dalam masa “penyembuhan” untuk sepuluh tahun. Jika para kaum kelas atas harus mengirimkan nak-anaknya ke universitas-universitas di Indonesia, mungkin kondisi universitas-universitas itu akan membaik. Namun, tentu saja, ini hanyalah mimpi di siang bolong.

Di sebuah buku yang baru saja diterbitkan, setengah bercanda saya menyertakan slogan “Hidup Rasa Malu!”. Mengapa? Karena saya pikir bahwa tak ada seorangpun yang mengaku menjadi nasionalis yang utuh jika tidak merasa “malu” jika negaranya atau pemerintahnya sendiri melakukan tindak kejahatan, apalagi jika kejahatan itu dilakukan kepada warganya sendiri. Meskipun secara individu ia tidak melakukan suatu kejahatan, namun sebagai bagian dari proyek bersama, secara moralitas seharusnya ia merasa terlibat pada segala sesuatu yang mengikutsertakan nama dari proyek bersama itu. Selama Perang Vietnam berkecamuk, sebagian besar orang yang menentangnya memulai aksi mereka dari sebuah perasaan malu sebagai seorang warga negara Amerika bahwa “pemerintah mereka” bertanggung jawab untuk pembunuhan keji tiga juta jiwa di Indochina, termasuk wanita dan anak-anak yang tak terhitung jumlahnya. Mereka merasa malu bahwa presiden “mereka” Johnson dan Nixon mengatakan berbagai macam kebohongan kepada dunia dan sesama warga Amerika sendiri. Mereka merasa malu bahwa sejarah negara “mereka” dinodai dengan kekejaman, kebohongan dan pengkhianatan. Jadi mereka melakukan protes, bukan hanya untuk membela Hak Asasi Manusia yang universal, namun juga sebagai warga Amerika yang juga mencintai proyek bersama warga Amerika. Rasa malu secara politik seperti ini sangatlah bagus dan selalu diperlukan.

Jika rasa malu ini dapat ditumbuhkan secara sehat di Indonesia, warga Indonesia akan memiliki keberanian untuk menghadapi ketakutan dari zaman Orde Keropos, bukan sebagai sesuatu yang telah dilakukan oleh orang lain (jadi aku tak perlu peduli-Penj), namun sebagai beban bersama. Ini berarti akhir dari mentalitas yang telah dipupuk selama ini: (pura-pura) Tidak Mendengar Segala yang Jahat, (pura-pura) Tidak Melihat Segala yang Busuk, Tidak Berbicara Buruk mengenai Semuanya (See No Evil, Hear No Evil, Speak No Evil).[26]      




Endnote:
[1] Naskah ini dipresentasikan dalam sebuah kuliah umum di Jakarta, 4 Maret 1999, sesaat sesudah saya diperbolehkan lagi memasuki Indonesia
[2] Mahluk raksasa menyeramkan yang muncul dalam cerita pewayangan –Penj.
[3] Baik Jenderal Nasution, perancang kemiliteran pasca masa Revolusi, dan Jenderal Suharto memulai karir militer mereka di KNIL (het Koninklijke Nederlands-Indische Leger / Tentara Kerajaan Hindia-Belanda –Penj.), tentara perang bentukan Belanda, musuh besar dari gerakan nasionalis. Suharto lalu hengkang bergabung dengan PETA (kyōdo bōei giyûgun –Penj.) tentara pembantu bentukan otoritas Jepang yang beranggotakan masyarakat “pribumi” pada tahun 1943.
[4] Yang lebih terkenal sebagai provinsi Muslim Aceh, terletak di ujung barat-laut dari Sumatra, menandai batas paling barat dari Indonesia. Irian, bagian barat dari Papua Nugini, menandai batas paling timur dari Indonesia. (Saat ini nama Irian Jaya telah diganti menjadi Papua. (Nama Papua digunakan resmi semenjak masa kepresidenan Gus Dur pada 2002. Sebelumnya nama Irian Barat digunakan untuk menandai rezim Soekarno pada 1969, dan Irian Jaya untuk menandai masa rezim Soeharto pada 1973, bertepatan ketika Soeharto meresmikan tambang tembaga dan emas Freeport-Penj).
[5] Ketika rezim kolonial Belanda kembali menguasai Batavia/Jakarta pada Januari 1946, ibu kota Indonesia pada masa revolusi dipindahkan ke kota kerajaan tua Jogjakarta yang terletak di Jawa Tengah.
[6] Daud Beureueh, seorang ulama modernis terkenal pada tahun 1930-an, dulunya seorang gubernur militer Aceh semasa Revolusi, dan juga tokoh kunci dalam pergerakan lokal demi kemerdekaan Indonesia.
[7] Bergelar pendiri Gerakan Aceh Merdeka (GAM), dia memiliki keuntungan sebagai keturunan langsung dari salah satu pahlawan utama dari perjuangan yang begitu pahit nan panjang sejak 1783-1908 melawan serangan militer kerajaan Belanda.
[8] Jendral Ali Murtopo merupakan kepala intelejen politik Soeharto pada masa awal kekuasaan Orde Baru yang terkenal sangat Machiavellian. Aparatur negara inilah yang pada tahun 1963 “menetapkan” PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat) di Irian agar seolah-olah memperlihatkan suara yang bulat untuk berintegrasi dengan Indonesia. Selama masa-masa perundingan akhir untuk pemindahan kedaulatan di akhir 1949, pihak Belanda menolak untuk menyerahkan Irian kepada negara Indonesia yang baru Merdeka. Pada 1962, dengan militer Indonesia dan usaha diplomasi Amerika, memberikan tekanan kepada Den Haag (dimana pusat kekuasaan kerajaan Belanda waktu itu berada –Penj) untuk sementara menempatkan wilayah tersebut dibawah naungan PBB guna menunda finalisasi pengemukaan pendapat penduduk lokal.
[9] PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) merupakan pemerintahan pemberontakan dibentuk pada awal 1958 dengan dukungan kuat dari CIA. Kelompok ini unjuk kekuatan di sebagian Sumatera dan Sulawesi, bertujuan untuk menurunkan sekaligus menggantikan pemerintah yang ada di Jakarta, namun dikalahkan pada tahun 1960. DI (Darul Islam) merupakan kelompok ekstrimis Islam yang mempersenjatai diri mereka, berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Barat pada 1949, dan selanjutnya menyebar ke sebagian Sumatera dan Sulawesi. Gerakan ini belum sempat ditaklukan hingga tahun 1964.
[10] Semenjak akhir 1945 hingga Januari 1948, Kabinet Republik Indonesia didominasi oleh kaum sosialis dan komunis, yang dengan demikian harus mengemban tugas dalam situasi semakin kurang baiknya ”kesepakatan” dengan rezim kolonial Belanda. Dalam bulan tersebut, cabinet yang baru, dipimpin oleh wakil Presiden Hatta, yang tidak mengikutsertakan pihak kiri, mengampu kekuasaan. Tegangan politik antara kaum Konservatif dan kiri semakin cepat meningkat dan memperburuk atmosfir mendung Perang Dingin. Pada September 1948 kondisi ini berujung pada konflik berdarah yang dimulai di kota Madiun, dan selanjutnya memukul habis pihak kiri.
[11] Ketika angkatan bersenjata milik Sekutu, di bawah Louis Mountbatten, mengambil alih kekuasaan Jepang di Indonesia pada September 1945, Belanda, yang baru saja dibebaskan dari kekuasaan Nazi, tidak memiliki kekuatan militer yang memadahi. Den Haag diwalikan untuk lebih dari satu tahun oleh Netherland Indies Civil Administration (NICA) di bawah lindungan militer Inggris.
[12] Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) merupakan organisasi wanita sayap kiri yang perlahan-lahan menjadi bagian dari infrastruktur Partai Komunis.
[13] NU – Nahdlatul Ulama, sebuah organisasi para ulama tradisionalis berdiri sejak pertengahan 1920-an. Abdulrahman Wahid, adalah pemimpin mereka dalam jangka waktu yang cukup lama, merupakan cucu darui pendirinya. Ansor merupakan angkatan muda dari NU yang cukup ditakuti, terutama kuat di daerah pedesaan Jawa Timur.
[14] Megawati, anak perempuan dari Presiden pertama Indonesia Soekarno, merupakan Ketua Umum PDI-Perjuangan. Pada awal 1970-an, Soeharto memaksa seluruh partai non-islam untuk bergabung kedalam Partai Demokrasi Indonesia yang terbelah dari dalam dan korup. Unsur pembentuknya kebanyakan dari PNI (Partai Nasionalis Indonesia) –yang secara berdarah dipisahkan dari anggota sayap kirinya yang begitu banyak- dimana, diketahui sebagai yang paling dekat dengan pandangan politik dari bapaknya.
[15] Jenderal Benny Murdani, tzar intelejen untuk waktu yang lama, dan orang yang paling bertanggungjawab atas peran kejam Indonesia di Timor Timur. Frans Seda, menteri Perkebunan dalam kabinet Soekarno yang terakhir, yang juga merupakan ahli keuangan pada awal rezim Soeharto. Liem Bian-kie dan Harry Tjan Silalahi, dua operator terkemuka pada jaringan intelejen Operasi Khusus (Opsus-penj) Ali Murtopo, memainkan peranan tidak langsung pada matanza (pembunuhan/pembantian-Penj) oleh kaum anti komunis pada 1965-1966.
[16] PSI –Partai Sosialis Indonesia. Partai kecil terdiri dari para intelektual yang berorientasi ke Barat, yang pada pertenganhan 1950-an menyebut dirinya sosialis hanya pada namanya. Sangat berpengaruh dalam tubuh militer dan lingkaran kekuasaan yang lain, dijadikan partai terlarang oleh Soekarno pada awal 1960-an.
[17] Merupakan tindakan pencaplokan wilayah yang lebih kecil oleh sebuah entitas yang jauh lebih besar darinya (negara, korporasi). Dimana tindakan ini sifatnya unilateral/ dilakukan secara sepihak oleh entitas yang lebih besar untuk memperoleh pengakuan internasional. –Penj.
[18] Napalm (naphthenic and palmitic acids) adalah semacam bahan kimia yang biasanya digunakan untuk membuat bom untuk membumihanguskan sebuah teritori tertentu. Karena tujuan utama dari bom napalm adalah untuk membakar maka biasa digunakan militer untuk perang-perang di hutan rimba seperti di Vietnam –Penj.
[19] Jenderal Joannes van Heutsz, salah satu komandan Belanda yang paling sukses dalam Perang Aceh, menjadi Gubernur-Jenderal dari 1904-1909, dan menjaga keutuhan wilayah Hindia Belanda hingga akhir. Sultan Agung (r.1613-1645) hampir sukses meletakkan seluruh pulau Jawa dalam kuasanya, dengan menggunakan cara yang paling zalim sekalipun. Namun akhirnya ia kalah telak oleh United East India Company (EIC –Kongsi dagang Inggris di India dan wilayah sekitarnya –Penj.)
[20] Dua slogan yang tak habis-habisnya didengungkan pada masa kolonial adalah rust en orde (kedamaian dan tatanan) dan opbouw (pembangunan). Secara mirip, rezim Soeharto hanya mengindonesiakan slogan ini menjadi Orde Baru dan pembangunan.
[21] Kopassus (Komando Pasukan Khusus), yang sebagian mengacu model dari Green Berets (Sebutan untuk Pasukan Khusus Amerika Serikat –Penj), merupakan Pasukan elit Indonesia, yang juga sangat terkenal akan kekejamannya.
[22] Pada 1983, ribuan “penjahat kelas teri” dibunuh (kadang dengan cara penyiksaan) oleh personil Kopassus yang memakai pakaian preman. Pasukan pembawa kematian ini, lebih terkenal dengan nama petrus (penembak misterius), akhirnya diakui dengan bangga oleh Soeharto sebagai hasil perintahnya. Kepala operasi mereka adalah seorang Katolik Jenderal Murdani.
[23] Partai Golkar yang bisa dibilang merupakan partai negara pada waktu rezim Soeharto, karena “memenangkan” tiap pemilu yang mempertahankan kekuasaan Soeharto, menggunakan pohon beringin keramat sebagai logonya, mengacu pada kepercayaan orang Jawa akan kekuatan magis yang dimiliki sebagai tempat tinggal bagi roh-roh pelindung. Namun seperti yang oleh para aktivis anti-rezim ketahui, sulur-sulur yang begitu rimbun menggantung membuat segala macam tetumbuhan sangat susah tumbuh dibawahnya –selain lumut (politik), parasit (politik), jamur (politik) dan lain sebagainya.
[24] Daftar ini termasuk komunis, sosialis, Muslim, kelas menengah nasionalis sekuler, Tionghoa, perempuan, penyair dan penulis novel, pengacara Hak Asasi Manusia, dan pekerja Sosial.
[25] Iwan Fals merupakan nama panggung dari penyanyi folk-rock terkenal di kalangan pemuda dan pelajar. Tema-tema yang dibawakannya seputar kritik-kritik sosial.
[26] Ungkapan ini mengacu pada sikap yang dilakukan oleh tiga kera bijak yang terdapat patungnya di kuil Nikko Toshogo di Jepang sejak abad ke-17. Adapun ketiga kera itu digambarkan satu menutup matanya, satu menutup telinganya dan yang terakhir menutup mulutnya. Banyak intepretasi mengenai ajaran yang dibawa dari China dan menjadi salah satu ajaran aliran Zen di Jepang ini. Ada yang menganggap bahwa ini sebagai sembol penarikan diri dari urusan duniawi oleh para biksu yang menganut ajaran Budha, namun juga dapat diartikan sebagai sikap tidak peduli dengan situasi yang ada di sekitar –Penj.


"Akhir Tahun ini Berlaku Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015: ‘Siapkah atau Tepatkah?’"

Pada Pertemuan Menteri Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Ministers/AEM) ke-39 tahun 2007 telah disepakati mengenai naskah Cetak Biru Komunitas Ekonomi ASEAN beserta jadwal stategis yang mencakup inisiatif-inisiatif baru serta peta jalan yang jelas untuk mencapai pembentukan AEC tahun 2015. Cetak Biru Komunitas Ekonomi ASEAN kemudian disahkan pada Rangkaian Pertemuan KTT ke-13 ASEAN. Cetak Biru ini bertujuan untuk menjadikan kawasan ASEAN lebih stabil, sejahtera dan sangat kompetitif, memungkinkan bebasnya lalu lintas barang, jasa, investasi dan aliran modal. Selain itu, juga akan diupayakan kesetaraan pembangunan ekonomi dan pengurangan kemiskinan serta kesenjangan sosial ekonomi pada tahun 2015. Cetak Biru Komunitas Ekonomi ASEAN merupakan rancang utama (masterplan) untuk membentuk Komunitas ASEAN tahun 2015 dengan mengidentifikasi langkah-langkah integrasi ekonomi yang akan ditempuh melalui implementasi berbagai komitmen yang rinci dengan sasaran dan jangka waktu yang jelas.

Kementerian Luar Negeri RI menyebutkan bahwa arti penting dan peluang komunitas ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community - AEC) dapat dilihat dari empat pilar-nya, yaitu: (a) Pasar Tunggal dan Basis Produksi, bertujuan menghapus atau mengurangi hambatan di bidang perdagangan barang, jasa, investasi dan modal di seluruh 10 (sepuluh) negara anggota ASEAN; (b) Memajukan Kawasan Ekonomi Berdaya Saing Tinggi melalui berbagai kesepakatan dalam bidang Hak Kekayaan Intelektual (HAKI), Peraturan Kebijakan Persaingan (Competition Law Policy) yang sehat dan adil, dan pembangunan infrastruktur; (c) Mencapai Pembangunan Ekonomi yang Merata (Equitable Economic Development) dengan mendorong pembangunan di Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam (CLMV) melalui implementasi program di bawah Initiatives on ASEAN Integration (IAI), dan pengembangan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di seluruh Negara ASEAN; (d) Mendukung Integrasi ASEAN ke dalam Ekonomi Global. (lihat Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN (2009), Cetak Biru Komunitas Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community Blueprint), Departemen Luar Negeri RI; dan Iwan Suyudhie Amri (2013), Komunitas Ekonomi ASEAN 2015,” dalam Konsepsi MEA Pasca 2015 dan Industri Konstruksi, Kemeterian Pekerjaan Umum).

Tentu saja sesungguhnya ada banyak pro dan kontra mengenai kebijakan ini, baik di kalangan analis, akademisi, pengamat, aktivis, dan bahkan pejabat pemerintahan sendiri. Sebagai contoh, pada 23 Februari 2015 lalu, Harian KONTAN yang mengutip ANTARA menulis bahwa Menteri Perdagangan Rachmat Gobel mengkhawatirkan kesiapan Indonesia dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN pada akhir 2015 mendatang, di mana akan tercipta integrasi 10 negara Asia Tenggara dalam suatu kawasan ekonomi eksklusif pada akhir tahun 2015 ini. Menurutnya banyak sekali pihak yang belum mempunyai pemikiran sama, sehingga menurutnya Indonesia belum siap terlibat dalam MEA. Menurutnya Indonesia hanya akan dijadikan pasar karena kita belum mampu mengelola sumberdaya sumber daya dalam negeri secara baik. Kecuali dengan Filipina, transaksi perdagangan Indonesia dengan 9 negara ASEAN lainnya masih defisit (lihat “Mendag khawatir kesiapan Indonesia hadapi MEA,” , http://nasional.kontan.co.id/news/mendag-khawatir-kesiapan-indonesia-hadapi-mea).

Kekhawatiran Menteri Perdagangan tadi dapat dipahami, karena sesungguhnya ada beberapa dampak dari konsekuensi MEA adalah bebasnya aliran barang, jasa, investasi, tenaga kerja kerja terampil dan modal. Sementara hambatannya juga tidak sedikit, antara lain: (a) Mutu pendidikan masih rendah; (b) Ketersediaan dan kualitas infrastruktur masih kurang sehingga mempengaruhi kelancaran arus barang dan jasa; (c) Sektor industri rapuh karena ketergantungan impor bahan baku dan setengah jadi; (d) Keterbatasan pasokan energy; (e) Lemahnya Indonesia menghadapi serbuan impor (lihat “Pahami Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015,” http://nationalgeographic.co.id/berita/2014/12/pahami-masyarakat-ekonomi-asean-mea-2015)

Belum lama ini saya berkesempatan membaca buku karya Doni Mantra berkaitan dengan isu MEA 2015 ini. Doni berada pada posisi menolak kebijakan tersebut. Berbekal pendekatan Gramscian-Foucauldian yang dikembangkan oleh Richard Peet sebagai pisau analisis, Doni menganalisis proses hegemoni dalam diskursus tentang MEA ini. Ada beberapa kesimpulan yang menurut saya cukup menarik sebagai penyeimbang dari berbagai pandangan yang umumnya berkisar pada “siap atau tidaknya” Indonesia terlibat MEA. Doni mengingatkan tentang tetap perlunya ada diskursus “tepat atau tidaknya” paradigma ekonomi pasar bebas seperti yang terjadi saat ini.

Saya hanya menulis ulang bagian kesimpulan saja. Ada baiknya membeli dan membaca buku ini sendiri nanti selengkapnya ya…

-----


Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme:
Menelusuri Langkah Indonesia Menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015

Dalam buku ini, analisis Doni Mantra (Penulis buku ini) berangkat dari sebuah posisi analitis yang menilai bahwa perekonomian Indonesia berada dalam kondisi yang tidak siap untuk dapat bertahan dan mengantisipasi dampak negatif dari agenda neoliberal Masyarakat Ekonomi ASEAN yang akan diwujudkan di tahun 2015.

Penulis buku ini menggambarkan kondisi riil ketidaksiapan ekonomi Indonesia dalam menghadapi agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN, sebagai suatu proses integrasi regional yang berlandaskan pada prinsip neoliberalisme. Menurutnya, sebagai bagian dari gelombang kedua regionalisme di dunia, proses integrasi Masyarakat Ekonomi ASEAN dijalankan berdasarkan pada penerapan prinsip-prinsip neoliberalisme di dalam ekonomi. Hal ini dapat diamati dari Cetak Biru Masyarakat Ekonomi ASEAN yang menekankan pada upaya untuk menghilangkan hambatan-hambatan bagi aktivitas ekonomi.

Dari hasil telaah komparatif historis, Penulis buku ini mengungkapkan bahwa kesiapan ekonomi secara substansif dan riil merupakan suatu syarat yang mutlak bagi suatu negara untuk dapat mengantisipasi dampak negative dan bertahan dari implementasi kebijakan-kebijakan ekonomi berbasis neoliberalisme. Sementara, menurutnya, neoliberalisme merupakan sebuah paradigma yang mengandung kecacatan melekat di dalamnya, sebuah paradigma yang benar-benar tidak memihak kepada kepentingan rakyat. Penulis menyayangkan bahwa pada kenyataannya pemerintah Indonesia dengan semangat dan komitmen yang sangat besar telah mengikatkan diri kepada suatu agenda yang sangat neoliberal, yakni pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN di tahun 2015. Dalam hal ini Penulis berada pada posisi tidak menginginkan dan menolak dengan tegas neoliberalisme dijadikan sebagai landasan kebijakan ekonomi pemerintah Indonesia.

Menurut Penulis buku ini, jika memang pemerintah telah memutuskan untuk bermain dalam arena neoliberal ini, seharusnya dalam tataran ideal komitmen dan semangat yang sangat besar harus diejawantahkan dalam langkah-langkah persiapan yang berarti dalam dimensi substantif dan riil. Dalam suatu kondisi ekonomi yang tidak siap, menyimak proses liberalisasi di negara-negara berkembang, implementasi beragam prinsip neoliberal yang selama ini diterapkan justru akan membawa keterpurukan ekonomi yang lebih mendalam. Dengan demikian, dalam menghadapi agenda neoliberal Masyarakat Ekonomi ASEAN, suatu upaya penyiapan ekonomi untuk meningkatkan daya saing dan kinerja perekonomian adalah suatu hal yang mutlak harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia jika tidak ingin menjadi pihak yang kalah dalam era kompetisi pasar bebas.

Akan tetapi, berdasarkan telaah empiris dan komparatif yang dilakukan Penulis buku ini, justru memperlihatkan suatu kondisi di mana langkah-langkah yang ditempuh pemerintah Indonesia selama periode 2003-2008, tidak memiliki arti yang besar dalam meningkatkan kinerja dan daya saing riil perekonomian Indonesia. Penulis meyakini bahwa terbukti selama periode tersebut, dalam beberapa sektor yang sangat penting, seperti industri manufaktur, kualitas sumber daya manusia, ketrampilan dan
tingkat pendidikan tenaga kerja, pariwisata dan iklim investasi, Indonesia masih jauh tertinggal, terutama jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya, seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, Brunei Darussalam. Bahkan dalam beberapa aspek tertentu, Penulis berpendapat bahwa Vietnam sebagai anggota baru dari ASEAN telah berada pada posisi yang lebih maju dibandingkan dengan Indonesia.

Penulis berpendapat bahwa sebuah permasalahan besar muncul sebagai imbas dari tidak berartinya langkah-langkah yang ditempuh pemerintah Indonesia dalam mempersiapkan diri menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN. Pada tataran yang ideal, seharusnya komitmen pemerintah yang sangat kuat terhadap agenda integrasi ekonomi berbasis neoliberal ini diiringi dengan langkah-langkah yang bersifat substantif untuk meningkatkan daya saing dan kinerja perekonomian Indonesia. Upaya untuk menjelaskan realitas yang kontradiktif dalam wujud tidak berartinya langkah pemerintah Indonesia dalam mempersiapkan perekonomian, kemudian persoalan utama yang dianalisis dalam buku ini.

Doni Matra menggunakan pendekatan Gramscian-Foucauldian yang dikembangkan oleh Richard Peet dalam melakukan analisis dalam buku ini, dan mendapatkan beberapa temuan yang menurutnya dapat memberikan jawaban terhadap permasalahan tersebut.

(   (1) Perjuangan hegemoni yang dilakukan oleh komunitas epistemis liberal di Indonesia telah berhasil menanamkan suatu visi ideologis neoliberal dalam formasi kebijakan ekonomi Indonesia. Penulis berpendapat, bahwa bersama dengan berjalannya program pemulihan ekonomi IMF di Indonesia, komunitas ini menjalankan perjuangan hegemoni dengan menyebarkan gagasan-gagasan atau visi neoliberalisme melalui mekanisme yang bersifat konsensual. Keberadaan para anggota dari komunitas epistemis liberal Indonesia ini, yang memiliki status dan reputasi kepakaran atau keahlian di bidang ekonomi, menjadikan upaya penyebaran gagasan/visi neoliberal sebagai landasan dalam formasi kebijakan ekonomi Indonesia dapat dijalankan secara efektif. Menurutnya telah terjadi suatu kolaborasi apik antara gerakan penyebaran gagasan dalam ranah institusi sipil dan injeksi anggota komunitas epistemis liberal ke dalam tubuh pemerintahan. Hasilnya adalah terciptanya suatu keyakinan konsensual terhadap asumsi-asumsi neoliberal dalam formasi kebijakan ekonomi pemerintah Indonesia. Ketika neoliberalisme telah menjadi sebuah perspektif yang diyakini kebenarannya, akan tercipta suatu wujud keyakinan fundamental akan manfaat dari penerapan perspektif ini, khususnya di dalam agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN. Pada suatu titik ketika keyakinan fundamental telah tercipta, maka dalam kondisi apapun perekonomian Indonesia pasti atau niscaya manfaat atau keuntungan dari agenda integrasi regional berbasis neoliberal ini akan didapatkan. Posisi hegemoni neoliberal dalam formasi kebijakan ekonomi inilah yang kemudian mempengaruhi minimnya langkah-langkah yang ditempuh pemerintah Indonesia selama periode 2003-2008 untuk mempersiapkan perekonomian dalam rangka menghadapi terwujudnya Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015.

    (2) Telah terjadi praktik diskursif yang dijalankan oleh subyek-subyek yang memiliki modalitas enunsiatif untuk menjadikan neoliberalisme sebagai perspektif yang absah dalam formasi kebijakan ekonomi Indonesia.  Mnurut Penulis buku ini, praktik diskursif mewujud ke dalam pernyataan-pernyataan dari para ahli atau subyek yang memiliki modalitas enunsiatif. Akan tetapi, praktik diskursif tidak bermakna sebagai pernyataan semata. Praktik diskursif merupakan pernyataan-pernyataan yang memiliki kekuatan konstitutif, dalam bahasa Foucault disebut sebagai “berbicara adalah berbuat.” Penulis memfokuskan penelusuran terhadap praktik diskursif neoliberalisme di Indonesia pada pernyataan-pernyataan dari tiga subyek yang memiliki modalitas enunsiatif, yaitu Mari Elka Pangestu, Boediono dan Sri Mulyani, yang tersebar di beberapa media cetak dan elektronik selama periode 2004-2010. Menurutnya, praktik diskursif yang dijalankan oleh ketiga subyek tersebut mewujud ke dalam pernyataan-pernyataan yang memiliki makna optimisme, keyakinan akan manfaat positif bagi perekonomian Indonesia dan langkah-langkah kesiapan teknis yang ditempuh pemerintah Indonesia dalam menghadapi agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN. Praktik diskursif yang lahir di dalam suatu formasi diskursif ekonomi yang didominasi oleh neoliberalisme ini, telah berhasil menjadikan perspektif tersebut berada dalam posisi yang absah yang menjadi panduan bagi elaborasi teoritis dan konseptual sebagai landasan pembuatan kebijakan ekonomi. Dengan demikian, melalui praktik diskursif neoliberal ini, wacana Masyarakat Ekonomi ASEAN dimaknai dalam demarkasi atau batasan-batasan neoliberal dalam suatu formasi diskursif ekonomi, yaitu dalam bentuk sikap, pemikiran dan ekspresi optimis, keyakinan akan manfaat dan komitmen dalam implementasi langkah-langkah persiapan teknis sesuai dengan cetak biru yang telah disepakati. Akibatnya, langkah-langkah persiapan ekonomi lebih ditekankan pada persoalan yang bersifat teknis, bukan langkah-langkah yang secara substantif dapat meningkatkan kinerja dan daya saing ekonomi nasional. Selain itu, Penulis menyimpulkan bahwa praktik diskursif neoliberalisme di Indonesia selama ini telah dijalankan secara sistematis dan institusional, yaitu melalui pernyataan-pernyataan resmi lembaga-lembaga pemerintah terkait dengan sikap optimisme, keyakinan akan manfaat dan langkah persiapan teknis menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN.

(3) Kedalaman hegemoni dalam formasi diskursif telah melahirkan pembatasan pemikiran dan ekspresi dalam tiga bentuk, yaitu praktikalitas, inevitabilitas dan optimalitas. Penulis menemukan, bahwa berdasarkan telaah terhadap praktik diskursif yang digulirkan oleh tiga subyek dengan modalitas enunsiatif tersebut, tercermin ketiga pembatasan pemikiran dan ekspresi yang lahir dari kedalaman hegemoni dalam formasi diskursif. Penulis menangkap kecenderungan bahwa dalam konteks praktikalitas, terlihat suatu sikap keengganan untuk membicarakan persoalan siap atau tidak siapnya kondisi perekonomian Indonesia dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN. Selain itu, pembatasan pemikiran dan ekspresi juga lebih ditekankan kepada persoalan membangun kepercayaan diri dalam proses menuju integrasi ekonomi ini, pembicaraan mengenai ketidaksiapan justru menjadi suatu hal yang ditakutkan. Bahkan Penulis melihat adanya kecenderungan adanya pandangan bahwa proses liberalisasi perdagangan ini sebagai sesuatu yang tidak terhindarkan. Siap atau tidak siap, liberalisasi pasti akan terjadi sebagai sesuatu yang niscaya. Penulis melihat adanya replikasi dari pola yang sama dengan model reproduksi pembatasan ekspresi dan pemikiran di tahun 1980-an ketika neoliberalisme dikampanyekan di tingkat internasional melalui Konsensus Washington, dengan slogan yang sangat terkemuka, There is No Alternative (TINA).

(4) Kekaburan paradigma dan arah kebijakan pembangunan nasional yang mempengaruhi minimnya langkah persiapan pemerintah Indonesia menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Penulis berpendapat bahwa perjuangan hegemoni dan praktik diskursif neoliberal di Indonesia telah menyebabkan terjadinya distorsi terhadap landasan paradigma dalam menentukan arah pembangunan ekonomi Indonesia. Menurutnya, meskipun secara konstitusional negara telah diberikan peranan yang besar dalam pembangunan di negeri ini, namun kampanye gagasan neoliberal telah berhasil mengikis peranan penting negara dan menegakkan supremasi mekanisme pasar bebas dalam pembangunan ekonomi. Akibatnya, paradigma yang menjadi landasan pembangunan di Indonesia menjadi kabur, dan telah menyebabkan terjadinya pelemahan terhadap kapasitas negara dalam menjalankan dua fungsinya, yaitu fungsi keamanan dan fungsi kesejahteraan. Langkah-langkah substantif yang ditempuh pemerintah untuk meningkatkan kinerja dan daya saing perekonomian nasional menjadi sangat minim, dikarenakan kapasitas yang terus tergerus oleh implementasi neoliberalisme dalam wujud kesepakatan perdagangan bebas. Kebijakan-kebijakan yang ditempuh oleh lembaga-lembaga pemerintah menjadi parsial, tidak terintegrasi, bahkan saling bertentangan satu sama lain.

Penulis buku ini juga tidak lupa mengingatkan bahwa upaya perlawanan terhadap hegemoni (counter-hegemony) neoliberalisme ini harus terus digulirkan oleh gerakan-gerakan masyarakat sipil. Penulis menganjurkan agar gerakan-gerakan sosial yang terdiri kelompok-kelompok yang tidak terjebak dalam ilusi pasar bebas dan liberalisasi perdagangan harus terus melakukan upaya dekonstruksi, suatu upaya untuk meruntuhkan neoliberalisme dari posisi hegemoninya dalam formasi kebijakan ekonomi pemerintah Indonesia. Kapasitas negara dalam menjalankan dua fungsi dasarnya (fungsi keamanan dan fungsi kesejahteraan) harus ditingkatkan.

Penulis berpandangan bahwa keberhasilan gerakan sosial untuk melakukan counter hegemony, dengan demikian dapat membebaskan pemerintah Indonesia dari hegemoni neoliberalisme. Karenanya berbagai kebijakan-kebijakan yang membawa dampak negatif terhadap perekonomian rakyat dan melemahkan negara dalam menjalankan fungsi dasarnya harus ditinjau ulang di bawah paradigma memihak kepada rakyat, atau bahkan dapat dilakukan moratorium (penundaan) atau bahkan penghentian segala bentuk liberalisasi ekonomi yang telah merugikan rakyat. Dalam hal ini, Penulis meyakini bahwa sebuah paradigma pembangunan yang benar-benar memihak kepada kepentingan rakyat harus ditegakkan sebagai landasan dari kebijakan ekonomi, sehingga cita-cita kemerdekaan untuk mewujudkan bangsa yang cerdas dan sejahtera dapat benar-benar terwujud di negeri ini.

-------------------------
Sumber: Dodi Mantra (2011). Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme: Menelusuri Langkah Indonesia Menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Mantra Press. Jakarta.

Penulis: Dodi Mantra (lahir di Palembang tahun 1982) adalah dosen pada Program Studi Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Al Azhar Indonesia. Anggota dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) dan Asosiasi Ilmu Hubungan Internasional Indonesia (AIHI).