Baca

Baca

Kamis, 09 April 2015

"Wicked Problems dan Upaya Mengatasinya"




Oleh: Candra Kusuma

Di tulisan sebelumnya telah diulas mengenai latar belakang dan pengertian wicked problems (lihat “Wicked Problems: Upaya Mengenali Masalah-masalah Besar dan Kompleks”). Di bagian ini akan dibahas pandangan para ahli mengenai upaya mengatasi wicked problem tersebut.

Balint (2011:31) memetakan kondisi yang berbhubungan dengan wicked problems dengan mengacu pada uraian Rittel dan Webber (1973):


Namun, tentu saja orang berbeda dengan cara pandang terhadap dunia, nilai-nilai, pengetahuan dan pengalaman yang berbeda akan memilih masalah dan cara pemecahan masalah yang berbeda pula (Spratt, 2011:3). Demikian pula respon terhadap wicked problems, di mana preferensi pribadi, latar belakang, pengalaman pendidikan, dan afiliasi organisasi yang berbeda akan membentuk cara setiap orang dalam mendefinsikan, menarik hubungan sebab-akibat, dan menawarkan solusi atas wicked problems (Roberts, 2000:13).

Roberts melihat pentingnya metode lain yang juga diperlukan dalam mengatasi wicked problems, yaitu: otoritatif dan kompetitif. Menurut Roberts, pendekatan otoritatif dapat berguna untuk mengatasi wicked problem ketika kekuasaan untuk memilih definisi yang sesuai dari wicked problem dan solusinya terletak di tangan beberapa orang, atau dapat diberikan kepada kelompok atau badan yang dapat mengambil tindakan. Unsur penting dalam pendekatan ini adalah bahwa para pemangku kepentingan terkait dengan dan/atau dipengaruhi oleh masalah setuju untuk mengijinkan sekelompok orang untuk mengelola wicked problem tersebut (Komisi Pelayanan Publik - Pemerintah Australia, 2007). Sementara dalam hal pendekatan kompetitif/persaingan, Roberts melihat pendekatan ini berguna ketika kekuasaan (power) tersebar dan diperebutkan. Dipandang perlu diciptakan situasi menang-kalah (a win-lose situation). Pendekatan ini bermanfaat karena dapat mendorong inovasi dan penciptaan ide-ide baru dapat terjadi, serta penggunaan potensi sumber daya yang efisien dalam menangani masalah.

Selain itu, Roberts juga berpendapat bahwa pendekatan kolaboratif dapat berguna dalam wicked problem ketika ada kondisi di mana kekuasaan (power) tersebar tapi tidak diperebutkan diantara para pihak (power-holder) yang terlibat dalam upaya mengatasi maslaah tersebut. Pendekatan kolaboratif Roberts mengambil perspektif menang-menang (win-win perspective) dan berbagai pemangku kepentingan yang terlibat dalam bersama-sama memilih definisi potensial dan solusi untuk wicked problems. Untuk masalah pembangunan, power sering diperebutkan, namun pendekatan kolaboratif menawarkan pendekatan peningkatan persaingan dalam bekerja, namun pada saat yang sama melindungi mereka yang kurang mampu menggunakan kekuasaan mereka untuk memperoleh sumber daya yang mereka butuhkan.

Dalam hal ini, Head dan Alford (2008:5) mengingatkan bahwa bahwa upaya untuk mengatasi wicked problems seringkali justru memunculkan konsekuensi yang tak terduga, karena baik ketidakstabilan masalah atau pemilihan metode yang tidak tepat, seperti jika mengandalkan otoritas top-down yang hanya akan menyentuh masalah permukaan dan tidak menyelesaikan akar masalahnya. Karena, menurut Ritchey (2011:20), wicked problems adalah kompleks dan memerlukan perencanaan dan kebijakan masalah sosial dan organisasi dalam jangka panjang.

Ada banyak pendapat mengenai bagaimana cara menangani –dan jika dapat menyelesaikan-- wicked problems ini. Camillus (2008:4-7) berpendapat bahwa strategi yang perlu dikembangkan adalah dengan cara: (a) Melibatkan pemangku kepentingan, pendapat dokumen, dan berkomunikasi; (b) Tentukan identitas perusahaan; (c) Fokus pada tindakan; (d) Mengadopsi orientasi "feed-forward". Sementara Fien dan Wilson (2014) mengembangkan gagasan dari Grint (2008) yang membedakan tiga jenis masalah dan dengan strategi pemecahannya masing-masing, yaitu: (a) Critical problem, yang diatasi dengan komando; (b) tame problem, yang dapat diatasi dengan manajemen; dan (c) Wicked problem, yang diatasi dengan kepemimpinan (leadership), yang didalamnya terkadung unsure kolaborasi, karakter dan komitmen (continuity of commitment).

Penulis lain, Roberts (2000) mengusulkan tiga cara mengatasi wicked problems, yakni: (a) Otoritatif; (b) Kompetitif; dan (c) Kolaboratif. Menurutnya, efektivitas dari semua upaya menangani wicked problem akan tergantung pada tingkat keruwetan masalah, jumlah pemangku kepentingan, dan bagaimana kekuasaan didistribusikan di antara mereka. Secara umum, semakin besar jumlah pemangku kepentingan, dan seimbang kekuasaan dan pengambilan keputusan didistribusikan, model kolaboratif adalah yang paling tepat untuk mengatasi wicked problem  tersebut.

Conklin (2005; yang dikutip Spratt, 2011:7) berpendapat bahwa untuk mengatasi wicked problem diperlukan pendekatan belajar-tindakan (action-learning approach). “Wicked problems demand an opportunity-driven approach; they require making decisions, doing experiments, launching pilot programs, testing prototypes, and so on. Study alone leads to more study, and results in the condition known as ‘analysis paralysis,’… we can’t take action until we have more information, but we can’t get more information until someone takes action” (Conklin, 2005:10). Dengan kata lain, upaya menangani wicked problem melibatkan proses uji coba, di mana ada siklus “tindakan-informasi-tindakan” didalamnya.

Contoh dari pendekatan dan kebijakan dalam upaya mengatasi wicked problem diantaranya dapat dilihat pada pengalaman Pemerintah Australia (2007:35-36). Dari kacamata pemerintah atau lembaga publik, mereka memandang upaya menangani wicked problems harus dilihat lebih sebagai seni (art) dan bukan persoalan teknis semata. Karenanya setidaknya dibutuhkan beberapa pendekatan berikut:
  1. Holistik, tidak berpikir parsial atau linier. Hal ini berkaitan dengan kemampuan berpikir untuk menangkap gambaran besar, termasuk hubungan timbal balik antara berbagai faktor penyebab yang mendasari wicked problem.  Hal ini diperlukan untuk dapat memahami kompleksitas, interkoneksi dan ketidakpastian.
  2. Pendekatan inovatif dan fleksibel. Caranya antara lain dengan: meninvestasika sumber daya dalam inovasi seperti pengembangan R & D di sektor swasta; mengaburkan perbedaan antara pengembangan kebijakan dan pelaksanaan program; dan berfokus pada menciptakan organisasi belajar;
  3. Kemampuan untuk bekerja melintasi batas-batas institusi. Wicked problem melampaui kapasitas satu organisasi untuk dapat memahami, menanggapi, dan menangani mereka. Kerjasama antar institusi termasuk pelibatan masyarakat dan sektor swasta menjadi penting;
  4. Meningkatkan pemahaman dan merangsang perdebatan tentang penerapan kerangka akuntabilitas. Kerangka akuntabilitas diperlukan untuk mempertahankan tingkat akuntabilitas yang dapat diterima, dan meminimalkan sebanyak mungkin hambatan untuk inovasi dan kolaborasi;
  5. Efektif melibatkan para pemangku kepentingan dan masyarakat dalam memahami masalah dan mengidentifikasi solusi yang mungkin. Jika resolusi wicked problem membutuhkan perubahan dalam cara orang berperilaku, perubahan ini tidak dapat mudah dikenakan pada orang-orang. Perubahan perilaku yang lebih kondusif untuk berubah jika masalah dipahami, dibahas dan dimiliki secara luas oleh orang yang perilakunya menjadi sasaran untuk perubahan;
  6. Perlunya keterampilan inti tambahan. Pendekatan tim multi-disiplin adalah cara praktis untuk mengumpulkan semua keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan untuk mengatasi wicked problem;
  7. Pemahaman yang lebih baik tentang perubahan perilaku oleh para pembuat kebijakan. Alat kebijakan tradisional seperti undang-undang, hukuman dan peraturan, pajak dan subsidi umumnya akan membentuk bagian inti dari strategi keseluruhan untuk mencapai luas, perubahan perilaku yang berkelanjutan. Namun, efektivitas mereka dapat menjadi terbatas tanpa beberapa alat tambahan dan pemahaman tentang bagaimana melibatkan masyarakat dalam perubahan perilaku kooperatif tersebut;
  8. Fokus dan/atau strategi yang komprehensif. Upaya mengatasi wicked problem membutuhkan respon yang terkoordinasi dan memerlukan upaya berkelanjutan dan/atau sumber daya untuk membuat kemajuan;
  9. Mentoleransi ketidakpastian dan menerima kebutuhan untuk fokus jangka panjang. Keberhasian mengatasi masalah jahat membutuhkan penerimaan luas dan pemahaman, termasuk dari pemerintahan, bahwa tidak ada perbaikan cepat dan bahwa tingkat ketidakpastian atas solusi untuk wicked problem juga perlu ditoleransi. Upaya mengatasi masalah tersebut membutuhkan waktu dan sumber daya dan mengadopsi pendekatan inovatif dapat mengakibatkan kegagalan, atau kebutuhan untuk perubahan kebijakan atau penyesuaian.
Head dan Alford (2008:15-21) menawarkan metode tambahan dari apa yang dikonsepsikan oleh Pemerintah Australia (2007) tadi, yaitu:
  1. Fokus pada outcomes/systems thinking. Dianggap perlu untuk keluar dari cara berpikir lama yang fokus pada input, proses atau output. Dengan metode systems thinking mendorong cara berpikir yang memerlukan pertimbangan tidak hanya dari hasil tetapi juga dari seluruh rantai, atau lebih tepatnya jaringan ('web'), input, proses dan output yang tidak hanya melibatkan apa yang ada dan terjadi di internal institusi namun juga proses tambahan atau paralel yang terjadi di luar organisasi, dalam organisasi lain atau dalam masyarakat yang lebih luas. Tujuannya adalah untuk mencari, dalam cara yang relatif komprehensif, faktor-faktor yang dapat berkontribusi pada sifat dari masalah yang jahat, atau memberikan kontribusi alternatif untuk yang sedang dibahas.
  2. Kolaborasi dan koordinasi. Kerja kolaboratif terjadi antara berbagai jenis mitra dan memiliki bnayak bentuk (Kickert et al 1997; Wondolleck & Yaffee 2000; Mandell 2001; Agranoff dan McGuire 2003; Goldsmith & Eggers 2004; Imperial 2004). Kolaborasi dapat terjadi antara dua atau lebih organisasi pemerintah (dalam level pemerintaha yang sama atau berbeda), atau antara organisasi pemerintah dan perusahaan swasta dan/atau organisasi/komunitas/non-profit/sukarela. Hubungan kolaboratif dapat meningkatkan pemahaman dan kemampuan dalam mengatasi wicked problems karena ada gabungan pengetahuan diantara para pihak yang terlibat, yang dapat terjadi dalam tiga cara, yaitu: (a) Adanya jaringan kerjasama dapat meningkatkan pemahaman yang lebih baik akan sifat masalah (nature of the problem) dan penyebabnya, karena keterlibatan para pihak yang luas dapat memberikan beragam wawasan mengenai masalah tersebut; (b) Kerja sama meningkatkan kemungkinan bahwa solusi sementara untuk masalah ini dapat ditemukan dan disepakati, bukan hanya karena jaringan yang lebih luas menawarkan wawasan lebih banyak, tetapi juga karena lebih besar kerjasama meningkatkan kemungkinan pihak yang beragam (yang mungkin memiliki kepentingan berbeda mengenai masalah tersebut) dapat sampai pada pemahaman yang sama tentang apa yang harus dilakukan; (c) Memfasilitasi implementasi solusi, bukan hanya karena pihak lebih mungkin untuk menyepakati langkah-langkah selanjutnya, tetapi juga karena memungkinkan saling penyesuaian antara mereka karena ada kemungkinan muncul masalah lain ketika coba mengimplementasikan gagasan solusi dalam praktek.
Xiang (2013: 2) menyimpulkan bahwa wicked problem pada dasarnya adalah "ekspresi nilai-nilai dan kepentingan yang beragam dan bertentangan" (Norton, 2012, hal 450), dan berurusan dengan mereka pada dasanya bersifat sosial, sehingga tidak dapat dijawab dengan cara ilmiah yang konvensional  (Conklin & Weil, 2007). Menurut Xiang, strategi parsial dan linier tidak akan dapat menyelesaian wicked problem. Karenanya dibutuhkan pendekatan yang berorientasi holistik dan proses yang sifatnya “Adaptif, Partisipatif, dan Transdisipliner” (APT). Dalam pendekatan ATP, wicked problem akan ditelaah secara keseluruhan menggunakan lensa panorama sosial (dan bukan dengan miskroskop ilmiah), melalui proses yang terbuka dan heuristik dari proses pembelajaran kolektif, eksplorasi, dan eksperimen. Selain itu pendekatan APT dipandang mampu membina perilaku kolaboratif, mengurangi konflik, membangun kepercayaan di antara semua pemangku kepentingan dan masyarakat yang terlibat, dan akhirnya memberikan hasil yang lebih baik dan lebih memuaskan.

Sementara itu, Ramalingam, Laric dan Primrose (2014:11) berpendapat bahwa ada kesenjangan kompleksitas (complexity gap) di berbagai sektor dan konteks, baik yang berkaitan dengan kajian ilmiah maupun siklus kebijakan. Adopsi dan adaptasi dari berbagai disiplin ilmu berbeda coba diterapkan dalam upaya mengatasi wicked problems dalam kehidupan nyata.

Dari uraian di atas ada beberapa hal penting yang dapat ditangkap. Bahwa wicked problem adalah masalah yang sangat komplek, yang perlu dicermati secara holistik, direspon dengan kebijakan multi institusional dan melibatkan para pihak, yang dalam prosesnya melibatkan uji coba dalam siklus “tindakan-informasi-tindakan” yang panjang, dan selama proses tersebut dibutuhkan kajian/penelitian yang komprehensif (bukan mono-disipliner). Perdebatan selanjutnya adalah apakah wicked problem ini membutuhkan pendekatan multi, inter, atau trans-disipliner.