Baca

Baca

Sabtu, 17 Mei 2014

"Hebohnya Memilih Capres dan Cawapres di Indonesia"




“Sarah Palin dan Hebohnya Memilih Capres dan Cawapres di Indonesia”

Candra Kusuma


Jelang Pemilu di Amerika Serikat tahun 2008, Partai Republik sibuk menggodog nama-nama Cawapres yang akan mendampingi Capres hasil Konvensi Partai Republik, John McCain. Sang Capres sendiri sudah sejak awal mengadang-gadang kawan lamanya yaitu Senator Demokrat dari Connecticut Joe Lieberman sebagai Cawapresnya. Lieberman sendiri menyebut dirinya sebagai Independent Democrat, karena dalam banyak hal dia merasa banyak kesamaan gagasan dengan kalangan Republik. Lieberman adalah seorang Demokrat yang paling hawkish di Senat AS (Heilemann dan Halperin, 2010:285). Namun, tim pemenangan Pemilu di Partai Republik mengganggap Lieberman punya kelemahan, yaitu sikap politiknya yang pro-choice dikhawatirkan justru akan menjauhkan para pemilih tradisional Republik. Selain itu, Partai Republik juga merasa agak keteteran dalam hal pengumpulan dana kampanye dari publik. Maklum saja, lawan mereka dari Partai Demokrat kala itu adalah sang rising star yaitu Barack Obama, yang didampingi oleh veteran politik Joe Biden sebagai Cawapres.

Para penasehat inti dari tim kampanye McCain kemudian memandang perlunya Republik memiliki Cawapres yang dapat membalik keadaan dan merubah irama kompetisi. Pilihan kemudian jatuh pada Sarah Palin, yang saat itu masih menjabat sebagai Gubernur Alaska (2006), dan pernah menjadi Walikota Wasilla (dua periode, 1996 dan 1999). Palin terpilih sebagai perempuan kedua yang menjadi Cawapres di AS, dan yang pertama dari Partai Republik.

Sebagai sarjana jurnalistik dari Universitas Idaho dan mantan Miss Wasilla Beauty Peagant, Palin memiliki kemampuan yang luar biasa ketika ketika tampil di depan publik. Meskipun banyak media mencitrakannya sebagai “perempuan cantik yang tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman politik yang memadai” , akibat blunder yang ditimbulkannya pada saat wawancara langsung dengan sejumlah media. Pada akhirnya pasangan McCain dan Palin memang gagal menjadi Presiden dan Wapres AS 2008-2012. Namun kehadiran Palin kemudian dipandang cukup berhasil memberi nuansa baru bagi Partai Republik dan Pemilu di AS secara umum. Bahwa perempuan, masih muda (kala itu berusia 44 tahun), hanya politisi lokal, bukan lulusan universitas utama, punya lima anak dan juga seorang pengusaha, juga dapat tampil secara cukup memadai sebagai seorang politisi tangguh di tingkat nasional.

Itulah inti cerita dari film berjudul “Game Change” yang diproduksi tahun 2012. Saya sendiri baru dapat menontonnya pada tahun 2013 lalu. Film ini dibintangi oleh artis cantik Julianne More sebagai Palin (diantaranya pernah membintangi film Hannibal dan Hunger Games), Woody Harrelson sebagai ahli strategi kampanye  Steve Schmidt, dan Ed Harris sebagai Capres Partai Republik John McCain. Film ini diangkat dari buku berjudul “Game Change: Obama and the Clintons, McCain and Palin, and the Race of a Lifetime” yang ditulis oleh John Heilemann and Mark Halperin (2010). Buku ini, bersama  buku “Sarah Palin: A Biography” karya Carolyn Kraemer Cooper (2011), baru saja sempat saya baca kembali sepintas minggu ini.

Hebohnya memilih Capres dan Cawapres dalam Pemilu 2014 di Indonesia

Saya bukan ahli politik, apalagi perbandingan sistem politik. Tetapi sebagai rakyat, saya merasa bahwa pada Pemilu 2014, Indonesia jauh lebih heboh dibandingkan Amerika Serikat, dalam hal memilih Cawapres dalam Pemilunya masing-masing. Dari dua atau tiga kubu politik yang kemungkinan akan bertarung dalam Pilpres nanti, sampai saat ini (17 Mei 2014), belum ada satu pasanganpun yang sudah jelas dan pasti siapa Cawapresnya, sementara batas akhir pengajuan nama Capres dan Cawapres ke KPU adalah tanggal 20 Mei 2014. Akibat tidak ada satupun partai yang memperoleh 25 persen suara sah dalam Pemilu Legislatif atau memperoleh paling sedikit 20 persen  kursi DPR,  partai politik  dengan suara terbanyakpun harus mencari dukungan suara dari partai-partai lainnya. Repotnya, partai-partai “koalisi” tersebut saling berebut mengajukan nama Cawapres dari partainya sendiri, dan cenderung merajuk bahkan mengancam keluar dari “koalisi” jika mereka tidak dilibatkan penuh dalam menentukan Cawapres tersebut.

Sebagai sama-sama penganut presidential system, tampaknya Amerika Serikat jauh lebih simple dalam urusan memilih Capres dan Presiden. Sistem Dua Partai di sana membuat urusan memilih Capres dilakukan dengan konvensi di internal partai, untuk selanjutnya Capres terpilih tersebut dapat memilih siapa Cawapres yang akan mendampinginya. Dalam film “Game Change” tadi, digambarkan bagaimana setelah McCain menyetujui nama Sarah Palin yang diajukan oleh tim suksesnya untuk menjadi Cawapres, maka McCain sendiri yang kemudian langsung menelepon Palin di Alaska, dan malam itu juga Palin langsung terbang menemui McCain di markas kampanyenya.

Jadi apa mau dikata, di Indonesia semua hal bisa diatur, disesuaikan dan dicocok-cocokkan. Meskipun menganut presidential system, di Indonesia berlaku juga sistem multi partai yang menurut banyak ahli sesungguhnya lebih cocok digunakan dalam sistem partementer. Bahkan sejak sepuluh tahun lalu, mulai dikenal adanya istilah “koalisi partai” dan “partai oposisi”, yang juga tidak dikenal dalam sistem presidensial. Akibatnya, bangsa kita sibuk menjadikan Pemilu sebagai ritual berkala untuk memilih orang saja, dan bukan sibuk mendebatkan apa gagasan yang ditawarkan untuk membangun bangsa ini.  

-----------------------------------
Referensi:
·      John Heilemann and Mark Halperin. Game Change: Obama and the Clintons, McCain and Palin, and the Race of a Lifetime. HarperCollins. 2010.
·     Carolyn Kraemer Cooper. Sarah Palin: A Biography. Greenwood Biographies. 2011.