Baca

Baca

Kamis, 13 Maret 2014

“Demokrasi, Desentralisasi dan Korupsi"



“Reformasidan Tantangan Demokratisasi di Indonesia

Oleh: Candra Kusuma
Dikemas ulang dari kumpulan tulisan “Renungan Depok” – Juli 2012

Perubahan kepemimpinan politik nasional akibat memburuknya perekonomian dalam negeri karena pengaruh krisis ekonomi global, adanya konflik di lingkaran elit nasional, maupun aksi kolektif dari rakyat yang mendesakkan “Reformasi” di tahun 1998 telah mendorong proses demokratisasi yang sangat cepat dan luas di Indonesia. Tuntutan “Reformasi” dapat dipandang sebagai reaksi atas sistem politik masa Orde Baru yang dinilai banyak pihak sebagai bentuk pemerintah yang “birokratik otoriter” dimana patronase politik begitu kental sampai ke lapisan masyarakat terbawah.[1]

Kondisi tersebut mirip dengan apa yang pernah dikemukan oleh O’Donnel dan Schmitter (1993:77-78), bahwa dalam sebuah rezim “birokratik otoriter” rakyat dikondisikan untuk mengesampingkan, mengabaikan dan melupakan identitas kemasyarakatan dan politiknya. Akibatnya masalah kewarganegaraan menjadi sekedar persoalan memiliki kartu identitas penduduk atau paspor, mentaati hukum nasional, dan secara berkala memberikan suara dalam pemilihan umum (selanjutnya disebut Pemilu). Hal tersebut berdampak pada hancurnya ruang-ruang politik yang terbentuk secara otonom, dan digantikan dengan arena publik yang dikontrol negara. Di arena baru tersebut, perdebatan mengenai berbagai isu publik harus dilakukan berdasar aturan dan syarat yang ditetapkan pemerintah.

“Reformasi” kemudian memunculkan tuntutan yang kuat untuk dapat diciptakannya pemerintahan baru yang lebih demokratis dan bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme (yang lazim disingkat KKN), adanya akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan, adanya kebebasan berorganisasi dan menyatakan pendapat, kewenangan lebih besar bagi daerah, dan adanya partisipasi masyarakat yang lebih luas dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.[2]

Secara mendasar ada tuntutan untuk membuka ruang partisipasi politik yang lebih luas bagi warga negara dalam berbagai aspek kehidupan politik, sosial dan ekonomi. Tuntutan akan perubahan kebijakan otonomi daerah, dimana daerah dianggap perlu diberi kewenangan yang lebih luas dalam mengurus dirinya sendiri (otonom), melahirkan kebijakan otonomi daerah yang baru, dimana asas desentralisasi menjadi lebih dominan.[3] Salah satu akibat dari kebijakan tersebut adalah terjadinya pemekaran daerah yang sangat masif sejak tahun 1999.[4] Terjadilah apa yang disebut para ahli sebagai ‘big bangdecentralization, dimana Indonesia berubah dengan cepat dari salah satu negara yang paling sentralistik menjadi negara yang paling terdesentralisasi. Sejak lahirnya kebijakan otonomi daerah yang baru pada tahun 1999 --dan berlaku efektif pada tahun 2001--, proses desentralisasi politik, administratif, dan fiskal telah dilaksanakan pada saat bersamaan (World Bank, 2003a:1). Perspektif tersebut tak lepas dari tesis yang kerap dimunculkan dalam literatur internasional, bahwa desentralisasi yang mempromosikan partisipasi dan akuntabilitas pada gilirannya akan mendukung keberhasilan demokratisasi (lihat Manor, 1999; Heller, 2001).

Namun, seperti dikutip Antlöv dan Wetterberg (2011:2) dari Fox (1996), Putnam (2002) dan Cleary (2007), terdapat perbedaan outcome dan kualitas ketatapemerintahan pasca desentralisasi, yang (salah satunya) dipengaruhi oleh kemampuan civil society untuk terlibat atau berhubungan (engage) dengan negara atau pemerintah.

Di Indonesia, desakan demokratisasi tersebut diantaranya berkenaan dengan kebutuhan membangun institusi yang dapat menyediakan insentif untuk pengembangan partisipasi dan good governance.[5] Governance, dapat dimaknai sebagai mekanisme, praktik, dan tata cara pemerintah dan warga negara mengatur sumberdaya serta memecahkan masalah-masalah publik. Terkait dengan hal tersebut, redefinisi peran pemerintah “pusat” dan pemerintah daerah (selanjutnya disingkat Pemda), serta peran negara dan warga negara menjadi hal yang tidak terelakkan (Sumarto, 2009:3-4). Selain itu jika merujuk pada definisi good governance dari UNDP (1997),[6] ada dorongan untuk memberi porsi yang lebih besar bagi warga negara untuk terlibat aktif dalam berbagai aspek yang berkenaan dengan masalah dan kepentingan publik.

Setelah tahun 1998, negara merespon tuntutan akan demokratisasi dan good governance tersebut dengan mengeluarkan berbagai kebijakan penting, diantaranya: kebijakan yang memperluas desentralisasi dengan memberikan kewenangan yang lebih besar kepada pemerintahan daerah, berikut kewenangan pengelolaan keuangan daerah; kebebasan pers; keleluasaan membentuk partai politik dan organisasi masyarakat; pemilihan kepala negara dan kepala daerah secara langsung; hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam perencanaan kebijakan publik; kebijakan mengenai akses informasi publik; kebijakan pemberantasan korupsi;[7] dan sebagainya. Di sejumlah daerah, baik atas inisiatif sendiri ataupun didorong oleh skema program yang didukung oleh NGO maupun lembaga donor, juga cukup banyak yang telah membuat kebijakan daerah yang mengatur tentang partisipasi atau keterbukaan informasi di daerah.[8]

Tidak hanya berupa kebijakan daerah, cukup banyak Pemda yang mencoba inovasi lokal untuk mengembangkan akses informasi pemerintahan kepada masyarakat, diantaranya program yang membuat masyarakat bisa berkomunikasi langsung dengan pemerintah dan stakeholder lainnya. Sebagai contoh, hasil studi yang dilakukan JPIP tahun 2005-2006 melaporkan bahwa di Provinsi D.I. Yogyakarta dan Jawa Tengah banyak Pemda menggunakan media radio dan televisi pemerintah maupun swasta lokal sebagai sarana berkomunikasi dengan masyarakat, seperti: program “Bupati Menjawab” (di Kabupaten Banyumas, Pemalang); program “Selamat Pagi Bupati” (Kebumen); program “Tamu Kita” (Kudus); program “Dialog Interaktif Pemda” (Tegal, Pekalongan dan Kota Pekalongan); program radio “Otak Atik Solusi” (Bantul); program “Walikota Menyapa” (Kota Yogyakarta); program “Obrolan Walikota” (TVRI Yogya dan Yogya TV); dan lainnya.[9]

Menurut Dwiyanto, et.al. (2003a:190), partisipasi dalam proses kebijakan publik memang merupakan hal penting yang mendasari pelaksanaan otonomi daerah. Salah satu rasionalitas yang penting dari pelaksanaan otonomi daerah adalah untuk membuat proses kebijakan publik mejadi lebih dekat dengan dengan warga sehingga mereka dapat berpartisipasi dalam proses tersebut. Dwiyanto juga mengutip pendapat de Asis (2002) mengenai cara yang harus ditempuh untuk menciptakan proses kebijakan menjadi lebih partisipatif, yaitu: (a) Menjamin kemampuan aktor dan stakeholders untuk memperoleh informasi dari pemerintah; (b) Adanya transparansi dalam pemerintahan melalui pertemuan secara terbuka dengan masyarakat dan stakeholders lainnya; (c) Melaksanakan dengar pendapat dan membuat keputusan bersama pada rancangan, keputusan, peraturan, dan hukum; (d) Melibatkan warga negara untuk mengawasi kinerja pemerintah dalam pelaksanaan kebijakan dan program pembangunan.[10]

Dengan adanya payung hukum terkait jaminan hak politik warga negara yang telah diulas sebelumnya, secara normatif peluang masyarakat untuk berpartisipasi dalam penyusunan dan kontrol atas kebijakan publik memang menjadi jauh lebih besar dari sebelumnya.[11] Pelimpahan kewenangan yang lebih besar dari pusat kepada pemerintah daerah berikut kewenangan dalam pengelolaan anggarannya juga memberi peluang lebih besar kepada pemerintah dan masyarakat di daerah untuk menentukan sendiri pembangunan di daerahnya.[12] Menurut Ryaas Rasyid -- salah seorang arsitek kebijakan otonomi daerah tahun 1999--, visi otonomi daerah dapat dirumuskan dalam tiga ruang lingkup utama, yaitu politik, ekonomi dan sosial budaya. Di bidang politik, otonomi daerah dipahami sebagai sebuah proses untuk membuka ruang bagi lahirnya kepala pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis, memungkinkan berlangsungnya penyelenggaraan pemerintah yang responsif terhadap kepentingan masyarakat luas, dan memelihara suatu mekanisme pengambilan keputusan yang taat pada asas pertanggungjawaban publik. Dalam hal ini, demokratisasi pemerintah juga berarti transparansi kebijakan (Rasyid, dalam Haris, ed., 2007:9-10).

Menurut Hasanuddin (dalam Djojosoekarto dan Hauter, 2003:14), keuntungan dari model pemilihan langsung seperti yang berlangsung saat ini di Indonesia, antara lain: (a) Rakyat dapat memilih pemimpinnya sesuai hati nuraninya sekaligus memberikan legitimasi kepada pemimpin terpilih; (b) Menghindari peluang distorsi oleh anggota DPRD untuk mempraktekkan politik uang; (c) Terbuka peluang munculnya calon-calon kepala daerah dari individu-individu yang memiliki integritas dan kapabilitas dalam memperhatikan kepentingan rakyat; (d) Mendorong calon kepala daerah mendekati rakyat agar bisa terpilih; (e) Mendorong terjadinya peningkatan akuntabilitas pertanggungjawaban kepala daerah kepada rakyat.

Dikaitkan dengan konteks otonomi daerah di Indonesia, gagasan demokratisasi tersebut diwujudkan dalam bentuk pemberian kewenangan yang lebih besar kepada daerah. Hasanuddin menambahkan bahwa pemerintahan lokal yang demokratis tidak hanya menempatkan otonomi daerah dalam konteks sebatas hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, tetapi lebih mendasar lagi yaitu hubungan negara dan masyarakat (state-society relation). Dalam hal ini, pemerintah lokal yang demokratis dapat dimaknai sebuah tata pemerintahan di tingkat lokal yang tidak hanya melibatkan perangkat birokrasi tetapi juga masyarakat secara luas melalui interaksi yang berlangsung secara demokratis.

Ada dua keuntungan dari proses tersebut, yaitu: (a) Pemerintahan lokal yang demokratis dapat meningkatkan kinerja sistem demokrasi pada tingkat lokal, karena masyarakat dapat berpartisipasi secara maksimal dalam penyusunan kebijakan di daerah bersangkutan (policy formulation) maupun pelaksanaannya (policy implementation) termasuk dalam hal ini melakukan pemilihan kepala pemerintahan daerah kabupaten/kota; dan (b) Aparat pemerintah memiliki kesempatan untuk dapat berperan lebih efektif dan peka terhadap kebutuhan masyarakat sehingga dapat mendorong akuntabilitas mereka.[13] Pandangan tadi sejalan dengan pendapat Lasswell mengenai “ilmu kebijakan,” dimana tujuan utama dari proses penyusunan kebijakan adalah bukan hanya sekedar memberikan sumbangan pada pembuatan keputusan yang efisien, namun juga memberikan pengetahuan dalam rangka pengembangan pelaksanaan demokrasi.[14]

Di Indonesia, demokratisasi dalam proses pemilihan kepala daerah juga telah mendorong lahirnya kebijakan pemilihan langsung Presiden dan Wakil Presiden pada Pemilu 2004, dan pemilihan kepala daerah secara langsung (Gubernur, Bupati dan Walikota beserta wakil-wakilnya) yang dimulai tahun 2005.[15] Secara teoritik, dikaitkan dengan teori mengenai elit dan kekuasaan (power) yang dikembangkan oleh Mosca, Pareto, Michels, Weber dan C.W. Mills,[16] konsep dan kebijakan Pemilu dan Pemilukada pada dasarnya terkait dengan mekanisme sirkulasi (pergantian) elit di pemerintahan pusat dan daerah melalui proses pemilihan oleh rakyat yang dilakukan secara reguler, formal, dan damai. Disinilah partisipasi politik warga paling minimal terjadi.

Pada faktanya Pemilu dan Pilkada baik sebelum dan sesudah “Reformasi” ternyata masih memiliki sejumlah kelemahan mendasar. Djojosoekarto dan Hauter (2003:8) mengidentifikasi beberapa kelemahan tersebut, antara lain: (a) Praktek money politics yang sulit dibendung, sehingga kerapkali memicu konflik;[17] (b) Lemahnya akses dan kontrol warga terhadap calon dalam pemilihan kepala daerah; (c) Lemahnya akuntabilitas proses pemilihan kepala daerah.[18] Masalah-masalah inilah yang membuat sebagian pengamat memandang Pemilu dan Pemilukada belum mencerminkan praktek demokrasi yang sesungguhnya, atau bahkan hanya dipandang sebagai ajang pertarungan kepentingan “kaum bermodal” saja.[19]

Selain kendala pada praktik pemilihan langsung kepala daerah tersebut, akuntabilitas pemerintahan dan partisipasi publik dalam proses penyusunan dan kontrol kebijakan berikut penganggarannya tampaknya belum menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Hasil studi Dwiyanto, et.al. di sejumlah provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia melaporkan bahwa akses masyarakat terhadap sejumlah informasi publik di daerahnya umumnya masih rendah. Pemerintah daerah juga cenderung tertutup ketika membuat prosedur pelayanan publik dan perencanaan program dan proyek pembangunan. Sementara partisipasi warga dan pemangku kepentingan dalam berbagai proses kebijakan di daerah juga dinilai masih rendah. Rendahnya pemanfaatan usulan dan masukan tersebut menjadi disinsentif bagi para pemangku kepentingan untuk terlibat dalam proses kebijakan. Akibatnya kualitas kebijakan publik di daerah menjadi dipertanyakan, karena banyak kebijakan di daerah yang kemudian dianggap gagal menjawab kebutuhan masyarakat di daerah. Meskipun ketersediaan sarana dan mekanisme penyampaian keluhan dan aspirasi menunjukkan kecenderungan meningkat, namun umumnya kurang efektif (Dwiyanto, et.al., 2007:14-17).

Pada akhirnya kondisi di atas memunculkan pertanyaan mengenai apa sesungguhnya motif dan dampak dari gencarnya tuntutan pemekaran daerah di Indonesia. BAPPENAS dan UNDP (2008) mengutip hasil penelitian Fitrani et.al. (2005) yang menyatakan bahwa pemekaran telah membuka peluang terjadinya bureaucratic and political rent-seeking, yakni kesempatan untuk memperoleh keuntungan dana, baik dari pemerintah pusat maupun dari penerimaan daerah sendiri. Karena adanya tuntutan untuk menunjukkan kemampuan menggali potensi wilayah, maka banyak daerah menetapkan berbagai pungutan untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang menyebabkan terjadinya perekonomian daerah berbiaya tinggi. Disisi lain, muncul dugaan bahwa pemekaran wilayah merupakan bisnis kelompok elit di daerah yang sekedar menginginkan jabatan dan posisi. Euforia demokrasi dan partai-partai politik yang memang terus tumbuh, dimanfaatkan kelompok elit ini untuk menyuarakan “aspirasinya” mendorong terjadinya pemekaran (BAPPENAS dan UNDP, 2008:1). Banyak pihak yang kemudian menenggarai bahwa kebijakan otonomi dan pemekaran daerah saat ini hanya memunculkan “raja-raja kecil” saja, yaitu ketika para eksekutif, legislatif dan kelompok-kelompok dominan di daerah dapat bertindak untuk kepentingan diri dan kelompoknya tanpa terlalu mempertimbangkan kepentingan nasional ataupun masyarakat yang ada di daerahnya sendiri.[20]

Kontestasi kepentingan diantara para aktor di daerah khususnya dari sisi eksekutif dan legislatif turut mewarnai proses penyusunan kebijakan dan anggaran di daerah. Banyak ahli yang menilai masih kuatnya elite capture dalam proses penganggaran di daerah dibanding untuk kepentingan warganya.[21] Pada sejumlah kasus, inisiatif untuk mengembangkan model perencanaan pembangunan dan penganggaran di daerah memang menimbulkan harapan akan perubahan. Studi Takeshi (2006) mengenai mekanisme perencanaan kegiatan pembangunan yang melibatkan organisasi dan kelompok masyarakat di Kabupaten Bandung (Musyawarah Perencanaan Pembangunan atau Musrenbang) sampai tingkat tertentu dapat menekan adanya pengaruh politik dari para elit di daerah yang dapat merugikan kepentingan publik dalam penentuan kegiatan dan anggaran tersebut. Namun kondisi tersebut sangat dinamis, sehingga masih juga amat rentan dari intervensi kepentingan elit tersebut. Antlöv, Brinkerhoff, dan Rapp (2010:436) mencatat bahwa pada banyak kasus, aktor-aktor pemerintah masih mengontrol akses masyarakat dan mendominasi berbagai arena analisis dan debat dalam penyusunan kebijakan dan pengambilan keputusan. Musrenbang dan konsultasi publik seringkali hanya bersifat diseminasi informasi atas keputusan yang sudah dibuat sebelumnya.

Selain itu, ada juga pengamat yang menilai bahwa struktur organisasi pemerintah daerah pada umumnya juga masih belum memberikan ruang yang cukup bagi partisipasi publik, sekalipun struktur organisasi tersebut merupakan hasil reorganisasi yang telah dilakukan pada awal pelaksanaan kebijakan otonomi daerah. Hasil penelitian LIPI (2001) di Kabupaten Bandung contohnya, melaporkan bahwa meskipun telah dilakukan dua kali restrukturisasi organisasi perangkat daerah, namun struktur organisasi yang ada masih diwarnai resistensi nilai-nilai birokrasi lama dengan ciri-ciri birokrasi tradisional (traditional bureaucratic authority). Hal ini mengindikasikan bahwa persoalan partisipasi publik masih dipandang sebagai persoalan yang berada diluar wilayah manajemen pemerintahan seperti yang terjadi di masa sebelumnya. Dalam hal ini program pemberdayaan masyarakat dan partisipasi publik masih bersifat ad-hoc dan parsial serta belum menjadi bagian integral dari keseluruhan manajemen pemerintahan dan pembangunan di kabupaten tersebut.[22]

Hasil studi USAID tahun 2006 juga mengkonfirmasi lemahnya pengaruh civil society dalam mendorong demokratisasi dan pelaksanaan otonomi daerah, khususnya berkenaan dengan upaya peningkatan pelayanan publik di daerah. Laporan studi tersebut menyatakan bahwa karakteristik dari berbagai inovasi pelayanan publik di daerah bukan terutama disebabkan oleh adanya tekanan dari kelompok-kelompok masyarakat, dan bukan pula karena adanya desain atau rencana kerja yang baik yang disusun oleh internal birokrasi di daerah ataupun dengan dukungan tenaga konsultan profesional. Inovasi-inovasi tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu: (a) Kepemimpinan yang kuat dari kepala daerah; (b) Kepala daerah memiliki koneksi yang baik ke pemerintah pusat, baik melalui jalur birokrasi dan/atau partai politik; dan (c) Adanya dukungan dari lembaga donor. Faktor kepemimpinan kepala daerah maupun sokongan lembaga donor tersebut membuat berbagai inovasi tersebut rentan untuk mampu bertahan lama dan dikembangkan lebih lanjut, karena bergantung pada figur dan dukungan dana yang tentunya harus diasumsikan hanya bersifat sementara saja (USAID, 2006:68).

Dari seluruh paparan tersebut, terlihat bahwa meskipun “Reformasi” telah memberi keterbukaan politik, namun demokratisasi di Indonesia masih memiliki sejumlah masalah mendasar. Salah satunya, proses pemilihan pimpinan pemerintahan dan legislatif, penyusunan kebijakan publik dan penganggarannya, serta kontrol terhadap pelaksanaan dan hasil pembangunan tidak hanya masih bersifat elitis, bahkan cenderung menjadi ajang meraih keuntungan pribadi dan kelompok tertentu saja. Meski secara secara legal telah ada payung hukum bagi partisipasi masyarakat, namun dalam praktiknya hal tersebut belum masih belum efektif dapat dilaksanakan. Akibatnya keberhasilan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan rakyat yang menjadi tujuan dari upaya demokratisasi dan desentralisasi tampaknya belum menunjukkan perkembangan yang positif.[23] Kalaupun ada inisiatif reform di daerah, hal tersebut masih bergantung pada figur kepala daerahnya karena belum terinstitusionalisasi sehingga sulit diharapkan keberlanjutan dan pengembangannya.

Mengacu pada hasil studi Governance and Decentralization Survey 2 (GDS2) yang dilakukan oleh World Bank (2006), berdasarkan analisis biaya ekonomi yang dikeluarkan selama periode pemekaran daerah 2001-2005, pemekaran daerah yang massif tersebut justru telah mengurangi kapasitas pemerintah pusat dan daerah dalam mengalokasikan belanja pembangunan. Pemekaran telah menyita sebagian sumber daya dan anggaran untuk berbagai pengeluaran penyiapan infrastruktur pemerintahan di daerah otonom baru (seperti untuk Pemilukada, pegawai, penyiapan gedung pemerintahan, dll.). Selain itu, masyarakat di daerah otonom baru ternyata memiliki kepuasan yang lebih rendah terhadap pelayanan kesehatan, pendidikan, administrasi publik dan kepolisian.

Selain itu, daerah otonom baru lebih rendah dalam hal program penanggulangan kemiskinan di daerah dan partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan di tingkat lokal (DSF, 2007:61-62). Dari uraian di atas, tergambar sebagian dari masalah societal berkenaan dengan demokratisasi di Indonesia saat ini. Semua struktur dan prosedur yang sebagian besar diantaranya sudah tersedia untuk menjadikan Indonesia sebagai --apa yang jika dilihat dari perspektif Habermas dapat disebut—“negara hukum demokratis,” tampaknya belum menjamin bahwa dalam prosesnya dapat berjalan mulus seperti yang diinginkan. Di tingkat makro, terbangunnya kultur demokrasi maupun kultur birokrasi yang melayani dan peduli pada kepentingan publik, tampaknya masih menjadi persoalan yang harus dihadapi di semua lapisan masyarakat dan birokrasi. Karenanya, di tingkat nasional, penyempurnaan kebijakan, kelembagaan dan mekanisme desentralisasi di Indonesia, yang sekaligus diharapkan mampu membangun kultur demokrasi dan birokrasi yang lebih baik, menjadi kebutuhan  yang harus segera direspon agar masalah-masalah di atas tidak menjadi berlarut-larut.



Endnotes:
[1] Adanya dominasi birokrasi dalam menentukan kebijakan publik dan hasrat kuat akan stabilitas melalui kontrol aparatur negara/militer di semua bidang dan lapisan kehidupan masyarakat. Diantaranya lihat Budiman, dalam Budiman dan Tornquist, 2001:xxvi; Sumarto, 2005:1; Simpson, 2010; Schuck, dalam Hadiwinata dan Schuck, 2010:77. Lebih jauh, pengamat lain menyebut situasi di Indonesia masa Orde Baru sebagai negara militer rentenir (rentier militarist state) karena begitu besarnya peran militer dalam menduduki jabatan publik dan mempengaruhi budaya masyarakat (lihat Tanter dan Young, 1996:9. Hubungan patronase tersebut juga dinyatakan Rasyid, dalam Haris, ed., 2007:7. Anderson (2008) menyebut penguasa Orde Baru sebagai mediocre tyrant. Lindsey bahkan menyebut Orde baru sebagai ‘negara Mafia’ dan ‘negara Preman’ atau state premanism (lihat Coppel, 2006:29). Pada ekstrem yang lain, banyak pula yang justru berpendapat sebaliknya, bahwa masa Orde Baru dan figur Suharto sebagai era yang lebih baik, terutama akibat kekecewaan pada ‘Reformasi’ yang dianggap tidak cukup berhasil memperbaiki perekonomian rakyat bawah, korupsi di semua level, dan berkurangnya stabilitas ke dalam dan keluar akibat melemahnya peran negara.
[2] Diantaranya lihat Pratikno, dalam Haris, ed., 2007:25; Antlöv, dalam Sumarto, 2009:xxi-xxiii; Dwiyanto, et.al., 2003a:1; Antlöv dan Wetterberg, 2010:24-25.
[3] Tiga pola hubungan antara pemerintah pusat dan daerah di Indonesia, yaitu: (a) Desentralisasi, yakni penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah dalam rangka negara kesatuan. Ada dua jenis, yaitu desentralisasi teritorial (kewenangan mengurus wilayah) dan desentralisasi fungsional (kewenangan mengurus fungsi tertentu); (b) Dekonsentrasi, yakni pelimpahan wewenang dari pemerintah kepada daerah sebagai wakil pemerintah dan/atau perangkat pusat di daerah dalam rangka negara kesatuan; (c) Tugas Perbantuan atau Medebewind, yakni keikutsertaan daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah yang kewenangannya lebih luas dan lebih tinggi di daerah tersebut. Lihat Fauzi dan Zakaria, 2000:11-12.
[4] Dalam kurun waktu satu dekade antara tahun 1999-2009 telah terjadi penambahan daerah otonom baru hampir dua kali lipat dari sebelumnya. Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 21 Tahun 2010 tentang Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran, sebelum tahun 1999 jumlah daerah otonom sebanyak 319 daerah (26 provinsi, 234 kabupaten dan 59 kota). Pada tahun 2009 jumlah daerah otonom menjadi 524 daerah (33 provinsi, 398 kabupaten, dan 93 kota).
[5] Schiller (dalam Sumarto, 2009:xviii-xix), memandang perlunya ada state formation, yaitu perubahan-perubahan yang terjadi dalam hubungan negara-masyarakat sebagai hasil dari perubahan kapasitas negara dan aktor-aktor sosial, ekonomi dan politik lainnya.
[6] UNDP (1997) mendefinisikan governance sebagai “the exercise of economic, political and administrative authority to manage a country’s affairs at all levels. It comprises the mechanisms, processes and institutions through which citizens and groups articulate their interests, exercise their legal rights, meet their obligations and mediate their differences”.
[7] Kebijakan tersebut, diantaranya: TAP MPR RI No. X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional; TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; Ketetapan MPR RI No. XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers; UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, perubahannya yaitu UU No. 32 Tahun 2004, dan perubahannya lagi dengan UU No. 12 Tahun 2008; UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilu dan perubahannya di UU No. 12 tahun 2003; Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dalam Penyelenggaraan Negara; UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (khususnya mengenai ruang partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan); UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik; dan Amandemen UUD 1945 (terutama Amandemen 2, pada bagian mengenai hak asasi manusia).
[8] Peraturan daerah (Perda) atau kebijakan daerah setingkat keputusan Bupati/Walikota mengenai partisipasi masyarakat menggunakan nama yang beragam, seperti peraturan daerah tentang partisispasi publik, konsultasi publik, transparansi dan partisipasi. Kebijakan semacam itu diantaranya ada di Kabupaten Solok, Tanah Datar, Bantul, Ngawi, Kebumen, Lamongan, Bulukumba, Bolaang Mongondow, Gowa, Boalemo, Magelang, Lebak, Bandung, dan lainnya (lihat BAPPENAS, 2009:48; atau lihat juga http://www.kebebasaninformasi.org/index2.php?pilih=perun&pilih2=daerah, diakses 10 Oktober 2011). Khusus di Kabupaten Bandung, payung hukum di tingkat daerah yang mengatur soal partisipasi publik ini adalah Perda No. 6 Tahun 2004 tentang Transparansi dan Partisipasi, dan Perda No. 8 Tahun 2005 tentang Tatacara Penyusunan Perencanaan Pembangunan Daerah.
[9] Lihat Jawa Post Institute of Pro Otonomi (JPIP) (2006:123). Perlu ditambahkan, hasil studi Dwiyanto, et.al. (2003b:46) melaporkan bahwa forum pertemuan antara birokrat dan warga memang lebih banyak ditemukan di Jawa dibandingkan di luar Jawa.
[10] Negara-negara OECD dan lembaga keuangan/pembangunan internasional umumnya menggunakan terminologi ‘voice’ bagi aktivitas penyampaian aspirasi warga (baik melalui dialog, lobby, perencanaan bersama, protes/demonstrasi, dll.) kepada pemerintah khususnya berkenaan dengan isu pelayanan publik dan anggaran publik. Ulasan mengenai hal ini diantaranya dapat
dilihat pada Schiampo-Campo dan Sundaram (Asian Development Bank, 2001), dan World Bank (2003b).
[11] Diantaranya lihat Antlöv, dalam Sumarto, 2009:xxii.
[12] Menurut UU No. 32 Tahun 2004, tujuan otonomi daerah ada tiga, yaitu meningkatkan pelayanan publik, daya saing daerah dan kesejahteraan rakyat.
[13] ibid:12-13.
[14] Lihat Dunn (2003:70), yang mengutip Lasswell dan Kaplan (Power and Society: A Framework for Political Inquiry, 1950). Dunn berpendapat bahwa secara umum, penyusunan kebijakan setidaknya akan melalui tahap penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan dan penilaian kebijakan. Persoalannya adalah baik metode dan teknis penyusunan kebijakan pada umumnya tidak menjelaskan dimana peran masyarakat/warga dalam proses tersebut. Pada umumnya proses tersebut hanya atau lebih banyak melibatkan para birokrat, teknokrat dan konsultan kebijakan saja (hal. 24). Sumber data dan informasi yang digunakan lebih banyak bersifat data sekunder/statistik. Masalahnya, dari hasil pengamatan peneliti sendiri terhadap wacana mengenai data pembangunan di Indonesia, sumber data tersebut seringkali kurang mampu menangkap dinamika perkembangan masalah dan kebutuhan yang terjadi di masyarakat. Terlebih di negara-negara ‘berkembang’ seperti Indonesia, dimana data statistic kerapkali ‘diragukan’ kelengkapan dan validitasnya, sehingga pada dasarnya juga menyulitkan untuk digunakan sebagai bahan analisa penyusunan dan evaluasi kebijakan.
[15] Berdasarkan UU No. 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, pemilihan kepala daerah dilakukan oleh legislatif di daerah, namun kontrol dan intervensi pusat sangat kuat. Dengan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah dan wakil kepala daerah masih dipilih oleh DPRD secara mandiri. Selanjutnya, beradasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, rakyat dapat memilih langsung kepala daerah dalam pemilihan umum kepala daerah wakil kepala daerah. Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) pertama kali diselenggarakan pada bulan Juni 2005, yaitu di Kabupaten Kutai Kertanegara. Sejak berlakunya UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, Pilkada dianggap sebagai bagian dari rezim Pemilu, sehingga secara resmi bernama ‘pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah’ atau ‘Pemilukada’. Pemilukada pertama yang diselenggarakan berdasarkan undangundang ini adalah Pemilukada DKI Jakarta 2007. Selanjutnya berdasarkan UU No. 12 Tahun 2008, dimungkinkan bagi calon kepala daerah yang berasal dari pasangan calon perseorangan (bukan pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik), dengan syarat memiliki bukti dukungan masyarakat dalam jumlah tertentu.
[16] Menurut Best dan Higley (2010:1) yang mengutip Linz (2006), sebagian pemikir teori elit seperti Mosca (1923, 1939) dan Michels (1915, 1962) menilai praktek demokrasi pada akhirnya menjadi sekedar kompetisi diantara para elit sendiri. Pilihan dan kepentingan para pemilih (voter) telah dimanipulasi sedemikian rupa sehingga merasa memiliki pilihan yang berbeda dan dapat
diperbandingkan.
[17] Harian KOMPAS tanggal 21 Desember 2010 melaporkan bahwa pada seluruh pelaksanaan Pilkada tahun 2010 saja tercatat ada 1.517 kasus politik uang di seluruh daerah di Indonesia yang melaksanakan Pilkada pada tahun itu. Sekitar 60% diantaranya dalam modus pemberian uang secara langsung, sedang sisanya berupa pemberian dalam bentuk barang, dll. Lihat Harahap, 2011:4-5.
[18] Salah satu indikatornya adalah maraknya kasus-kasus korupsi yang melibatkan pimpinan daerah dan DPRD baik provinsi maupun kabupaten/kota. Hasil studi Rinaldi, et.al. yang mengutip ‘Laporan Pelaksanaan Tugas Panja Penegakan Hukum dan Pemerintahan Daerah’ yang disusun oleh DPR-RI tahun 2006 melaporkan bahwa sejak tahun 2002 lalu telah terjadi gelombang pengungkapan kasus dugaan korupsi DPRD di berbagai daerah. Berdasarkan data Kejati seluruh Indonesia sampai dengan bulan September 2006 terdapat 265 kasus korupsi DPRD dengan jumlah tersangka/terdakwa/terpidana sebanyak 967 orang anggota DPRD yang ditangani oleh 29 Kejati. Pada periode yang sama, telah dikeluarkan ijin pemeriksaan untuk anggota legislatif: 327 orang anggota DPRD provinsi dan 735 DPRD kabupaten/kota. Lihat Rinaldi et.al., 2007:2.
[19] Satu contoh dapat dilihat pada kajian Koswara (2006) mengenai kasus Pilkada Langsung di Kota Cilegon tahun 2005. Menurutnya, Pilkada Langsung hanya menjadi arena kontestasi dua varian kapitalisme di Indonesia, yaitu kapitalisme neo-liberal dan kapitalisme rente. Hal tersebut disebabkan oleh diterapkan liberalisasi politik melalui kebijakan otonomi daerah. Sayangnya Koswara hanya berhenti pada analisis ini saja namun tidak memberikan alternatif apa yang perlu dilakukan untuk menyikapi atau bahkan mengatasi hal tersebut.
[20] Analisis awal sekali mengenai kecenderungan tersebut lihat Gejolak Tuntutan Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi Politik dan Implikasinya, INDEF’s Policy Assessment, September 1998:1.
[21] Elite capture dalam konteks desentralisasi merujuk pada adanya kemungkinan sumberdaya publik (keputusan dalam perencanaan, penganggaran, pelaksana pelaksana program/proyek, dll.) ‘ditawan’ atau dikendalikan oleh para elit lokal atau kelompok-kelompok yang memiliki kekuatan di daerah (local power groups). Lihat Chowdhury dan Yamauchi, 2010:2.
[22] Wardiat, et.al., “Implementasi Otonomi Daerah antara Restrukturisasi dan Pengembangan Potensi Lokal: Kasus Kabupaten Bandung dan Kabupaten Lebak” (2001), yang dikutip dalam Wardiat, et.al., 2006:18.
[23] Sebagai gambaran, hasil analisa YAPPIKA (2006) mengenai pemberitaan media massa di Indonesia tahun 2005-2006 menyimpulkan bahwa pemerintah daerah tidak menjadi semakin akuntabel, responsif, dan mampu memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Lambannya pemerintah suatu kabupaten/kota merespon kebutuhan pembangunan yang dikeluhkan masyarakat memperlihatkan jurang pembangunan masih menganga lebar.








“Demokrasi… Tapi Katanya Radikal, Bro…”


Teori Demokrasi Asosiatif ala Archon Fung, dkk.

Oleh: Candra Kusuma
Dikemas ulang dari kumpulan tulisan “Renungan Depok” – Juli 2012

Seperti halnya Habermas dan para pemikir teori demokrasi deliberatif, banyak teoritisi politik lainnya yang berupaya mengembangkan model-model demokrasi yang dipandang lebih mampu menyuarakan dan memperjuangkan aspirasi warga negara, yang kerap tidak dapat terpenuhi dengan baik pada model demokrasi perwakilan pada umumnya.[1] Namun berbeda dengan para pendukung teori demokrasi deliberatif yang cenderung membatasi diri untuk tidak mengintervensi secara langsung kekuasaan dan merubah secara radikal sistem politik yang ada, beberapa pemikir menginginkan agar warga --melalui berbagai asosiasi-asosiasi-- dapat terlibat lebih banyak dalam pengambilan keputusan publik. Diantaranya para pemikir tersebut adalah Hirst (1994), Cohen dan Rogers (1995), serta Fung dan Wright (2003). Oleh Fung (2007), gagasan-gagasan mereka dimasukkan dalam kelompok pendekatan demokrasi partisipatori (participatory democracy) yang ingin agar warga -- melalui beragam asosiasi-asosiasi -- lebih banyak terlibat dalam urusan-urusan publik (direct governance).

Fung (2007:448-450), memetakan empat konsep demokrasi, yaitu demokrasi minimalis (minimal democracy),[2] demokrasi agregatif (aggregative democracy),[3] demokrasi deliberatif,[4] dan demokrasi partisipatori (participatory democracy). Fung sendiri berada pada barisan pengusung konsep partisipatori demokrasi, yang mengkritisi tiga konsep demokrasi lainnya karena dipandangnya belum sungguh-sungguh mampu memberikan ruang partisipasi yang memadai bagi warga. Fung dan Wright (2001) menawarkan konsep deepening democracy sebagai bentuk perluasan keterlibatan warga dalam pengambilan keputusan dan kabijakan publik. Demokrasi partisipatori ini, lahir dari cara pandang yang membedakan atau memisahkan nilai partisipasi dari prinsip deliberasi (Cohen dan Fung, 2004). Fung mengutip Barber (1984, 1988, 1989) yang memandang demokrasi memiliki nilai-nilai kepemerintahan sendiri (self-government), kesetaraan politik, dan aturan main yang rasional. Warga harus mengambil bagian secara langsung dalam proses pengambilan keputusan. Meskipun partisipasi tersebut bukan berarti harus dilakukan pada setiap level dan tiap kegiatan, namun harus dilakukan dalam frekuensi yang cukup tinggi. Demokrasi dipandang sebagai sebuah ’komunitas’, dimana warga dapat menyelesaikan sendiri sengketa dan masalah-masalah umum yang mereka hadapi, yang didalamnya individu-individu bertransformasi menjadi warga, dan berperan menentukan kebijakan publik yang terkait dengan kepentingan mereka. Disini Fung mengutip Barber (1984) yang menyatakan bahwa diperlukan adanya perubahan-perubahan institusional pada struktur pemerintahan perwakilan, sehingga memungkinkan warga secara langsung dapat mendiskusikan dan memutuskan isu-isu terkait kepentingan publik.

Banyak ahli yang mengidentifikasi asosiasi warga sebagai asosiasi sekunder (secondary associations), yang dibedakan dengan asosiasi publik (public associations) yang merupakan institusi bentukan negara/pemerintah. Menurut Elstub (2008:107), banyak ahli yang berpendapat bahwa keberadaan asosiasi-asosiasi sekunder dapat menjadi alternatif yang menarik bagi partisipasi politik secara langung, yang didalamnya melibatkan upaya perencanaan oleh aktor non negara, pengambilan keputusan, pemenuhan tugas/kewajiban dan interaksi, serta  menyediakan saluran bagi warga untuk terlibat dalam diskursus publik (Hadley dan Hatch, 1981; Martell, 1992:166; Hirst, 1994; Cohen dan Rogers, 1995; Perczynski, 2000; Warren, 2001; Fung 2003; Bader, 2005; Eisfeld, 2006:15). Karenanya asosiasi-asosiasi sekunder dapat berkembang menjadi pengelolaan mandiri oleh warga (self-governance) yang sekaligus dapat mengurangi beban negara.

Dalam kaitan antara asosiasi dengan demokrasi, Fung (2003:518-529) mengidentifikasi enam kontribusi dari keberadaan asosiasi-asosiasi warga terhadap demokrasi, yang uraiannya secara ringkas, sebagai berikut:
a.    Kebaikan intrinsik dari demokrasi dan kebebasan berasosiasi. Fung mengutip Dahl (1989) yang menyatakan bahwa dalam salah satu isu penting dalam konsep demokrasi liberal kesempatan untuk menciptakan ruang bagi kewarganegaraan yang plural dan tumbuhnya asosiasi-asosiasi politik. Institusi liberal menciptakan perlindungan legal yang memungkinkan asosiasi-asosiasi dapat berkembang luas. Hal tersebut terkait erat dengan nilai-nilai kebebasan individu termasuk kebebasan dalam memilih asosiasi dan membentuk asosiasi. Kaum liberal klasik memandang hal tersebut sepenuhnya adalah pilihan individual. Sementara kaum demokrasi liberal memandang pentingnya peran negara atau pemerintah dalam mendukung perkembangan asosiasi-asosiasi tersebut. Fung juga mengutip Paxton (2002) yang menyatakan bahwa lebih banyak asosiasi yang berpeluang untuk eksis ketika pemerintah mengizinkan mereka untuk eksis. Para ahli menyimpulkan bahwa ada korelasi yang signifikan dan positif antara demokrasi liberal dengan jumlah dan keanekaragaman asosiasi;

b.   Sosialisasi kewarganegaraan (civic socialization) dan pendidikan politik. Fung mengutip Warren (2001) yang menyatakan bahwa asosiasi menanamkan nilai-nilai kewargaan pada anggota-anggotanya, seperti perhatian pada masalah publik, kebiasaan bekerjasama, toleransi, menghargai pihak lain, menghargai penegakan hukum, kemauan untuk berpartisipasi dalam kehidupan publik, kepercayaan diri, keyakinan akan keberhasilan (efficacy). Selain itu, Fung juga merujuk pada Putnam (2000) yang berpendapat bahwa nilai dan keyakinan untuk bertindak bagi kepentingan orang banyak tanpa berharap mendapatkan timbal balik seketika (generalized reciprocity). Asosiasi juga dipandang sebagai ’sekolah demokrasi’ (school of democracy) karena mengajarkan keterampilan politik, seperti cara pengorganisasian, mengadakan pertemuan, menulis gagasan, beragumentasi, berpidato, dll. (civic skill). Sementara mengacu pada pendapat Verba et.al (1995) mengenai sumberdaya yang dibutuhkan dalam partisipasi (material, waktu dan keterampilan), menurut Fung keberadaan asosiasi juga mengajarkan civic skill yang akan dapat meningkatkan demokrasi melalui peningkatan partisipasi politik. Dalam hal ini, asosiasi yang memungkinkan anggotanya untuk bertatap muka secara langsung dan bersifat horisontal, lebih memiliki peluang untuk melakukan sosialisasi dan pendidikan politik dibandingkan asosiasi yang bersifat hirarkis, vertikal, dan ’jarak jauh’ (misalnya asosiasi dimana partisipasi anggota dalam bentuk iuran atau sumbangan uang saja);

c.    Perlawanan dan kekuatan kontrol (checking power). Asosiasi warga juga dapat berperan dalam melakukan perlawanan (resistance) terhadap dominasi dan kekuatan anti demokrasi. Dalam konteks dimana institusi demokrasi masih ’muda’ dan rapuh, kontribusi utama dari asosiasi terhadap demokrasi kerapkali berupa perlawanan terhadap otoritas yang tidak memiliki legitimasi. Fung mengutip Jenkins dan Goetz (1999) yang menyatakan bahwa dalam konteks pemerintahan yang korup namun tidak otoriter, asosiasi dapat berperan melakukan kontrol terhadap penyalahgunaan kekuasaan dengan jalan monitoring terhadap aparatur negara, dan mendorong mereka untuk lebih transparan, misalnya. Kritik terhadap asosiasi tipe ini adalah tak jarang justru mengembangkan mekanisme yang kurang demokratis di dalam asosiasi sendiri, atau sulit beradaptasi ketika sistem politik yang dilawan relative sudah menjadi lebih demokratis;

d.   Representasi kepentingan. Kontribusi asosiasi dalam hal ini adalah meningkatkan cara bagaimana kepentingan warga dapat terwakili (diperjuangkan oleh para pembuat kebijakan) dan dituangkan dalam hukum dan kebijakan yang dibuat oleh negara. Asosiasi menyediakan saluran tambahan bagi individu-individu untuk mendesakkan isu-isu publik yang menjadi perhatian mereka, misalnya melalui voting, lobby, dan kontak langsung dengan pejabat pemerintah. Selain meningkatkan kualitas keterwakilan, asosiasi juga meningkatkan kesetaraan keterwakilan politik (equality of political representation), terutama bagi masyarakat yang terpinggirkan;

e.   Deliberasi publik dan public sphere Fung mengidentifikasi kontribusi lainnya dari asosiasi adalah memfasilitasi deliberasi publik, seperti yang diungkapkan Habermas (1996) maupun Cohen dan Arato (1994). Pengambilan keputusan publik dipandang lebih deliberatif jika dapat dilakukan secara setara (equal) dan melalui proses komunikasi terbuka dimana partisipan dapat saling berargumentasi, dibandingkan jika keputusan diambil lebih karena kekuatan/paksaan, uang, ataupun jumlah suara semata. Seperti diuraikan pada pembahasan mengenai teori demokrasi deliberatif di bagian sebelumnya, perbedaan sumberdaya dan status diantara para warga atau anggota asosiasi kemungkinan akan menghalangi kemampuan untuk melaksanakan proses deliberasi ini. Dalam hal ini Fung mengutip Warren (2001) yang berpendapat bahwa asosiasi yang mungkin untuk menjaga ruang publik tetap hidup adalah mereka yang dapat meraih dukungan luas dari publik, dan memiliki kapasitas untuk memproyeksikan suara mereka dari waktu ke waktu dan di semua ruang publik.

f.     Pemerintahan langsung (direct government). Kelima gagasan sebelumnya dipandang lebih berorientasi pada upaya peningkatan kualitas input terhadap proses pengambilan keputusan dan kebijakan, tanpa merubah instrumen atau ’mesin’ pengambilan keputusan itu sendiri. Beberapa ahli memandang warga seharusnya dapat mengambil peran yang langsung dalam fungsi-fungsi regulasi tersebut. Mereka mengajukan pendekatan rekonfigurasi pemerintahan yang lebih radikal, untuk mengatasi defisit demokrasi akibat terbatasnya input dari sisi pemerintah dalam proses demokrasi. Dalam hal ini, asosiasi-asosiasi warga dibayangkan dapat berperan lebih besar dengan terlibat secara langsung dalam pengambilan keputusan publik. Melalui hal tersebut, asosiasiasosiasi warga dapat turut berperan meningkatkan kualitas output dari pemerintah, yaitu peningkatan kemampuan pemerintah dalam hal menyelesaikan masalah-masalah publik.

Di atas disebutkan mengenai asosiasi sebagai wadah untuk mencapai tujuan bersama. Elstub (2008:101) mengutip definisi klasik dari Cole (1920)[5] yang memaknai asosiasi sebagai setiap kelompok dari orang-orang yang memiliki tujuan atau agregasi tujuan yang sama, dan terlibat dalam suatu program aksi bersama. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut mereka bersepakat untuk bersama-sama melakukan suatu metode dan prosedur tertentu yang meskipun bukan merupakan suatu bentuk yang sempurna namun dapat menjadi panduan umum bagi tindakan bersama. Setidaknya ada dua hal yang mendasar dan perlu untuk setiap asosiasi, yaitu adanya tujuan yang sama dan, sampai batas tertentu, adanya aturan tindakan bersama.

Teori demokrasi asosiatif (associative democracy) terkait erat dengan konsep direct government yang telah diulas sebelumnya. Dalam hal ini Fung dan Wright (2003) mengajukan pendekatan yang lebih moderat dari gagasan Hirst[6] maupun Cohen dan Rogers.[7] Fung dan Wright menyebut pendekatan mereka sebagai Empowered Participatory Governance (selanjutnya disingkat EPG), yang secara bebas dapat diartikan sebagai ’penguatan tata pemerintahan yang partisipatif’. EPG bersifat ’participatory’ karena pendekatan ini bergantung pada komitmen dan kapasitas orang biasa untuk membuat keputusan yang masuk akal atau rasional melalui proses deliberasi atau musyawarah. EPG juga bersifat ’empowered’ karena pendekatan ini mencoba untuk menghubungkan tindakan dengan diskusi. Dalam tataran konsep, EPG menekankan pentingnya nilai-nilai partisipasi, musyawarah, dan pemberdayaan, dengan batasan yang hati-hati dan memperhatikan tingkat kemungkinan pelaksanaannya. Gagasan ini mungkin melampaui bentuk konvensional kelembagaan demokratis, yang memiliki tujuan cukup praktis untuk meningkatkan respon dan efektivitas negara sementara pada saat yang sama sehingga lebih adil, partisipatif, deliberatif, dan akuntabel (Wright dan Fung, ed., 2003:5-6).

Konsep ini dibangun dari empat eksperimen EPG, yaitu pada organisasi warga terkait isu pendidikan dan keamanan lingkungan (community policing) di Chicago (USA), program perencanaan konservasi lingkungan hidup di USA, perencanaan anggaran kota yang partisipatif di Porto Alegre (Brazil), dan kebijakan desentralisasi di West Bengal dan Kerala (India). Menurut Wright dan Fung, ed. (2003:15), EPG berusaha untuk memajukan tiga arus dalam ilmu sosial dan teori demokrasi, yaitu: (a) Dibutuhkan banyak komitmen normatif dari analisa praktek dan nilai-nilai komunikasi, justifikasi publik, dan deliberasi/musyawarah; (b) Hal ini juga menempatkan deliberasi secara empiris dalam organisasi tertentu dan praktek, untuk menyusun pengalaman sosial untuk memperdalam pemahaman tentang musyawarah praktis dan mengeksplorasi strategi untuk meningkatkan kualitasnya; (c) EPG merupakan bagian dari sebuah kolaborasi yang lebih luas untuk menemukan dan membayangkan lembaga-lembaga demokrasi yang sekaligus lebih partisipatif dan efektif dari konfigurasi yang intens antara perwakilan politik dan administrasi birokrasi.

Menurut Fung (2003:528), seperti halnya pada pendekatan associative governance dari Hirst maupun Cohen dan Rogers, EPG menempatkan rekonfigurasi substansial terhadap pemerintah sebagai sarana mengajak aktor-aktor sosial untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan administrasi. Dalam perannya sebagai perantara (intermediary) antara warga dengan struktur formal negara, model EPG menjadi bentuk-bentuk institusional yang menciptakan arena dimana warga dapat terlibat secara langsung dalam pengambilan keputusan. Dari uraian tadi jelaslah bahwa asosiasi-asosiasi memainkan peran penting dalam model EPG. Menurut Fung, EPG tak jarang muncul akibat adanya desakan dari organisasi-organisasi gerakan sosial, yang bertujuan untuk mendukung upaya kontrol di tingkat lokal, akuntabilitas pemerintahan, atau keadilan sosial. Dapat dikatakan, asosiasi dapat menjalankan peran sebagai pembentuk (generative role) dari model EPG tersebut. Asosiasi juga dapat berperan merekrut dan memobilisasi warga, serta melengkapi individu-individu dengan kapasitas yang diperlukan dalam partisipasi politik, seperti memotivasi, mendukung informasi, dan meningkatkan keterampilan politik, melalui berbagai bentuk pelatihan dan peningkatan kapasitas.

Wright dan Fung, ed. (2003:16-18) mengemukakan tiga prinsip umum yang menjadi dasar EPG, yaitu:
a.       Berorientasi praktis. Mengembangkan struktur pemerintahan yang diarahkan untuk member perhatian yang cukup pada masalah-masalah konkret. Meskipun sering dikaitkan dengan gerakan sosial dan partai politik, EPG berbeda karena fokus pada masalah praktis, seperti menyediakan keamanan publik, pekerja pelatihan, merawat habitat, atau menyusun anggaran kota yang masuk akal. Fokus pada masalah praktis juga menciptakan situasi di mana para aktor yang umumnya terbiasa bersaing satu sama lain untuk memperoleh kekuasaan atau sumber daya dapat mulai bekerja sama dan membangun hubungan yang lebih menyenangkan. Namun ada kecenderungan pula dapat mengalihkan perhatian agen dari hal yang sesungguhnya lebih penting, seperti konflik yang lebih luas (misalnya pajak redistributif atau hak atas kekayaan), karena lebih terfokus pada masalah-masalah yang terbatas.

b.      Partisipasi dari bawah. Perubahan yang diinginkan adalah membentuk saluran baru bagi mereka yang paling terkena dampak langsung dari masalah yang ada –biasanya adalah warga biasa dan birokrasi di lapangan (street level bureaucrats)-- untuk menerapkan pengetahuan, kecerdasan, dan minat dalam merumuskan solusi. Justifikasinya adalah bahwa solusi yang efektif untuk beberapa jenis masalah publik mungkin memerlukan pertimbangan dari beragam pengalaman dan pengetahuan, pikiran yang relatif lebih terbuka dari para warga negara dan operator lapangan. Hal tersebut tidak dapat dilakukan oleh para ahli dengan keilmuan dan keterampilan tertentu saja. Selain itu, partisipasi langsung dari operator akar rumput akan meningkatkan akuntabilitas dan mengurangi rentang birokrasi yang ada pada partai politik dan aparat birokrasi pemerintah. Salah satu prestasi utama dari partisipasi warga di Porto Alegre dan Kerala adalah dalam mengurangi kebocoran fiskal akibat patronase, serta dapat melepaskan dari cengkeraman elit politik tradisional. Dalam hal ini, tugas para ahli adalah untuk memfasilitasi proses deliberasi dalam pengambilan keputusan, dan untuk membangun sinergi antara kaum profesional dan warga negara.

c.       Solusi deliberatif. Dalam pengambilan keputusan musyawarah, peserta mendengarkan posisi masing-masing pihak, dan dapat menetapkan pilihan setelah mempertimbangkan berbagai informasi dan pendapat yang ada. Peserta harus menyampaikan argumentasi dan mempersuasi satu sama lain dengan menawarkan alasan yang dapat diterima oleh orang lain. Proses deliberasi kerap ditandai dengan adanya konflik sengit, pemenang, dan pecundang. Fitur penting dari deliberasi yang sejati adalah bahwa peserta menemukan alasan yang dapat mereka terima dalam tindakan kolektif, meskipun hal tersebut belum tentu merupakan hal yang benar-benar mereka dukung atau dapat memberikan keuntungan maksimal.

Empat tipe pengambilan keputusan, yaitu deliberatif, komando, agregatif dan negosiasi strategis, masing-masing merupakan tipe ideal. Namun Fung dan Wright (2003:18-19) menyatakan bahwa dalam praktek EPG, proses pengambilan keputusan kerap melibatkan keempatnya. Karenanya, desain kelembagaan EPG juga mengembangkan kombinasi dari tipe pengambilan keputusan tersebut, sebagai berikut:
a.       Devolusi, yaitu penyerahan kewenangan pengambilan keputusan dan pelaksanaan kepada unit-unit lokal (seperti unit pelayanan kesehatan, pendidikan, kepolisian, dll.);
b.      Supervisi terpusat dan desentralisasi terkoordinasi (coordinated decentralization), dimana unit-unit lokal tersebut tidak bersifat otonom melainkan tergabung dan terhubung satu sama lain, dibawah supervise pemerintah terkait dengan kebutuhan alokasi sumberdaya, saling mendukung penyelesaian masalah umum yang dihadapi, dan mengembangkan mekanisme inovasi dan saling belajar;
c.       Peran negara yang besar (state-centered) dan tidak didasarkan kesukarelaan (voluntarisme) belaka. Dalam hal ini, institusi-institusi negara coba ditransformasi menjadi unit-unit deliberatif. Reformasi EPG pada jalur formal tersebut berpotensi dapat memanfaatkan kekuasaan dan sumberdaya negara menjadi lebih sesuai dengan nilai-nilai deliberasi dan partisipasi warga (popular participation) sehingga memungkinkan praktik tersebut menjadi lebih mampu bertahan lama dan dapat berlaku luas.

Fung dan Wright (2003:251) juga menyatakan bahwa deliberasi dan partisipasi yang adil, efektif dan berkelanjutan dalam institusi atau asosiasi-asosiasi tersebut bagaimanapun tidak hanya ditentukan oleh kejelasan dan kelengkapan dalam desain yang dibuat, namun juga dipengaruhi oleh konteks latar belakang, dan dalam tingkat tertentu juga oleh konstelasi dari kekuatan-kekuatan sosial yang bermanuver atau berperan di sekitar institusi-institusi EPG. Salah satunya, adalah bagaimana mengembangkan berbagai mekanisme yang dapat mengurangi atau mungkin menetralkan kekuatan atau pengaruh dari aktor-aktor dominan yang sebelumnya banyak berperan (countervailing power) (lihat Fung dan Wright, 2003:260).




Endnotes:
[1] Dalam hal ini, Fung berpendapat bahwa ada kemungkinan sulit untuk menerapkan demokrasi deliberatif yang mengedepankan argumentasi, diskusi dan persuasi di dalam iklim politik yang kurang kondusif, seperti adanya ketidakadilan yang ekstrem atau adanya dominasi yang sistematik oleh aktor-aktor tertentu. Dalam situasi tersebut, kadang dibutuhkan kombinasi antara penerapan argumentasi, diskusi dan persuasi dengan cara-cara lain yang tergolong non-persuasif, atau bahkan koersif (paksaan). Fung menyebut pendekatan tersebut sebagai deliberative activism atau secara bebas dapat diartikan sebagai ‘aktivisme deliberatif’ (lihat Fung, 2005:397-398).
[2] Menurut Fung, minimal democracy menempatkan pemilihan umum sebagai institusi politik utama, sebagai saranan menjamin kebebasan individu dalam menentukan pilihan politik. Partisipasi dalam pemilihan umum dipandang sudah cukup untuk menampung aspirasi rakyat atau warga, untuk selanjutnya para pemimpin politik terpilihlah yang akan menjalankan pemerintahan berdasarkan mandat tersebut. Dalam perspektif ini, warga dipandang kurang memiliki kapasitas individual (waktu, energi, komitmen, informasi, dan keterampilan politik) untuk terlibat dalam pembahasan kebijakan publik.
[3] Dalam agrregative democracy, Fung memandang warga dapat dan memiliki preferensi dan cara pandang politik yang rasional. Fung mengutip Dahl (1991), yang berpendapat bahwa opini dan penilaian warga dipandang dapat menentukan isi dari hukum, kebijakan dan tindakan publik. Opini publik tersebut diperoleh melalui polling, survei dan bentuk-bentuk jajak pendapat lainnya. Dalam konsep ini, sebuah pemerintahan dipandang lebih demokratis ketika hukum dan kebijakan yang mereka buat lebih dekat pada posisi tengah-tengah dari pandangan para pemberi suara atau median voter (seperti dinyatakan Black 1948; Downs 1957; Hacker dan Pierson, 2005).
[4] Fung berpendapat, bahwa dalam demokrasi deliberatif ini kebijakan dan hukum bukan semata berasal dari agregat opini warga melalui jajak pendapat, tetapi harus sesuai dengan harapan dari tiap warga secara individu. Para pejabat publik yang terpilih dalam Pemilu harus terlebih dahulu melibatkan warga dalam mengelaborasi berbagai posisi politik, argumentasi dan perspektif dan menghasilkan kompromi-kompromi yang rasional sebelum membuat sebuah keputusan atau kebijakan.
[5] Cole mendefinisikan asosiasi sebagai: “any group of persons pursuing a common purpose or aggregation of purposes by a course of cooperative action extending beyond a single act, and, for this purpose, agreeing together upon certain methods and procedures and laying down, in however rudimentary a form, rules for common action. At least two things are fundamental and necessary to any association: a common purpose and, to a certain extent, rules of common action. (Cole, Social Theory, 1920:37).
[6] Menurut Fung (2003:526), versi maksimal dan ’ambisius’ dari konsep ini adalah yang diajukan Hirst (1994) yang berpendapat bahwa negara dan ’ekonomi’ harus direstrukturisasi agar dapat memberikan jalan bagi asosiasi-asosiasi untuk secara gradual dan progresif dapat menjadi alat utama dalam hubungan antara politik dan ekonomi pada pemerintahan demokratis. Caranya adalah dengan menyerahkan fungsi-fungsi tertentu dari pemerintahan dan pembangunan kepada asoasiasiasosiasi, dan menciptakan makanisme yang memungkinkan adanya anggaran publik yang dapat dikelola asoasiasi-asosiasi tersebut. Konsep Hirst termasuk dalam ’aliran’ associationalism yang memandang bahwa baik kebebasan individu maupun kesejahteraan manusia akan dapat terwujud dengan lebih baik ketika banyak urusan masyarakat sedapat mungkin dikelola secara sukareka (voluntary) dan secara demokratis oleh asosiasi-asosiasi yang mengurus dirinya sendiri (selfgoverning associations) (lihat Hirst, 1994:19).
[7] Cohen dan Rogers (1995:55) merekomendasikan adanya hubungan yang lebih dekat antara asosiasi-asosiasi dan pemerintah untuk mengatasi keterbatasan pada kebijakan sosial dan ekonomi pada negara kesejahteraan (welfare state). Asosiasi diharapkan dapat memainkan peran lebih luas, yang aktivitasnya terhubung dengan otoritas formal dari lembaga-lembaga publik, dalam hal: (a) menyusun kebijakan; (b) koordinasi kegiatan ekonomi; (c) pelaksanaan dan administrasi kebijakan. Meningkatnya peran asosiasi-asosiasi dalam fungsi-fungsi negara dipandang akan meningkatkan kualitas informasi dalam formulasi kebijakan dan meningkatkan tingkat kerjasama antara perwakilan asosiasi-asosiasi dalam kompleksitas hubungan para aktor yang saling terhubung (lihat Fung, 2003:527).