Baca

Baca

Kamis, 26 Maret 2015

"Aliran Syi'ah di Indonesia": Prof. DR. Aboebakar Atjeh


Baru saja selesai membaca buku ini, dan jadi ingin berbagi. 

Tentu saja saya bukan ahli sejarah agama, dan hanya sekedar ingin sedikit belajar kenal tentang sejarah dari mereka-mereka yang mendalami dan ahli di bidang tersebut.

Buku ini berjudul Aliran Syi’ah di Nusantara, karya Prof. DR. Aboebakar Atjeh, yang diterbitkan pada tahun 1977 oleh Islamic Research Institute, Jakarta.

Ada 8 bagian tulisan dalam buku ini. 

Selamat membaca...


-----

NAMA DAN AJARAN
(Hal.1-3)

NAMA Syi'ah itu pada awal mulanya berarti golongan, firqah dalam bahasa Arab. Tetapi telah pada permulaan Islam nama ini terutama digunakan untuk suatu golongan yang tertentu, yaitu golongan yang sepaham dan membela Ali bin Abi Thalib, khalifah yang keempat, suami dari anak junjungan kita Nabi Muhammad s.a.w., bernama Fatimah dan kemenakan penuh dari Nabi, karena ia anak pamannya Abu Thalib, saudaranya ayahnya.

Dalam masa salaf, zaman Nabi dan sahabatnya, perkataan ini belum digunakan orang, tetapi untuk itu dipakai perkataan Ahlil Bait atau Alawi atau Bani Ali atau Ba Alawi.

Orang-orang Syi'ah itu, artinya orang-orang yang masuk golongan Saidina Ali , mempercayai bahwa Saidina Ali itulah orang yang berhak menjadi pengganti Nabi sesudah wafatnya, begitu pula khalifahan itu turun-menurun dari padanya, sebagai orang yang berhak menjadi Imam, yaitu kepala masyarakat kaum muslimin, karena mereka itulah, yang juga dinamakan Ahlil Bait, yang lebih mengetahui dan lebih dekat serta lebih meyakini akan ajaran Nabi Muhammad.

Uraian yang panjang lebar tentang segala sesuatu mengenai Syi'ah, sudah saya uraikan dalam karangan saya, "Syi'ah, rasionalisme dalam Islam", (Semarang, 1972), dan kitab "Al-Ja'fari, Mashaf Ahlil Bait" (sedang dicetak). Disana saya uraikan lengkap mengenai sejarah terjadi dan pertumbuhannya, perkembangan aliran dan mashafnya mengenai tafsir, ilmu liadtts, ilmu fiqh, tarikh tasyriq, bermacammacam aliran Syi'ah, seperti Isyna Asysar Imamiyah, Zaidiyah, Isma' iliyah, Jabaliyah, dll. Imam-Imam dan sejarah perjuangannya, ulama-ulama dan pengarang-pengarang, penyiaran kitab-kitabnya, yang bersifat agama dan ilmu pengetahuan, jasa-jasanya dalam penyiaran dan perkembangan Islam seluruh dunia.

Beberapa kejadian sesudah wafat Nabi, seperti bangkit kembali Bani Umayah dan Bani Abbas, dengan kerajaan-kerajaannya, yang kemudian, juga bercekcokan dengan keturunan Ali bin Abi Thalib, pembunuhan atas diri khalifah Usman, yang dituduhkan secara palsu oleh Yazid bin Mu'awiyah, kepada Ali dll. menyebabkan pada akhirnya keluarga-keluarga Ahlil Bait ini, mengungsi kedaerah Persia dan India, Cina, Asia Tengah, Afrika dan Nusantara yang dapat menampung mereka, dan menyelamatkannya. Hal ini terutama sesudah terjadi pembunuhan atas diri Sayidina Hasan dgn racun, dan Sayidina Husain dalam peperangan di Karbala. Sayidina A l i sendiri dalam th. 40 H (661 M) dibunuh oleh salah seorang fanatik, Ibn Muijam, dari golongan Khawarij, dan sesudah gugur pula anaknya dalam pertempuran yang dahsat dimedan peperangan Karbala pada th. 61 H. (680 M), sebagai putra Mahkota yang melawan Yazid dari Bani Umayah, maka makin bertambah tambahlah hebatnya perkembangan golongan Syi'ah ini, yang meluap kesebelah timur, terutama Persia dan India, dan Asia Tengah serta Afrika Utara. Sebenarnya hubungan Iran-Indonesia telah berlangsung lama dan selalu baik. Dalam buku „Al-Islam Fi Indonesia" karangan Dzya Shahab dan Haji Abdullah b. Nuh, yang diterbitkan "Badan Penerbit Saudi Arabia" Jeddah, dikisahkan bahwa pelayaran laut ke Asia Tenggara dan Asia Timur lama dikuasai orang-orang Persia bersama Arab. Hubungan teluk Persia dengan Indonesia lalulintas kuat. Banyak kota-kota di Indonesia di diami orang-orang Persia dan Arab. Juga dinukil dari buku Al-Damashky, yang mengatakan dalam bukunya „Nakhbat-al-Dahr" bahwa arusperpindahan Muslimin ke Indonesia, meningkat pada zaman bani Umayah, yang dikenal karena kezalimannya.

Ibn Batuta, pelancong Marokko diabad ke 13 (787 H) menyatakan bahwa ketika mengunjungi Samudra dan Pasai dia banyak bertemu dengan Muslimin dan orang-orang Persia. Terdapat ulama besar Abdullah Shah Muhammad bin Shaikh Taher (wafat 787 H).

Pada zaman Malik al-Kamil terdapat Qadhi (hakim) Al-Sharief Amir Sayyid Al-Shirazi. Sedangkan dizaman Al-Malik al-Zahir, terdapat ulama besar Tajuddin Al-Isphahani dan banyak lagi yang nama-nama mereka terukir dalam nisan-nisan diatas kuburnya masing2".

Ibn Batuta berkata pula bahwa wakil Laksamana di Samudra-Pasai adalah seorang Persia bernama Behruz. Terdapat sebuah desa di Samudra kubur dari Hisauddin yg wafat pada tahun 1420 M. Menurut Sir Richard Winsted, kuburannya sangat menarik karena terukir beberapa shair dari Sa'di, pujangga Iran yang dikubur di Shiraz, a.1. berbunyi :

„Ribuan tahun akan datang dan pergi
diatas kubur kita melintasi
Selama itu air mengalir dan angin Saba mengembus
dan waktu hidup segera terputus
Mengapa melintasi kubur orang
dengan jalan angkuh lantang ?

Disamping itu kita juga lihat berbagai nama raja-raja di Indonesia memakai gelar-gelar yang dipakai juga di Iran. Berbagai adat istiadat di Jawa, Sumatra dan Sulawesi banyak persamaannya dengan yang ada di Iran. Kebiasaan-kebiasaan tidak menikahkan atau merayakan pesta-pesta pada bulan Suro, mirip dengan kebiasaan Iran. Demikian pula kisah bubur merah bubur putih dan cerita-cerita yatim, mempunyai latar belakang yang sama.

Prof. Husein Jayadiningrat almarhum, banyak mengadakan penelitian mengenai hubungan kebudayaan Iran-Indonesia, dimana kemudian Prof. Husein Jayadiningrat mengatakan banyak pengaruh Iran dalam bahasa Indonesia.

Dalam aliran Sufi di Indonesia banyak masuk pengaruh Tasauf Persia seperti pengaruh Junaid, Hallaj, Jalaluddin al Rumi, Shams al-Tebrisi. Belum lagi pengaruh Al-Gazali yang demikian popuier di Indonesia. Cerita-cerita Iskandar Zulkarnaen, Kisah Am'r Hamzah, Kisah Yusuf dan Zulaikha, Mu'jizat-mu'jizat para Nabi sangat terkenal dikawasan ini berasal dari literatuur Iran.

Di daerah ini aliran Syi'ah dianut, dan bersama dengan orang-orang Persia dan India ulama-ulama dan pemimpin-pemimpin Syi'ah itu pergi ke Nusantara untuk menyiarkan agama Islam menurut pahamnya, sambil melanjutkan perdagangan dengan Timur Jauh, yang sudah terjadi sejak dahulu, Lih. karangan saya "Sejarah Al-Qur'an" (Surabaya-Malang, 1956. eet. ke-IV).

Keturunan dari Sayidina Hasan biasa sehari-hari dinamakan Syarif, dari Sayidina Husain disebut Syayid, keturunan wanita masing-masing dinamakan Syarifah dan Syayidah. Perlu dicatat disini, bahwa hijrah dari pada keturunan Ahlil Bait ini, banyak ke Mesir, dan dari sana kedaerah-daerah Islam yang lain, sebagaimana banyak yang hijrah ke Persia dan India, yang kemud'an kedaerah Islam yang lain. Baik juga pembaca memperhatikan sebuah kitab baru yang diterbitkan oleh "Al-Majlisul A'la Lisy-Syu'unil Islamiyah" di Cairo, yang bernama "Ahlul Bait fi Misr", karangan Ust. Abdul Hafid Faragli (Cairo Desember 1974 M).

-----


AHLIL BAIT, DAN MASHAFNYA
(Hal.4-9)

Dalam kitab karangan saya mengenai "Syi'ah, nasionalisme dalam Islam" (Semarang, 1972), saya uraikan tentang pengikut Syi'ah Ali ini dengan mashafnya, yang bernama Ahlil Bait, sebagai berikut.

Memang disana — sini kita mendengar kecaman terhadap Mashaf Ahlil Bait, yang menggunakan hadits-hadits tersendiri dan berbuat bid'ah. misalnya oleh pengarang sejarah yang terkenal Ibn Khaldun (Muqaddimah, hal. 274), tetapi acap kali orang lupa, bahwa dibelakang tuduhan-tuduhan itu terdapat politik propaganda Bani Umayah atau Bani Abbas, yang membenci mashaf ini, karena ia teruntuk khusus bagi Syi'ah Ali bin Abi Thalib. Untuk kemaslahatan dan keselamatan diri serta karangan-karangannya, banyak penyusun-penyusun kitab dalam segala bidang meninggalkan kemegahan bagi Syi'ah, meskipun pada bathinnya kadang-kadang mereka membenarkannya.

Mengenai jawaban ilmiyah atas kecaman Ibn Khaldun, bacalah kitab "Al-lmam as-Shadiq wal Mazahibil Arba'ah", karangan Asad Haidar, diantara lain jilid kesatu, hal. 216 - 218. Sebenarnya bukan tidak beralasan, baik Bani Umayyah maupun Bani Abbas, menuduh Syi'ah Ali senantiasa kalah menggerakkan pemberontakan rakyat terhadap pemerintahan mereka. Jiwa pengajaran Islam dalam daerahnya banyak dititik beratkan kepada kehidupan duniawi, melalui jalan kasar atau jalan halus terhadap ulama-ulamanya, sedang ajaran Islam menurut Mashaf Ahlil Bait lebih banyak ditekankan kepada kehidupan dunia dan akhirat.

Jiwa pengajaran Imam As-Shadiq diantara lain adalah kemerdekaan roh, yang sangat dihargakan tinggi oleh Islam, dan dengan demikian pengikut-pengikutnya selalu berdaya upaya meiepaskan kemerdekaan jiwanya itu dari pada belenggu kekuasaan yang dianggap zalim ketika itu. Sejak berdirinya mashaf ini terikat dengan dua peninggalan Nabi yang kuat "As-sagalain" yaitu Kitabullah dan Itrah Rasulnya, Qur'an dan keluarga Nabi, yang berpadu keduanya, tidak berccrai dalam penunaian kewajibannya untuk memberi petunjuk dan hidavat kepada umat. ("Haditsuts Tsaqalain", 1952 M., penerbitan "Damt Taqrib bainal Mazahibil Islamiyah").

Qur'an mencegah memberi bantuan kepada orang yang berbuat zalim dan mempercayainya. Dalam sebuah firman Tuhan berseru :
"Jangan kamu lekatkan kepercayaanmu kepada mereka yang berbuat zalim karena pasti kamu akan masuk neraka. Tidak ada lain pemimpinmu kecuali Allah, yang lain tidak akan dapat menolongmu" (Qur'an surat Hud, ayat 113).

Ajaran seperti dalam masa Nabi ini sudah tidak sesuai lagi dengan masa Bani Umayyah dan Bani Abbas yang tamak kekayaan dan bertindak secara kekerasan. Mereka menganggap ajaran-ajaran Imam as-Shadiq itu ditujukan kepadanya.

Dengan penuh keberanian Imam menjalankan terus ajaran semacam ini. Pengikut-pengikutnya diajar meresapkan rasa adil, yang merupakan pokok terpenting daripada dasar-dasar penetapan hukum Islam. Murid-muridnya hanya mematuhi peraturan-peraturan yang tidak melampaui batas Tuhan, yaitu Qur'an dan mentaati imam-imam yang adil serta memelihara agama, imam-imam yang ingin damai, bermutu tinggi dalam akhlak dan budi pekerti.

Sebagai akibatnya rakyat tidak mau mencari penjelasan dalam urusannya kepada hakim-hakim pemerintah yang d'anggap zalim itu, menjauhkan dirinya dari ulama-ulama yang ditunggangi oleh pemerintah (Abu Na'im Halyatul Aulia, III : 195). Dengan demikian Khalifah Mansur As-Saffah dan Hajjaj bin Yusuf lalu mengambil tindakan, dan gugurlah ulama-ulama hadits dan fiqh dalam mempertahankan agamanya itu.

Imam As-Shadiq menghendaki, agar disamping pemerintah dunia, terdapat pimpinan agama, yang betul-betul menjalankan kebijaksanaannya menurut hukum Tuhan, berdasarkan kepada da'wah yang benar kebajikan, keadilan, persamaan ukhuwah Islamiyah umum, peradaban yang baik dan kebudayaan yang benar, membasmi hawa nafsu, membasmi bid'ah dan kesesatan, yang semuanya itu dapat diperoleh hanya dari keturunan suci, pemimpin-pemimpm mashaf ini. Karena merekalah yang sanggup memimpin umat kepada agamanya, membawanya kepada kebahagiaan, kepada tujuan-tujuan yang mulia dan tinggi, kepada contoh-contoh yang tinggi.

Mashaf Ahlil Bait ini adalah mashaf yang terdahulu lahir dalam sejarahnya, karena sebenarnya bukan Imam As-Shadiq yang meletakkan batu pertama dan menaburkan benihnya, tetapi ialah Rasulullah sendiri. Nabilah yang meletakkan sumber-sumber dan peraturannya dengan ucapannya menyuruh berpegang kepada Qur'an dan keluarganya, agar umat jangan tersesat (Hadits).

Mashaf ini terlahir dalam masa Nabi dan Imam yang pertama ia\lah Ali bin Abi ThaVb, Imam yang paling tinggi nilainya dan paling banyak ilmunya. Ia merupakan diri Nabi Muhammad mengikutinya dalam segala waktu, menampung ilmu langsung dari padanya, memperoleh tasyri'amali sahabatnya dikampung dan dalam perjalanan, ia duduk jika Nabi duduk, ia bekerja jika Nabi bekerja. Rasulullah adalah guru langsung dari Ali , pendidik dan pengasuhnya.

Penyair Mutanabbi menggambarkan keindahan pewarisan ilmu itu kepada Ali sebagai berikut :

Kuletakkan sanjunganku kepada pewaris,
Pewaris Nabi, wasiat Rasul,
Karena ia nur cahaya berbaris,
Sambung menyambung, susul menyusul.

Sesuatu yang tetap terus menerus,
Pasti akhirnya berdiri sendiri,
Busah lenyap karena arus,
Laksana sifat matahari.

Tatkala Ali wafat, gerakan ilmiyah dan pimpinan mashaf ini dipimpin oleh puteranya, Imam Hasan, cucu Rasulullah dan mainan hatinya. Dialah tempat rakyat mengembalikan urusannya dan segala persengketaan. Tetapi urusan mashaf itu tidak berjalan dengan lancar, karena tekanan beberapa kejadian dan saling sengketa dengan Mu'awiyah. Kecurangan-kecurangan Mu'awiyah terhadap keluarga Ali dan kekejaman-kekejamannya yang banyak menumpahkan darah, menghambat kemajuan perkembangan hukum. Kita ketahui bahwa perjanjian antara Hasan dan Mu'awiyah untuk menyelamatkan perkembangan hukum dan ajaran Islam, yang sebenarnya, tidak ditepati oleh Mu'awiyah.

Masa Imam Husain yang menggantikan saudaranya, lebih kacau lagi. Tidak saja peperangan-peperangan sudah terbuka, tetapi kekuasaan yang telah dicapai oleh Mu'awiyah digunakannya dengan sengaja untuk merusakkan kedudukan hukum kaum muslimin. Urusan peradilan diserahkan kepada anaknya Jazid, seorang fasik dalam berbuat dosa dan kufur yang tidak ada taranya. Kemudian ia menjadi khalifah buat orang Islam, menjadi imam yang duduk diatas singgasana kekhalifahan Islam.

Siapa Yazid ? Dalam "As-Sa'ral Anwal Fil Islam", karangan Muhammad Abdul Baqi (hal. 79) kita baca, bahwa ia seorang fasik yang durhaka, ia membolehkan berzina, memperkenankan meminum-minuman keras, membolehkan berzina, memperkenankan nyayian-nyanyian dalam mejelis-majelis kehormatan menjadikan adat kebiasaan meminum anggur dalam sidang-sidang pengadilan, memberikan rantai dan kalung anjing dan monyet mainannya dengan emas, sedang ratusan orang Islam disekeliling tempat itu mati kelaparan.

Lalu menjadilah kedudukan hukum Islam ketika itu sangat buruk. Imam Husain tidak dapat berdiam diri, ia terpaksa bangkit membela kebenaran, melakukan amar-ma'ruf nahi munkar, hingga terpaksa ia mengorbankan jiwanya dengan cara yang sangat menyedihkan scbagai pahlawan Islam.

Urusan peradilan Islam dan pimpinan mashaf berpindah kepada anaknya Imam Ali bin Husain, yang bergelar Zainal Abidin, seorang yang sangat wara' dan taqwa dalam masanya, tetapi juga seorang alim dalam segala bidang ilmu Islam. Dengan cara diamdiam ia meneruskan usaha ayahnya,, yang meskipun suasana ketika itu sangat buruk, melahirkan banyak ulama-ulama ahli hukum dan ahli hadits.

Masa anaknya Imam Al-Baqir, memimpin mashaf Ahlil Bait ini, suasana politik sudah agak berubah, pemerintah Bani Umayyah sudah mulai lemah, diserang kanan kiri dan dibenci oleh rakyat karena sifat feodalnya. Pengajaran-pengajaran Ahlil Bait digiatkan kembali dimana-mana, ulama-ulamanya memancar pergi menyiarkan ajaran Kitabullah dan Sunnah Nabi di Madinah dan dalam MasjidU Haram, terutama ruang yang terkuat dengan nama "Ruang Ibn Mahil".

Kemajuan yang sangat pesat dicapai dalam masa Imam As-Shadiq. Ditiap negeri sudah ada orang alim yang mengajar mashaf ini. Madrasah Imam As-Shadiq di Madinah merupakan sebuah universitas yang besar, yang dikunjungi oleh mahasiswa dari seluruh pojok bumi Islam. Banyak yang mengirimkan utusan-utusannya.

Sejarah pendidikannya menerangkan, bahwa ia seorang mujtahid besar; Tidak ada pertanyaan yang tidak dijawab dan jawabannya itu menjadi sumber hukum pula bagi murid-muridnya.

Terkenal sebuah ucapannya : "Tanyakanlah kepadaku sebelum aku mati, tidak akan ada seorangpun dapat memberikan kepadamu penjelasan seperti yang engkau dengar daripadaku" (Tazkiratul Huffaz, II : 157). Mengapa tidak demikian, karena dialah pewaris ilmu kakeknya yang masyhur itu. Mengenai Ali bin Abi Thalib, Nabi berkata : „Aku ini gudang ilmu dan Ali pintunya" (Hadits).

Maka oleh karena itu sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam As-Shadiq dari ayahnya Al-Baqir, dari ayahnya Zainal Abidin, dari Husain bin Ali dan dari Nabi, dianggap sanad yang paling baik dan paling kuat Riwayat semacam ini dinamakan "Silsilah zahabiyah", urutan keemasan demikian tersebut dalam kitab "Ma'-rifah Ulumut Hadits, karangan Hakim An-Naisaburi, hal. 55.

Jelaslah kepada kita mengapa ulama-ulama mengutamakan mashaf ini dalam sesuatu penetapan hukum. Tidak lain sebabnya melainkan karena salurannya sangat bersih.

Pemerintah melihat bahayanya orang banyak dari mencari hukum kepada Imam As-Shadiq, dan tidak mau mendatangi hakim-hakim dan pengadilan resmi. Lalu diambil siasat, menyuruh ulamanya mengeluarkan fatwa, bahwa pintu ijtihad hukum Islam sudah tertutup.

Mashaf Ahlil Bait, yang kemudian terkenal dengan Mashaf Al-Ja'fari, tidak mau mentaati siasat pemerintah ini, pertama karena rakyat tidak mau mematuhinya, kedua karena menyebabkan orang Islam menjadi beku, tidak mau berfikir dan menggunakan akal, satusatunya anugerah Tuhan yang sangat mulia kepada manusia. Sebagai akibat keputusan ini, pemerintah menganggap-anggap mashaf itu meneutang kebijaksanaannya dan menghukum orang-orang yang tidak taat itu.

Dengan alasan ini pemerintah menganggap mashaf Ahlil Bait musuhnya, lalu dinyatakan sebagai suatu golongan yang dianggap keluar dari Islam karena salah i'tikadnya, padahal ulama-ulama Ahlil Bait tidak mau mentaatinya karena hakim-hakim itu zalim, dan umat Islam diperintahkan meninggalkan orang-orang yang zalim itu dan rajanya.

Sebagaimana terjadi dalam salah satu permusuhan, pemerintahan Bani Abbas lalu mencari-cari dan membuat-buat alasan untuk memburuk-burukkan mashaf ini dan Syi'ah Ali yang memeluknya. Mereka menggunakan uang untuk menggaji mubaligh-mubaligh yang menyampaikan kecaman-kecaman mereka dalam mesjid-mesjid, menggunakan ahli-ahli pidato yang ulung dijalan-jalan, mengumpulkan ulama-ulama untuk mengeluarkan fatwa yang sesuai dengan hawa nafsu mereka untuk menyerang Syi'ah sebagai musuh negara dan sebagai musuh Islam.

Mereka menyiarkan berita bohong, bahwa Syi'ah mengkafirkan semua sahabat Nabi, bahwa mereka tidak beramal menurut Qur'an dll. Dengan demikian diracuni pikiran rakyat dan digerakkan untuk membasmi golongan yang disebut salah itu. Bacalah kitab "Imam As-Shadiq wal Mazhahihil Arba'ah", karangan Asad Haidar, terutama jilid ketiga, hal. 21 - 23.

Dengan demikian pula tuduhan-tuduhan yang bukan-bukan kepada Syi'ah ini berlarut-larut dari generasi-kegenerasi, dari ulama ke ulama dari kitab ke kitab, sebagaimana yang akan kita singgung juga dimana ada kesempatan.

-----


ALI DAN QUR'AN
(Hal.10-15)

Ali bin Muhammad At-Thaus dalam kitabnya "Sa'dus Su'ud", berdasarkan keterangan Abu Ja'far bin Mansur dan Muhammad bin Marwan, berkata, bahwa pengumpulan Qur'an dalam masa Abu Bakar oleh Zaid bin Sabit gagal, karena banyak dikeritik oleh Ubay, Ibn Mas'ud dan Salim, dan kemudian terpaksalah Usman mengadakan usaha mengumpulkan ayat-ayat Qur'an lebih hati-hati dan seksama, dibawah pengawasan Ali bin Abi Thalib (Az-Zanjani, hal. 45). Maka pengumpulan Qur'an dengan pengawasan Ali bin Abi Thalib inilah yang berhasil, karena pengumpulan itu, tidak saja disetujui oleh Ubay, Abdullah bin Mas'ud dan Salam Maulana Abu Huzaifah, tetapi juga oleh sahabat-sahabat yang lain. Mashaf Usman inilah yang kita namakan Qur'an umat Islam sekarang ini, yang tidak saja wahyu-wahyunya benar seperti yang disampaikan Nabi, tetapi bahasanya dan bunyi ucapannya sesuai dengan aslinya. Usman membuat beberapa buah diantara mashaf ini, sebuah untuk dirinya, sebuah untuk umum di Madinah, sebuah untuk Mekkah, sebuah untuk Kufah, sebuah untuk Basrah dan sebuah untuk Syam. Ibn Fazlullah al-Umri pernah melihat mashaf Usman ini pada pertengahan abad ke-VII H. dalam masjid Damsyiq (baca Maslikul Absar, I 195, c. Mesir), dan banyak orang menyangka, bahwa naskah mashaf ini pernah disimpan dalam perpustakaan di Liningrad, yang kemudian dipindahkan kesalah satu perpustakaan di Inggeris (Az-Zanjani, 46). Pengarang Sejarah Qur'an yang terkenal Abu Abdullah Az-Zanjani ini dalam kitabnya "Tarikhul Qur'an", hal. 46, menerangkan bahwa ia pernah melihat dalam bulan Zulhijjah, th. 1353 H . dalam perpustakaan, yang bernama "Darul Kutub Al-AU>wiyah", di Nejef sebuah mashaf dgn. khat Kufi, dan tertulis pada akhirnya "Ditulis oleh Ali bin Abi Thalib dalam th. 40 Hijrah".

Al-Amadi At-Tughlabi, seorang ulama fiqh dan ilmu kalam, mgl. 617 H, menerangkan dalam kitabnya ''Al-Ajkarul Akbar", bahwa mashaf-mashaf yang masyhur dalam zaman sahabat itu dibacakan kepada Nabi dan diperlihatkan mashafnya kepada Nabi. Ibn Sirin mendengar Ubaidah As-Salmani berkata, bahwa bacaan yang diperdengarkan kepada Nabi mengenai Qur'an pada saat-saat hampir wafatnya, adalah bacaan yang sampai sekarang dipergunakan orang.

Jika ada pembicaraan mengenai Qur'an Ali " (yang sebenarnya mashaf Ali), yang berbeda dengan mashaf-mashaf Ubay bin Ka'ab (mgl. 20 H), Abdullah bin Mas'ud (mgl. 32 H), mashaf Abdullah bin Abbas (mgl. 68 H) dan mashaf Abu Abdullah Ja'far bin Muhammad As-Shadiq, adalah perbedaan mengenai susunan bahagian Qur'an, yang dinamakan "Surat", bukan perbedaan mengenai ayat2 dan dialeknya, yang sesudah Ali dengan aktif turut menyusun mashaf itu dalam masa Usman sudah tidak berbeda lagi. Jika ada perkataan yang menyebut "Qur'an Syi'ah yang dimaksudkan ïalah mashaf asli Ali bin Abi Thalib atau mashaf asli imam Ja'far Shadiq, yang sekarang tidak ada lagi sudah menjadi mashaf Usman dengan ijma' sahabat-sahabat Nabi ketika itu. Orang-orang Syi'ah memakai Qur'an Usman itu sebagaimana kita memakainya.

Jadi tuduhan, bahwa Ali mempunyai Qur'an yang berlainan ayat-ayatnya daripada wahyu yang diturunkan Tuhan kepada Muhammad, dengan disaksikan oleh sahabat, dan bahwa Qur'an itu, sesudah ditambah atau dikurangi, digunakan khusus oleh golongan Syi'ah, tidak benar sama sekali adanya. Tuduhan i n i ditolak oleh sejarah dan oleh ulama-ulama Syi'ah sendiri, diantara lain oleh Abul Qasim Al - Khuli, pengarang tafsir Syi'ah Imamiyah yang terkenal "Al-Bayan fi Tafsiril Qur'an" (Nejef, 1957). Dan juz yang pertama, pada halaman 171 dan berikutnya, dikupas panjang lebar, bahwa Ali bin Abi Thalib tidak mempunyai mashaf yang berlainan ayat2nya dari mashaf-mashaf Sahabat lain, kecuali berlainan susunan Suratnya. Mashaf Ali yang dipusakai dari Nabi, penuh diberi catatan-catatan mengenai tanzil, masa dan sebab turun ayat, mengenai ta'wil, pengertian dan maksud yang pelik, yang berasal dari keterangan Nabi sendiri, selanjutnya mengenai ayat-ayat nasikh dan mansukh, ayat-ayat ahkam dan mutasyabihah (Tafsir As-Shafi, muk. VI : 11), mengenai halal dan haram, mengenai had atau hukum sampai kepada tetek bengek (Muk. Tafsir Al-Burhan hal. 27), ditolak semua oleh A l - K h u l i tuduhan yang tidak benar itu (172 - 175).

Al-Khuli mengatakan sebagai khulasah, bahwa penambahan dalam mashaf A l i bukan ayat-ayat Qur'an, yang disuruh sampaikan oleh Nabi kepada ummatnya, dan bahwa tuduhan semacam ini adalah tidak berdasarkan kepada dalil yang benar, karena dengan ijma dalam masa Usman sudah dihilangkan semua penyelewengan atau tahrif.

Sebenarnya segala sesuatu mengenai Qur'an, baik sejarah turunnya wahyu, sejarah pengumpulannya dan penyusunan Qur'an dan penulisan mashaf, penterjemahan serta penafsirannya, sudah saya bicarakan dalam sebuah kitab khusus mengenai persoalan ini, yang saya namakan "Sejarah Al-Qur'an", cetakan terakhir di Jakarta 1953, tetapi belum saya tinjau dari sudut pendirian golongan Syi'ah.

Bahwa Ali bin Abi Thalib mempunyai bahagian dan kedudukan penting dalam penyusunan Al-Qur'an bukanlah suatu persoalan yang mesti dipertengkarkan, baik ulama-ulama Syi'ah, ulama-ulama Ahlus-Sunnah, maupun ulama-ulama aliran lain dalam Islam, semuanya mengakui bahwa Ali-lah yang mengetahui paling lengkap tentang turunnya wahyu-wahyu Tuhan kepada Nabi Muhammad, karena dialah yang mengikuti Nabi sejak permulaan keangkatannya menjadi Rasul dan selalu berdampingan dengan Rasulullah sebagai keluarga terdekat dalam segala keadaan. Disamping itu ia termasuk penulis-penulis wahyu, yang ditunjuk oleh Nabi untuk mencatat tiap-tiap ada wahyu turun, baik siang ataupun malam hari.

Sahabat-sahabat dalam masa Nabi banyak yang sudah tahu menulis, dan kesenian menulis ini oleh Rasulullah sangat diperkembangkan. Bangsa Arab yang sudah tinggi kebudayaan sebelum Islam, sudah menggunakan huruf Hiri, suatu kota kebudayaan yang letaknya kira-kira tiga mil dari Kufah, dekat Nejef sekarang ini, dan oleh karena itu dinamakan juga huruf Kufi, begitu juga huruf Anbari, suatu kota dekat sungai Eufrat, tiga puluh mil sebelah barat Baghdad, semuanya berasal dari kemajuan kebudayaan Arab Kindah. Dari sebuah riwayat dari Ibn Abbas diterangkan asal-usul huruf ini masuk ketanah Hajaz dari Yaman (Kindah), bahkan sejarah pemakaian huruf ini sampai kepada Thari', kepada Khaflajan, penulis wahyu yang diturunkan kepada Nabi Hud.

Abu Abdullah az-Zanjani menerangkan bahwa khat ini dimasukkan oleh Nabi Muhammad ke Madinah melalui orang-orang Yahudi, yang mengajarkan anak-anak Islam menulis. Ada sepuluh orang diantara kaum muslimin yang ahli dalam huruf ini diantaranya Sa'id bin Zaharah, Munzir bin Umar, Ubay bin Wahab, Zaid bin Sabit, Raff bin Malik dan Aus bin Khuli. yang kemudian ditambah dengan tawanan Badr, yang mengajarkan huruf-huruf ini kepada anak-anak Islam.

Bahwa wahyu-wahyu yang turun kepada Nabi ditulis dan dicatat orang merupakan mashaf simpanannya masing-masing tidaklah mengherankan, karena ada empat puluh tiga orang yang ditugaskan menulis wahyu itu dengan khat Nasakh, diantaranya yang termasyhur ialah Khalifah empat Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali, selanjutnya Abu Sufyan dengan dua anaknya Mu'awiyah dan Yazid, Sa'id ibn Ash dan anaknya Isan dan Khalid, Zaid bin Sabit, Zubair bin Awam Thalhah bin Ubaidillah. Sa'ad bin Abi Waqqs, Amir bin Fahiah, Abdullah ibn Argam, Abdullah bin Rawahah, Abdullah bin Sa'ad bin Abi Sarah, Ubay bin Ka'ab, Sabit ibn Qais, Hanzalah ibn Rabi', Syurahbil bin Hasanah, Ula bin Hadrami, Khalid ibn Walid, Amr ibn Ash, Mughirah bin Syu'bah, Mu'aiqib bin Abi Fatimah ad-Dausi, Huzaifah ibn Yaman, Huwaithib bin Abdul 'Uzza Al-Amiri, baik dalam masa Nabi maupun sesudah wafatnya.

Meskipun demikian yang tetap mengikuti Nabi dan yang dipercayanya adalah catatan dua orang, yaitu Zaid bin Sabit dan Ali bin Abi Thalib. Demikian kata Az-Zanjani dan menambahkan, bahwa banyak riwayat2 menerangkan, kedua orang itulah yang dengan sungguh-sungguh menghadapi penulisan dari pengumpulan wahyu itu. Bukhari meriwayatkan dari Barra, bahwa tatkala turun wahyu "tidak sama orang mu'min yang diam dengan mereka yang menderita kemelaratan dan yang berjihad diatas jalan Allah" (Surat An-Nisa). Nabi dengan segera berkata : "Panggil Zaid datang kepadaku, membawa lah tinta dan tulang belikat unta", dan sesudah Zaid datang, ia berkata : "Tulislah selengkapnya ayat ini " (Zanjani, hal. 20).

Dalam sebuah ceritera, Umar diperingatkan orang bahwa adiknya Fatimah telah masuk Islam. Umar marah dan pulang kerumahnya, didapatinya pada adiknya itu wahyu tertulis diatas perkamen sedang dibacanya. Hal ini terjadi dikala Umar belum masuk Islam, dan karena membaca wahyu yang tertulis itu, ia lalu masuk Islam. Semua itu menunjukkan, bahwa Rasulullah menghendaki Qur'an itu ditulis dan penulisan itu sudah dimulai dalam masa hidupnya dan dengan petunjuk serta pengawasannya.

Dalam masa Rasulullah Qur'an itu ditulis diatas tulang-tulang, kepingan batu, potongan daun atau kain, acapkali juga diatas kain sutera atau kulit kering dan diatas tulang belikat unta. Sudah menjadi kebiasaan bangsa Arab menulis catatan demikian dan menamakannya "suhuf", bungkusannya dinamakan „mashaf". Sahabat-sahabat penting mempunyai mashaf itu secara lengkap atau tidak. Juga untuk Nabi diperbuat mashaf itu dan disimpan dirumahnya. Muhammad ibn Ishak menerangkan dalam ,,Fihris"nya, bahwa Qur'an yang ditulis dihadapan Rasulullah itu adalah diatas batu, tulang dan belikat unta. Bukhari menerangkan, bahwa Zaid bin Sabit pernah mengatakan : „Kucari Qur'an itu dan kukumpulkannya dari batu, tulang dan dari hafalan orang".

Al-'Isyasyi, seorang ahli Tafsir Imamiyah, menerangkan dalam Tafsirnya, bahwa Ali bin Abi Thalib pernah berkata : „Rasulullah mevvasiatkan kepadaku, bahwa sesudah kukuburkan dia aku tidak keluar dari rumahku hingga aku menyusun Kitab Allah itu, yang tertulis pada pelepah korma dan pada tulang belikat unta". Sebuah riwayat dari A l i bin Ibrahim bin Hasyim Al-Qummi, seorang ahli Hadits Imamiyah yang termasyhur, menerangkan, bahwa Abu Bakar Al'-Hadhrami pernah mendengar Abu Abdillah Ja'far bin Muhammad berceritera, bahwa Nabi ada berpesan kepada Ali bin Abi Thalib : „Hai. Ali ! Qur'an itu ada dibelakang tempat tidurku dalam suhuf, sutera dan kertas. Ambil dan susunlah baik-baik, jangan engkau
hilangkan sebagaimana Yahudi menghilangkan Taurat". Ali memungut Qur'an itu dan mengumpulkannya dalam satu bungkusan kain kuning kemudian dicapnya.

Al Haris Al-Muhasibi menerangkan, bahwa mengumpulkan Qur'an itu bukanlah suatu perbuatan bid'ah tetapi terjadi atas perintah Nabi, dan juga meletakkan ayat-ayat pada tempatnya atas petunjuk Nabi sendiri.

Meskipun yang menulis wahyu banyak dalam zaman Nabi, tetapi yang mengumpulkannya hingga lengkap merupakan mashaf tidak berapa orang. Yang dianggap pengumpulan yang agak lengkap oleh
Muhammad bin Ishak ialah Ali bin Abi Tha}ib, Sa'ad bin Ubaid bin Nu'man Aï-Aus', wafat dalam perang Qadisiyah tahun 15. H. Abu Darda Uwaimir bin Zaid, beroleh langsung dari Nabi, wafat tahun 32 H. Muaz bin Jalal bin Aus, yang dinamakan Nabi imam ulama, wafat tahun 18 H., Abu Zaid Sabit ibn Zaid bin Nu'man, Ubay bin Ka'ab bin Qais, seorang yang sangat dipuji Nabi2 bacaannya. mgl. Di Madinah th. 22 H, Ubaib bin Mu'awiyah, dan Zaid bin Sabit, penulis wahyu Rasulullah dan juru bahasanya, mgl. th. 45 H. Zaid bin Sabit adalah seorang yang sangat dicinta oleh Nabi dan dihormati oleh Ahlil Baitnya.

Demikian bunyi satu riwayat tentang mereka yang mengumpulkan Qur'an dalam masa Nabi, yang kurang sempurna disempurnakan sesudah wafat Nabi. Banyak riwayat lain yang berbeda jumlah dan namanya, tetapi Al-Khawarizmi berdasarkan keterangan Ali bin Riyah menerangkan, bahwa yang lengkap mengumpulkan Qur'an dalam masa Rasulullah ialah Ali bin Abi Thalib dan Ubay bin Ka'ab.

Riwayat-riwayat menunjukkan, bahwa Ali bin Abi Thalib adalah orang yang mula-mula menulis Qur'an menurut tertib turun ayat, mencatat ayat mansukh terlebih dahulu dari nasikh dan memberikan catatan2 lain dalam mashafnya. Hal ini diceriterakan juga oleh Ibn Sirin.

Juga dibenarkan oleh Ibn Hajar, bahwa Ali menyusun Qur'an menurut tertib turun ayat, beberapa waktu dibelakang wafat Nabi Muhammad. Dalam kitab Syarh Al-Kafi Salih Al-Quzwini dari Ibn Qais Al-Halali menerangkan, bahwa Ali bin Abi Thalib sesudah wafat Nabi tidak keluar dari rumahnya karena menyusun Qur'an dan mengumpulkannya sampai selesai semuanya. Kemudian ia menulis catatan ayat-ayat nasikh dan mansukh, ayat-ayat mukhamah dan mutasyabih.

Kata Imam Muhammad bin Muhammad bin Nu'man, salah seorang ulama Syi'ah terbesar, dalam kitabnya „Al-Irsyad", bahwa Ali dalam mashafnya mendahulukan ayat-ayat mansukh dari ayat-ayat nasikh, dan menulis ta'wil ayat-ayat serta tafsirnya dengan terperinci.

Syahrastani dalam mukaddimah Tafsirnya menerangkan, bahwa semua sahabat sepakat ilmu Qur'an itu khusus buat Ahlil Bait. Beberapa sahabat bertanya kepada Ali bin Abi Thalib, apakah ilmu pengetahuan
Qur'an hanya dikhususkan kepada Ahlil Bait. Ali menjawab, bawa ilmu tentang Qur'an, masa dan sebab-sebab turunnya begitu juga ta'wilnya, khusus buat Ahlil Bait, karena merekalah orang-orang yang terdekat dengan Nabi Muhammad (Az-Zanjani, Tarikhul Qur'an, Cairo. 1935. hal. 26).


-----


AHLI TAFSIR SYI'AH
(Hal.16-19)

Baik orang Syi'ah maupun orang ahli Sunnah menganggap Ali bin Abi Thalib adalah ahli tafsir Qur'an yang pertama dim. Sejarah Islam karena ia masih mendapati Nabi yang selalu memberi petunjuk dalam pengertian dan ta'rif daripada wahyu-wahyu Tuhan yang mentaati paham manusia biasa. Sudah kita katakan, bahwa Ali tidak saja berjasa mengawasi pengumpulan ayat-ayat Qur'an, tetapi juga mempunyai pengetahuan tentang sejarah turunnya ayat dan surat, tentang ayat hukum dan mutasyabih, ayat nasikh dan mansukh, bahkan ada riwayat yang mengatakan, bahwa ia mempunyai enam puluh macam ilmu Qur'an, dan sebagaimana yang sudah kita katakan, mashafnya penuh dengan catatan2, seperti masih dapat dilihat beberapa lembar dari padanya dalam perpustakaan di Nejef.

Seperti sudah kita terangkan bahwa Ali bin Abi Thalib adalah salah seorang sahabat yang paling banyak meriwayatkan tentang Qur'an, sedang Ibn Abbas yang menjadi murid A l i , pernah berceritera, bahwa Ali bin Abi Thalib adalah orang yang sangat tahu tentang ilmu lahir dan ilmu ghaib dari Al-Qur'an yang mulia. Sejarah hidup Ali tidak kita ulang lagi disini.

Salah seorang dari Ahli Tafsir Syi'ah adalah Ubay bin Ka'ab dari golongan Anshar. Sayuthi menghitungnya dalam karangannya yang terkenal „Al-ltqan" termasuk jumlah sepuluh orang ahli tafsir dari sahabat kurun pertama, dan Nabi sangat mencintainya. Ia meninggal tahun 30 H.

Abdullah bin Abbas adalah anak paman Nabi, yang sejak kecil sudah diramalkan oleh Nabi menjadi seorang ahli ilmu Qur'an, dan juga yang oleh Sayuthi dimasukkan sahabat sepuluh kurun pertama, yang hafal dan ahli Qur'an. Ada orang mengatakan bahwa ia orang yang ahli tentang tafsir daripada Tabi'in Mekkah. Tafsirnya sampai sekarang masih didapat orang dan terkenal dengan „Tafsir Ibn Abbas", ia meninggal th. 68 H . Orang-orang Syi'ah menganggap tafsir itu mu'tamad dan banyak digunakan untuk menguatkan pendirian-pendiriannya.

Dari golongan Tabi'in sesudah itu kita sebutkan nama-nama Maisam bin Jahya at-Tamanar (mgl. 60 H.), seorang khatib Syi'ah yang terkenal di Kuffah dan seorang ahli ilmu Kalam : Said bin Zubair (mgl. 94 H) yang pernah menyusun sebuah tafsir Qur'an dan banyak dipetik orang pendapatnya. Abu Saleh Miran dari Basrah (mgl. sesudah abad pertama hijrah), murid Ibn Abbas, Thaus Al-Yamani (mgl. 106 H). Juga murid Ibn Abbas, yang oleh Ibn Taymiyah, Ibn Quthai bah dli sangat dipuji kecerdasannya dan dimasukkan kedalam golongan sahabat Ali.

Kemudian dapat kita sebutkan sebagai ahli-ahli yang ulung ialah Imam Muhammad al-Baqir (mgl. 114 H.), Ibn Nadim banyak menyebutkan nama-nama kitabnya mengenai tafsir dan ilmu-ilmu Qur'an yang lain. Abdul Jarud, seorang Syi'ah yang terkenal banyak meriwayatkan. sesuatu dari Al-Baqir mengenai Qur'an. Tidak kurang pentingnya kita sebutkan nama Jabar bin Yazid Al-Ju'fï, yang menulis juga sebuah tafsir dan ia meninggal tahun 127 H. Suda Al-Kabir, nama yang sebenarnya Isma'il bin Abdurrahman, juga mempunyai sebuah tafsir yang oleh banyak orang dijadikan sumber keterangan mengenai ilmu Qur'an. Untuk jangan keliru kita bedakan antara Suda As-Saghir bukan seorang Syi'ah dan Suda Al-Kabir adalah seorang ahli tafsir Syi'ah yang terkenal (mgl. 127 H).

Saya tidak ingin menyebutkan semua ahli tafsir Syi'ah itu disini dengan perincian sejarah hidupnya, karena terlalu banyak. Dari penyelidikan saya dan dibenarkan oleh beberapa keterangan Ahli sejarah
Islam, ternyata orang-orang Syi'ah banyak terkenal sebagai ulama dalam segala bidang, dan giat mengarang dalam bermacam-macam ilmu sejak hari-hari pertama fatsu kurun pertama.

Terutama dalam ilmu Qur'an yang pada waktu itu merupakan persoalan yang sangat penting, banyak terdapat pengarang-pengarang Syi'ah yang tcrkemuka. Sedangkan selanjutnya sebagai ahli tafsir kita sebutkan Abu Hamzah As Samali. Tabi'in dan meninggal 150 H., Abu Jamadah As-Saluli (mgl. pada pertengahan abad ke II H.), Abu Ali Al-Hariri (mgl. idem), Abu Alim bin Faddal, Abu Thalib bin Shalat (mgl. akhir abad ke-II), Muhammad bin Khalil Al-Barqi (mgl. idem), Hisyam bin Muhammad As-Said Al-Kalbi (mgl. 206 H), Al Waqidi (mgl. 207 H.), Yunus bin Abdurrahman Ali Yatin, Hasan bin Mahbub As-Sarrad (mgl. 224 H.), Abu Usman Al-Mazani (mgl. 248 H.), Muhammad bin Mas'ud A/-Ayasyi, Farrad bin Ibrahim, Ali bin Mahziar Al Ahwazi, Husain bin Said Al-Ahwazi, Hasan bin Ahwazi, Hasan bin Khalid Al-Barqi Ibrahim As-Saqafi meninggal 283 H. Ahmad bin Asadi, hampir semua keluarga Al-Qummi mengarang tafsir. Al-]aludi, As-Suli, Al-Dlurjan', Al-Musawi, Ibn Nu'man, At-Thusi, At-Tabrasi, Ar-Rawandi (mgl. 573 H.) M-Fatital Asy-Syirazi (mgl. 948 H.), As-Sabzawari (mgl. 910 H.), Azwari Al-Masyadi, Al-Hamdani, Al-Bahrani (mgl. 1107 H.) Jawad bin Hasan Al-Balaghi (mgl. 1302 H), dll. masing-masing menerangkan tafsir Qur'an yang ditinjau dari segala sudut ilmu. Ada yang lucu, kadang-kadang orang Salaf yang menamakan diri anti Syi'ah, menggunakan tafsir Syi'ah dengan tidak mengetahui pengarangnya.

Sebagaimana dalam ilmu tafsir, kita dapati pengarang-pengarang Syi'ah yang ulung dalam ilmu Qur'an yang lain, misalnya dalam ayat-ayat hukum khusus mengenai mashaf Syi'ah seperti pengarang Al-Kalbi, (mgl. 146 H.), Ar-Rawandi (mgl. 573 H.), As-Sayuri (mgl. 792.), Al-Ardabli (mgl. 993 H.), Al-Kazimi (mgl. abad ke-II H). Astrabadi (mgl. 1026 H.), Al-]azairi (mgl. 1151 H.), dll. yang kitabnya sekarang dipakai diseluruh dunia.

Juga dalam ilmu Qur'an lain terkenal ulama2 Syi'ah misalnya mengenai ayat-ayat Mutasyabih, seperti Hamzah bin Habib (mgl. 156 H.), meskipun menurut Sayuti orang yang mula-mula mengarang dalam ilmu ini ialah A)l-Kasa'i (mgl. 182 H.), kedua-duanya adalah juga ahli Qira'at Tujuh. Kemudian terkenal namanya Muhammad bin Ahmad Al-Wazir (mgl. 433 H.), Ibn Syahrassyaub al-Muzandra (mgl. 588 H.), dll.

Dalam Gharibul Qur'an adalah Aban Ibn Tughlab (mgl. 141 H.), Ada orang mengatakan Abu Ubaidah (bukan Syi'ah), tetapi Abu Ubaidah meninggal tahun 200H, kemudian dari masa Ibn Tughlab. Selanjutnya
yang mengarang dalam bidang ini ialah Muftadhall Salmah, Ibn Darid (mgl 321 H.), Abu Hasan al-Adawi Asy-Syamsyathi (mgl. permul. abad ke-IV), semuanya ulama Syi'ah.

Karangan-karangan mengenai Asbabun Nuzul dihari-hari pertama juga diperbuat oleh golongan Syi'ah, seperti Ibn Abbas (mgl. 67 H), Muhammad bin Khalid ai-Barqi (mgl. akhir abad ke-IT H), Ibrahim bin Muhammad As-Sakaji (mgl. 283 H) Abdul Azis bin Yahya al-Jaludi (mgl. 330 H), Ibnul Hijam dalam abad yang ke-IV juga semuanya ulama Syi'ah.

Selanjutnya mengenai nasikh dan mansukh juga yang mula-mula dan banyak mengarang orang-orang Syi'ah, seperti Abdurrahman al-Asam (abad ke-II), Ad-Damiri (abad ke-Il), Ibn al Kadri mgl. 246 H) atau anaknya Hisyam (mgl. 207 H), Ibnal Fadhal mempunyai kitab nasikh dan mansukh, sebagaimana Al-Qummi, baik Ahmad bin Muhammad maupun A l i bin Ibn Ibrahim, selanjutnya pengarang Syi'ah yang pertama juga didalam bidang ini ialah Al-Jatudi (mgl. 330 H), dan Suduq bin Babuwaih al-Qummi (mgl. 381 H).

Dalam ilmu Majazul Qur'an yang memulainya ialah ulama Syi'ah, seperti Ibn al-Mustanir (mgl. 206 H.), pendeknya dalam segala bidang ilmu Qur'an, seperti ilmu mengenai pembagian Qur'an ilmu mengenai perhentian membaca dan menyambung ayat Qur'an, ilmu mengenai wakaf, ilmu mengenai i'rab, ilmu mengenai sejarah titik dan baris, ilmu mengenai fadilat membaca Qur'an (ada yang mengatakan Ubai bin Ka'ab yang meninggal 30 H), ada yang mengatakan Muhammad Idris Asy-Syafi'i (mgl. 204 H), ilmu bermacam-macam qira'at ilmu tadwid, dan ilmu-ilmu lain mengenai kitab suci, yang terbanyak ditulis oleh ulama-ulama Syi'ah dan mereka juga yang memulainya. Mengenai nama-nama kitabnya saya tidak sebutkan disini, karena sangat banyaknya. Saya hanya mempersilahkan saudara membacanya dalam kitab "A'yanusy Syi'ah", Jus I, bahagian ke-2, halaman 53 – 74 (Beint, 1960).

 -----


HADITS DAN JA'FAR SHADIQ
(Hal.20-26)

Dalam uraian-uraian yang telah lalu, telah kita jelaskan, bahwa kedudukan Imam Jafar As-Shadiq mengenai pendidikan ulama2 Ahlul Hadits dan ahlul Ra'yi atau Ahlul Qiyas, yang lama-kelamaan merupakan imam-imam mazhab yang terpenting seperti Malik bin Anas dan Abu Hanifah dll. Mashaf-mashaf itu ada yang menggabungkan dirinya dalam ikatan Ahlus Sunnah, ada yang dalam ikatan mashaf
Ahlul Bait, karena dalam hukum fiqh ingin melanjutkan cara berfikir Imam Ja'far As-Shadiq, yang mereka namakan Fiqh Al-Ja'far, dengan mengutamakan hadits-hadits riwayat Ahlul Bait atau perawi-perawi dari ulama-ulama Syi'ah sendiri.

Dalam salah satu bahagian kita sudah jelaskan, bahwa tidak kurang dari empat ratus orang muridnya yang mengarang kitab-kitab fiqh menurut jalan ini. Usul fiqh untuk mashaf Al-Ja'far ini, yang terkenal dengan pokok persoalan empat ratus, dikumpulkan dalam empat buah kitab besar, yang masing-masing bernama Al-Kafi, Al-lsttbsar, At-Tahzib dan Ma La Yahduruhul Fiqh. Inilah kitab-kitab hadits yang terbesar dan menjadi pokok bagi ulama-ulama Syi'ah yang terkenal dengan Kitab Empat sebagaimana terkenal dengan Kitab Enam dalam pengumpulan hadits bagi penganut Ahlus Sunnah.

Imam Ja'far As-Shadiq sangat bijaksana sekali dalam menciptakan ulama ulamanya, yang kemudian disiarkan keseluruh negara Islam untuk membasmi keyakinan-keyakinan yang salah, memerangi sifat ilhad dan zindiq, berdebat tentang aqidah yang tidak benar, mengalahkan firqah-firqah yang menyeleweng dari ayaran Islam dalam masa pancaroba dan zaman kekacauan politik dan agama itu. Ulama-ulamanya terdapat di Irak, Khurasan, Harnas, Syam, Hadramaut, dll, terutama di Kufah dan Madinah dimana bibit keyakinan Syi'ah ini sudah tertanam dan tumbuh dengan suburnya.

Imam Ja'far mempersiapkan ulama2 muridnya menurut pembawaannya masing2 dan menurut kebutuhan daerah. yang mengirimkan utusan kepadanya. Oleh karena pengetahuannya sangat luas dalam segala bidang, mudah baginya melakukan hal yang demikian itu. Ulama-ulamanya ada yang diuntukkan mengajar, ada yang diuntukkan buat berdebat dsb.

Aban ibn Tughlab dikhususkan pendidikannya untuk ilmu fiqh, dan diperintahkan duduk dalam mesjid memberi fatwa kepada orang banyak dalam hukum fiqh, Hanaran bin A'yun ditugaskan menjawab masalah-masalah yang bertali dengan ilmu Qur'an, Zararah bin A'yun untuk berdebat dalam fiqh, Mu'min at-Thaq dalam masalah ilmu kalam, Thayyar dalam perkara amal ketaatan, Hisyam bin Hakam
dalam berdebat mengenai immamah dan i'tikad Syi'ah dsb. Maka mengalirlah orang-orang itu ketiap-tiap kota untuk menghadapi manusia dan berda'wah menurut mashaf Ahlil Bait.

Tidak cukup tempat untuk menyebutkan nama ulama-ulama itu satu persatu, serta sejarah perjuangannya. Meskipun demikian beberapa tokoh terpenting akan kita bicarakan dibawah ini.

Aban bin Tughlab bin Rabah, yang digelarkan Abu Sa'id al-Bakri al-Jariri (mgl. 141 H.), adalah ulama yang sangat terhormat dalam kalangan Syi'ah. Ia pernah belajar pada Imam Zainal Abidin, Al-Baqir dan As-Shadiq. Ia mempunyai majlis pengajaran khusus dalam mesjid. Ia ulama fiqh Imamiyah yang terkenal menurut pendapat Yaqut, meriwayatkan banyak hadits dari Ali bin Husain, Abu Ja'far dan Abu Abdullah, fasih bahasa Arab, banyak mengetahui tentang pengertian Al-Qur'an, menurut Ahmad ibn Hanbal boleh dipercayai benar ucapannya, seorang yang tinggi adabnya, hadits riwayatnya banyak diambil oleh Muslim, Tarmizi, Abu Daud, An Nasa'i dan Ibn Majah.

Diantara gurunya juga ialah Al-Hakam bin Utaibah al-Kindi (mgl. 115 H), salah seorang perawi dalam Kitab Enam hadits Ahlus Sunnah, Fudhail bin Umar al-Fuqaimi (mgl. 110 H, yang hadits Ahlus banyak dipetik oleh Muslim dan Abu Ishaq Umar bin Abdullah al-Hamdani (mgl. 217 H.), salah seorang ulama Tabi'in dan perawi Haditsdalam Kitab Enam.

Banyak muridnya tersiar dimana-mana dan menjadi ulama-ulama besar. seperti Musa bin 'Uqbah al-Asadi (mgl. 141 H.), salah seorang yang riwayat haditsnya banyak dimuat dalam Kitab Enam, Syi'bah bin al-Hajjaj, Hammad bin Zaid al-Azadi, seorang ahli hadits yang terkenal (mgl. 197 H), mendapat pujian dari Ibn Mahdi dan Imam Ahmad tentang kejujurannya, Sufyan bin 'Uyaynah, yang riwayat hidupnya sudah dimuat dimana-mana. Muhammad bin Khazim at-Tamimi (mgl. 195 H), juga banyak digunakan orang riwayat hadits-haditsnya termuat dalam kitab Enam oleh Ahmad Ibn Hanbal, oleh Ishak bin Rahuwaih, Ibn Madani dan Ibn Mu'in, terutama hadits2-nya yang dihafalnya dari Al-A'masy, dan Abdullah ibn Mubarak al-Hanzali (mgl. 181 H), seorang ulama besar yang sangat dipercayai, pernah menyelidiki hadits dan menulisnya dari empat ribu ulama.

Semua ulama-ulama hadits ini dipuji oleh Ibn Hajar dan Al-Khazraji dalam kitab-kitabnya yang terkenal.
Aban bin Tughlab menghafal tidak kurang dari tiga ribu hadits dari Imam As-Shadiq, ahli dalam fiqh Al-Ja'fari atau mashaf Ahlil Bait, termasuk tokoh Syi'ah yang terpenting. Atas pertanyaan Abu Balad, Aban menerangkan, apa arti Syi'ah padanya. Katanya : "Syi'ah itu ialah golongan manusia yang memegang kepada ucapan Ali, apabila tentang sesuatu masalah dari Nabi dipertengkarkan orang sudah mempertengkarkan ucapan dan sikap Ali ". (Asad Haidar, III; 57).

Diantara kitab-kitabnya ialah Gharibul Qur'an, mengenai Kitabul Fadha'il Kitab Ma'anil Qur'an, Kitabul Qira'at dan Kitabul Usul mengenai riwayat mashaf Syi'ah, dan banyak lagi yang lain-lain sebagaimana
yang disebut dalam Fihra'at, karangan At-Thusi.

Diantara ulama yang terbesar juga, kita sebut Aban bin Usman al-Lu'lu'i (mgl. 200 H), berasal dari Kufah, pernah tinggal lama di Basrah, banyak hadits-haditsnya mengenai syair, keturunan dan hari hari penting bangsa Arab, berguru pada Abu Abdullah, Abdul Hasan, Musa bin Ja'far dll. Diantara kitabnya, yang disebutkan orang disana-sini ialah Al-Mabda, Al-Mab'as, Al-Maghazi, Al-Wafah, As-Wafah, As-Saqifah dan Ar-Ridah (baca Mu'jamul Udaba' 1.108 — 109, Lisa nul Mizan I ; 24, Fihrasat At-Thusi, hal. 18 dll). Banyak sekali murid-muridnya yang menyiarkan pahamnya kesana-kesini, tidak kita sebutkan disini seorang demi seorang. Ulama-ulama Syi'ah yang lain dalam fiqh diantaranya Barid bin Ma'awiyah al'Ajadi (mgl. 150 H), sahabat Al-Baqir, dan As-Shadiq, ahli hadits dan fiqh, mempunyai kedudukan istimewa dalam mashaf Ahlil Bait, termasuk golongan enam orang yang sangat ahli dalam hukum fiqh, yaitu Zararah bin A'yun, Ma'ruf bin Kharbuz, Barid Al-Ajali, Abu Basir al-Asadi, Fudhil bin Yassar dan Muhammad bin Muslim At-Tha'ifi. Ia banyak meriwayatkan hadits dari Imam Baqir dan Imam As-Shadiq, yang sangat memuji-muji dia. Barid adalah salah seorang penulis yang terkenal dalam masa Imam As-Shadiq. Kemudian kita sebutkan pula Jamil bin Darraj an-Nakko'i termasuk sahabat Imam As-Shadiq dan anaknya Abu Hasan Musa, banyak mengarang dan meriwayatkan hadits-hadits, begitu juga Jamil bin Salih al-Asadi, dicintai oleh Imam As-Shadiq dan anaknya Musa.

Lain dari pada itu juga kita sebutkan Hammad bin Usman (mgl. 190 H) dan Hammad bin Isa al-Juhni, kedua-duanya sahabat Imam As-Shadiq dan Imam Al-Kazim dan kedua-duanya ahli fiqh dan hadits Ahlil Bait.

Tidak kurang pentingnya kita sebut Hubaid bin Sabit at-Kahili, berasal dari Kufah (mgl. 122 H), salah seorang dari pada Tabi'in dan perawi Kitab hadits Enam, banyak meriwayatkan hadits dari Zainal Abidin, Imam Al-Baqir dan anaknya As-Shadiq, begitu juga tidak kurang pentingnya kita peringatkan Hamzah bin Thayyar, salah seorang ulama fiqh Syi'ah dan tokohnya dalam ilmu kalam, memperdebatkan persoalan-persoalan yang menguntungkan mashaf Ahlil Bait, banyak sekali murid-muridnya tersiar dimana-mana.
Meskipun demikian yang lebih penting lagi kita bicarakan disini adalah dua tokoh ulama Syi'ah yang terbesar yang dalam perkembangan paham mashaf Al-Ja'fari dalam segala bidang, yaitu Mu'min Thaq dan Hisyam bin Hakam.

Mu'min Thaq adalah Muhammad bin Ali bin Nu'man al-Bajali, berasal dari Kufah, sahabat kental dari Imam Ja'far dan pencintanya. Mu'min Thaq adalah gelarnya yang berarti mu'min yang serba sanggup,
demikian kesanggupannya dalam segala ilmu, sehingga ia dapat mengalahkan Imam Abu Hanifah dalam banyak persoalan, dan sehingga Abu Hanifah ini menamakannya Syaithan Thaq, sedang yang kesanggupannya luar biasa. Ulama-ulama Khawarij oleh Mu'min Thaq ini dikalahkan semuanya, tidak ada seorangpun diantara mereka yang berdebat dengannya dapat bertahan.

Hisyam pernah menemui Zaid Ibn Zainal Abidin, Ali bin Husain Zainal Abidin, Ilmunya banyak sekali, terutama sangat alim dim. Ilmu fiqh, ilmu kalam, hadits dan gubahan sajak. Ia sangat pandai dalam berdebat dan menggunakan kata-kata, tajam pandangan dan pikirannya dalam meninjau persoalan agama. Sambil berniaga ia mengunjungi banyak kota-kota Islam dan menyiarkan mashaf Ahli Bait.

Sebagai contoh kita sebutkan perdebatan antaranya dan Abu Hanifah.

Abu Hanifah   : Apa hukum nikah mut'ah padamu ?
Mu'min Thaq  : Halal.
Abu Hanifah   : Apakah boleh anakmu dan saudara-saudaramu bernikah mut'ah dengan orang
   lain ?
Mu'min Thaq : Yang demikian adalah sesuatu yang dihalalkan Tuhan, apa boleh buat. Tetapi
  sobat bagaimana hukum bier padamu ?
Abu Hanifah  : Halal.
Mu'min Thaq : Apakah engkau akan girang, jika anakmu dan saudaramu menjadi pemabuk                             bier?

Mu'min Thaq menulis kitab berisi perdebatan antaranya dengan Abu Hanifah. Meskipun isi buku itu merupakan sendagurau dan penggeli hati tetapi berisi hukum-hukum fiqh dan cara berfikir antara seorang ulama Ahluh-Ra'yi dengan ulama Ahlil Bait.

Ibn Nadim menyebut bahwa dia adalah ulama kurun keempat, karena ia meninggal dalam tahun 385 H .
Diantara kitab-kitab yang dikarangnya ialah mengenai persoalan Imamah, Ma'rifat, penolakan terhadap Mu'tazilah mengenai Imam Mafdhul, mengenai kehidupan Thalhah, Zubair dan Aisyah, mengenai penetapan wasiat, sebuah kitab yang bergelar "Kerajaan dan jangan kerjakan".

Sebagaimana sudah kita katakan bahwa ia termasuk orang yang sangat dicintai oleh Imam As-Shadiq, yang pernah berkata : "Ada empat orang manusia yang kucintai hidup dan matinya, yaitu Barid bin Mu'awiyah al-Ajali, Zararah bin A'yun, Muhammad bin Muslim dan Abu Ja'far al-Ahwal".

Gelaran senda gurau Syaitan Thaq oleh Abu Hanifah kepada Muhammad Al-Bajali oleh musuh-musuhnya disiar-siarkan secara sebaliknya sehingga musuh-musuh Syi'ah memakai nama-nama itu untuk membuktikan kesesatannya.

Belum dapat kita tutup karangan ini sebelum kita sebutkan Hisyam bin Hakam, al-Kindi (mgl. 197 H), lahir di Kufah, beberapa waktu berdagang di Baghdad, kemudian ditinggalkannya usahanya dan pergi belajar kepada Imam As-Shadiq sampai menjadi seorang alim dan sahabat Imam Musa Al-Kazim.

Hisyam adalah seorang yang banyak sekali pengetahuannya tentang mashaf-mashaf dalam Islam, sangat luas ilmunya dalam filsafat, seorang ahli ilmu kalam Syi'ah yang ulung, seorang yang petah lidahnya dalam mempertahankan persoalan imamah bagi Syi'ah. Zarkali mengatakan, bahwa Hisyam bin Hakam adalah seorang ahli hukum fiqh, ahli ilmu kalam dan manthik. Dr. Ahmad Amin mengatakan bhw. Hisyam bin Hakam adalah tokoh ilmu kalam Syi'ah terbesar, murid dari Ja'far As-Shadiq seorang yg tidak dapat dipatahkan alasannya, sehingga Imam As-Shadiq, pernah memuji kêpribadiannya : "Hai Hisyam, engkau selalu dikuatkan pendapatmu dgn. roh suci". Imam Ridha mengatakan : "Moga2 Allah memberi rahmat kepada Hisyam, karena ia adalah seorang hamba yang salih". Harun ar-Rasyid memuji Hisyam demikian : "Lidah Hisyam lebih dapat menghancurkan jiwa manusia daripada seribu pedang".

Tatkala ia mendekati Imam As-Shadiq, orang besar ini segera melihat bahwa Hisyam seorang yg cerdas otaknya, seorang ikhlas dan seorang yang beriman, oleh karena itu lalu dididiknya Hisyam sampai menjadi seorang besar dalam ilmu pengetahuan menurut mashafnya, seorang tokoh filsafat, seorang yang bersih aqidahnya, yang dapat mempertahankan mashaf Ahlil Bait dari pada serangan-serangan aliran-aliran Islam lain yang memusuhinya, yaitu aliran-aliran yang sudah banyak dipengaruhi oleh filsafat Yunani.

Hisyam ahli dalam ilmu fiqh, hadits dan tafsir, dan banyak meriwayatkan hadits-hadits dalam segala bidang hukum. Didalam kitab-kitab hadits dan fiqh banyak disebutkan riwayatnya, diantara lain oleh As-Sirfi, Al-Ajali, Al-Yaqthain dll. Ia banyak sekali mengarang kitab2 dalam segala bidang ilmu, diantara lain, sebagaimana yg. Disebutkan oleh Ibn Nadim, mengenai imamah, mengenai falsafat, mengenai penolakan terhadap orang2 zindiq, penolakan-penolakan terhadap musuh Syi'ah, mengenai Jabariyah dan Qadariyah dll. yang tinggi nilai dan mutunya.

Yang lebih aneh tentang dirinya ialah bahwa ia dapat membawa dirinya diterima oleh Harun ar-Rasyid dan oleh golongan Syi'ah. Untuk mengetahui, betapa hati-hati ia mengeluarkan pendapat-pendapatnya
agar orang-orang mengerti tetapi tidak tersinggung perasaannya, kita sebut suatu percakapan antara Harun ar-Rasyid dengan Hisyam sebagai dibawah ini :

Harun ar-Rasyid : Hai Hisyam, tahukah engkau bahwa Ali pernah mengadukan Abbas
  kepada Abu Bakar?
Hisyam              : Sungguh ada.
Harun ar-Rasyid : Mana yang lazim terhadap sahabatnya, Ali-kah atau Abbas ?

(Hisyam sadar akan dirinya, bahwa persoalan ini untuk memancing sikapnya. Jika ia mengatakan Abbas yg zalim ia dianggap menghinakan Rasyid, Jika ia mengatakan Ali yang zalim ia merusakkan keyakinannya sebagai orang Syi'ah. Kemudian Hisyam berfikir dan mengeluarkan pendapatnya).

Hisyam              : Kedua-duanya tidak zalim.
Harun ar-Rasyid : Jika tidak ada yang zalim, bagaimana masuk di 'akal, kedua-duanya
datang mengadu pada Abu Bakar ?
Hisyam             : Boleh saja daulat tuanku. Dua orang malaikat pernah mengadu
nasibnya kepada Nabi Daud, sedang tak ada seorang diantaranya yang zalim, tetapi kedua-duanya ingin hendak memperingatkan suatu kejadian. Demikian pula Abbas dan Ali datang kepada Abu Bakar, datang hendak memperingatkan suatu kejadian, sedang keduaduanya tidak ada yang zalim.

Jawaban ini rupanya sangat mendapat penerimaan pada Khalifah Harun ar-Rasyid, dan oleh karena itu ia termasuk orang yang disenanginya, meskipun dalam bathinnya ia tetap mencintai Ali dan keturunannya.

Demikian beberapa patah kata tentang keistimewaan Hisyam sebagai ulama terbesar dan tokoh terpenting dalam mashaf Ahlil Bait. Ia dicintai oleh ulama-ulama dari aneka mashaf dan aliran, baik oleh musuh maupun oleh kawannya. Tuduhan-tuduhan Jahiz, dan dibelakang ini Dr. Ahmad Amin, bahwa Hisyam bin Hakam adalah penganut aliran Rifdhi dan membenci semua sahabat Nabi, oleh golongan Syi'ah tidak dapat diterima. Yang jelas adalah, bahwa Hisyam mencintai Ahlil Bait dan menyiarkan kecintaan ini dalam ajaran-ajarannya.

-----

  
KEDATANGAN ISLAM DI NUSANTARA
(Hal.27-30)

Kedatangan Islam di Nusantara sama dengan waktu kedatangan orang-orang Syi'ah ketempat ini, baik sebagai pedagang, maupun sebagai pengembara atau ahli da'wah, baik memakai nama Arab, maupun sudah merupakan keturunan orang-orang Persia atau India.

Dr. C. Snouck Hurgronje menceriterakan dalam bukunya "De-Islam in Nederlandcsh-Indie" Serie II, No. 9 dari "Groote Godsdiensten" tentang masuknya Islam ke Nusantara sebagai berikut:

Tatkala raja Mongol Hulagu dalam thn. 1258 M. menghancurkan Baghdad yang lebih daripada lima abad lamanya merupakan Ibu negeri kerajaan Islam, kelihatan seakan-akan kesatuan kerajaan-kerajaan Islam itu lenyap. Hanya setengah abad sebelum kejadian yang penting itu berlaku, Islam dengan secara tenang berkembang dan masuk kepulau-pulau Nusantara dan sekitarnya. Perkembangan ini tidak dicampuri oleh sesuatu usaha Pemerintah mana juapun. Negara-negara pesisir Sumatera, seluruh Jawa, keliling pantai Borneo dan Sulawesi, begitu juga beberapa banyak pulau-pulau kecil yang lain, satu-persatu dimasuki oleh Islam, terutama dengan usaha saudara-saudara Islam atau orang-orang Islam yang ingin memperoleh tempat tinggal yang baru, datang dari daerah sebelah Barat. Usaha itu dibantu pula oleh anak negeri yang sudah masuk Islam didaerah pesisir, sebagian turut menyiarkan da'wah agama itu kedaerah pedalaman, dan sebahagian lagi pergi berlayar menyiarkan keyakinannya yang baru itu ke pulau-pulau yang terdekat, baik secara damai maupun secara jihad.

Batu-batu nisan yang bertulis, yang memuatkan ceritera-ceritera lama dalam kalangan anak negeri, begitu juga catatan-catatan yang ditinggalkan oleh seorang Venesia, Marco Polo, dari abad ke-XIII, begitu juga kisah pelayaran dari seorang peninjau Arab, Ibn Bathuthah, yang masih tersimpan sejak abad ke XIV, menerangkan kepada kita akan adanya sebuah kerajaan Islam di Sumatera Utara, bernama Pasé. Tentang masuknya Islam ke Minangkabau, ke Palembang, ke Jambi dan kedaerah-daerah pesisir yang lain dari pulau itu, tidaklah kita ketahui pada permulaannya dengan kenyataan-kenyataan yang dapat kita percaya. Tentang kedatangan Islam di Jawa, akan kita bicarakan nanti dibawah ini.

Di Jawa kejatuhan kerajaan Hindu Majapahit kira-kira dalam th. 518 M., merupakan hasil yang gilang-gemilang bagi perjuangan yang gigih oleh mubaligh anak neger; sendiri, yang umumnya dinamakan Wali Sembilan (Wali Songo). Dalam abad ke-XVI itu juga telah berdin di Jawa kerajaan-kerajaan Islam Mataram, Banten dan Cirebon, yang meng-Islamkan seluruh rakyatnya.

Tentang pengetahuan mengenai masuknya agama baru ini ke pulau-pulau yang lain, kita umumnya hanya mempunyai sumber-sumber penerangan yang berasal dari anak negeri semata-mata, yang tefdiri dari dongeng-dongeng mengenai tempat kejadian sejarah, begitu juga beberapa kejadian-kejadian dan beberapa silsilah yang tidak lengkap. Isinya daripada dongeng-dongeng yang menceriterakan tentang orang-orang masuk Islam itu hampir semuanya ada bersamaan. Seorang Wali Islam, biasanya datang dari negeri asal Islam, negeri Arab, mendapat mimpi diberi perintah oleh Nabi Muhammad, untuk berangkat dengan segera kesuatu daerah orang khafir, yang tidak berapa jauh letaknya dari tempat itu. Kedatangannya ke negeri tersebut biasanya sudah diumumkan kepada beberapa orang penduduknya, baik dengan mimpi atau dengan tanda alamat yang lain. Wali itupun berangkatlah, dan perjalanannya terjadi dalam sekejap mata, tak ada suatu rintangan-pun yang menghalanginya, gunung tidak lautpun tidak merintangi perlawatannya. Dengan keajaiban yang luar biasa, melebihi sihir2 orang khafir itu, wali yang suci itu dengan segera dapat mengembangkan ajaran Nabi Muhammad dan memperbanyak pemeluknya. Maka seketika itu juga berduyun-duyunlah orang-orang kafir itu datang menemui wali yang suci itu untuk bersama-sama mengerjakan Sembahyang secara Islam.

Ceritera yang demikian itu berakhir, bahwa ajaran Islam dengan segera berkembang ditempat itu, baik dengan berjihad atas jalan Allah maupun dengan da'wah yang dilakukan secara damai.

Demikian kata Dr. C. Snouck Hurgronje.

Tentang cara berkembang Islam di Nusantara dan bangsa mana yang mula-mula membawanya kemari, ia menerangkan sbb. :

Jauh sebelum lahir Islam sudah banyak datang orang-orang dari Hindustan yang mencari tempat tinggal (kolonisasi) di Jawa dan pulau-pulau yang terletak disekitarnya, serta membawa peradaban yang disiarkannya ditempat-tempat itu.

Sesudah orang-orang Hindu masuk Islam, maka orang-orang Hindu yang Islam ini meneruskan jalan penghidupan yang sudah ditempuh dahulu itu. Orang-orang inilah yang mula-mula memperkenalkan Islam kepada bangsa-bangsa kita diseluruh Nusantara. Kedalam orang-orang Hindu ini, termasuk orang-orang Syi'ah, meskipun memakai nama Persia atau Hindu, seperti nama Ar-Raniri, terambil dari perkataan Render di India, tetapi ia adalah seorang dari ulama Ahlil Bait. Baca karangan Dr. Tujimah. Selanjutnya dapat kita jelaskan, bahwa barangkali mungkin sebelum kedatangan ke Nusantara, mereka sudah pernah ada ditengah-tengah bangsa-bangsa Islam yang lain, dan mungkin pula sudah bertempat tinggal dahulu disalah satu daerah Nusantara, tetapi belum memperlihatkan pengaruh yang berarti tentang keyakinan baru itu. Maka dengan jalan itu dengan mudah Islam tersiar di Nusantara, karena orang-orang kita disebelah Timur ini telah mempelajari agama Hindu pada orang-orang Hindu yang sebelumnya datang kemari. Penduduk Jawa dan Sumatera tidak begitu sukar menyesuaikan diri dengan kehidupan orang Hindu dan agama Hindu.

Segala ceritera, bahwa didalamnya digambarkan kejadian-kejadian yang semasa dengan Nabi atau dengan khalifah-khalifahnya sebagai yang terdapat disalin dalam bahasa Melayu (Indonesia), mungkin sudah banyak menyimpang dari pada kejadian-kejadian yang sebenarnya. Kedalam masyarakat Islam Nusantara dengan jalan itu sudah dimasukkan pengaruh-pengaruh aliran, misalnya pengaruh Syi'ah, sebagaimana yang terdapat didaerah-daerah pesisir Malabar dan koromandel juga terdapat di Nusantara seluruhnya. Meskipun dikatakan Islam disitu diajarkan menurut Ahli Sunnah, tetapi pemeriksaan menunjukkan, bahwa banyak masalah-masalah sehari-hari yang dipecahkan menurut mashaf Syi'ah. Lain dari pada itu terdapat disana disini paham Sufi menurut Mashaf Hululiyah atau Wihdatul Wujud, sementara waktu terdapat pula dalam Iapisan rakyat rendah takhayul-takhayul yang tidak sedikit banyaknya.

Semua kejadian itu menunjukkan, bahwa Islam di Nusantara pada zaman Purbakala itu tidak diterima langsung dari orang Arab Perhubungan dengan Mekkah dan Madinah baru mulai terbuka dalam abad yang ke-VII, dan pada ketika itu terjadilah hubungan yang langsung antara kedua kota suci itu dengan penduduk Nusantara, yang naik haji dan belajar disana, meskipun terkenal dengan nama masyarakat 'Jawa" yang tidak sedikit jumlahnya. Orang-orang inilah yang boleh dianggap mula-mula mempelajari Islam pada sumber daerah tempat lahirnya Nabi Muhammad. Mereka yang pulang ketanah airnya tidak sedikit kemudian membuka tantangan terhadap ajaran-ajaran dan cara berfikir, yang dimasukkan orang-orang sebelumnya melalui Hindustan mengenai Islam, sebagaimana kemudian kedatangan orang- orang Arab dari Hadramaut ke Nusantara membawa pengaruh dalam cara meyakini Islam dan berfikir.

-----

BILAKAH MASUK ALIRAN SYI'AH KE NUSANTARA
(Hal.31-34)

Diatas sudah saya kemukakan pendapat penulis-penulis Barat dan Timur tentang masuk agama Islam ke Nusantara, yang dalam kalangan Mubaligh-mubaligh Islam itu terdapat Ahlil Bait atau orang2 Syi'ah.

Persoalan ini sudah saya kupas waktu diadakan "Seminar mengenai sejarah masuknya Islam ke Indonesia", yang diadakan pada tanggal 17 sampai 20 Maret 1963 di Medan, dan pidato saya mengenai
persoalan tersebut, yang berjudul "Berita tentang Perlak dan Pasai" dimuat dalam sebuah risalah besar yang diterbitkan oleh panitia Seminar, terutama dibawah pimpinan M . Said. Selain dari saya bicarakan tentang mubaligh-mubaligh Islam dizaman purbakala itu, yang terdiri dari pada orang-orang Arab, Persia dan India saya jelaskan, bahwa kebanyakan dari pada mubaligh-mubaligh itu pada waktu tersebut memang berasal dari pada orang-orang, yang mengunjungi Aceh, dan Malaka, memasuki Nusantara dari Persia dan India, meskipun banyak diantaranya telah menggunakan nama-nama negeri-negeri tempat lahirnya di Persia dan di India itu. Dalam uraian saya itu saya telah mengambil beberapa kesimpulan, yaitu : 1. Islam ke Indonesia mula pertama di Aceh, tidak mungkin d;daerah lain; 2. Penyiar Islam pertama di Indonesia tidak hanya terdiri dari saudagar India dan Gujarat, tetapi juga terdiri dari mubaligh-mubaligh Islam dari bangsa Arab; 3. Diantara mashaf pertama dipeluk di Aceh ialah Syi'ah dan Syafi'I; 4. Pemeriksaan yang teliti dan jujut akan dapat menghasilkan tahun yang lebih tua untuk sejarah masuknya agama Islam ke Indonesia.

Sebagai keterangan ad 1. ialah karena Aceh itu merupakan pelabuhan yang pertama disinggahi kapal-kapal layar yang masuk ke Nusantara dari Hadramaut dan Gujarat. dan kemudian meneruskan pelayarannya ke Malaka, diantaranya ada yang berlayar ke Cina, seperti Marcopolo, Ibn Batuthah, dan Soelaiman, (Lih. "Sejarah perkembangan Islam di Timur Jauh", karangan Sayydd Alwi bin Thahir Al-Haddad, (Jakarta, 1957; hal. 9 dst. ) seorang Arab pelancong yang terkenal, dan sebaliknya kapal-kapal ini mengangkut orangorang dari Nusantara dari Aceh ke Mekkah, sehingga oleh karena itu Aceh itu dinamakan "Aceh Serambi Mekkah".

(Nama "Aceh tanah rencong" adalah nama yang diberikan pada daerah ini dalam masa peperangan dengan Belanda). Begitu juga jemaah Haji yang datang dari Jawa atau dari daerah Indonesia Timur, berkumpul dulu di Aceh, dan dari sana barulah berangkat dengan kapal-kapal Gujarat itu ke Arab. Di Kuala Aceh masih terdapat sebuah kampung yang bernama "Kampong Jawa", yang didalamnya tidak terdapat seorangpun, yang berasal dari Jawa.

ad. 2. Mengenai keadaan mubaligh-mubaligh dari Arab ke Indonesia, diantara kitab-kitab sejarah yang dikarangkan oleh Nabi ketimuran Belanda, banyak juga diceritakan dalam kitab "De Hadramieten in Ned. — Indie", karangan S.A. Al-Attas, dan kitab-kitab lain, yang saya ceriterakan kembali secara ringkas dalam kitab "Sejarah Hidup A.W- Hasyim", pada waktu saya membahas gerakan "Ar-Rabithah Al-Alawiyah" dan gerakan "Al-Irsyad".

Keterangan yang lebih tua mengenai kedatangan mubaligh dari Persia dan India ke Nusantara, dapat kita baca dalam penyelidikan, yang dilakukan oleh dua ahli sejarah, yaitu Sayyid Moestafa At-Thabathaba'I dan Sayyid Dhiya' Shahab yang terjadi sekitar bulan November 1960, berjudul "Hubungan Kebudajaan Indonesia — Iran" (Haulal 'Alaqatith Thaqafiyah Baina Iran wa Indonesia), yang diterbitkan dalam th. 1339 oleh "The Iranian Cultural Office Jalan Budi Kemuliaan 4 A Jakarta — Indonesia".

Diantara lain ia berkata :

"Dekat Surabaya terdapat sebuah kota Gresik namanya, sebuah kota yang bersejarah di Jawa Timur. Di kota itu kami lihat bekas-bekas yang sudah tidak terurus dan kuburan lama dari penyebar-penyebar Islam dan Alim Ulama, diantaranya kuburan Maulana Malik Ibrahim, yang wafat dalam th. 822 H. atau 1419 M. Beliau adalah boleh jadi seorang Iran asal dari Kashan.

Dr. H.J de Graaf dalam bukunya "Geschiedenis van Indonesia", hal. S7, menulis a.1. : Malik Ibrahim dalam mulut rakyat disebut "Orang Barat" ia ternyata masih dipandang sebagai seorang asing sangat boleh jadi seorang pedagang Persia asal dari Gujarat, yang masih belum begitu menjadi kaulanegara di Jawa, sehingga masih perlu didatangkan batu nesan dari negara asalnya seperti yang telah terjadi dengan raja-raja kecil di Sumatera Pantai Utara.

Ketika saya melihat-lihat dan jalan-jalan diantara kuburan- kuburan itu, sedang matahari akan masuk, keperaduannya, disebelah Barat, teringatlah saya akan kata-kata Imam Zainul Abidin, yang dalam bahasa Indonesianya k.1. seperti berikut:

"Tangan malaikat telah mencabut beberapa nyawa -dari abad ke-abad dan merobah duma ini dan membenamkan dalam tanah dari' mereka yang saya kenal. Bermacam-macam orang itu semua diantar
kannya kedalam tanah. Hai jiwa, sampai kapankah kau bersandar atas kehidupan dan atas dunia ini dan kau perhaiikau kemakmurannya saya ? Apakah engkau tidak menarik pclajaran dari masa yang lalu dan ingat akan beribu-ribu orang yang; sudah tertutup oleh tanah dan sahabat-sahabatmu yang telah dipindahkan kedunia baka ? Lihatlah ummat-ummat yang lalu, zaman-zaman yang lampau, raja-raja yang kejam, dihancurkan oleh zaman, dihapus oleh mati, tanpa bekas didunia, dan hanya diceritanya saja yang masih ada. Mereka semua menjadi tulang, hancur lebur dalam tanah, rumah-rumah dan istana-istananya menjadi kosong "

Di kota Gresik kami bertemu dengan salah seorang yang terkenal, yaitu Sayyid Hasyim Asegaff. Dengan beliau kami banyak berbicara tentang soal-soal Syi'ah dan buku-bukunya.

Kuburan-kuburan penyebar Islam yang dulu dan ulama-ulama yang banyak terdapat di Indonesia.

Di Sumatera Utara umpamanya dulu ada kuburan raja-raja dan penyebar Islam dll., tetapi banyak yang sudah hilang. Suatu pandangan yang menyedihkan.

Diantara ulama-ulama Iran yang ada kuburannya ialah Sayyid Syarif Khair bin Amir Ali Istrabadi, yang wafat dalam th. 833 H. dan Na'ina Husain al-Din. Diatas kuburan Na'ina Husain al-Din ini terdapat tulisan Persia, syair Muslihuddin Sa'id.

Setelah saya kembali dari Surabaya saya berniat untuk mempelajari soal-soal ini. Saya cari keterangan-keterangan di perpustakaan-perpustakaan dan dimusium-musium dan saya mendapat tulisan Dr. H.K.J. Cowan tentang kuburan ini, yang membuktikan bekas-bekas kebudayaan Iran dan bahasa Iran dikepulauan ini.

Karangan Dr. K.H.J. Cowan yang dimaksud oleh kedua penyelidik Islam Ath-Thabathaba'i dan Dhiya Shahab ini berjudul "A Persicm Inscription in Nort Sumatra", yang dimuat dalam Majalah "Tijdschrift voor Taal-, Land en Volkendunde, Deel LXXX, 1940". Pedagang-pedagang Iran dan India sering kali datang kenegeri Indonesia. Ahli sejarah juga menyebutkan bahwa dipasar-pasar Banten Lama banyak terdapat pedagang Iran dan Khorasan (bangsa Iran juga), yang mendagangkan batu-batu berharga dan obat-obat. Orang-orang Arab dan Iran melintasi lautan kepulau-pulau ini dalam abad ke-X untuk berdagang dan menyiarkan agama Islam.

Pelayaran itu bertambah banyak ke Tiongkok pada zaman raja Chu ïsang, dan dipasar-pasar Pasai di Sumatra banyak terdapat pedagang-pedagang asing. diantaranya orang-orang Iran. Dalam sejarah disebutkan bahwa kapal-kapal dari Timur Jauh telah mengunjungi teluk Persia dan sudah tentu kapal-kapal itu menyinggahi kota-kota kedua pesisir pantai teluk itu.

-----

RAJA-RAJA DARI KETURUNAN SYI'AH ATAU AHLIL BAIT DI NUSANTARA
(Hal.35-39)

L-W-C- van den Burg, dalam bukunya, "Le Hadramaut et les Arabs et India", mengatakan : "Adapun hasil yang nyata dalam penyiaran agama Islam adalah dari orang-orang golongan Sayyid dan Syarif. Dengan perantaraan mereka, agama Islam tersiar diantara raja-raja Hindu di Jawa dan suku-suku yang belum beragama. Selain dari mereka ini, ada juga penyiar-penyiar Islam itu datang dari Arab Hadramaut…".

Sayed Alwi bin Tahir Al-Haddad, memberi komentar atas keterangan ini dalam kitabnya "Sejarah Perkembangan Islam di Timur Jauh" (Jakarta, 1957), bahwa agama Islam tersiar dan berkembang di Sumatera sedikit demi sedikit, sebagaimana tersiarnya Islam di Malabar dan Koromandel, dan diantara penyiar-penyiar agama Islam yang terkenal, banyak sekali diantara mereka adalah suku Sayid (Alawi). Pengarang ini mengemukakan, bahwa An-"Nihyatul Arab Fi Fununil Adab" dan Al-Dimasyqi, dalam kitabnya "Nuchbatuddahr Fi Ajaib el bar war bahr", pernah menyebut tempat-tempatnya tersyiar agama
Islam pada hari-hari pertama itu, yaitu dipulau-pulau "Hindia Timur" sampai ke India, dipulau Surandib (Sailan), antara Saribazah (Sri Wijaya) di Sumatera, dan Kelah (Kedah) di Semenanjung Melayu dan terus kepulau Zabaj atau Ranj (Kalimantan).

Ditempat-tempat tersebut berakarlah agama Islam itu, dan sebagai akibatnya tegaklah kerajaan-kerajaan kecil yang merupakan pemerintahan.

Menurut sejarah keturunan sultan2 Brunai yang dimuat dalam the Journal of the Straits Branch of the Royal Asiatic Society di Singapore No. 1 sampai 5 thn. 1878 — 1880, yang disimpan di Raffles Library, dikatakan bahwa penyiar-penyiar agama Islam disana terdiri dari suku Sayid Syarif yang terikat dengan keluarga sultan-sultan di pulau-pulau Filipina.

Dalam sejarah Serawak juga dikatakan bahwa Sultan Barakat berasal dari keturunan Sayidina Hussein bin A l i ("A History of Serawak under two whit Rajabhs" S. Baring Gould, Raffles Library, Singapore).

Demikianlah terdapat riwayat raja-raja disekitar Mindanau, di Manila, dan di Sulu. Di Pontianak sampai sekarang masih terdapat keturunan raja-raja dari suku Al-Gadri. dalam silsilah, bahwa nenek moyang Sultan-sultan Brunei, Sulu dan Mindanau adalah kakak beradik dari pada keturunan Syarif Ali Zainal Abidin, keturunan Nabi Muhammad yang pindah dari Hadramaut, Arab Selatan ke Johor, Malaya Selatan dan berkembang disekitar daerah ini.

Diatas sudah diterangkan raja-raja di Aceh, yang nisannya menyebut gelar Al-Malik atau Raja, misalnya ada nisan yang terdapat di Blang Me, pada kuburan Al-Malik Al-Kamil (mgl. 7 Jumadil Awal 607 H/1210 M). Disampingnya terdapat kuburan Ya'cub, saudara misannya, yaitu seorang Panglima yang meng-Islamkan orang-orang Gayo dan beberapa suku di Sumatera Barat (mgl. 15 Muharram 630H/1237, M.)- Kemudian terdapat disana kuburan Al-Malik As-Salih, yang sudah dibicarakan diatas oleh Thabathaba'i dan Dr. Cowan, dengan nama Na'ina Husamuddin atau Husainnuddin (saya juga pernah melihat kuburan ini, dan saya tidak membaca "Naina", tetapi huruf yang sudah rusak ini saya lebih yakin membaca "Maulana", (mgl. 8 Ramaddan 696 H./1296 M). Maulana atau Malfi biasa digunakan di India untuk sahib-sahib atau orang-orang istimewa pengetahuan Islamnya atau kekuasaannya.

Al-Haddad, dan dalam terjemah Indonesia Dhiya Shahab, mengatakandalam karangannya tersebut diatas, bahwa sesudah Sultan Al-Malik As-Salih ini memerintah pula anaknya Sultan Muhammad Al-Zahir (mgl. 12 Julhiyyah 726 H /1325 M ). Sesudah sultan ini memerintah pula anaknya bernama Sultan Ahmad bin Muhammad Al-Zahir. Kuburannya terdapat di Meunasah Meucet didesa Blang Me, yang pada waktu hidupnya bergelar Abi Zainal Abidin (mgl. 4 Jumadil akhir 809 H /1406 M.), dan kemudian anaknya pula yang bergelar Ali Zainal Abidin (mgl. 811 H/1408 M.), yang sesudah mangkat digantikan oleh Abdullah Salahuddin dan isterinya Buhaya binti Zainal Abidin.

Kuburan-kuburan di Aceh terdapat bertabur pada beberapa tempat sekitar Gedung dan Baju, Meunasah Mancang, Blang Me, Pase, Samudra, dll.

Al-Haddad berpendapat, bahwa keluarga-keluarga inilah merupakan asal-usul raja-raja Brunei, Cermin Lama, Serawak dan negerinegeri yang takluk padanya, juga raja-raja Sulu, Sibuh (Subuh), Mindanau dan Kanawi yaitu pulau yang boleh jadi yang dinamakan dalam kitab-kitab lama dalam bahasa Arab "Al-Alawiyah" dan menurut paham kami dari karangan Dr. Nageeb Saliby dalam bahagian tentang kepulauan-kepulauan yang banyaknya kira-kira seribu tujuh ratus pulau dimana disebut negeri-negeri. Ia berkata : "Jajahan yang terbesar ialah pulau Kanawi dimana berdiam seorang Syarif Alawi yang terkuat dipulau itu".

Nama Al-Alawiyah dipulau itu disebut oleh pengarang "Nuchbatud dahr".

Selain di Aceh, yang raja-rajanya dalam susunan sejarah Pemerintah Aceh terdapat juga, gelar-gelar Sayyid dan Syarif, seperti Badrul Alam Syarif Hasyim Jamaluddin (1699/1702 ML). Syarif Lam Tui (1702 - 1903 M), Syarif Syaiful Alam (1815 - 1820 M), juga terdapat didaerah-daerah lain di Sumatera golongan Ahlil Bait ini turut memerintah, misalnya di Palembang dengan silsilah yang panjang, seperti Tuan Fakih Jamaluddin yang bermakam di Talang Sura (1161 M.), yang ternyata, bahwa nama-namanya yang lengkap adalah Syayid Jamaluddin Agung bin Ahmad bin Abdul Malik bin Alwi bin Muhammad, seterusnya sampai kepada Syaidina Husain. Dalam silsilah ini disebut bahwa Jamaluddin Akbar. itu mempunyai tujuh orang anak, tetapi yang disebut keturunannya ialah dari Zainul Akbar, yang menurunkan raja-raja Palembang, Pangeran-pangeran dan raden-raden di Palembang, Sunan Giri dan Sunan Ampel. Ada orang berpendapat bahwa raden itu berasal dari perkataan Arab "ruhuddin" (jiwa agama) yang kemudian menjadi gelar bangsawan dari orang Jawa.

Sebuah silsilah yang terdapat di Banyuwangi, Jawa, juga bersamaan dengan silsilah yang terdapat di Palembang.

Dengan demikian, melalui penyiaran agama kita dapati darah-darah Ahlil Bait ini bertabur dan bercampur dengan darah raja-raja Nusantara, baik diseluruh daerah Malaysia, termasuk yang terpenting
Malaya, maupun di kepulauan Indonesia, baik di Ambon, dimana sampai sekarang terdengar nama Sayid Parintah, yang mengatur pemberontakan Patimura terhadap Belanda, maupun di Borneo dan Sulawesi,
Halmahera, bahkan sampai ke Irian Barat. Terutama di Jawa, dalam masa da'wah Wali Sembilan (Wali songo), banyak sekali campuran darah Ahlil Bait ini dengan anak negeri dan sultan-sultan dan raja-raja dari zaman, Mataram Islam.

-----

BAHAN BACAAN

  • Prof. Dr. H. Aboebakar Aceh : "Syi'ah, Rasionalisme dalam Islam", (Semarang, 1972).
  • Prof. Dr. H . Aboebakar Aceh : "Sejarah Al-Qur'an" (Surabaya - Malang, 1956 eet. ke-IV).
  • Abdul Hafid Faragli : "Ahlul Bait fi Misr", (Cairo Desember 1974).
  • Asad Haidar : "Al-Imam as-Shadiq wal Mazahilil Arba'ah", (hal. 216 - 218).
  • „Haditsuts Tsaqalain", 1952 M. Penerbitan „Darut Taqrib bainal Mazahibil Islamiyah".
  • Muhammad Abdul Baqi : „As-Sa'ral Anwal Fil Islam".
  • Hakim An-Naisaburi : "Ma'rifah Ulumul Hadits".
  • Abu Abdullah Az-Zanjani : "Tarikhul Qur'an."
  • Dr. C. Snouck Hurgronje : "De Islam in Nederlancsh-Indie", Serie II, No. 9, dari "Groote Godsdiensten".
  • Sayyid Alawi bin Thahir Al-Haddad : "Sejarah Perkembangan Islam di Timur Jauh", Jakarta, 1957.
  • Dr. H. J. de Graaf : "Geschiedenis Van Indonesia", (hal. 87).
  • Dr. K.H.J. Cowan : "A Persian Inscription in Nort Sumatra" dimuat Dalam Majallah "Tijdschrift Voor Taal, Land en Vilkendunde, Deel LXXX, 1940".
  • L.W.C. Van den Burg : Le Hadramaut et les Arabs et India".