Baca

Baca

Rabu, 15 Maret 2017

Precariat dan lapis terbawah kelas pekerja (Precariat: Bagian 1)

Precariat: Liberalisasi Ketenagakerjaan 
di Era Globalisasi

Bagian 1: Precariat dan lapis terbawah kelas pekerja

Oleh: Candra



Dalam obrolan ringan di sebuah group WhatsApp beberapa bulan lalu, seorang kawan menggunakan istilah precariat untuk menyebut para pekerja lepas yang sering tidak jelas kontrak dan/atau jaminan pekerjaannya. Istilah ini terbilang baru buat saya, berhubung sudah agak lama tidak bergaul dengan isu perburuhan/ketenagakerjaan.

Saya lantas teringat akan situasi saya sendiri, sebagai seorang peneliti/konsultan/kontraktor lepas yang memilih dan terbiasa bekerja berpindah-pindah proyek dan lembaga sejak usai kuliah sekitar dua puluh tahun lalu. Terbayang pula banyak kawan dengan ‘profesi’ yang sama. Juga kawan lain, saudara dan tetangga yang menjadi pegiat NGO, pekerja sosial, broker politik, pengemudi ojek dan taksi online, sales asuransi, pekerja borongan, dan pekerja kontrak di perusahaan outsourcing.

Saya kemudian juga terbayang orang-orang lain yang sering saya temui dan bekerja dengan beragam status di banyak jenis pekerjaan: sebagai asisten rumah tangga, babbysitter, tukang bangunan, tukang galian proyek, pramuniaga di supermarket, juga pelayan cafe dan restoran franchise. Atau yang belum lama ini saya temui ketika melakukan penelitian tentang perkebunan sawit, yaitu para laki-laki dan perempuan yang menjadi pekerja kontrak dan buruh harian lepas (BHL) di perkebunan inti-plasma di atas lahan yang sebelumnya milik mereka sendiri.

Saya jadi terpikir: “Apakah saya dan orang-orang tadi adalah precariat?; Sebetulnya, apa yang dimaksud dengan precariat?”

Precariat: Pekerja tanpa jaminan kerja yang lengkap?

Sejauh yang saya tahu, belum ada padanan kata precariat dalam Bahasa Indonesia. Sebagian orang meng-Indonesia-kannya sebagai “prekariat,” tapi saya pikir lebih baik menggunakan penulisan aslinya saja sampai ada istilah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

Ada buku yang menurut hemat saya perlu dibaca ketika membahas precariat ini. Salah satunya adalah buku yang ditulis oleh Guy Standing yang berjudul The Precariat: The New Dangerous Class dan diterbitkan oleh Bloomsbury pada tahun 2011. Standing adalah profesor di University of London, dan co-founder pada the Basic Income Earth Network (BIEN), yang juga banyak menulis buku tentang globalisasi dan ketenagakerjaan. Sebagai pelengkap dan pembanding, saya beruntung juga dapat membaca beberapa buku dan sumber lainnya mengenai precariat.

Dalam buku ini Standing mencatat bahwa istilah precariat pertama kali digunakan oleh sosiolog Prancis pada tahun 1980-an, untuk menggambarkan pekerja sementara atau musiman. Penggunaan istilah precariat di berbagai negara ternyata juga beragam. Di Italia kata precariat dimaknai sebagai sekedar orang yang melakukan kerja santai dan dengan pendapatan rendah (Grimm dan Ronneberger, 2007). Di Jerman, istilah ini telah digunakan untuk menggambarkan tidak hanya pekerja sementara tetapi juga pengangguran yang tidak memiliki harapan untuk dapat melakukan integrasi sosial. Sementara di Jepang, istilah ini telah digunakan sebagai sinonim dari ‘pekerja miskin' (the working poor) atau pekerja lepas (casual worker).

Standing membedakan antara precariat dengan kelas pekerja (working class) dan proletar. Bagaimanapun kondisinya, kelas pekerja pada umumnya merupakan pekerja jangka panjang dengan kontrak yang stabil, jam kerja tetap, penghasilan jelas, memiliki perjanjian kerja yang jelas, dengan status pekerjaan (job title) yang jelas, serta memiliki atasan atau majikan yang juga jelas. Namun, precariat juga tidak termasuk dalam kategori kelas menengah (middle class). Precariat tidak memiliki gaji yang stabil atau dapat diperkirakan, maupun status dan keuntungan lain yang dimiliki kelas menengah.

Terkait dengan perbedaan tersebut, Standing sendiri membagi kelas sosial menjadi tujuh kategori, yaitu: (a) Elit, yaitu sejumlah kecil warga dunia yang super kaya; (b) Salariat, yaitu orang yang kaya namun masih memiliki pekerjaan dan menerima gaji baik di pemerintahan, perusahaan swasta besar dan layanan sipil; (c) Proficians, yaitu kaum professional yang bekerja sebagai konsultan atau pekerja independen/lepas yang memiliki keterampilan yang dapat dijual, memperoleh pendapatan tinggi dari kontrak, serta memiliki standar hubungan kerja yang berbeda dari pekerja pada umumnya; (d) Kelas pekerja (working class), yaitu pekerja regular dengan terlibat dalam sistem dan kebijakan perburuhan pada umumnya; (e) Precariat, yaitu penganggur dan kelompok terpisah yang terdiri dari mereka yang memiliki penyakit sosial dan sampah masyarakat.

Jika mengacu pada kategori yang dibuat Standing, ternyata (baca:rasanya) saya termasuk Profician. Saya terpikir lagi: “Mengapa Standing mengkaitkan precariat dengan penyakit sosial dan masyarakat? Lantas bagaimana dengan kaitan precariat dengan ketenagakerjaan?”

Standing tidak menjawab secara langsung, namun dengan menggunakan bahasa negasi. Bahwa precariat adalah pekerja yang memiliki masalah dengan jaminan ketenagakerjaannya. Menurut Standing, pada prinsipnya seorang pekerja seharusnya memiliki tujuh bentuk jaminan (security) yang terkait dengan ketenagakerjaan, yakni:
  • Jaminan pasar kerja (labour market security), yaitu peluang memperoleh penghasilan yang cukup melalui 'pekerjaan penuh';
  • Jaminan pekerjaan (employment security), berupa perlindungan terhadap pemecatan sewenang-wenang, adanya peraturan tentang pengangkatan dan pemberhentian kerja, pengenaan biaya pada pengusaha karena gagal mematuhi aturan dan sebagainya;
  • Jaminan tugas (job security), yaitu kemampuan dan kesempatan untuk mempertahankan kedudukan dalam pekerjaan, dan peluang untuk mobilitas 'ke atas' dalam hal status dan pendapatan;
  • Jaminan kerja (work security), yaitu perlindungan terhadap kecelakaan dan penyakit di tempat kerja, melalui, peraturan misalnya, keselamatan dan kesehatan, batas waktu kerja, jam tdk ramah, kerja malam bagi perempuan, serta kompensasi untuk kecelakaan;
  • Jaminan dalam reproduksi keterampilan (skill reproduction security), yaitu kesempatan untuk memperoleh keterampilan melalui magang, pelatihan kerja dan sebagainya, serta kesempatan untuk memanfaatkan kompetensi;
  • Jaminan penghasilan (income security), berupa jaminan penghasilan yang stabil yang memadai, dilindungi melalui, misalnya, ketentuan upah minimum, indeksasi upah, jaminan sosial yang komprehensif, pajak progresif untuk mengurangi ketimpangan dan untuk menambah bagi mereka yang berpendapatan rendah;
  • Jaminan akan representasi (representation security), yaitu memiliki suara kolektif di pasar tenaga kerja, melalui, misalnya, serikat buruh independen, dengan hak untuk mogok.

Ternyata tidak cukup dengan keterbatasan tersebut, Standing juga menambahkan beberapa masalah lain yang umumnya dialami oleh precariat, yaitu:
  • Pendapatan yang tidak pasti (precarious income) dan pola pendapatan yang berbeda dari semua kelompok lainnya. Masalah yang dihadapi precariat bukanlah terutama berkenaan dengan tingkat upah berupa uang atau pendapatan yang diperoleh pada saat tertentu, tetapi juga kurangnya dukungan masyarakat (keluarga dan lingkungan) pada saat dibutuhkan, kurangnya akses terhadap manfaat bantuan dari perusahaan atau negara, dan kurangnya kemampuan untuk menambah penghasilan.
  • Tidak memiliki identitas berbasis kerja (non-work-based identity). Ketika bekerja, mereka berada di pekerjaan tanpa karir (career-less jobs), tanpa tradisi yang memelihara memori sosial, tanpa perasaan bahwa mereka merupakan bagian dari sebuah komunitas kerja yang memiliki praktek kerja yang stabil, kode etik dan norma-norma perilaku, hubungan timbal balik dan persaudaraan.
  • Keterbatasan dalam hal identitas pekerjaan, bahkan jika beberapa memiliki kualifikasi keterampilan dan memiliki pekerjaan dengan titel pekerjaan yang mewah. Bagi sebagian orang, kondisi tersebut memang dapat dipandang positif, karena bagi mereka hal itu menandakan adanya kebebasan karena tidak memiliki komitmen moral atau perilaku yang akan menentukan identitas pekerjaan.
  • Tidak merasa bagian dari solidaritas komunitas buruh, di mana situasi tersebut kemudian menciptakan keterasingan (alienasi).  Para precariat menjadi oportunis, karena menyadari bahwa tidak ada masa depan dalam apa yang mereka lakukan sekarang. Mereka akan harus selalu bersiap mencari pekerjaan dan sumber penghasilan lain begitu apa yang mereka lakukan saat ini sudah selesai atau tidak dapat dilanjutkan.

Jadi jika seorang pekerja tidak memiliki seluruh, atau hanya memiliki sebagian saja dari ketujuh jaminan ketenagakerjaan dan ditambah dengan beberapa masalah penghasilan, identitas dan solidaritas tadi, maka dia disebut precariat. Jika menggunakan ukuran ini, bisa jadi memang pekerja yang termasuk kategori precariat. Pembantu rumah tangga, penjaga keamanan di perkantoran atau pusat perbelanjaan, pramuniaga swalayan, pelayan cafĂ©, dan termasuk buruh kontrak dan buruh harian di perkebunan sawit. Saya pikir, para Proficians seperti saya ini sebetulnya juga tidak memiliki sepenuhnya ketujuh jaminan ketenagakerjaan, tapi karena menurut Standing kaum Proficians memiliki standar hubungan kerja yang berbeda dari pekerja pada umumnya, sepertinya soal ini disisihkan dulu dan (semoga) dapat dibahas lain kesempatan saja. 

Kembali ke precariat: “Jadi jika menggunakan ukuran di atas, siapa saja diantara umat manusia di dunia ini yang potensial menjadi precariat?”

Dalam bukunya ini, Standing mengidentifikasi sejumlah pihak yang paling mungkin menjadi precariat, yakni:
  • Denizen, adalah orang-orang yang karena satu atau sebab lainnya memiliki hak yang lebih terbatas dibandingkan warga negara (citizen) pada umumnya. Sebagian besar denizen tersebut adalah para pekerja sementara tanpa karier, para migran, para orang hukuman (kriminal), penerima bantuan sosial dari negara, dll.
  • Pekerja sementara. Kebanyakan dari mereka yang terlibat dalam pekerjaan sementara sesungguhnya sangat dengat dengan status precariat, karena umumnya mereka memiliki hubungan yang berjarak dengan proses produksi, pendapatan rendah dibandingkan dengan orang lain melakukan pekerjaan yang sama, dan kesempatan yang lebih rendah dalam hal pekerjaan. Jumlah pekerja sementara semacam ini telah berkembang sangat besar di era pasar tenaga kerja yang fleksibel. Di sebagian besar negara, statistik menunjukkan bahwa jumlah dan pangsa tenaga kerja nasional dengan status pekerja sementara telah meningkat tajam selama tiga dekade terakhir. Mereka telah berkembang dengan pesat di Jepang, di mana pada tahun 2010 lebih dari sepertiga dari angkatan kerja adalah di pekerjaan sementara, tapi proporsinya mungkin tertinggi di Korea Selatan, di mana diperkirakan lebih dari setengah dari semua pekerja negara tersebut  merupakan pekerja sementara 'non-reguler'. Dalam hali ini, memiliki pekerjaan sementara adalah indikator kuat menjadi precariat. Bagi sebagian, mengambil pekerjaan sementara ini mungkin dipandang lebih baik daripada menganggur, dan dianggap sebagai batu loncatan sebelum memperoleh pekerjaan yang lebih stabil. Namun bagi sebagian besar sesungguhnya itu merupakan jalan mundur menuju status pekerja dengan pendapatan rendah di masa berikutnya (Autor dan Houseman, 2010).
  • Pekerja paruh waktu. Jalan lain menjadi precariat adalah melalui jalur pekerja paruh-waktu. Di sebagian besar negara, pekerja paruh waktu didefinisikan sebagai dipekerjakan atau dibayar kurang dari 30 jam per minggu. Pada kenyataannya, para part-timers ini harus bekerja lebih lama daripada yang disepakati dan dibayarkan. Para part-timers yang umumnya adalah perempuan, mengalami proses penurunan jenjang karir, mungkin berujung pada situasi yang lebih dieksploitasi, harus melakukan banyak pekerjaan tanpa kompensasi terkompensasi di luar jam kerja yang dibayar, dan lebih memacu diri (self-exploited) agar dapat bersaing dalam mempertahankan ceruk pekerjan tersebut. Sesungguhnya pertumbuhan pekerjaan paruh waktu yang sangat pesat belakangan ini telah membantu menyembunyikan tingkat pengangguran dan setengah pengangguran. Selain itu, penelitian menunjukkan bahwa mereka yang terbiasa, cenderung atau memiliki kebutuhan untuk melakukan banyak pekerjaan sekaligus (multitasking) juga merupakan kandidat utama untuk menjadi precariat.
  • Kontraktor dependen. Kategori lain yang tumpang tindih dengan precariat adalah yang disebut sebagai 'kontraktor yang tidak berdiri sendiri' (dependent contractors).  Jenis kontraktor ini ini berbeda dengan kontraktor yang berdiri sendiri (independent contractors). Perbedaannya terletak pada siapa yang memiliki kontrol, subordinasi dan ketergantungan pada lain pihak. Kontraktor yang tergantung pada pihak lain untuk mengalokasikan pekerjaan, di mana mereka hanya memiliki sedikit kontrol, berada pada risiko yang lebih besar untuk jatuh ke precariat tersebut.
  • Magang. Merupakan fenomena modern yang  khas di mana lulusan baru, pelajar/mahasiswa atau bahkan pra-siswa yang bekerja untuk sementara waktu, di mana mereka hanya memperoleh sedikit upah atau bahkan tidak dibayar sama sekali, melakukan pekerjaan kecil di kantor. Magang berpotensi menjadi sarana menyalurkan para pemuda-pemudi menjadi precariat. Beberapa pemerintah bahkan telah meluncurkan program magang sebagai bentuk  kebijakan pasar tenaga kerja 'aktif' yang dirancang untuk menyembunyikan pengangguran. Pada kenyataannya, upaya untuk mempromosikan magang sering sedikit lebih dari mahal, dan jatuh dalam skema subsidi yang tidak efisien. Model magang ini membutuhkan biaya administrasi yang tinggi dan menggunakan orang untuk melakukan kegiatan yang kurang bermanfaat, baik untuk organisasi, perusahaan ataupun peserta magang sendiri. Meskipun ada retorika tentang pentingnya magang sebagai upaya pengkondisian/adaptasi bagi calon pekerja.

Diyakini bahwa jumlah precariat ini sangat besar dan terus bertambah dari tahun ke tahun. Sayangnya, dalam amatan Standing, tidak ada data statistik tenaga kerja dan ekonomi yang dapat memperkirakan jumlah mereka. Jumlah precariat terus bertambah karena proses precariatisation --yaitu proses bagaimana seseorang menjadi precariat-- juga masih terus berlangsung. Istilah precarianised sendiri kabarnya diilhami oleh istilah proletarianised atau proses seseorang menjadi proletar pada abad ke 19. Precariatised dimaknai sebagai bentuk ketundukan pada tekanan dan pengalaman yang mengarah ke keberadaan sebagai precariat, yaitu kehidupan tanpa jaminan identitas atau perkembangan diri yang dicapai melalui kerja dan gaya hidup. Precariatisation terjadi pada kelas penerima gaji (Salariat, Proficians dan kelas pekerja) atau mereka yang baru mulai bekerja yang kemudian jatuh menjadi precariat.


Bersambung ke


----------
Referensi:
Standing, Guy (2011). The Precariat: The New Dangerous Class. Bloomsbury, London.