Baca

Baca

Rabu, 08 Februari 2017

"Ada Apa Dengan Bigot?" (AADB: Bagian 2)

Ada Apa Dengan Bigot?”
(AADB: Bagian 2)

Oleh: Candra

Tulisan ini merupakan kelanjutan dari 
 “Ada Apa Dengan Bigot?” (AADB: Bagian 1)


AADB: Bagian 1 mengulas pokok-pokok gagasan Stephen Eric Bronner mengenai bigot dan bigotry dalam bukunya The Bigot: Why Prejudice Persist (2014). Untuk memudahkan dalam memahami dan mengingat uraian Bronner, saya mencoba membuat skema “proses pembentukan” perilaku bigotry. Namun karena Bronner tidak selalu eksplisit mendefinisikan tiap komponen dari proses tersebut, akhirnya saya merasa perlu membaca sumber lain, dan kemudian menambahkannya dalam skema di bawah ini. Skema tersebut memang hanya berupa generalisasi sekaligus simplifikasi dari satu proses sosial, yang artinya tentu punya banyak keterbatasan dan kelemahan, sehingga perlu dan bisa dikritisi nantinya.



Skema di atas kurang lebih dapat dibaca sebagai berikut:
  • Perilaku bigotry dari para bigot umumnya dalam bentuk penyebarluasan kebencian (hate spreads), pelecehan dan diskriminasi, baik yang bersifat langsung maupun melalui kebijakan yang tidak inklusif. Bentuk lebih ekstrim dari bigotry adalah kekerasan fisik dan psikologis berupa tindakan terorisme;
  • Bigotry tidak hanya dalam bentuk kebencian terhadap keyakinan atau agama lain (religism) atau ras lain (rasisme), tapi juga karena perbedaan gender (sexisme), ketakutan akan perubahan pada tatanan lama (conservatism), perbedaan usia (ageism), perbedaan budaya (culturism), ketakutan akan pengaruh orang asing (nativism), dll.;
  • Kebencian tersebut muncul dari prasangka (prejudice);
  • Prasangka berkembang dari stereotype dan kategorisasi;
  • Stereotype dan kategorisasi dibentuk dari skema atau alur berpikir tertentu;
  • Skema tadi dipengaruhi oleh kepercayaan, perasaan dan asumsi tententu.

Bigotry vulgar dan halus?

Senada dengan Bronner, Kathlyn Gay dalam Bigotry and Intolerance: The Ultimate Teen Guide (2013) mengutip penjelasan dari ReligiousTolerance.org yang memaknai bigotry sebagai suatu bentuk dualisme yang membagi seluruh umat manusia dalam dua kelompok, yaitu “kita” dan “mereka.” Umumnya berdampak pada penolakan atau fitnah terhadap pihak/kelompok lain yang disebabkan oleh perbedaan usia, bentuk atau berat badan, kasta, warna kulit, gender, kebangsaan, ras, agama, orientasi seksual, dll. Seringkali diekspresikan dengan keinginan atau tindakan yang berujung pada pembatasan atau pencabutan hak asasi kelompok ain tesebut, seperti dalam hal kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan beragama, dll. Menurut Gay, perilaku bigotry ini dapat dijumpai di berbagai tempat, baik dalam kehidupan keseharian di lingkungan permukiman, jalan, sekolah, tempat kerja, arena politik, dunia olahraga tempat ibadah, media massa, media sosial, dll.

Namun Gay menegaskan bahwa tidak ada yang lahir dengan sikap bigotry dan rasis. Banyak faktor yang mempengaruhi bagaimana sikap dan perilaku bigotry tersebut terbentuk pada diri seseorang atau sekelompok orang. Dalam hal ini, keluarga dan lingkunganlah yang paling berpengaruh dapat menciptakan seorang bigotry, melalui berbagai bentuk pernyataan, ekspresi wajah, gestur dan sentimen yang muncul dari prasangka dan kecurigaan terhadap pihak lain yang dianggap berbeda atau lebih rendah.

Tidak semua perilaku bigotry terekspresikan dalam bentuknya yang lugas bahkan kasar. Kristin J. Anderson dalam Benign Bigotry: The Psychology of Subtle Prejudice (2010) berpendapat bahwa ada banyak bentuk perilaku bigotry yang jinak atau halus (benign bigotry). Jenis bigotry ini digunakan sebagai istilah umum untuk menggambarkan prasangka halus (subtle prejudice), yaitu  prasangka yang otomatis, rahasia, seringkali tidak disadari, tidak disengaja, dan kadang-kadang tidak terdeteksi oleh pelaku maupun korbannya. Dalam pandangan Anderson, benign bigotry ini sangat berbahaya karena tersebunyi dan merusak. Bentuk bigotry halus ini terkesan tidak berbahaya dan bahkan positif, namun sesungguhnya menyimpan prasangka tersembunyi yang tidak kentara. Saya contohkan perbedaannya: jika bigotry yang vulgar berkata “Muslim dan pengungsi dilarang masuk!” maka bigotry yang halus berbunyi “Daripada beli di toko asing-aseng, lebih baik beli di warung pribumi” karena meskipun mungkin tujuannya baik untuk mendorong perkembangan perekonomian dan meningkatkan kesejahteraan  masyarakat kelas bawah, namun ada prasangka tertentu kepada mereka yang dianggap “orang luar dan penganggu” yang juga ditanamkan dari penggunaan istilah “asing-aseng” tersebut.

Bigotry melahirkan agresifitas dan kekerasan

Bentuk nyata dari perilaku bigotry adalah kekerasan. Ada banyak jenis kekerasan menurut para ahli psikologi dan sosiologi, seperti kekerasan fisik, psikologis, dilakukan oleh individu atau kelompok, bersifat simbolik, kultural atau struktural, dll.

Michael Burleigh dalam Blood & Rage: A Cultural History of Terrorism (2010) mengulas bagaimana prasangka dan bigotry menjadi basis dari semua bentuk teror dalam berupa kekerasan fisik maupun penyebaran ketakutan. Tindakan terorisme ini dapat dilakukan oleh individu, kelompok/organisasi atau bahkan negara.

Kekerasan lain berupa kekerasan struktural yang salah satunya dalam bentuk diskriminasi. Pelaku kekerasan struktural ini adalah kelompok sosial yang merasa superior dibanding kelompok lain, contohnya pelarangan atau sweeping oleh kelompok tertentu terhadap kegiatan kelompok lain dianggap lebih rendah, lemah atau subordinat (diantaranya lihat Bruce dan Yearly, 2006; Gay, 2013). Sementara diskriminasi negara melalui kebijakan atau regulasi yang tidak seragam dan tidak adil.

Sementara kekerasan psikologis berupa penyebarluasan kebencian kebohongan dan kebencian (spreading lies and hate) melalui simbol-simbol kebencian (hate symbols) dalam bentuk lambang, simbol, gambar atau tulisan tertentu yang ditampilkan dalam bentuk graffiti, perhiasan, tato, dll. Gay (2013) mengutip penjelasan dari Anti-Defamation League (ADL), bahwa simbol dan grafis sering mengganti peran kata-kata dalam mengirim pesan dari para kelompok kebencian (hate groups) dalam rangka propaganda dan menyampaikan pesan kebencian (hate messages). Beberapa simbol dimaksudkan untuk menyampaikan perasaan benci atau marah, atau dimaksudkan untuk menanamkan pada mereka yang melihat simbol perasaan takut dan ketidakamanan. Simbol-simbol tersebut memberikan rasa kekuasaan dan kepemilikan pada para pelakunya, serta membantu sebagai cara yang cepat untuk mengidentifikasi orang/kelompok lain yang memiliki keyakinan yang sejalan dengan mereka. Penyebarluasan kebencian (hate spreads), prasangka dan stereotip juga dilakukan melalui musik (hate music), video , film, iklan, kartun, komedi, pidato, talk show, artikel, berita, tulisan di media sosial, dll.

Penyebarluasan kebencian ini sebagian kemudian berujung pada bentuk-bentuk kejahatan karena kebencian (hate crime). Neil Chakraborti dan Jon Garland dalam Hate Crime: Impact, Causes and Responses (2009) mengutip Jacops dan Potter (1998) yang berpendapat bahwa hate crime tidak sungguh-sungguh tentang kebencian, tapi tentang bias dan prasangka. Hate crime adalah tindak kejahatan yang dimotivasi oleh bias dan prasangka terhadap etnik, ras, agama, gender, dll. (lihat juga diantaranya Kressel, 1996; Kelly dan Maghan, 1998)

Bigotry dan kebencian pada yang berbeda

Bigotry dapat berupa kebencian pada individu atau kelompok lain berdasarkan atas perbedaan ras, agama, gender, usia, budaya, kelas, dll. Beberapa diantaranya coba saya ulas di bagian berikut.

Bruce dan Yearly (2006) menyebutkan bahwa Rasisme (racism) merupakan kepercayaan, ideologi atau perilaku yang membedakan orang atas dasar keanggotaan dalam kelompok ras tertentu, yang dalam praktek biasanya didefinisikan oleh budaya atau daerah asal (origin) atau warna kulit. Meskipun setiap sistem klasifikasi sosial dapat menjadi dasar untuk ketidaksetaraan terstruktur dan perilaku berdasarkan prasangka, namun rasisme terutama sering dikaitkan dengan perlakuan yang kejam karena menggunakan dasar biologis untuk membuat pembedaan yang memungkinkan kelompok dominan untuk membuat pengelompokkan yang tidak dapat diubah, atau memandang orang lain sebagai bukan sepenuhnya manusia.  

Sementara Aosved dan Long (2006) mengutip (Kowalewski, McIlwee, & Prunty, 1995) yang mendefinsikan rasisme sebagai stereotip yang mendalam dan emosional mengenai kelompok ras atau etnis yang menjadi dasar dalam menghadapi perubahan sosial dan mempengaruhi perilaku individu yang memegang keyakinan tersebut.

Sebagai tindakan, sikap atau kebijakan yang dipangaruhi oleh keyakinan tentang karakteristik ras, Abercrombie, Hill dan Turner (2006) membagi rasisme dalam dua jenis, yaitu: (a) Rasisme yang bersifat terbuka dan individual, yang melibatkan tindakan individu yang menindas terhadap kelompok ras atau individu yang dianggap lebih rendah atau subordinat; dan (b) Rasisme yang bersifat tertutup dan institusional, yang melibatkan subordinasi struktural dan penindasan antar kelompok-kelompok sosial.

Collete Guillaumin dalam Racism, Sexism, Power and Ideology (1995) menegaskan bahwa rasisme merupakan suatu sistem simbolik tertentu yang beroperasi di dalam sistem hubungan kekuasaan (power relations) pada bagian tertentu dari masyarakat. Menurut Turner (2006), pada dasarnya rasisme mengacu pada keseluruhan hubungan dari dominasi dan subordinasi antara kelompok yang ada dalam hirarki dari suatu masyarakat tertentu yang didasarkan pada perbedaan ras. Dalam masyarakat rasis, semua bentuk prasangka, diskriminasi, dan diskriminasi institusional adalah elemen umum yang membentuk hubungan antara kehidupan individu dari kelompok yang dominan dan subordinat dalam kehidupan sehari-hari.

Rasisme ini erat kaitannya dengan Kulturisme (culturism), yaitu cara pandang yang memandang tinggi satu kebudayaan dan memandang rendah kebudayaan lain. Kulturisme merupakan gerakan politik sayap kanan yang mempromosikan budaya Barat sekaligus menentang multikulturalisme, yang berimbas pada sikap dan kebijakan negatif terhadap imigran dan pengungsi (diantaranya lihat John Kenneth, Culturism: A Word, a Value, Our Future, 2007).

Seperti halnya dengan bentuk bigotry halus (benign bigotry), Anderson (2010) juga menyebut adanya bentuk rasisme yang halus (subtle racism) yaitu berupa pernyataan yang sedemikian rupa menyamarkan prasangka tertentu terhadap pihak lain. Salah satunya adalah bentuk rasisme budaya (cultural racism) yang memberi atribusi tertentu kepada kelompok tertentu. Saya contohkan perbedaannya: jika rasisme yang vulgar berkata “Dasar Cina cuma mau ambil untung dan enaknya aja!” maka rasisme yang halus berkata "Buat pengusaha lebih suka ambil buruh dari suku itu aja, karena  biarpun kerjanya agak lambat tapi penurut dan nggak macem-macem."

Menurut Gay (2013), tidak semua bigot (pelaku tindakan bigotry) adalah rasis, tapi semua rasis pastilah juga bigot, karena pandangan dan tindakan mereka yang merendahkan ras lain yang berbeda. Contohnya, ras kulit putih yang merasa lebih unggul dari ras lain (white supremacy). Beberapa ilmuwan penganut rasisme ilmiah menafsirkan teori seleksi alam dari Darwin sedemikian rupa. Mereka percaya bahwa ras yang berbeda datang/muncul dari sumber yang berbeda, dan bahwa ras kulit putih telah berkembang secara signifikan sementara ras lain tetap pada tahap primitif. Dengan demikian ras kulit putih dipandang lebih superior dibanding ras kulit berwarna lainnya. Dalam pandangan Gay, sesungguhnya, pertimbangan ekonomi dan politiklah yang menjadi faktor utama yang membuat rasisme dan bigotry masih terus ada sampai saat ini. Rasisme tetap ada dalam rangka mempertahankan status quo, atau struktur sosial yang menguntungkan para bigot.

Sumber perbedaan lain yang paling sering menjadi sumber munculnya perilaku bigotry adalah perbedaan agama. Gay (2003) mengutip  The Canadian-based ReligiousTolerance.org yang menyebut fenomena itu sebagai Religisme (religism), yang didefinisikan sebagai sebagai ekspresi ketakutan, kebencian, atau diskriminasi terhadap orang dari afiliasi agama tertentu, yang biasanya dari agama minoritas.  Kebanyakan kelompok agama percaya bahwa iman mereka adalah satu-satunya agama yang "benar" di mana keyakinan ini kadang mengakibatkan terjadinya diskriminasi, pelecehan, dan serangan fisik terhadap orang-orang dengan keyakinan berbeda.

Dalam pandangan Gay, perilaku bigotry dalam beragama (religious bigotry) ini juga telah dimainkan di arena politik dalam berbagai bentuk diskusi dan pidato yang panjang dan tajam dengan fokus pada keberatan agama terhadap aborsi, hak-hak gay, penggunaan alat kontrasepsi, penelitian stem-cell, doa di sekolah umum, simbol liburan (holiday symbols) di properti publik, teori penciptaan (versus teori evolusi), imigrasi, perubahan iklim ilmu pengetahuan, hukuman mati, sumpah setia pada bendera, dan isu-isu sosial dan lingkungan lainnya.

Religisme ini pada dasarnya adalah bentuk dari intoleransi agama, yang oleh  Aosved dan Long (2006) dikonseptualisasikan sebagai stereotype, prasangka, dan diskriminasi terhadap kelompok agama tertentu atau individu anggota kelompok-kelompok agama (Godfrey, Richman & Withers, 2000; Richman, Kenton, Helfst, & Gaggar, 2004).

Di Indonesia, kasus yang dapat dijadikan contoh seperti adanya sweeping dan pelarangan ditampilkannya simbol-simbol yang dianggap mewakili perayaan keagamaan tertentu di tempat umum seperti pusat perbelanjaan dan jalan raya, dan pelarangan kegiatan keagamaan di lingkungan permukiman tertentu, dll.

Bentuk lain dari bigotry adalah Seksisme (sexism). Abercrombie, Hill dan Turner (2006) menyebutkan bahwa sikap atau tindakan seksis adalah bentuk diskriminasi antara laki-laki atau perempuan yang murni atas dasar gender. Ada seksisme yang eksplisit tapi ada juga yang implisit karena hanya diasumsikan dan belum diakui sebagai bagian dari budaya. Istilah ini muncul  pada tahun 1960-an yang merujuk pada sikap dan tindakan yang mendiskriminasi perempuan (atau, sangat jarang, laki-laki) dengan alasan seks atau jenis kelamin (Bruce dan Yearly, 2006). Istilah ini kemudian populer pada era 1970-an ketika kaum feminis berkampanye menentang penggunaan gambar perempuan seksi dalam iklan dan media (Turner, 2006).

Turner (2006) menyatakan bahwa istilah ini digunakan untuk menggambarkan proses dan struktur sosial yang menunjukkan prasangka terhadap kepentingan satu jenis kelamin dibandingkan yang lain. Seksisme merujuk pada cara di mana perempuan telah digambarkan dengan cara menghina dan merendahkan oleh budaya, media massa atau lembaga sosial tertentu. Pengertian seksisme kemudian berkembang yang juga mencakup penggunaan bahasa, semua bentuk komunikasi, dan asumsi-asumsi budaya mengenai ide-ide yang mengutamakan kepentingan laki-laki daripada perempuan.

Parrillo (2008b) melihat seksisme sebagai sistem penindasan yang mengistimewakan hak laki-laki dan mendiskriminasikan perempuan, yang tidak hanya melibatkan prasangka namun juga penyalahgunaan kekuasaan. Menurut Parrillo, seperti halnya rasisme, dalam seksisme  juga ada pola tertentu. Lembaga-lembaga pemerintahan, hukum, agama, pendidikan, dan media-serta bahasa dan sosial adat istiadat berperan besar dalam terjadinya seksisme, di mana perempuan dipandang lebih rendah dan selalu menjadi bawah (subordinat) dari laki-laki. Meskipun ada kasus di mana wanita juga dapat mendiskriminasi laki-laki, namun diskriminasi terhadap perempuan bersifat lebih struktural dan banyak terjadi.  Singkatnya, seksisme merujuk pada sikap negatif –khususnya terhadap perempuan-- peran sosial dan peran gender tradisional mereka (lihat Aosved dan Long, 2006). Seksisme juga kerap terjadi di tempat kerja, di mana perempuan umumya menjadi korban utama, karena kerap di bully dan mengalami pelecehan, serta dikenakan stereotype sebagai orang yang dianggap tidak mampu menyeimbangkan antara perannya sebagai wanita karier dan sebagai ibu rumah tangga (Gay, 2013).

Namun seksisme memang bukan semata diskriminasi terhadap perempuan. Intinya adalah masalah gender stereotype (diantaranya lihat Swann, Langlois dan Gilbert, Sexism and Stereotype in Modern Society, 1999). Belakangan, makna seksisme ini meluas terkait dengan maraknya tuntutan akan pengakuan dan perlindungan hak kaum lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) (diantaranya lihat Laura Bates, Everyday Sexism, 2014). Sejumlah negara sudah mengakui keberadaan mereka termasuk yang berkaitan dengan legalisasi atas perkawinan sejenis. Sementara di Indonesia, bagi para pelaku dan pendukungnya, diskriminasi masih terjadi baik dalam kehidupan pergaulan sehari-hari maupun dalam hal kebijakan (legalisasi) dan jaminan hak lainnya.

Bentuk bigotry lain yang mungkin lebih jarang dikenali dan diakui adalah Ageisme (ageism). Istilah ini mengacu pada stereotype negatif dari orang lanjut usia, yang berdasarkan prasangka digambarkan sebagai pikun, bersikap kaku dan secara memiliki ketergantungan secara psikologis dan sosial (Abercrombie, Hill dan Turner, 2006). Sementara Aosved dan Long (2006) yang mengutip Butler (1978) mendefinisikannya sebagai prasangka individu dan terinstitusionalsiasi terhadap orang tua, stereotype, mitos, ketidaksukaan, dan/atau penghindaran dan pengabaian. Singkatnya, ageisme adalah diskriminasi berdasarkan stereotip negatif tentang orang lanjut usia dan kapasitas mereka (Bruce dan Yearly, 2006).

Menurut Parillo (2008), ageisme dapat bervariasi baik intensitas dan efeknya pada kelompok sasaran. Ageisme yang lebih struktural terjadi sentimen itu terlembagakan seperti dalam kasus praktik ketenagakerjaan yang diskriminatif. Banyak sosiolog percaya bahwa praktek ini bertanggung jawab untuk subordinasi orang tua di masyarakat usia lanjut. Ageisme juga dapar menghambat proses interaksi antara orang lanjut usia dan anak-anak muda. Selain itu juga dapat menghalangi peluang partisipasi orang-orang usia lanjut dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Hal tersebut justru cenderung mendorong penarikan diri para orang tua tersebut dari masyarakat yang akhirnya justru dapat berpengaruh pada kesehatan dan kebahagiaan hidup.

Sumber lain dari bigotry adalah Classism. Bagi Aosved dan Long (2006), pada dasarnya classism adalah salah satu bentuk dari intoleransi terhadap sistem kepercayaan berbeda. Mereka mengutip Lott (2002) yang secara khusus mendefinisikan classism sebagai diskriminasi, stereotype, dan prasangka terhadap orang miskin. Seperti seksisme, homofobia, rasisme, dan usia, ada tema intoleransi terhadap "yang lain" yang berbeda dari anggota kelompok mayoritas. Dengan demikian, classism berfungsi untuk mempertahankan status quo dengan tujuan tetap menjaga agar meeka yang secara ekonomi lemah tetap tak terlihat dan tak berdaya, dan yang kaya tetap memiliki kekuatan.  Dalam hal ini Lott menyoroti prasangka dan diskriminasi oleh kelas berkuasa terhadap kelas bawah saja. Pendekatan yang senada juga diajukan oleh Pincus dan Sokoloff (2008) yang mengangkat isu classism dan analisis tentang penindasan kelas dalam masyarakat kapitalis.

Sementara menurut Elementary Teachers’ Federation of Ontario (2009), classism adalah seperangkat asumsi pribadi dan sistemik, keyakinan, sikap, dan praktik yang sering mendiskriminasi orang menurut status sosial-ekonomi mereka. Ini termasuk perlakuan yang berbeda berdasarkan kelas sosial, atau dipersepsikan kelas sosial.

Sederhananya, menurut Liu et.al. (2004) classism adalah prasangka dan diskriminasi berdasarkan kelas sosial yang dihasilkan dari individu-individu dari kelas sosial yang dirasakan berbeda (Liu, 2001). Mereka menawarkan pendekatan “Modern Classism Theory (MCT)” yang terutama membagi classism menjadi: (a) Upward classism, yang didefinisikan sebagai prasangka dan diskriminasi kepada mereka yang dipersepsikan sebagai kelas sosial lebih tinggi, yang kerap dianggap sebagai “elitis” dan “snob.”; (b) Downward classism, yang sejalan dengan pandangan klasik Marxian tentang oppression and classism, yang dimaknai sebagai prasangka dan diskriminasi terhadap orang atau kelompok yang dipersepsikan kelas sosialnya lebih rendah (Kilborn, 2001; Kotler, 1999; O’Conner, 2001; Schor, 1998, 2000; Sennet & Cobb, 1972).

Ada pula perilaku bigotry yang bersumber dari Nativisme (nativism). Menurut Crepaz, et.at. (2014) nativisme berpusat pada ide "kita yang pertama dan utama" (“us first”), ketakutan bahwa orang asing akan merusak cara hidup tradisional. Nativisme merupakan bentuk xenophobia dan eksklusifitas. Nativisme merupakan sebuah sentimen politik yang menentang imigran dengan alasan bahwa hal itu mengancam identitas dan kebajikan dari mayoritas penduduk saat ini, yang memposisikan diri mereka sebagai penduduk asli (Bruce dan Yearly, 2006:207).  Menurut Lippard (2011) nativisme ini merupakan sebuah ideologi berdasarkan sentimen nasionalis dan memisahkan 'pribumi' dari 'orang asing' (Galindo dan Vigil 2006; Knobel 1996; Schrag 2010). Brian N. Fry dalam Nativism and Immigration: Regulating the American Dream (2007) mencatat bahwa dalam nativisme penduduk menandai batas-batas antara yang "asli" dan klaim milik mereka atas property yang vis-avis dengan segala yang dianggap "asing" di dalam dan melalui proses kolektif, seperti tuntutan hukum, kampanye media dan pertukaran ilmiah (Blumer 1958).

Lippard (2011) berpandangan bahwa nativisme adalah unik karena inti ideologinya bertumpu pada gagasan nasionalisme dan membedakan antara pribumi dan non-pribumi. Dalam hal ini, Lippard mengutip Huber et al. (2008) yang berpendapat bahwa isu nasionalisme penting untuk nativisme karena tidak hanya menjadi alasan bagi upaya membela identitas nasional dari ancaman yang dirasakan khususnya yang datang dari pihak luar atau asing. Nativisme umumnya menguat ketika terjadi krisis nasional berupa sentimen anti-imigran yang menekankan kekhawatiran bahwa orang asing akan dapat mengancam atau mengambil alih budaya, politik, dan ekonomi. Hal yang dipandang sebagai bencana nasional yang kemudian membangkitkan kembali isu nativisme ini adalah ketika terjadi kemerosotan ekonomi, atau perang (atau bahkan serangan teroris) (Galindo dan Vigil 2006; Higham 1955; Perea 1997; Portes dan Rumbaut 2006; Sa'nchez 1997).

Nativisme juga mengilhami tindakan diskriminatif yang sistematis termasuk kebijakan membatasi imigran, peningkatan kerusuhan dan kejahatan kebencian, dan munculnya kelompok-kelompok “pribumi” yang tidak segan melakukan kekerasan (vigilante). Efeknya, menurut (Parrillo, 2008b), nativisme juga mendesakkan kebijakan yang mendukung warga asli dibandingkan dengan imigran. Di Indonesia bentuk nativisme ini juga terlihat dari sentimen “pribumi dan non-pribumi” yang kerap dimunculkan, khususnya pada momentum politik tertentu seperti menjelang pemilihan umum.


--------------
Referensi:
  • Abercrombie, Nicholas, Stephen Hill, and Bryan S. Turner (2006). The Penguin Dictionary of Sociology. Fifth Edition. Penguin Books, London.
  • Anderson, Kristin J. (2010). Benign Bigotry: The Psychology of Subtle Prejudice. Cambridge University Press, Cambridge.
  • Aosved, Allison C. and Patricia J. Long (2006). “Co-occurrence of rape myth acceptance, sexism, racism, homophobia, ageism, classism, and religious intolerance,” Sex Roles (2006) 55:481–492.
  • Bates, Laura (2014). Everyday Sexism… Simon & Schuster, Sydney.
  • Bauböck, Rainer (2008). “Beyond Culturalism and Statism. Liberal Responses to Diversity,” Eurosphere Working Paper Series, No. 06, 2008.
  • Bronner, Stephen Eric (2014). The Bigot: Why Prejudice Persist. Yale University Press, New York.
  • Bruce, Steve and Steven Yearly (2006).  The SAGE Dictionary of Sociology. SAGE Publications, London.
  • Burleigh, Michael (2010). Blood & Rage: A Cultural History of Terrorism. HarperCollins, New York.
  • Chakraborti, Neil and Jon Garland (2009). Hate Crime: Impact, Causes and Responses. SAGE, Los Angeles.
  • Crepaz, Markus M.L., et.at. (2014). “Trust matters: The impact of ingroup and outgroup trust on nativism and civicness,” Social Science Quaterly, Volume 95, Number 4, December 2014, pp.938-959.
  • Fry, Brian N. (2007). Nativism and Immigration: Regulating the American Dream. LFB Scholarly Publishing, New York.
  • Gay, Kathlyn (2013). Bigotry and Intolerance: The Ultimate Teen Guide. It Happened to Me, No. 35. The Scarecrow Press, Lanham.
  • Kelly, Robert J. dan Jess Maghan (eds.) (1998). Hate Crime: Global Politics of Polarizarion. Southern Illinois University Press, Illinois.
  • Kenneth, John (2007). Culturism: A Word, A Value, Our Future. John Kenneth Press, New York.
  • Kressel, Neil J. (1996). Mass Hate: The Global Rise of Genocide and Terror. Springer, New York.
  • Lippard, Cameron D. (2011). “Racist Nativism in the 21st Century,” Sociology Compass 5/7 (2011): 591-606.
  • Liu, William Ming, et.al. (2004). “A new framework to understand social class in counseling: The social class worldview model and modern classism theory,” Journal of Multicultural Counseling and Development, Apr 2004; 32; 2; pp.95-122.
  • Guillaumin, Collete (1995). Racism, Sexism, Power and Ideology. Routledge, London.
  • Parrillo, Vincent N. (ed.) (2008). Encyclopedia of Social Problems. Vol. 1. SAGE Publications, Inc., California.
  • Parrillo, Vincent N. (ed.) (2008b). Encyclopedia of Social Problems. Vol. 2. SAGE Publications, Inc., California.
  • Pincus, Fred Al. and Natalie J. Sokoloff (2008). “Does ‘classism’ help us to understand class oppressios?,” Race, Gender & Class, 15.1/2 (2008):9-23.
  • Scruton, Roger (2007). The Palgrave Macmillan Dictionary of Political Thought. Third Edition. The Macmillan Press, New York.
  • Swann, William B., Judith H. Langlois and Lucia Albino Gilbert (1999). Sexism and Stereotype in Modern Society. American Psychological Association-APA, Washington, D.C.
  • Turner, Bryan S. (Gen. Ed.) (2006). The Cambridge Dictionary of Sociology. Cambridge University Press, Cambridge.
  • Elementary Teachers’ Federation of Ontario (2009). “Building Undestanding About Classism,” www.etfo.ca/.../Building%20Understanding%20About%20Classism.rtf