Baca

Baca

Senin, 03 Agustus 2015

"Indonesia Bangsa yang Belum Selesai?"





Candra Kusuma

Apa yang Anda bayangkan tentang isi sebuah buku, jika kata-kata yang paling banyak muncul dalam daftar Indeks-nya adalah: Aksi; Buruh; Demonstrasi; Ideologi; Ingatan; Kiri; Komunis; Mahasiswa; Massa; Miskin; Partai Rakyat Demokratik (PRD); Politik; Radikal; Rakyat; Revolusi; Sosial; dan Tani? Jika Anda menduga penulisnya menggunakan analisis Marxis, dan isi buku itu adalah seputar Reformasi 1998, kejatuhan Suharto dan analisis tentang peran kelompok ‘kiri’ dalam momentum tersebut, maka dugaan itu tidak terlalu keliru sama sekali.

Buku yang saya maksud adalah karya Max Lane* yang berjudul Unfinished Nation, dan diterbitkan oleh Penerbit Djaman Baroe pada 2014 lalu. Judul aslinya adalah Unfinished Nation: Indonesia Before and After Suharto, yang diterbitkan oleh Verso di tahun 2008. Dalam buku ini Lane mengupas perjalanan perubahan sosial sejak masa kolonial sampai setelah Reformasi 1998, dengan fokus pada momentum seputar Reformasi tadi.

Jika umum dipahami bahwa perubahan sosial di sebuah negara akan dipengaruhi oleh faktor endogen (internal) dan exogen (eksternal) dalam perubahan sosial, maka Lane meyakini bahwa faktor endogen, yakni adanya desakan rakyat dari sebuah proses mobilisasi massa yang dilakukan oleh sejumlah kelompok pelopor, merupakan faktor yang paling dominan dalam mendongkel Soeharto dari tiga dekade lebih kekuasaannya. Dalam hal ini Lane menganggap dirinya mengajukan analisis berbeda dari mayoritas analis Barat yang mengidentifikasi bahwa kekuatan luar negeri atau elitlah yang mejadi penyebab utama kejatuhan Soeharto.

…Soeharto tidak sekedar jatuh dari kekuasaan –dia didorong jatuh. Gerakan yang mendorongnya jatuh dari kekuasaan berkembang sebagai hasil dari upaya yang sengit (sulit) dan sadar untuk membangun gerakan politik yang benar-benar bisa menjatuhkan sang diktator dan karenanya, dalam tindakannya berbasiskan pada mobilisasi massa rakyat.” (Hal.19)

Menurut Lane, aktor utama yang melakukan pendidikan politik, radikalisasi, dan mobilisasi kalangan kaum miskin, buruh, tani dan mahasiswa adalah para aktivis dari Partai Rakyat Demokratik (PRD), yang kemudian berubah menjadi Partai Pembebasan Rakyat (PPR). Lane memang juga menyebutkan beberapa aktor lain seperti Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Front Mahasiswa Nasional (FMN), Pemuda Sosialis, atau koalisi “dadakan” kelompok aksi mahasiswa yang baru muncul dan dibentuk pada 1998 macam Forum Kota (Forkot),  namun perannya dipandang lebih kecil.

Yang pertama mengambil inisitif tersebut, dalam kerangka organisasi politik, adalah mereka yang muncul melawan Soeharto di awal 1990-an, yang mampu membangun dan mempertahankan orientasi ideologinya. Sangat sedikit yang seperti itu. Semuanya masih kecil, dan hanya satu yang sudah sanggup membangun profil signifikan, yakni PRD. Jaringan nasional lainnya termasuk Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI), Front Mahasiswa Nasional (FMN), dan Pemuda Sosialis. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), merupakan reorganisasi jaringan nasional yang signifikan dan dengan fokus ideologi yang lebih lemah dan longgar, kecuali AGRA yang memiliki penekanan yang kuat.” (Hal.383-384).

Jika ada kesan bahwa Lane terlalu membesar-besarkan peran PRD, hal tersebut dapat dimaklumi, karena dia memang menggunakan kerangka analisis Marxian yang menekankan pada teori revolusi, kelompok/partai pelopor, kontradiksi, kesadaran kelas, radikalisasi dan mobilisasi massa. Bagi Lane, tampaknya hanya PRD yang paling mendekati ideal dari perspektif tersebut. Mungkin agak berlebihan bagi saya maupun banyak pihak lainnya, tapi bagi Lane, keberadaan PRD yang dideklarasikan tahun 1994 telah menjadi aktor sentral baik langsung maupun tidak langsung dalam meradikalisasi rakyat sehingga berani bergerak menentang rezim Soeharto.

Namun Lane juga menyayangkan bahwa aksi-aksi yang berpuncak di 1998 tersebut tidak dapat membawa gerakan ke arah selanjutnya (hal. 294). Lane tidak menyatakan dengan tegas, namun mungkin dapat dikatakan bahwa PRD “gagal” meyakinkan gagasan mereka pasca turunnya Soeharto, yakni membangun kekuasaan dari bawah sebagai hasil dari proses mobilisasi, sekaligus melakukan penyingkiran semua elit politik Orde Baru. Sementara, menurut Lane, di kalangan aktivis mahasiswa lain berkembang konsep yang campur aduk, yang salah satu dan kemudian menjadi arus utama adalah mengkonsentrasikan arah perubahan pada figur-figur elit politik yang luas dan tidak termasuk atau dicap Orde Baru, khususnya Amien Rais, Abdurrahman Wahid dan Megawati (hal. 282-283).

Meskipun tampaknya agak kecewa, Lane masih tetap optimis bahwa perubahan sosial yang radikal masih akan terjadi di Indonesia. Bagaimanapun, generasi 1990-an telah berhasil menumbangkan Soeharto, dan terlebih juga meninggalkan jejak yang cukup kuat bagi benih kepeloporan selanjutnya.

Warisan 1990-an dapat dijelaskan dalam dua tingkatan. Pertama, terdapat jalan bagaimana sentimen positif yang luas –namun hanya sentimen—diangkat ke dalam gagasan-gagasan politik yang kuat, walaupun dirumuskan secara kabur. Kedua, terdapat aktivis-aktivis yang berorientasi ideologis dan secara politik terdidik, yang muncul selama 1990-an serta segera setelah kejatuhan Soeharto, yang mencoba membangun kelompok yang bertujuan menghidupkan kembali orientasi ideologi sosialis dan demokratik” (Hal.496-497)

Di bagian akhir bukunya tersebut, Lane memetakan tujuh karakter situasi yang diyakininya memberikan kemungkinan bahwa akan terjadi lagi politik masa yang agresif di Indonesia. Ketujuh situasi tersebut berkenaan dengan: kemiskinan dan kesenjangan sosial yang akut; terbangunnya kesadaran kelas; tumbuhnya kelas pekerja yang professional dan teroganisir; meluasnya penyebaran gagasan kritis; tumbuhnya gerakan politik non-partai berbasiskan demokrasi dan kiri; adanya kelompok-kelompok aktivis dan kader yang berpengalaman; dan makin lazimnya terjadi mobilisasi massa dari kalangan buruh dan miskin kota (hal.507-511).

Bagi Lane, Indonesia adalah bangsa yang belum selesai (unfinished nation). Karena itu, gerakan perubahan diyakininya akan dan harus terus berlangsung. Tujuannya tetap, yang menurut Lane, yaitu dapat menggantikan sistem dan mengukuhkan bentuk pemerintahan demokratik baru yang radikal.

Lane tampaknya memang memiliki posisi yang unik diantara para Indonesianis lain saat ini. Dia meyakini dan optimis bahwa perubahan sosial yang radikal dapat terjadi di Indonesia. Edward Aspinall dalam komentar singkat di sampul belakang buku ini bahkan menyebut Lane sebagai Indonesianis yang “berdiri diluar kesepakatan para ahli” di Australia.

Kesepakatan para sarjana ilmu politik pengamat Indonesia ditandai oleh ketidakpercayaan pada kemungkinan perubahan revolusioner ataupun kemampuan transformatif dari kelompok-kelompok tertundukkan. Pada studi politik Indonesia di Australia kita lantas menemui sedikit sekali perbedaan pedapat mengenai dinamika dasar dari politik Indonesia, sifat dasar masyarakatnya atau arah dari transformasi demokratik yang sebaiknya dijalani. Namun Max Lane merupakan satu-satunya penulis Australia ahli Indonesia yang berdiri di luar kesepakatan para ahli tadi.”

Terlepas dari pisau analisis yang digunakannya, saya sepakat dengan review dari Curaming (2011) yang berpandangan bahwa buku ini tampaknya memang tidak ditujukan sebagai karya akademik, yang diindikasikan oleh minimnya referensi dan keterangan sumber informasi dan dokumen. Namun saya sendiri juga merasa buku ini terlalu berat untuk sekedar menjadi “bacaan ringan.” Selain itu saya juga lebih suka cover buku dalam versi Inggris dibanding versi terjemahannya yang rasanya juga menjadi terlalu kaku.

Tertarik? Silakan beli/baca sendiri bukunya ya…

-----
* Nama lengkapnya Maxwell Ronald Lane. Dia adalah dosen politik dan sejarah di Universitas Victoria-Australia, dan menjadi Visiting Fellow di Institute of Southeast Studies-Singapura. Lane juga merupakan salah satu pendiri Inside Indonesia, yaitu media yang mengangkat isu sosial-politik di Indonesia. Pernah menerjemahkan buku-buku Pramoedya Ananta Toer (diantaranya This Earth of Mankind;  Child of All Nations; Footsteps and House of Glass; Arok of Java) dan W.S. Rendra (The Struggle of the Naga Tribe). Lane juga pernah menjadi Social science tutor pada sekolah drama  Bengkel Teater di Jogjakarta (1974), dan konsultan proyek pembangunan dari Kedutaan Australia di Aceh, Kalimantan, Jawa dan Sulawesi.

Lane Memiliki jaringan luas dengan para pemikir dan aktivis, khususnya PRD. Bukunya yang lain dan sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia diantaranya adalah Malapetaka di Indonesia: Sebuah Esei Renungan tetang Penglaman Sejarah Gerakan Kiri (2012). Sementara ada dua buku yang akan segera diterbitkan, yakni Ketidakhadiran Indonesia di Bumi Manusia, dan Burung Merak Menyimpang Jalan: Sastra dan Politik Pembangkan di Indonesia.


Sumber:
  • Max Lane, Unfinished Nation, Penerbit Djaman Baroe, 2014.
  • R.A. Curaming, Review of Unfinished Nation, Max Lane. London: Verso, Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 42, No.1, 2011, pp. 176-178.
 Saran untuk referensi lebih lanjut: