Baca

Baca

Kamis, 28 Mei 2015

"John Nash: Antara Beautiful Mind dan Brilliant Madness"


Candra Kusuma

Jika bukan karena film A Beautiful Mind yang dirilis tahun 2001 lalu, rasanya kecil kemungkinan saya –dan banyak orang awam lainnya-- akan mengenal nama John Nash. Maklum saja, nama Nash rasanya tidak pernah disebut-sebut dalam buku pelajaran di sekolah. Meskipun mungkin memang jenius, Nash bukan ilmuwan terkenal penemu teleskop, telepon, bola lampu, atau bom atom.

Dalam film tersebut, digambarkan bagaimana sosok John Forbes Nash Jr. (yang diperankan oleh Russel Crowe) sebagai seorang matematikawan asal AS yang sepanjang hidupnya bergulat dengan rumus-rumus matematika, kekacauan relasi sosial, dan schizophrenia yang dideritanya semenjak muda. Mengharukan dan menggugah, barangkali itulah kesan umum dari film ini. Rasanya menjadi layak saja ketika film ini kemudian memperoleh empat penghargaan Academy Awards tahun 2002 untuk kategori  Best Picture, Best Director, Best Supporting Actress,  dan Best Screenplay.

Saya merasa cukup beruntung dapat membaca cepat buku yang kemudian diadaptasi menjadi film tersebut. Buku yang saya maksud adalah A Beautiful Mind: A Biography of John Forbes Nash, Jr. yang disusun Sylvia Nasar dan diterbitkan tahun 1998. Rentang waktu yang terbilang sangat singkat dari mulai dirilisnya buku tersebut hingga menjadi film layar lebar memberikan gambaran seberapa besar tanggapan publik atas kisah hidup seorang ilmuwan yang bisa dibilang umumnya hanya dikenal oleh kalangan tertentu saja. Tak menunggu terlalu lama, buku tersebut juga kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan judul A Beautiful Mind - Kisah Hidup Seorang Genius Penderita Sakit Jiwa yang Meraih Hadiah Nobel, yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2005.

Dalam buku tersebut, Nasar menggambarkan perjalanan hidup Nash yang dikisahkannya secara runtut sejak lahir tahun 1928, masa kecil/remaja, kuliah di Carnegie Institute of Technology, melanjutkan pasca-sarjana di Princeton, menulis paper yang kemudian menjadi disertasi tentang “non-cooperative game”pada tahun 1950, bekerja di RAND Corporation (lembaga global policy think tank yang dekat dengan Departemen Pertahanan AS), sampai dengan memperoleh Nobel untuk bidang Ekonomi pada tahun 1994.

Game Theory dan paranoid schizophrenic

Nash Jr. adalah anak pertama dari pasangan John Nash Sr. dan Margaret Virginia Martin, yang lahir pada tanggal 13 Juni 1928 di Bluefield, West Virginia. Orangtuanya menikah tahun 1924. Ayahnya adalah seorang ahli listrik di Appalachian Electric Power Company, dan juga merupakan veteran Perang Dunia 1.  Sementara ibunya adalah lulusan West Virginia University  dan pernah bekerja sebagai guru Bahasa Inggris dan Latin di sekolah setempat.  Nash Jr. memiliki seorang adik perempuan, Martha Nash Legg, yang lahir pada tahun 1930.

Nash kecil gemar mempelajari dan melakukan percobaan yang berhubungan dengan listrik dan kimia. Tidak aneh jika ketika kuliah di Carnegie Tech. – Pittsburgh, Nash mengambil jurusan teknik kimia. Semasa di Carnegie ini, Nash memperoleh beasiswa penuh dari  the George Westinghouse Scholarship. Namun ternyata itu hanya bertahan satu semester saja.  Nash merasa tidak betah, dan kemudian memilih untuk pindah ke jurusan kimia (murni). Namun lagi-lagi dia merasa tidak kerasan, karena baginya lebih penting menjadi orang yang mampu berpikir, mempelajari dan memahami fakta-fakta dan tidak semata hanya keahlian menggunakan pipet di labolatorium. Nash akhirnya pindah lagi ke jurusan matematika, dan memperoleh gelar sarjana dan master disana. Selama di Carnegie, Nash juga mengikuti kursus "International Economics." Dari situ Nash menulis paper berjudul "The Bargaining Problem" (yang kemudian dipublikasikan di jurnal Econometrical).

Nash kemudian  melanjutkan kuliah pascasarjana di Universitas Princeton, yang selain karena bujukan Prof. Albert William Tucker (saat itu adalah kepala Departemen Matematika di Princeton), juga secara geografis lokasinya dekat dengan Bluefield. Ketika memberikan rekomendasi ke Princeton, R. L. Duffin –profesor di Carnegie Tech-- mempromosikan Nash –yang saat itu baru berusia 20 tahun-- sebagai sosok yang genius (Siegfried, 1951: 51). Pada saat itu pula Nash tertarik dengan Game Theory Studies yang digagas oleh John von Neumann  dan Oskar Morgenstern. Keduanya berjasa mengembangkan analisis game theory dan hubungannya dengan economic behavior. Di tempat ini Nash belajar banyak tentang matematika dan aljabar, dan berhasil menulis paper “Non-Cooperative Games" yang kemudian dikembangkannya menjadi disertasi Ph.D-nya.

Teori Nash --populer sebagai “Nash-Equilibrium”— dikemudian hari dianggap berjasa merevolusi  teori ekonomi, dan 40 tahun kemudian memberinya penghargaan The Sveriges Riksbank Prize in Economic Sciences in Memory of Alfred Nobel (Nobel bidang ekonomi) tahun 1994 bersama dua pakar lain, yaitu John C. Harsanyi dan Reinhard Selten. Pada intinya, Nash-Equilibrium merupakan konsep solusi dari permainan non-kooperatif (non-cooperative game) yang melibatkan lebih dari dua pihak, di mana setiap pihak diasumsikan mengetahui strategi keseimbangan (equilibrium strategies) pihak lain, dan tidak ada pihak yang memiliki keuntungan hanya dengan mengubah strateginya sendiri.

Lulus dari Princeton, Nash sempat mengajar di almamaternya tersebut selama sekitar satu tahun. Pada tahun 1951, Nash memutuskan “pindah” ke Massachusetts Institute of Technology (M.I.T.) untuk menjadi "C.L.E. Moore Instructor," semata karena honornya lebih tinggi di sana. Di M.I.T. ini Nash berhasil menulis paper “Real Algebraic Manifolds.” Nash bekerja di M.I.T. sampai dengan tahun 1959. Namun pada 1956-1957, dia berhasil memperoleh hibah dari Alfred P. Sloan, dan menjadi anggota dari the Institute for Advanced Study in Princeton. Selama periode ini Nash Jr. banyak meneliti tentang geometri diferensial, teori relativitas umum, Euclidean, elliptic equations, dll.

Nash bertemu dengan Alicia Larde –kelahiran El Salvador-- di M.I.T. Alicia sudah lulus dari jurusan fisika di kampus tersebut, dan saat itu bekerja di New York. Mereka menikah ketika Nash sedang cuti akademik 1956-1957. Tak lama setelah menikah, Nash mengalami masalah dengan kesehatan jiwanya. Dalam biografi singkatnya untuk Panitia Nobel (1994), Nash Jr. mengakui dirinya mengalami: “…the delusional thinking characteristic of persons who are psychiatrically diagnosed as "schizophrenic" or "paranoid schizophrenic".” Saat itu tahun 1959, ketika Alicia tengah mengandung anak pertama mereka, Nash justru terpaksa mengundurkan diri dari M.I.T. dan menjalani pengobatan di McLean Hospital dengan insulin shock therapy, ditambah upaya menenangkan diri di Eropa selama beberapa waktu. Selanjutnya Nash secara sengaja menjalani pengobatan di New Jersey.

Setelah cukup membaik, Nash kembali menekuni penelitian matematika. Dia terlibat dalam beberapa penelitian: "Le Probleme de Cauchy pour les E'quations Differentielles d'un Fluide Generale"; "The Nash blowing-up transformation"; "Arc Structure of Singularities"; dan "Analyticity of Solutions of Implicit Function Problems with Analytic Data." Pada dekade 1960-an, Nash menyebut dirinya “became a person of delusionally influenced thinking but of relatively moderate behavior,” sehingga tidak harus dirawat inap dan dibawah pengawasan psikiater.

Terkait dengan aktivitas dan kedekatannya dengan RAND, pada sekitar pertengahan dekade 1950-an, Nash juga bekerja di Pentagon. Dapat dikatakan dia mengikuti jejak sejumlah matematikawan Princeton sebelumnya yang juga terlibat dalam berbagai proyek rahasia intelejen dan Departemen Perhanan AS. Nash dengan kepiawaiannya dalam matematika membantu Pentagon membuat mesin pemecah kode rahasia, dalam konteks ketegangan politik dan militer era Perang Dingin antara AS-Blok Barat dan Soviet-Blok Timur.

Sebagian korespondensi John Nash dengan NSA dalam proyek mesin pemecah kode

Di kalangan kolega dan mahasiswanya, Nash dianggap sebagai sosok “hantu.” Mereka menyebutnya sebagai Phantom of Fine Hall, gedung tempatnya terus-menerus mempelajari dan menulis tentang beragam topik dari berbagai disiplin ilmu berbeda: logika, game theory, kosmologi, grafitasi, dll. (Halber, 2002).  Mereka mengingat Nash sebagai orang tua yang berpakaian aneh, senang berjalan membisu di lorong-lorong kampus, sering bergumam sendiri, bertahun-tahun menulis pesan misterius di papan tulis, dll. Namun Nash juga dianggap sosok yang cemerlang, di mana namanya muncul dimana-mana di berbagai jurnal dan buku teks ekonomi, artikel tentang biologi evolusioner, risalah ilmu politik, dan jurnal matematika (Nasar, 1998).

Namun, baru pada tahun 1995 Nash secara penuh bergabung dengan dengan Departemen Matematika di Princeton sebagai Senior Research Mathematician. Meskipun terbilang uzur, Nash secara rutin selalu hadir di Princeton.

Bagi kalangan ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu, kontribusi Nash memang tidak terbantahkan. Roger Myerson (dalam “Nash Equilibrium and the History of Economic Theory,” 1999) memuji kontribusi Nash, yang tidak saja penting bagi disiplin matematika namun juga dapat diaplikasikan dalam berbagai ilmu sosial lainnya: “Nash membawa ilmu sosial ke dalam dunia baru di mana struktur analisis terpadu dapat ditemukan untuk mempelajari semua situasi konflik dan kerjasama. Teori Non-cooperative Games yang digagas Nash telah berkembang menjadi kalkulus praktis insentif yang dapat membantu kita untuk lebih memahami masalah konflik dan kerjasama di hampir semua institusi sosial, politik, atau ekonomi.” (Siegfried, 2006:52)

Antara buku dan film

Seperti biasa terjadi, ketika kisah dalam buku kemudian difilmkan –dan sebaliknya--, terbuka peluang adanya perbedaan, penyederhanaan, dramatisasi, dll.

Siegfried (2006:54) mengkritik buku A Beautiful Mind karya Nasar, yang dipandangnya hanya menawarkan wawasan yang terbatas mengenai upaya dan capaian Nash dalam kajian matematika, khususnya bagaimana kontribusinya terhadap bidang ilmu lainnya, yang belakangan semakin terlihat menonjol. Lebih buruk lagi, matematika yang digambarkan dalam versi film A Beautiful Mind  cenderung kacau dan sama sekali tidak mirip dengan apa yang sebenarnya dilakukan Nash dalam kehidupan nyatanya. Sylvia Nasar, baik buku maupun di film-nya kemudian tampaknya memang lebih banyak mengungkapkan masalah pribadi Nash. Gambaran Nasar tentang Nash memang tidak terlalu banyak menyanjung. Di mata Nasar, Nash adalah sosok yang brilian, namun juga sekaligus self-centered, arogan, tidak peduli, dan tidak sungguh-sungguh sadar dengan situasi sekitarnya.

Sementara Suellentrop (2001) menyayangkan banyaknya sisi persona Nash yang muncul dalam buku Nasar, namun hilang dalam versi film-nya. Bisa jadi, pertimbangan akan selera pasar menjadi penyebab utamanya, sehingga beberapa “sisi gelap” Nash memang sengaja tidak dimunculkan: kecenderungannya akan homoseksualitas; pengabaian anak hasil hubungan diluar nikah dengan Eleanor Stier; perceraiannya dengan Alicia Larde pada tahun 1962 (meskipun kemudian rujuk kembali pada tahun 1970, dan menikah ulang tahun 2001). Dramatisasi paling besar pada film tersebut adalah penggambaran pidato Nash pada saat penyerahan hadiah Nobel tahun 1994, karena pada kenyataannya Nash sama sekali tidak menyampaikan pidato tersebut karena “ketidakstabilannya,” dan hanya menyampaikan pidato penerimaan dalam sebuah perayaan kecil di Princeton saja.

Dramatisasi  lain yang juga agak berlebihan adalah di film digambarkan bahwa Nash sempat bekerja di salah satu lembaga penelitian bergengsi di M.I.T, yaitu Wheeler Defense Lab. Padahal menurut Profesor Isadore M. Singer yang menjadi pengajar senior di sana, tidak ada nama lembaga itu di kampus tersebut (Halber, 2002).

Film Dokumenter "A Brilliant Madness" tahun 2002

Selain itu, mungkin juga tidak banyak yang tahu, bahwa bukan hanya dalam A Beautiful Mind, kisah hidup Nash juga diangkat menjadi film bio-dokumenter dengan judul A Brilliant Madness: The Story of Nobel Prize Winning Mathematician John Nash pada tahun 2002. Film ini merupakan bagian dari serial tv The American Experience diproduksi oleh WGBH Educational Foundation-USA dan ditayangkan pada tahun 1988. Hal menarik dari A Brilliant Madness adalah ketika digambarkan bagaimana Nash mengaku bahwa dirinya dapat berkomunikasi dengan alien, dan menjadi special messenger bagi mereka. “Suara-suara” itulah yang kemudian membuatnya didiagnosa mengalami delusi dan paranoid schizophrenia  (lihat http://www.pbs.org/wgbh/amex/nash/filmmore/index.html  dan http://www.imdb.com/title/tt0319109/)

Akhir perjalanan Nash

Nash dan istrinya Alicia meninggal dunia secara tragis dalam kecelakaan taksi di New Jersey pada tanggal 23 Mei 2015 lalu. Saat itu mereka berusia 86 dan 82 tahun. 

Dari cerita di atas, setidaknya tergambarkan betapa penuh warna kehidupan Nash, sebagai ilmuwan genius, penderita paranoid schizophrenic, agen Pentagon, dan penerima Nobel Ekonomi. Dia juga menjadi apa yang disebut Cassidy (2015) sebagai “intellectual celebrity,” setidaknya karena memang sudah ada dua film tentang kehidupan pribadi dan intelektualnya. Memang tidak sama, tapi jika dikontekskan dengan sosok ilmuwan yang menjadi intellectual celebrity di Indonesia, barangkali hanya Habibie yang agak mendekati. Setidaknya karena –rasanya-- baru kehidupan Habibie sebagai ilmuwan-birokrat saja yang sudah difilmkan disini.

Sebagai penutup saya ingin mengutip salah satu bagian dalam script dialog pada salah satu scene –yang sayangnya konon justru tidak jadi dimunculkan-- di film A Beautiful Mind. Di bagian akhir film tersebut dikisahkan bagaimana Nash pada akhirnya menyadari bahwa lebih penting memiliki hati yang baik daripada sekedar pikiran yang cerdas: “Perhaps it is good to have a beautiful mind, but an even greater is to discover a beautiful heart.”

Saya pikir, mungkin karena memang penting disadari, bahwa bahkan ilmuwan yang paling genius dan berjasa bagi kehidupan, orang yang paling alim dan rajin beribadah, laki-laki dan perempuan yang rupawan namun rendah hati, mereka yang kaya dan dermawan, ataupun pemimpin yang adil sekalipun, semua memiliki sisi gelapnya sendiri-sendiri. “Every hero has a dark side…” Tinggal bagaimana caranya agar kebaikan pribadilah yang lebih besar, dan pada akhirnya yang ingin dikenang oleh orang lain hanyalah yang baik dan indahnya saja. Mungkin…?

-----
Sumber:




Selasa, 12 Mei 2015

"The Seven Deadly Sins"


Di salah satu channel televisi kabel, saya pernah melihat satu acara yang buat saya sangat menarik. Judulnya cukup serem, The Seven Deadly Sins. Dalam acara tersebut, digambarkan kisah nyata tentang seorang perempuan yang terlihat terus menerus melakukan kegiatan makan dan minum nyaris tanpa henti. Ukuran badannya yang sudah ekstra jumbo tidak menghalangi nafsu makannya yang jauh dari kewajaran. Uniknya, kebiasaannya tersebut didukung penuh oleh laki-laki pasangannya, yang juga tampak bahagia dengan ukuran badan dan kegiatan makan tanpa henti dari kekasihnya tersebut. Ada pula kisah satu kelompok masyarakat yang sangat gemar berlatih menggunakan senjata api, dan berpendapat bahwa itulah satu-satunya cara untuk menjaga ketertiban bersama, yaitu di mana setiap orang punya kesempatan yang sama untuk membela diri atau melawan kekerasan. Di bagian lain digambarkan bagaimana sekelompok perempuan begitu bahagia bermain dan mengurus boneka yang sangat mirip dengan bayi sungguhan, dan terlihat justru kurang memberi perhatian pada anak kandungnya sendiri. Sementara di bagian lain lagi dikisahkan tentang para laki-laki yang gemar mengenakan semacam topeng dan lapisan kulit sintetis hingga buat mereka tampak seperti wanita cantik. Ada pula kisah tentang seorang pemuda yang gemar menggunakan kursi roda meskipun dia sendiri sesungguhnya sehat secara fisik.

Menonton The Seven Deadly Sins --atau barangkali bisa diterjemahkan menjadi Tujuh Dosa Mematikan-- membuat saya lantas teringat The Divine Comedy-nya Dante Alighieri, yaitu Inferno, Purgatorio, dan Paradiso. Salah satu bagian dari karyanya itu belakangan kembali populer karena menjadi basis dari novel laris karya Dan Brown berjudul Inferno (Neraka). Dalam novel itu Brown menyebut istilah SAGLIA, yang merupakan singkatan dari bahasa Latin terkait tujuh dosa besar, yaitu: Superbia (Inggris: pride), Avaritia (greed), Luxuria (lust), Invidia (envy), Gula (gluttony), Ira (wrath/anger), dan Acedia (sloth). Kalau diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia dengan urutan yang sama menjadi: Kesombongan/Kebanggaan, Keserakahan, Nafsu, Iri, Kerakusan, Kemarahan, dan Kemalasan.

Kemudian, ternyata saya cukup beruntung dapat mengakses dan membaca langsung buku seri tentang Seven Deadly Sins yang disponsori oleh The New York Public Library dan Oxford University Press. Dalam pengantar ke-tujuh buku tersebut, Elda Rotor selaku editor mengajak pembacanya untuk mengeksplorasi secara historis dan kontemporer tentang bagaimana Seven Deadly Sins ini mempengaruhi spiritualitas dan etika dalam kehidupan sehari-hari.

Menurut Rotor, gagasan tentang The Seven Deadly Sins sesungguhnya bukan berasal dari Alkitab (kitab suci Kristen). Konsep ini muncul pertama kali di abad ke-4 oleh Evagrius of Pontus dan kemudian John of Cassius. Selanjutnya konsep ini diadopsi oleh Kristen pada masa Paus Gregory the Great di abad ke-6. Seven Deadly Sins dianggap sebagai “Tujuh Dosa Pokok” (The Seven Capital Sins) yang menjadi penyebab bagi dosa-dosa dan kebiasaan buruk lainnya. Untuk mengatasi Seven Deadly Sins ini para teolog Kriten kemudian merumuskan “Tujuh Keutamaan Surgawi” (The Seven Heavenly Virtues).



Pride
Michael Eric Dyson (2006). Pride: The Seven Deadly Sins. Oxford University Press.

Pride adalah kesombongan, kebanggaan dan keyakinan yang berlebihan akan kemampuan diri seseorang. Kebanggaan juga dapat berarti kebutuhan untuk diterima publik dalam semua tindakan, dan  kebutuhan untuk menjadi atau dianggap lebih penting daripada yang lain. Ujung-ujungnya, mereka menjadi memandang diri terlalu tinggi, sekaligus cenderung meremehkan dan memandang rendah orang lain.


Greed
Phyllis Tickle (2004). Greed: The Seven Deadly Sins. Oxford University Press.

Greed adalah keserakahan atau ketamakan, berupa hasrat atau keinginan kuat untuk menguasai dan memiliki kekayaan materi atau keuntungan, dan mengabaikan ranah spiritual. Untuk memuaskan hasratnya, orang serakah mungkin akan menimbun barang, mencuri, merampok, menipu, memanipulasi, dsb. Orang-orang serakah biasanya juga mudah untuk melakukan suap dan berjudi.


Lust
Simon Blackburn (2003). Lust: The Seven Deadly Sins. Oxford University Press.

Lust adalah keinginan berlebihan untuk kesenangan tubuh, terutama berkenaan dengan seks, baik dalam pikiran maupun tindakan. Hasrat akan hal ini dapat mendorong masturbasi, perkosaan, kekerasan seksual, dll.


Envy
Joseph Epstein (2003). Envy: The Seven Deadly Sins. Oxford University Press.

Envy adalah rasa iri yang sangat berupa keinginan untuk memiliki barang orang lain, atau merasakan/mengalami situasi, status, kemampuan yang ada pada diri orang lain. Akibatnya, dia dapat mencuri, meniru, terlibat voyeurism (mencampuri urusan orang lain, atau dalam bentuk paling ektrimnya adalah yang dalam istilah kedokteran disebut skopofilia, yaitu salah satu bentuk kelainan jiwa berupa hasrat yang kuat untuk mengintip orang lain demi kepuasan seksual). Kisah tentang orang-orang yang gemar mengenakan topeng dan selubung tubuh yang mirip perempuan cantik, atau anak muda yang gemar mengenakan kursi roda meskipun sesungguhnya badanya sehat saja adalah contoh dari sikap iri yang ekstrim ini.


Gluttony
Francine Prose (2003). Gluttony: The Seven Deadly Sins. Oxford University Press.

Gluttony adalah kerakusan berupa keinginan ekstrim untuk mengkonsumsi makanan dan minuman jauh melebihi dari yang yang dibutuhkan oleh dirinya sendiri, termasuk didalamnya adalah alkoholisme dan penyalahgunaan narkoba. Makan/minum yang terlalu cepat, terlalu enak, terlalu mahal, terlalu rakus, terlalu banyak merupakan sifat dari para pelaku gluttony ini. Kisah dalam serial tv tentang seseorang yang selalu terus-menerus makan di atas adalah contoh nyata dari gluttony.


Anger
Robert A. F. Thurman (2004). Anger: The Seven Deadly Sins. Oxford University Press.

Anger/Wrath adalah sikap individu yang suka menghina dan/atau marah (anger) pada orang lain. Wujud ekstrimnya berupa kebencian, tindakan main hakim sendiri, keinginan membalas dendam, melakukan kekerasan fisik terhadap diri sendiri dan orang lain, pembunuhan, genosida, dll.


Sloth
Wendy Wasserstein (2005). Sloth: The Seven Deadly Sins. Oxford University Press.

Sloth adalah kemalasan atau keengganan berupa tindakan menghindari pekerjaan fisik atau spiritual. Wujudnya dapat berupa kesedihan mendalam, depresi, atau ketidakmampuan untuk merasakan sukacita, yang dapat mendorong pada tindakan bunuh diri, atau sebaliknya melakukan kekerasan pada orang lain.

-------

Konsep pahala dan dosa --yang mungkin juga dibagi dalam kategori dosa kecil, sedang maupun besar—barangkali selalu ada di semua agama. Jika The Seven Deadly Sins secara historis lekat dengan ajaran Kristen, uniknya dalam agama Islam misalnya, juga dikenal adanya “Tujuh Dosa yang Dapat Membinasakan” –dalam rumusan yang berbeda-- yang diambil dari hadis (ucapan/tindakan) Nabi Muhammad, yaitu: (1) Sryrik atau mensekutukan Allah; (2) Melakukan sihir; (3) Membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali yang hak; (4) Memakan harta riba; (5) Memakan harta anak yatim; (6) Melarikan diri dari perang; (7) Menuduh wanita baik-baik (berkeluarga) dengan tuduhan zina.

Kembali ke The Seven Deadly Sins, barangkali menarik jika menggunakan perspektif tersebut dalam melihat masalah-masalah besar yang tengah diidap bangsa Indonesia saat ini. Ada banyak politisi, pejabat pemerintah, pakar, dan pengamat yang tampaknya merasa paling hebat dan paling benar sendiri. Korupsi yang massif dan sistemik dan melibatkan trilyunan uang rakyat hilang, serta eksploitasi dan pengrusakan sumberdaya alam tanpa kendali. Penyebaran dan penyalahggunaan narkoba yang begitu luar biasa. Belum lagi maraknya kejahatan, perampokan, penipuan, pembegalan. Begitu pula dengan semakin banyaknya pelecehan/kejahatan seksual dan prostitusi –baik offline maupun online--. Berniat menambahkan? Bagaimana dengan kecenderungan narsistik dari kegemaran selfie di media sosial yang belakangan ini sedang hit banget?

Tentu saja saya juga berniat menggunakan perspektif ini untuk memikirkan dosa-dosa saya sendiri. Tapi maaf saja, itu cuma untuk konsumsi pribadi saya sendiri saja ya, he..he...


-------
Sumber:

Michael Eric Dyson (2006). Pride: The Seven Deadly Sins. Oxford University Press.
Phyllis Tickle (2004). Greed: The Seven Deadly Sins. Oxford University Press.
Simon Blackburn (2003). Lust: The Seven Deadly Sins. Oxford University Press.
Joseph Epstein (2003). Envy: The Seven Deadly Sins. Oxford University Press.
Francine Prose (2003). Gluttony: The Seven Deadly Sins. Oxford University Press.
Robert A. F. Thurman (2004). Anger: The Seven Deadly Sins. Oxford University Press.
Wendy Wasserstein (2005). Sloth: The Seven Deadly Sins. Oxford University Press.
John Moorhead (2005). Gregory the Great. Routledge.
Richard Newhauser (2007). The Seven Deadly Sins: From Communities to Individuals. BRILL.
http://www.deadlysins.com/



Senin, 04 Mei 2015

"Pembangunan Sosial sebagai “Kuda Troya” Neoliberal" - Toby Carroll

Program Pengembangan Kecamatan (PPK) atau Kecamatan Development Project (KDP) mulai dilaksanakan di Indonesia pada tahun 1998/1999, sebagai respon pemerintah dalam menghadapi krisis ekonomi 1997/1998. Program berskala nasional ini disponsori dan diasistensi oleh Bank Dunia.

Tulisan berikut adalah salah satu kritik terhadap konsep PPK yang disampaikan oleh Toby Carroll --yang dimuat dalam Majalah Prisma, Vol. 29, No. 3, Juli 2010, hal. 86--, sebagai alternatif perspektif dari yang selama ini disampaikan oleh pemerintah dan Bank Dunia sendiri...

Artikel ini dapat dilihat dan diunduh pada link berikut:



atau 





Pembangunan Sosial sebagai “Kuda Troya” Neoliberal: 
Bank Dunia dan Program Pengembangan Kecamatan di Indonesia*

Toby Carroll

Artikel ini mencoba mengonseptualisasi ulang pasca-Konsensus Washington (PWC) dengan tidak sekadar memfokuskan pada struktur-struktur kelembagaan dan ideologi yang dikembangkannya, namun cara ia dikampanyekan di lapangan. Tujuannya adalah untuk mengungkap perbedaanmendasar antara Konsensus Washington dengan PWC yang selama ini cenderung diabaikan. Penulis memfokuskan pada Program Pengembangan Kecamatan (PPK) di Indonesia yang didanai Bank Dunia. Program itu dianggap radikal karena ia “Kuda Troya” baru untuk menanamkan sekaligus meneruskan norma-norma dan praktik berorientasi pasar. Secara umum, inilah yang menjadi kunci perbedaan dalam banyak analisis.

Orang yang tertarik dan terkait dengan pembangunan berorientasi pasar telah banyak membahas pasca-Konsensus Washington sejak akhir tahun 1990-an. Istilah “pasca-Konsensus Washington” (post-Washington Consensus) lazim digunakan untuk merujuk paradigma dominan yang menjadi landasan praktik pembangunan saat ini, terutama pen dekatan yang dikembangkan dan disebarluaskan oleh Bank Dunia.[i] Di sini dinyatakan, pemahaman kontemporer PWC, termasuk pemahaman yang kritis, tidak banyak memberi tahu kepada kita mengenai cara ia dijalankan di lapangan, dan karenanya, apa sebenarnya konsep itu.

Pendukung-pendukung PWC ortodoks mendefinisikannya sebagai sesuatu yang berlawanan dengan “fundamentalisme-pasar” Konsensus Washington.[ii] Kritik terhadap PWC, sebaliknya, lebih banyak didominasi oleh pernyataan-pernyataan dari para pendukung PWC yang bersifat menentukan, kerap mempergunakan dokumen-dokumen seperti laporan tahunan Bank Dunia, World Development Report baik untuk mendefinisikan maupun menilai perwujudan terbaru pembangunan berorientasi pasar.[iii] Sumber-sumber tersebut telah memberi wawasan berharga yang membantu kami menguraikan PWC atau paradigma pembangunan baru.[iv] Namun demikian, fokus pada resep-resep tersebut telah mengurangi pemahaman terhadap beberapa karakteristik pembeda terpenting dari PWC. Hal ini khususnya berlaku bagi elemen-elemen utama agenda pembangunan baru yang dirancang untuk menangani frustrasi besar neoliberalisme—hambatan-hambatan dalam menerapkan dan melanjutkan reformasi pasar liberal.[v]

Artikel ini banyak mengambil kontribusi para penulis yang dikutip di atas sebagai titik awal memahami PWC dalam praktik. Namun, ketimbang memfokuskan secara langsung pada resep-resep yang sama artinya dengan PWC, tulisan ini mengambil posisi bahwa PWC mempromosikan bentuk baru tatapemerintahan pembangunan neoliberal—saya menyebutnya neoliberalisme kelembagaan sosial (socio-institutional neoliberalism/SIN)—yang keduanya merupakan setumpuk resep serta seperangkat
metode dan mekanisme untuk membentuk medan politik di dunia terbelakang ke arah penegakan dan kelangsungan masyarakat pasar liberal.

Kegunaan konsepsi PWC terlihat tatkala kita memeriksa beberapa jenis proyek baru yang berasal dari PWC. Ini karena membantu kita untuk memahami apa yang sebenarnya berubah, dari sekadar fokus kelembagaan, dalam pergeseran dari Konsensus Washington ke PWC. Memang, analisis seperti itu khususnya penting bagi proyek-proyek “sosial” yang tampaknya berangkat dari penyesuaian struktural
(structural adjustment) sederhana Konsensus Washington. Program Pengembangan Kecamatan (PPK) di Indonesia yang didanai Bank Dunia, dengan penekanan pada partisipasi warga setempat serta pilihan dalam alokasi dana, merupakan sebuah contoh kasus sangat menarik. Pada satu tingkat, PPK mewakili titik keberangkatan substansial dari pendekatan pembangunan neoliberal sebelumnya. Namun, apa yang radikal tentang hal ini adalah cara di mana reformasi neoliberal disampaikan pada intinya berusaha membangun kembali kewargaan dari “bawah ke atas” (bottom up), yang tetap kompatibel dengan pasar liberal, dengan memakai dana berbasis-utang untuk infrastruktur ekonomi dan sosial produktif sebagai insentif. Pendek kata, para pendukung PPK menggunakan teknologi politik “pembangunan partisipatif” sebagai alat pengantar yang jelas berbeda dan sementara waktu efektif untuk memperluas hubungan sosial kapitalis dan lembaga-lembaga yang ditempatkan oleh ortodoksi pembangunan untuk mengiringi hubungan semacam itu.

Bahwa dana sejumlah US$ 1,6 miliar yang diperoleh PPK bisa menghindari banyaknya hambatan politik yang mengganggu pelaksanaan bentuk-bentuk intervensi neoliberal sebelumnya agaknya memerlukan perhatian kritis. Bagi program yang sangat banyak didanai oleh utang untuk menanggulangi kemiskinan di Indonesia—sebuah negeri dengan pendapatan nasional bruto per kapita US$ 1.280[vi]—dalam kerangka pasar liberal, tanpa menyentuh titik-lemah paradigmatis liberal yang berkaitan dengan kepemilikan alat produksi dan perjuangan kelas yang lebih luas. Memang, proyek tersebut menggabungkan tugas penanggulangan kemiskinan dengan proses teknis yang dirancang untuk menciptakan pasar kompetitif baru dengan memberdayakan warga melalui transparansi dan akuntabilitas—perbaikan kelembagaan baru yang utama dalam PPK. Dalam hal ini, program tersebut bersesuaian di dalam batasan-batasan yang dapat diterima oleh program kerja dan paradigma Bank Dunia yang melekat padanya, yang menurut pendapat Cammack telah mendorong proletarisasi kaum miskin se-dunia.[vii]

Kami mengangkat persoalan ini untuk memperluas pemahaman kita mengenai PWC dengan menggarisbawahi unsur-unsur pokok SIN, dan khususnya potongan-potongan itu yang menurut saya kurang mendapat perhatian daripada semestinya (metode dan mekanisme yang ditujukan langsung pada rekayasa kewargaan pasar). Dengan landasan ini, kita kemudian beralih ke PPK sebagai sebuah contoh operasional SIN, untuk menunjukkan manfaat mengevaluasi PWC di luar konten preskriptifnya.

PPK Sebagai Sebuah Contoh Neoliberalisme Kelembagaan-Sosial yang Antipolitik

Neoliberalisme kelembagaan-sosial (SIN) berkembang sebagai jawaban terhadap krisis legitimasi yang menjangkiti bentuk-bentuk kebijakan pembangunan neoliberal awal.[viii] Ini menunjukkan konten preskriptif yang sama sekali baru, karena ditopang oleh ekonomi kelembagaan baru (new institutional economics/NIE), dengan penekanan pada hubungan antara lembaga dan biaya transaksi.[ix] Penekanan kelembagaan ini mengubah beberapa kebijakan Konsensus Washington seperti privatisasi, dere gulasi, dan liberalisasi,[x] dengan menempatkan fokus “pengembangan industri” dalam matrik pentingnya kelembagaan khusus bagi operasi pasar (dipahami dalam istilah ortodoks sebagai “tata pemerintahan yang baik”). Bahkan, dorongan kelembagaan ini khususnya telah memilah-milah peran lembaga sosial dan memanfaatkan saham “modal sosial” mereka.[xi]

Hal terpenting, banyak bentuk SIN yang berkaitan dengan metode dan mekanisme mutakhir diarahkan menuju pencapaian implementasi masyarakat pasar dan dijuluki Jayasuriya sebagai “kewargaan pasar”[xii]—di mana hak dan kewajiban warga dalam hubungan dengan negara pada dasarnya dikondisikan oleh imperatif pasar. Di pusat arsitektur SIN diciptakan saluran-saluran pengantar baru—perangkat yang membungkus isi ketentuan kelembagaan baru SIN. Contohnya, Poverty Reduction Strategy Papers, Country Assistance Strategies, Country Development Partnership, serta proyek dan program-program yang ditargetkan Bank Dunia. Perangkat pengantar ini disampaikan oleh dan memasukkan bentuk-bentuk teknologi politik, seperti proses partisipatif dan latihan konsultasi. Teknologi tersebut ditugaskan mengelola tuntutan representasi politik yang memiliki potensi berseteru supaya tercapai masyarakat monopolitik, yakni mencakup keadaan pasar yang kuat (yang membuat kegagalan pasar dan bagian dari persediaan pasar yang dibutuhkan matriks kelembagaan) serta persekutuan fleksibel secara politik di antara pelaku pasar yang tuntutan satu-satunya adalah kesetaraan akses pasar.[xiii]  Umpamanya, proses partisipatif, yang merupakan teknologi politik kunci dalam SIN, terkait dengan pemanfaatan koalisi dukungan bagi reformasi, dengan menghadang masukan dari posisi yang berlawanan, dan penyingkiran oposisi.[xiv]  Mereka juga memainkan sebuah peran ideologis penting dalam menyebarluaskan gagasan-gagasan Bank Dunia tentang pembangunan — yang kerap disebutnya “alih pengetahuan”. Poin sangat penting di sini adalah mengatasi rintangan dalam menerapkan dan mempertahankan pasar liberal adalah inti dari SIN. Memang, bersama pengaruh terbuka NIE, adalah perangkat pengantar dan teknologi politik SIN yang paling membedakannya dari bentuk kebijakan pembangunan neoliberal sebelumnya.

Kombinasi perangkat pengantar dan teknologi politik SIN memainkan fungsi penting, baik dalam upaya menyelaraskan kembali negara dan masyarakat sepanjang garis neoliberal maupun mengejar pengentasan kemiskinan ala liberal. Hal terpenting, pendekatan ini menghindari titik-titik lemah paradigmatik seperti kelas dan lokasi historis suatu negeri di dalam lingkup ekonomi politik global yang secara analitis penting dalam desain program dan proyek, sekaligus mencoba memperluas hu bungan sosial kapitalis. Alhasil, Cammack menuding komitmen pengentasan kemiskinan (melekat dalam SIN) Bank Dunia sebagai “nyata di dalam batas-batas”, namun “bergantung pada, dan sekunder untuk tujuan yang lebih luas”: pengekalan kelembagaan dan prasarana lain yang diperlukan bagi akumulasi kapitalis global dan transformasi hubungan sosial (proletarianisasi) yang menyertainya.[xv]

Meskipun seruan berulang-ulang para akademisi dan sejumlah kalangan memandang organisasi semacam Bank Dunia sebagai nonmonolitik, bahkan sayap paling “progresif” dari organisasi ini menunjukkan sikap konsisten dengan kritik pedas yang dilontarkan kepada SIN dan proyek perluasan pasar liberal. Ini tidak lantas berarti bahwa secara internal Bank Dunia bebas dari beberapa keanekaragaman dan kontestasi intelektual. Namun, mereka yang memilih dan diterima bekerja dalam dunia organisasi, terlepas dari politik pribadi mereka, harus melekat erat dalam batasannya. Agen-agen tersebut (dipahami dalam istilah kontemporer sebagai ‘usahawan norma’ atau ‘agen perubahan’) tentu harus mengikuti dunia “pernyataan dan pengucapan yang bisa diterima di tempat tinggal mereka”,[xvi] dikondisikan sebagaimana dunia ini didefinisikan dengan jelas oleh batasan-batasan ideologi hegemonik. Selanjutnya, proyek Bank Dunia harus membagi-bagi kesatuan ikatan-negeri dengan rapi, difokuskan pada intervensi di area khusus yang diidentifikasi sebagai wilayah yang membutuhkan pembaruan, dijalankan selama jangka waktu tertentu dan memiliki struktur pendanaan yang “cocok”. Pendek kata, Bank Dunia — kendati beberapa eklektisisme dalam staf-nya — bertanggung jawab untuk proyek dan program-program yang menunjukkan ketaatan sesuai dengan ideologi tertentu (neoliberalisme) dan selalu memelihara kekakuan tertentu lainnya dalam desain mereka.

Program Pengembangan Kecamatan yang didanai Bank Dunia, terkait dengan unit pembangunan sosial Bank Dunia di Jakarta, terutama membantu menjelaskan hal ini. Program Pengembangan Kecamatan khususnya menarik banyak perhatian karena perbedaannya tampak jelas dengan proyek lain Bank Dunia – kualitas yang sama sekali tidak kecil dikaitkan dengan usaha mereka yang berada di tengah proyek ini.[xvii] Namun, bagi mereka yang secara kritis tertarik pada corak pembangunan neoliberal, ada banyak hal yang menakutkan tampak tidak asing dalam program itu. Memang, meski berpenampilan sebaliknya, dalam kenyataannya PPK banyak meletakkan penekanan kelembagaan SIN seperti modal sosial dan tatakelola (governance) dalam praktik. Menyuarakan hal senada, Tania Li menggambarkan tim pembangunan sosial Bank Dunia di Jakarta sebagai “pelopor dalam mengubah konsep menjadi program intervensi”.[xviii] Mengikuti Nikolas Rose, dan pengaruh yang tak dapat dihilangkan dari Foucault, TM Li melihat PPK sebagai contoh “pemerintahan melalui komunitas”;[xix] sebuah gagasan yang menurutnya mengandung banyak kecocokan dengan neoliberalisme. Dari perspektif ini, PPK dipandang sebagai contoh program pembangunan yang menampilkan masyarakat sebagai solusi untuk masalah-masalah tertentu — walaupun solusi ini membutuhkan intervensi elite “pakar” yang diperhitungkan dengan hati-hati untuk mengolah dan memanen manfaat nyata komunitas.[xx] Dalam hal PPK, Li berpendapat bahwa para pakar menempatkan masyarakat di pusat program besar dan mahal yang dirancang untuk memperbaiki kekurangan dan kegagalan perencanaan tata pemerintahan di Indonesia, sembari mengabaikan “hubungan-hubungan produksi dan alokasi yang tak setara”.[xxi]

Sebagaimana terbukti kemudian, analisis PPK yang disajikan di sini memiliki timbang rasa signifikan dengan kritik Li terhadap program itu, yang secara teguh mengikuti tradisi Ferguson dan lainnya. Secara khusus, analisis ini melihat pentingnya mengidentifikasi PPK sebagai suatu intervensi yang dirancang oleh pakar tertentu yang beroperasi di dalam batasan operasional dan gagasan tertentu. Namun, analisis saya terhadap PPK lebih banyak dikondisikan oleh garis silsilah tertentu di dalam materialisme historis[xxii] ketimbang Foucault, menggeser fokus ke arah pemahaman program itu sebagai contoh evolusi politik neoliberalisme yang sedang berlangsung. Pendek kata, artikel ini menekankan bagaimana upaya para “pakar” sebenarnya dikondisikan secara substantif dengan ideology dan struktur, menghasilkan suatu program yang pada dasarnya merupakan sebuah mekanisme penyampaian besar-besaran dan inovatif untuk memperluas hubungan-hubungan sosial produksi kapitalis dan infrastruktur (keras dan lunak) yang dibutuhkannya. Artikel ini meletakkan neoliberalisme (sebagai proyek yang didorong oleh kepentingan modal) — dan bukan para pakar — di tengah panggung analisis.

Dalam hal ini, PPK berusaha mengubah pola perilaku di pelbagai tingkat masyarakat (mencoba menormalisasi transparansi dan akuntabilitas serta memperdalam kompetisi) dengan menggunakan ketentuan pendanaan bagi infrastruktur yang terkait dengan kegiatan produktif dan kredit mikro pada aras lokal sebagai sebuah insentif. Perubahan ini merupakan perhatian klasik SIN. Namun, pendekatan PPK dalam mengantarkan reformasi yang membuatnya benar-benar berbeda dari mayoritas proyek yang biasanya terkait dengan Bank Dunia (terutama wataknya yang sangat inklusif, memberi kuasa pengambilan-keputusan pada aras desa dan memastikan tingkat tinggi partisipasi perempuan). Dengan demikian, ketimbang memperhatikan PPK sebagai sesuatu yang menyimpang dari anomali dalam neoliberalisme, atau secara umum hanya cocok dengannya, analisis ini memandang PPK bersaing mencapai posisi kepeloporan, yakni sebuah proyek yang sesungguhnya, setidaknya dalam jangka pendek, memecahkan persoalan neoliberalisme paling berkanjang: pelaksanaan.

Pemerintah Indonesia menggambarkan PPK sebagai sebuah proyek yang bertujuan mengurangi kemiskinan dan memperbaiki tata pemerintahan di tingkat lokal perdesaan Indonesia.[xxiii] Bagi Bank Dunia, yang menggolongkan PPK sebagai sebuah proyek pemberdayaan masyarakat/perlindungan sosial, program itu digambarkan dalam makna lebih formal sebagai “perencanaan partisipatif dan pengelolaan pembangunan di perdesaan melalui program luas infrastruktur sosial ekonomi, (yang) juga akan memperkuat institusiinstitusi formal dan informal tingkat lokal melalui pelibatan lebih besar dan akuntabilitas kebutuhan dasar pembangunan”.[xxiv] Program Pengembangan Kecamatan telah melewati beberapa fase, masing-masing meluas secara signifikan dibanding fase sebelumnya. Versi percontohannya, pada 1997, meliput dua puluh lima perdesaan, fase pertama dan utama (PPK 1) mencapai 15.000 perdesaan dan sekarang mencapai lebih setengah dari seluruh desa (sekitar 38.000) di Indonesia.[xxv] Salah satu versinya pernah digunakan Bank Dunia di Aceh dan Sumatera Utara untuk membantu lingkungan pascatsunami dan proyek serupa dibentuk kembali di Afganistan, Timor Timur, dan Filipina.[xxvi] Inilah proyek pembangunan masyarakat terbesar di Asia Tenggara,[xxvii] dan menjadi contoh utama dari apa yang disebut Bank Dunia sebagai “scaling-up” — peningkatan pesat jumlah program-program baru untuk mengurangi kemiskinan.

Hal penting, program tersebut dipandang (khususnya mereka yang terjalin erat dengan program ini) sebagai sesuatu yang secara substantif berbeda dari “proyek-proyek pembangunan baku”.[xxviii] Ulasan singkat struktur PPK menggambarkan banyaknya perbedaan itu berasal. Di sini, watak pengantar pembaruan adalah kuncinya. PPK menyediakan dana hibah sebesar US$ 50.000-150.000 untuk tingkat kecamatan.[xxix] Daftar umum yang mendapatkan pembiayaan PPK begitu panjang dan mencakup banyak bidang. Namun, ada penekanan khusus yang ditujukan pada infrastruktur (ekonomi dan sosial) yang dapat memfasilitasi output produktif dalam pasar.[xxx] Dalam hal ini, Bank Dunia menyatakan PPK telah memiliki tingkat pengembalian internal tinggi yang sebagian besar diperoleh dari perannya dalam memfasilitasi kegiatan ekonomi baru dan pengetatan “kapasitas produksi terpendam/ditekan yang akhirnya dapat disalurkan ke pasar lokal”.[xxxi] Khususnya, program tersebut disanjung oleh Bank Dunia karena kapasitasnya dalam memproduksi infrastruktur berbiaya-rendah (yang diklaim telah membangkitkan 39 juta hari kerja dan memfasilitasi ekspansi peluang usaha) dan “751 ribu penerima pinjaman dan pengusaha yang berpartisipasi dalam kegiatan usaha dan penyaluran kredit PPK “.[xxxii]

Hal penting, PPK memasukkan proses “sosialisasi”, mengabarkan kepada orang mengenai proyek itu dan menguraikan panjang lebar caranya beroperasi.[xxxiii] Ini dianggap sebagai hal menentukan bagi keberlangsungan proyek tersebut, menggambarkan pentingnya aturan yang sederhana (namun tegas) serta peran sentral fasilitator dalam pelaksanaan proyek. Tahap sosialisasi PPK dipandang sebagai tahap mendasar yang penting untuk mendukung “keberhasilan proses dan kegiatan yang dilaksanakan pada tahap berikutnya”.[xxxiv] Keberadaan berbagai forum itu amat penting dalam proses ini.[xxxv] Awalnya, istilah tentang PPK ditebar melalui lokakarya di tingkat provinsi, kabupaten, dan kecamatan, “untuk menyebarluaskan informasi dan mempopulerkan program tersebut”.[xxxvi] “Lokakarya tersebut melibatkan tokoh masyarakat, pejabat pemerintah daerah, pers daerah, perguruan tinggi, dan organisasi nonpemerintah (ornop).[xxxvii]  Pertemuan-pertemuan kelompok, dusun, dan desa, juga diselenggarakan untuk menebar informasi lebih lanjut mengenai PPK serta “mendorong orang untuk mengajukan gagasan yang mendukung PPK”.[xxxviii]

Rapat-rapat perencanaan selanjutnya dilakukan di tingkat dusun dan desa. Dalam pertemuan itu, fasilitator dari tingkat dusun hingga desa dilibatkan untuk menyebar informasi mengenai prosedur PPK dan mendorong pengajuan ide untuk pendanaan PPK. Pada tahap ini, kaum perempuan juga mengadakan rapat sendiri untuk memutuskan “proposal perempuan”.[xxxix]  Selanjutnya diadakan pertemuan desa membahas proposal masing-masing warga desa. Proposal yang terpilih kemudian diangkat ke forum kecamatan. Setiap desa mengajukan tiga proposal untuk dibahas dalam forum kelurahan, salah satu proposal berasal dari “perempuan desa dan proposal kedua diajukan oleh kelompok simpan pinjam perempuan”.[xl] Semua itu kemudian dibahas di tingkat kelurahan. Proses verifikasi kelengkapan persyaratan teknis masing-masing proposal juga dilakukan sebelum pemilihan proyek. Itu dilakukan untuk menilai kelayakan ekonomis dan teknis proyek bersangkutan, jumlah orang yang akan memperoleh manfaat dari proyek itu, perencanaan biaya atau pengembalian pinjaman (bila melibatkan pinjaman), tingkat partisipasi orang dalam proses penyusunan proposal, serta kontribusi masyarakat setempat. Proposal tersebut kemudian dibahas dalam rapat kelurahan kedua untuk menentukan urutan prioritas. Setelah ini, sekali lagi diadakan rapat desa, proposal dipilih dan perjanjian hibah dirancang untuk proposal yang berhasil lolos.[xli]

Hal penting, persaingan di antara proposal individu adalah fitur utama PPK. Apabila tidak dapat dicapai mufakat bulat, warga desa diberi kriteria untuk memprioritaskan proposal tertentu, sering kali dengan bantuan seorang fasilitator (dibahas lebih lanjut di bawah ini).[xlii] Menariknya, unsur persaingan ini disorot dalam pertemuan warga desa di Jawa Barat pada 2005 sebagai sebuah aspek tidak diinginkan dari proyek yang seharusnya dihilangkan.[xliii] Salah seorang peserta pertemuan juga mencatat bahwa menyusun prioritas proyek adalah sulit, karena masing-masing desa mengklaim berada di peringkat tertinggi, dengan proses tawar-menawar yang terjadi antardesa. Namun, bagi Scott Guggenheim (mantan ketua tim program), konflik di dalam PPK bukanlah faktor utama.[xliv] Salah seorang yang pernah bergabung dengan Guggenheim mungkin sedikit lebih hati-hati dengan menyatakan bahwa “mufakat di tingkat desa umumnya tercapai — meskipun ada beberapa perselisihan”.[xlv] Dikatakannya, tidak mengherankan jika fasilitator dan konsultan (hampir semuanya orang Indonesia) menjadi sangat penting bagi pengelolaan dan pengoperasian PPK — hal ini diperkuat oleh banyak orang yang pernah terlibat dalam program itu.[xlvi] Memang, barisan konsultan swasta sangat banyak (4.200 orang dalam PPK II) dilibatkan di semua tingkatan sampai ke tingkat kecamatan untuk “melaksanakan aspek-aspek teknis proyek itu”.[xlvii] Selanjutnya, dua atau tiga orang fasilitator (setidaknya satu laki-laki dan satu perempuan) dipilih untuk setiap desa yang berpartisipasi dalam PPK.[xlviii] Semua berada di bawah binaan Badan Pengembangan Masyarakat, Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia, yang bertanggung jawab atas pengelolaan PPK sehari-hari, untuk kepentingan Bank Dunia serta badan-badan pelaksananya. Kementerian lain diwakili oleh tim koordinasi pemerintah, yang juga membantu manajemen PPK, dan ada juga peran yang dimainkan di tingkat provinsi dan kabupaten.[xlix]

Sebagian besar proyek tersebut dibiayai oleh Bank Dunia. Sangatlah penting untuk memahami struktur pembiayaan PPK, khususnya karena program itu memakai sebuah pendekatan penanggulangan kemiskinan yang mengandalkan utang, di suatu negeri tempat 50 persen penduduknya berpenghasilan kurang dari US$ 2 per hari (tahun 2002),[l] dan lebih dari 6 persen utang pemerintah sebesar US$ 144 miliar (tahun 2006) berutang kepada Bank Dunia.[li] Pada aras Bank Dunia dan Pemerintah Indonesia, PPK adalah kombinasi kredit (pinjaman tanpa bunga) dan pinjaman berbunga.[lii] Hal ini sendiri dianggap sebagai masalah besar oleh berbagai kalangan, mulai dari birokrat senior yang sebelumnya terlibat dalam PPK hingga organisasi nonpemerintah yang terkait dengan proyek itu.[liii] PPK II, III dan IIIb memakai dana pinjaman berbunga dari International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) maupun dana pinjaman tanpa bunga dari International Development Association (IDA) dengan berbagai tenggang jatuh tempo lima sampai sepuluh tahun.[liv]

Kontribusi pemerintah pusat untuk proyek PPK pada dasarnya nol, meski kontribusi pemerintah daerah dan masyarakat dimasukkan sebagai kontribusi Pemerintah Indonesia.[lv] Dalam struktur yang ada, dana Bank Dunia untuk PPK dipindahkan ke rekening khusus di Bank Indonesia (bank sentral), kemudian ditransfer melalui Kantor Bendahara Negara sebagai dana hibah ke rekening bersama untuk desa-desa di setiap kecamatan. Pengucuran dana kemudian dikeluarkan berangsur dari rekening itu ke setiap desa dalam tiga tahap (40 persen, 40 persen, dan terakhir sebesar 20 persen), jumlah yang terakhir baru dikeluarkan setelah proses sertifikasi telah disetujui.[lvi] Selain itu, setelah masing-masing porsi dimanfaatkan, desa harus melaporkan dan menjelaskan kepada masyarakat desa bagaimana dana itu telah digunakan. Kontribusi masyarakat pada PPK juga tinggi.[lvii]

Keunikan PPK – terutama strukturnya yang memungkinkan desa memilih dalam lingkungan yang kompetitif untuk apa dana tersebut digunakan – seharusnya lebih jelas untuk mereka dengan pengetahuan mengenai pembangunan industri yang sepintas lalu lebih rendah. Selain itu, ini menjauhkan banyak pemerintah yang tak biasa menangani proyek besar Bank Dunia (pemerintah nasional bagaimanapun juga adalah penerima jasa Bank Dunia). Pada dasarnya, apa yang membuat program itu sangat berbeda terkait dengan reformasi pengantarnya. Walaupun terdapat beberapa fitur lain yang mem bedakan PPK dengan proyek-proyek Bank Dunia lainnya (lihat di bawah), adalah penting untuk diperhatikan cara program tersebut menyesuaikan diri dengan sangat baik di dalam reproduksi neoliberalisme dan reproduksi hubungan kapitalis pada umumnya.

Tujuan PPK

Kita telah melihat bagaimana PPK beroperasi; ini menjelaskan banyak hal yang berbeda dengannya dibanding proyek dan program-program lain yang didanai Bank Dunia. Juga penting untuk ditekankan apa sebenarnya tujuan PPK. Hal ini sangat relevan untuk menunjukkan bagaimana PPK jatuh ke dalam SIN.[lviii] Pada satu sisi, PPK tampaknya sebagian besar menyangkut penyediaan infrastruktur dengan biaya rendah (dan lebih) untuk perdesaan. Namun, ini jauh lebih ambisius dan politis daripada sekadar penyediaan infrastruktur berbiaya rendah. Program Pengembangan Kecamatan pada intinya adalah sebuah proyek yang membersitkan fokus perluasan-pasar SIN tentang tata kelola pemerintahan, modal sosial, desentralisasi, dan mengantarkan reformasi melalui pembangunan partisipatif dan insentif/pengungkit penyediaan infrastruktur dan barang-barang lain. Dengan kata lain, PPK berupaya menyampaikan infrastruktur produktif yang dibutuhkan ekonomi pertanian dan institusi yang dirancang rapi untuk memfasilitasi fungsi ekonomi semacam ini dengan lebih efisien dan merata.

PPK bersifat politis sekaligus ambisius, program ini dirancang untuk mewujudkan struktur kelembagaan tertentu dalam lingkungan pasca-Orde Baru.[lix] Dalam hal ini, PPK terkait dengan intepretasi ulang gagasan kewargaan, sebagian dengan menciptakan permintaan bagi perubahan perilaku (yaitu, berusaha untuk menanamkan norma-norma transparansi dan akuntabilitas), menggunakan insentif/pengungkit untuk mendorong proses tersebut. Dalam hal ini, memperbaiki tata kelola pemerintahan lebih dari sekadar memproduksi infrastruktur berbiaya rendah adalah output utama PPK. Tania Li, menulis tentang tim pembangunan sosial Bank Dunia di Indonesia (yang terjalin erat dengan PPK), mencatat ini pemujaan terhadap tata kelola pemerintahan melebihi isu-isu lain:

Kendati tim pembangunan sosial Bank Dunia tidak menunjukkan bahwa perencanaan yang tidak memadai dan kegagalan tata kelola pemerintahan adalah satu-satunya sumber kemiskinan, kedua hal itu menjadi satu-satunya sumber yang diambil oleh tim sebagai basis program anti-kemiskinan yang sangat besar dan mahal. Menafikan hubungan yang sulit diperbaiki — hubungan-hubungan produksi dan alokasi yang tak setara terutama di antara mereka — adalah faktor intrinsik untuk konstruksi masyarakat sebagai sasaran intervensi.[lx]

Hal penting dalam kaitannya dengan obsesi tata kelola ini, PPK lebih banyak bekerja di seputar pemerintahan. Sebagaimana dikatakan salah seorang staf Bank Dunia, saat program itu “dijual” kepada pemerintah sebagai inisiatif penanggulangan kemiskinan (yang menyenangkan pemerintah), sebenarnya ini menjauhkan pemerintah.[lxi] Sedikit diceritakan di sini adalah cara desain proyek yang menggunakan kecamatan untuk memintas lembaga-lembaga politik yang ada dengan membuat atau membangun kembali lembaga-lembaga politik dan sosial yang sebelumnya tidak ada. Kutipan dari Guggenheim menjelaskan mengapa hanya tingkat kecamatan yang dipilih sebagai fokus proyek PPK:

Kecamatan tampaknya menguntungkan untuk beberapa alasan tambahan di atas dan di luar  aksesibilitasnya bagi warga desa. Karena kecamatan bukan satuan pemerintahan yang sepenuhnya otonom, maka kecamatan tidak punya wewenang anggaran dan perjanjian sendiri. Ini berarti pengumpulan kepentingan komersial dan politik yang dimiliki kubu pemerintah di tingkat kabupaten jauh lebih lemah dibanding di kecamatan. Kecamatan juga memiliki persyaratan untuk “mengoordinasi” pembangunan desa melalui dewan kecamatan yang mencakup seluruh kepala desa, tetapi karena kecamatan tidak memiliki anggaran sendiri untuk berinvestasi, sebagian besar dewan kecamatan hanya bertemu sekali atau dua kali setahun. Terakhir, karena warga desa saling bersaing mendapatkan dana PPK di setiap pertemuan kecamatan, kami berharap, ini akan mendorong semacam negosiasi dan kerja sama langsung yang akan menjadi dasar untuk membangun kembali lembaga-lembaga supra-desa horisontal yang dihancurkan atau diabaikan oleh Orde Baru.[lxii]

Dokumen informasi proyek terbaru (PID—Project Information Document) untuk PPK III juga mengungkapkan fokus program pada “tata kelola pemerintahan”, dan dari mana konsep ini berasal, khususnya pengertian pengaruh neoliberal menyangkut modal sosial. “Pemberdayaan Masyarakat dan Tata Pemerintahan Daerah” adalah bagian kunci pertama yang tercakup dalam dokumen ini. Ini mengacu kembali ke serangkaian studi yang dilakukan Bank Dunia dan berbagai lembaga pemerintah yang memiliki dampak permanen pada bentuk PPK.[lxiii] Menurut PID, studi Lembaga Tingkat Lokal (LLI) “mengidentifikasi adanya kesenjangan di dalam tatapemerintahan lokal di sebagian besar daerah perdesaan di Indonesia”.[lxiv] Penggabungan semua pengertian yang diperoleh dari studi-studi ini ke dalam PID menegaskan kurangnya kepercayaan dan dialog, yang terkait dengan perkembangan situasi sekarang dan hambatannya terhadap efisiensi ekonomi. PID juga menunjukkan perhatian pada implementasinya—yang terkait dengan penyebaran SIN—serta beberapa perhatian neoliberal terhadap
modal sosial:

Kesenjangan ini biasanya muncul dalam bentuk kurangnya kepercayaan, apatis, dan dialog berkualitas rendah dalam hubungan dengan pembangunan. Model pembangunan yang dipaksakan dari luar dan yang tidak mengenali masalah inti dari pemerintahan daerah membatasi kemungkinan keberhasilannya sendiri. Bukti akar masalah ini dapat dilihat dalam masalah yang dilaporkan secara universal menyangkut miskinnya standar pembangunan konstruksi infrastruktur publik dan pemeliharaan desa-desa Indonesia, jelas kecilnya tanda-tanda kepemilikan lokal (oleh komunitas). Akibatnya, sumber daya sosial dan ekonomi tidak digunakan dengan baik, terutama yang berkaitan dengan pengurangan kemiskinan perdesaan.65[lxv]

Implikasinya adalah tata pemerintahan yang buruk menyebabkan kurangnya modal sosial (dalam hal ini kurangnya kepercayaan) yang, pada gilirannya, dipandang sebagai penjelasan miskinnya infrastruktur. Kurangnya kepercayaan dan masalah korupsi di lingkungan pasca-Orde Baru (yang benar-benar nyata), digunakan untuk membenarkan sebuah “program perbaikan” pemerintahan, yang dianggap seolah-olah menjadi akar penyebab situasi Indonesia.[lxvi]

Khususnya, dalam kaitannya dengan hubungan antara modal sosial dengan PPK, studi LLI, yang mengidentifikasi “kesenjangan tata- pemerintahan” dan yang merupakan pelopor berpengaruh terhadap PPK, adalah bagian dari studi multinegara yang lebih luas tentang modal sosial dan ide-ide Robert Putnam—seorang figur berpengaruh yang “memberi angin” pada modal sosial sehingga lebih dikenal di Bank Dunia sebagai daya tarik PWC pada pertengahan sampai akhir tahun 1990-an.[lxvii] Penelitian LLI menemukan hal-hal khusus lainnya yang menekankan potensi di dalam masyarakat, yang hasilnya dapat dilihat mempengaruhi PPK dan yang menyebarkan kesukaan tertentu untuk inkarnasi modal sosial Putnam. Sebagai contoh, salah satu temuan menunjukkan bahwa proyek-proyek yang dimiliki masyarakat bekerja lebih baik dibandingkan proyek-proyek pemerintah atau LSM, memiliki tingkat partisipasi masyarakat miskin dan perempuan yang lebih besar, di samping masukan yang signifikan lebih banyak dari penduduk desa. Temuan lain menunjukkan fokus multitujuan dari organisasi masyarakat yang bersifat jangka panjang dibandingkan dengan organisasi proyek pembangunan sementara. Temuan lebih lanjut menunjuk ke pemutusan antara kapasitas pengorganisasian masyarakat dan pemerintah, dan bahkan mengilustrasikan manfaatnya pada masyarakat yang “memiliki kepemimpinan kuat dan seseorang yang bisa memainkan peran sebagai fasilitator untuk berbagi informasi, meminta prosedur penyelesaian sengketa, dan membantu penduduk desa menemukan bantuan dari luar ketika diperlukan”.[lxviii] Benang merah antara temuan-temuan tersebut dengan PPK sudah jelas. Singkatnya, apa yang terjadi adalah diagnosis masalah-masalah tertentu (melalui penelitian LLI), dengan pengobatan teknis tertentu (memperbaiki kelembagaan PPK)—sebuah obat yang mengabaikan masalah ekonomi-politik kemiskinan yang lebih besar di Indonesia.

“Pembangunan Sosial” sebagai Kuda Troya Neoliberalisme?

Namun demikian, kita harus berhati-hati, agar tidak menggambarkan modal sosial di PPK hanya sebagai perpanjangan pekerjaan fungsional Bank Dunia. Memang, hubungan antara modal sosial, PPK, dan Bank Dunia harus ditandai dengan cara yang lebih bernuansa kekinian, yang mengungkapkan banyak hal tentang politik internal Bank Dunia dan bagaimana penyesuaian neoliberal dihasilkan. Bagi Guggenheim, modal sosial (istilah dan konsep) khususnya sangat berguna untuk orang yang bekerja dalam pembangunan sosial di dalam Bank Dunia dalam rangka berbicara dengan kelompok yang berkuasa di Bank itu—para ekonom—di luar skeptisisme pribadinya vis-avis dengan konsep tersebut.[lxix] Dalam sebuah lingkungan yang didominasi oleh kelompok kekuasaan tertentu di dalam Bank Dunia (para ekonom), suatu bahasa tertentu membantu personil unit pembangunan sosial untuk mewujudkan tujuan-tujuan mereka, yang tanpa itu mungkin akan menghadapi banyak perlawanan. Menariknya, penggunaan modal sosial ini bertemu dengan gambaran Harriss tentang cara beberapa praktisi pembangunan melihat konsep tersebut sebagai “Kuda Troya” untuk mengubah agenda pembangunan neoliberal dari “dalam”.[lxx]

Berbicara dengan orang-orang di dalam unit pembangunan sosial Bank Dunia di Indonesia, orang akan mendapat kesan bahwa ada dorongan untuk menciptakan perubahan di dalam Bank Dunia. Pertanyaannya adalah, apa yang sangat berbeda tentang proyek ini sehingga orang-orang mau terlibat dengan (PPK)? Pada intinya, jawabannya terkait dengan kebijakan  penyalurannya, yang membawa kita kembali memperhatikan SIN dalam pelaksanaannya dan juga menunjukkan kendala mengubah neoliberalisme dari dalam. Sementara unsur pemerintahan dalam PPK menunjukkan fokus yang lebih luas (terutama di luar dokumen resmi) atas kewarganegaraan dibandingkan penggunaan yang khas Bank Dunia, Harriss menunjukkan bahwa konsep seperti itu masih tetap kompatibel dengan proyek Bank Dunia yang lebih luas, khususnya dalam wacana modal sosial dan bahasa pengiringnya yaitu pengembangan masyarakat, pemberdayaan, dan partisipasi. Perlu mengutip kesimpulan Harriss atas hubungan ini dengan sedikit panjang lebar karena benar-benar relevan dengan pertanyaan apakah PPK berbeda sebagai proyek tatapemerintahan:

Intinya, untuk tujuan diskusi ini, titik-tekannya ada pada pemikiran bahwa pembangunan saat ini begitu dikaitkan dengan ‘tatapemerintahan yang baik’, yang dimaksudkan untuk pemerintahan yang transparan dan akuntabel, yang bekerja dalam kerangka hukum yang jelas dan konsisten, misalnya akan menyediakan kondisi untuk pasar yang efektif dan efisien. Dalam konteks inilah ide-ide tentang ‘masyarakat sipil’, ‘desentralisasi’, ‘partisipasi’ dan akhir-akhir ini—dalam beberapa hal ratu dari ini—adalah ‘modal sosial’ yang telah diterima luas. Ide dasarnya adalah melalui ‘partisipasi’ dalam asosiasi lokal ‘sukarela’ (yang dapat–secara salah—disamakan dengan ‘organisasi-organisasi nonpemerintah’) orang-orang ‘diberdayakan’ dalam ‘masyarakat sipil’ (didefinisikan sebagai wilayah sukarela daripada asosiasi askriptif, yang terletak di luar negara, keluarga, dan kekerabatan). Masyarakat sipil yang dinamis… bertindak baik sebagai pemeriksa utama aktivitas dan badan-badan negara, dan sebagai semacam penghubung antara masyarakat dengan pemerintah. Sebuah masyarakat sipil yang kuat harus mengandung perluasan negara... dan akan membentuk ‘tata-pemerintahan yang baik’ (yaitu, ‘demokratis’, yang berarti pemerintah responsif, akuntabel, dan transparan). Diharapkan juga, bahwa dalam konteks semacam itu masyarakat sipil yang kuat akan secara luas mendukung kebijakan ekonomi yang berorientasi pasar.... Seluruh rangkaian gagasan tersebut digulirkan secara khusus untuk melawan pembangunan gaya lama yang ‘top-down’, yang dipandang sudah gagal. Ini adalah perpanjangan ‘konsensus Washington’ yang dulu dan bukan suatu pemikiran ulang yang radikal (mungkin ‘pasca’-konsensus Washington, tapi tidak ’melewati’).[lxxi]

Konsekuensinya, PPK seharusnya lebih dianggap sebagai model garda depan SIN, daripada semacam anomali radikal di dalamnya.

Sentimen ini lebih lanjut diterima ketika melihat fokus pengawasan dan pemantauan yang dibangun di dalam proyek, elemen penting untuk menghasilkan bentuk disiplin transparansi pasar tingkat lokal yang transparan. Apa yang diupayakan di dalam PPK adalah penciptaan pasar kewarganegaraan yaitu partisipasi pasar individu di dalam suatu sistem pengawasan dan pemantauan untuk menanamkan pasar yang lebih “ideal” di mana—kembali ke dua cabang ilmu ekonomi kelembagaan baru—biaya transaksi lebih rendah dan informasi mengalir bebas.[lxxii] Terdapat aspek pemantauan internal maupun eksternal terhadap PPK. Pemantauan internal didasarkan pada suatu Sistem Informasi Manajemen, yang dikelola oleh tim pengawasan nasional yang mengumpulkan informasi seputar PPK dan melaporkan tentang kemajuannya.[lxxiii] Secara eksternal, Asosiasi Jurnalis Independen Indonesia (AJI) dan LSM independen tingkat provinsi dikontrak untuk memantau PPK, kontrak yang memungkinkan AJI mengunjungi situs PPK agar mereka dapat menulis artikel di koran nasional dan regional terkait proyek tersebut.[lxxiv] Dalam pengaturan ini jurnalis dianggap sebagai suatu saluran untuk memberitakan kegiatan pemantauan para LSM dan kelompokkelompok masyarakat sipil lainnya.[lxxv] Selain itu, banyaknya rapat desa dan pengawasan pengadaan bahan baku juga penting.

Penekanan pada transparansi dan pemantauan ini, yang memang menjadi fokus tata pemerintahan PPK yang lebih luas, jelas berhubungan dengan penanganan korupsi. Korupsi tentu saja meluas di Indonesia, baik menurut Bank Dunia maupun yang pada umumnya.[lxxvi] Cara PPK menangani korupsi dalam program yang sedang berjalan adalah sesuatu yang dengan tajam ditunjukkan oleh Guggenheim, terutama dalam kaitannya dengan tindakan bagaimana menghadapi proyek-proyek pembangunan lainnya yang sebelumnya dijalankan oleh Bank Dunia.[lxxvii] Di tempat lain, ia lebih lugas menyatakan bahwa desain prinsip untuk proyek-proyek pembangunan berbasis masyarakat (seperti PPK) perlu sederhana dan penegakan hukumnya harus tegas: “Tough love” (sikap sayang tapi disiplin) merupakan satu-satunya cara untuk menghentikan beberapa kesalahan kecil menjadi kerusakan yang luas untuk proyek pembangunan berskala besar”.[lxxviii]

Ini bukan sekedar kata-kata—Guggenheim menunjukkan contoh korupsi di Sumatera Utara, yang daripada (diberikan kesempatan untuk) ‘lain kali lebih baik’, kabupaten tersebut justru digugurkan dari proyek.[lxxix] Persyaratan neoliberal, kemudian, telah bergerak turun dari tingkat nasional ke lokal.[lxxx] Namun, terlepas dari pemantauan dan pengawasan terhadap aspek-aspek PPK, dari sudut pandang beberapa penduduk desa, korupsi dapat dipastikan masih menjadi masalah di dalam PPK dan fasilitator disorot sebagai pelaku potensial di tingkat desa.[lxxxi] Mereka mengatakan, dibandingkan dengan proyek lainnya, proyek ini tampaknya memiliki reputasi yang jauh lebih baik dalam hal tingkat korupsi.[lxxxii] Namun masalah yang jelas di sini adalah apakah gaya intervensi pemerintahan neoliberal di tingkat lokal, digabungkan dengan perluasan pasar, harus menjadi salah satu dorongan utama untuk mengatasi kemiskinan. Selain itu, pertanyaan yang tersisa seperti sejauh mana kemungkinan menciptakan dan mempertahankan perubahan signifikan dalam tata pemerintahan dalam lingkungan yang ekonomi dan politiknya sangat asimetri (terutama sekali setelah pembiayaan program-program seperti PPK berakhir dan meninggalkan utang). Terkait inti pertanyaan keberlanjutan reformasi dan PPK, Guggenheim mengakui bahwa pencapaian proyek PPK dapat dijungkirbalikkan (can be overturned).[lxxxiii]

Di luar isu korupsi, namun masih terkait dengan itu dalam beberapa cara, PPK berupaya mendukung pemerintahan dalam hubungannya dengan areal SIN penting lainnya—desentralisasi, di mana Bank Dunia telah mendukungnya selama beberapa waktu.[lxxxiv] Hadiz, seperti halnya Harriss, telah mencatat hubungan antara desentralisasi dan jenis “pembangunan sosial” yang terkait PPK,

Secara signifikan, ‘desentralisasi’, bersama dengan ‘masyarakat sipil’, ‘modal sosial’ dan ‘tata pemerintahan yang baik’, telah menjadi suatu bagian integral dari istilah neo-institusionalis kontemporer, terutama untuk aspek-aspek yang dimaksudkan dapat menarik perhatian lebih besar pada pembangunan ‘sosial’.[lxxxv]

Fokus kewarganegaraan PPK merupakan hal penting—khususnya unsur-unsurnya yang berusaha menanamkan norma-norma perilaku tertentu dan tuntutan untuk membantu mengisi kekosongan kelembagaan yang ditinggalkan oleh perginya Orde Baru yang sentralistik itu. Ketika ditanya tentang potensi PPK untuk mempengaruhi kewarganegaraan dan kemungkinan selanjutnya dalam perubahan politik di tingkat yang lebih tinggi, Guggenheim sangat ingin mengungkapkan bahwa inilah maksud sebenarnya dari proyek tersebut:

Yah, semacam itulah gagasan di belakangnya, kan [mempengaruhi jenis kewarganegaraan dan memfasilitasi perubahan politik]? Bukannya [proyek ini] bisa mencapai perubahan tsb. sendirian, tetapi di negara pertanian besar, model reformasi politik standar bersifat sangat top-down: Anda memiliki konstitusi, kemudian Anda memiliki parlemen, kemudian mereka mulai menetapkan serangkaian peraturan, akhirnya mereka sampai di provinsi dan kemudian di suatu tempat di sana, mereka menghantam desa-desa …. Di … Timor Timur, Indonesia, dan Afghanistan, saya pikir sama sekali tidak ada pertanyaan bahwa model bottom-up sudah mempengaruhi politik nasional.[lxxxvi]

Memang, salah satu peran kunci PPK adalah memperkuat pemerintah daerah dan lembaga masyarakat untuk mendukung perbaikan pemerintahan Indonesia pasca-Orde Baru. Di sini, partisipasi dan pemberdayaan—dua sifat penting PPK dan SIN yang lebih umum—dimaksudkan untuk memainkan peran yang menentukan. Partisipasi di sini berarti melebihi apa yang dilakukannya pada sebagian besar proyek-proyek Bank Dunia. PPK sangat partisipatif dan inklusif. Namun paragraf berikut ini terkait pemberdayaan dan partisipasi masyarakat dalam PPK tampaknya membawa kita kembali dengan cepat ke gagasan neoliberal yang terkenal menyangkut pemerintahan yang berasosiasi dengan Bank:

Dalam hal keuntungan program, penduduk desa mengatakan mereka mendapatkan akses yang lebih besar terhadap pasar, sekolah, fasilitas kesehatan, ketersediaan sanitasi yang bersih, dan kesempatan ekonomi lainnya. Ada juga bukti peningkatan perbaikan tata pemerintahan lokal dan praktik pemberdayaan masyarakat di banyak daerah PPK. PPK memberikan efek berganda pada pendekatan pembangunan di tingkat masyarakat. Sebagai contoh, desa menyelenggarakan pemerintah daerah lebih akuntabel dan menuntut transparansi yang lebih besar dalam program lain yang disponsori pemerintah. Penduduk desa memindahkan prosedur PPK dan keterampilan manajemen keuangan untuk proyek-proyek pembangunan lainnya. Semua perubahan ini mensinyalkan kemajuan bertahap dalam pemberdayaan masyarakat dan pening katan minat dan peran pemerintah daerah dalam menjawab kebutuhan masyarakat.[lxxxvii]

Tentu saja, perbaikan pendidikan, fasilitas kesehatan, dan sanitasi adalah hal yang sangat diinginkan, seperti infrastruktur lainnya yang lebih murah dengan kualitas layak. Tapi tak satu pun darinya hadir secara gratis dalam program PPK, sehingga pertanyaan yang tertinggal adalah apakah program fokus-mikro yang mahal dengan tujuan makro dapat menghasilkan perbaikan jangka panjang, yang berarti bahwa unsur-unsur ini lebih dari sekadar hal-hal yang tidak berkelanjutan. Pertanyaan juga masih tersisa menyangkut keberlanjutan program perbaikan kelembagaan dan juga tekanan pengaruhnya. Sebagai contoh, masalah yang terus bergelayut terkait penangkapan elit dan penyuapan diakui terjadi di dalam PPK.[lxxxviii] Lebih jauh lagi, orang-orang seperti Vedi Hadiz, telah memberikan gambaran suram tentang desentralisasi secara lebih luas, menimbulkan pertanyaan menyangkut kapasitas PPK dalam memberikan dampak terhadap hubungan sosial tertentu ke dalam kejelasan yang tajam:

Desentralisasi dan demokratisasi di Indonesia telah ditandai dengan muncul dan menyebar luasnya pola-pola baru, termasuk desentralisasi korupsi, didominasi oleh pejabat-pejabat pemangsa lokal, berkembangnya politik uang dan konsolidasi para bandit politik. Dalam konteks Indonesia, pertanyaan utama yang harus ditanyakan, karena itu, adalah siapa yang paling diuntungkan dari desentralisasi dan sistem demokrasi jenis ini? Tidaklah sulit mengidentifikasi penerima manfaatnya. Pada umumnya, mereka adalah individu dan kelompok yang sebelumnya berfungsi sebagai operator-operator lokal dan para birokrat sisa Orde Baru—dari yang kecil sampai ukuran menengah, namun secara politik adalah para  koneksi bisnis yang berambisi besar, juga sederetan mantan antek dan penegak rezim.[lxxxix]

Jadi, di saat PPK memiliki ambisi besar di bidang tata pemerintahan, ia juga menghadapi rintangan berat, variasi dari rintangan-rintangan yang dihadapi oleh setiap proyek lembaga pembangunan neoliberal.

Kesimpulan

Artikel ini telah menegaskan argument bahwa untuk memahami PWC harus dilihat dari luar konteksnya. Secara khusus, posisi ini berpendapat bahwa salah satu perbedaan paling penting antara konsensus Washington dengan PWC terkait dengan reformasi cara penyalurannya. Kasus PPK menunjukkan pentingnya memahami pergeseran ini. PPK merupakan proyek pembangunan neoliberal yang berbeda tapi tetap saja proyek neoliberal, dan banyak hal dari apa yang berbeda dari program ini berasal dari pendekatannya untuk memperluas, dari “bawah ke atas”, institusi dan infrastruktur pasar liberal.

Ini adalah upaya sangat politis untuk membangun dan mereformasi lembaga-lembaga demi pasar di seputar pemerintah, sementara mengabaikan poros penyebab struktural penting atas ketidaksetaraan dan kemiskinan, menggemakan banyak keprihatinan yang sudah diisyaratkan oleh Ferguson dalam karyanya tentang Lesotho dan “mesin antipolitik”— sebuah mesin yang mahir dalam “mendepolitisasi
segala sesuatu yang ia sentuh, dimana-mana menghapus realitas politik dari pandangan, sambil menjalankan, hampir tidak terasa, operasi politiknya sendiri dengan sungguhsungguh” (Ferguson, 1990:xv). Isu-isu tata pemerintahan yang dipilih dalam PPK sebagai fokus utama reformasi, menggunakan dana dari proyek-proyek tertentu sebagai daya tarik yang menggantung di hadapan masyarakat miskin dalam upaya untuk mengabadikan norma-norma neoliberal seperti kompetisi, transparansi, dan akuntabilitas. Kalau pendekatan proyek seperti ini dianggap sejalan dengan struktur pendanaan program berbasiskan utang, PPK menampilkan kesetiaannya pada paradigma dominan yang telah begitu signifikan menentukan bentuknya. Ini mungkin menjelaskan kenapa PPK (dan “proyek saudaranya”, seperti program KALAHI-CIDDS di Filipina), meskipun menjadi proyek-proyek pembangunan sosial, telah diterima di dalam ortodoksi pembangunan.

Program-program sosial baru yang berkembang dalam PWC pantas terus menerus mendapat perhatian kritis, terutama mengingat potensi mereka untuk menjadi norma dibanding hal “lainnya” di dalam SIN. Dalam hal ini, fokus perdesaan PPK, bersama dengan target proyek “adik” perkotaannya, yakni Proyek Kemiskinan Perkotaan, kini telah menjadi dasar bagi program nasional pengembangan masyarakat di Indonesia yang bertujuan menghapuskan kemiskinan— suatu program yang akan menuntut pemerintah daerah untuk jatuh pada isu-isu seperti kesehatan, pendidikan, dan masalah-masalah pertanian. Selanjutnya, PPK terutama (walaupun tidak seluruhnya) populer di berbagai tingkatan dalam masyarakat Indonesia, dan para pendukungnya bisa membuat klaim besar terkait relatif rendahnya tingkat korupsinya dan muramnya penyediaan infrastruktur serta elemen lainnya—hal-hal yang pasti suka didengarkan oleh mereka-mereka yang bekerja di institusi-institusi mapan sektor pembangunan.

Sementara untuk menilai dengan konkret kemampuan PPK untuk membebaskan orang miskin dari belenggu kemiskinan masih agak lama, kerangka kerja yang melandasi bentuknya sekarangpun sudah jelas dan jelas pula berasal dari bangunan SIN. Kerangka kerja ini dirancang untuk mengurangi kemiskinan, tetapi dengan prasyarat yang diidentifikasi oleh Cammack, seperti kerja Bank Dunia pada umumnya, yaitu bahwa program harus “bersyarat pada dan sekunder bagi” suatu usaha perpanjangan hubungan-hubungan sosial kapitalis serta membuat kelembagaan yang dianggap diperlukan untuk itu. Meski banyak kehebohan mengelilingi proyek seperti PPK dan pembangunan berbasis komunitis secara lebih umum. Tetapi pertanyaan-pertanyaan yang menggantung tentang apa yang ditangani dan tidak ditanganinya, tanpa juga melupakan struktur pendanaan program (berbasiskan utang), menunjukkan bahwa ada alasan yang tepat untuk berpikir bahwa solusi kemiskinan justru akan ditemukan di lain tempat.•



Endnotes:
*Saya mengucapkan terima kasih kepada Garry Rodan, Kasnishka Jayasuriya, Teresita del Rosario, Shahar Hameiri dan dua orang pengulas yang tidak ingin disebut namanya atas komentar mereka terhadap versi awal artikel ini. Setiap kekeliruan dan kesalahan tentu menjadi tanggung jawab penulis. Penggunaan istilah “Kuda Troya” di sini adalah plesetan terhadap pengamatan John Harriss tentang cara bagaimana beberapa praktisi pembangunan mencoba menggunakan konsep modal sosial untuk mengubah agenda pembangunan neoliberal dari dalam.

[i] Lihat, misalnya, Ben Fine, “Neither the Washington Consensus nor the Post-Washington Consensus”, dalam Ben Fine, Costas Lapavitsas dan Jonathan R Pincus (eds.), Development Policy in the 21th Century: Beyond the post-Washington Consensus (London dan New York: Routledge, 2003), hal. 1-27; Ben Fine dan P Rose, “Education and the Post-Washington Consensus’, dalam Ben Fine, Costas Lapavitsas dan Jonathan R Pincus (eds), Development Policy in the 21th Century: Beyond the post-Washington Consensus (London dan New York: Routledge, 2003), hal. 155-181; Ben Fine, Costas Lapavitsas dan Jonathan R Pincus (eds.), Development Policy in the 21th Century: Beyond the post-Washington Consensus (London and New York: Routledge, 2003); Jonathan R Pincus dan Jeffrey A Winters, “Reinventing the World Bank”, dalam Jonathan R Pincus dan Jeffrey A Winters (eds.), Reinventing the World Bank (Ithaca, New York: Cornell University Press, 2002), hal. 1-25; Joseph Stiglitz, “Towards a New Paradigm for Development: Strategies, Polices and Processes”, dalam HJ Chang (ed.), Joseph Stiglitz and the World Bank: the Rebel Within (London: Anthem, 2001), hal 57-93; Joseph Stiglitz, “More Instruments and Better Goals: Moving Towards a Post-Washington Consensus”, dalam in HJ Chang (ed.), Joseph Stiglitz and the World Bank: The Rebel Within (London: Anthem Press, 2001), hal. 17-56; Joseph Stiglitz, “Information and the Change in the Paradigm in Economics”, Nobel Prize Lecture, Stockholm (8 December 2001); Joseph Stiglitz, “PostWashington Consensus Consensus”, dalam Initiative for Policy Dialogue (New York: Columbia University, 2004).
[ii] Lihat, Stiglitz, “Towards a New Paradigm …”; Stiglitz, “More Instruments and Better Goals…”; Stiglitz, “Information and the Change …”.
[iii] Lihat, Paul Cammack, “What the World Bank Means by Poverty Reduction and Why it Matters”, dalam New Political Economy 9 (2), 2004, hal. 189–211; Fine et al., Development Policy in the 21th Century…; Pincus dan Winters,Reinventing the….
[iv] Dalam artikel ini, istilah pasca-Konsensus Washington dan paradigma pembangunan baru digunakan secara bergantian.
[v] Sebuah tulisan baru yang sangat baik menilai PWC dan caranya membongkar topik tersebut adalah Porter dan Craig’s yang dopengaruhi oleh perspektif Polanyian; lihat, D Porter dan D Craig, Development Beyond Neoliberalism: Governance, Poverty Reduction and Political Economy (London and New York: Routledge, 2006).
[vi] World Bank, World Development Report 2007 (Washington, DC: The World Bank, 2006), hal. 288.
[vii] Cammack menggambarkan proses ini sebagai landasan untuk mempersenjatai kaum miskin dalam keterlibatan mereka ke dan tunduk pada pasar kerja kompetitif serta penciptaan suatu kerangka kerja dari dalam kelembagaan untuk mempertahankan akumulasi kapitalis global, sementara secara bersamaan membangun legitimasi proyek melalui partisipasi dan suatu agenda pro kaum miskin; lihat, Cammack, “What the World Bank Means by Poverty Reduction…”, hal. 190.
[viii] Lihat, Toby Carroll, “The Politics of the World Bank’s Socio-institutional Neoliberalism”, Disertasi PhD, Murdoch University, Perth, Australia, 2007; Toby Carroll dan Shahar Hameiri, “Good Governance and Security: The Limits of Australia’s New Aid Programme”, dalam Journal of Contemporary Asia 37 (4), 2007, hal. 413.
[ix] Lihat, Douglass C North, Institutions, Institutional Change and Economic Performance (New York: Cambridge University Press, 1990); Douglass C North, “Economic Performance through Time”, dalam American Economic Review 84 (3), 1994, hal. 359–368.
[x] Lihat, John Williamson, “What Washington Means by Policy Reform”, dalam John Williamson (ed.), Latin American Adjustment: How Much has Happened? (Washington, DC: Institute for International Economics, 1990).
[xi] Lihat, Ben Fine, “The World Bank’s Speculation on Social Capital”, dalam Jonathan R Pincus dan Jeffrey A Winters (eds.), Reinventing the World Bank (Ithaca, New York: Cornell University Press, 2002), hal. 203-221; Ben Fine, “The Social Capital of the World Bank”, dalam Ben Fine, Costas Lapavitsas and Jonathan R Pincus (eds.), Development Policy in the 21th Century: Beyond
the post-Washington Consensus (London dan New York: Routledge, 2003), hal. 136-154; John Harriss, Depoliticizing Development (London: Anthem Press, 2002).
[xii] Kanishka Jayasuriya, “Economic Constitutionalism, Liberalism and the New Welfare Governance”, Seri Kertas Kerja Asia Research Centre (Perth: Murdoch University, 2005), hal. 5.
[xiii] Richard Robison, “Neo-liberalism and the Market State:What is the Ideal Shell?”, dalam Richard Robison (ed.), The Neo-Liberal Revolution: Forging the Market State (Basingstoke dan New York: Palgrave Macmillan, 2006), hal. 5.
[xiv] Lihat, Toby Carroll, “Attempting Illiberalism: The World Bank and the Embedding of Neoliberal Governance in the Philippines”, dalam Richard Robison dan Wil Hout (eds), Governance and the Depoliticisation of Development (Abingdon: Routledge, 2009).
[xv] Cammack, “What the World Bank Means by Poverty Reduction…”, hal. 190.
[xvi] James Ferguson, The Anti-Politics Machine (Cambridge dan New York: Cambridge University Press, 1990), hal. 18.
[xvii] Lihat, misalnya, Sebastian Mallaby, The World’s Banker: A Story of Failed States, Financial Crises and the Wealth and Poverty of Nations (New York: Penguin Press, 2004), hal. 202-206.
[xviii] Lihat, TM Li, “Government through Community: The Social Development Program of the World Bank in Indonesia”, International Law and Justice Working Paper no. 2006/2 (New York: New York University School of Law, 2006).
[xix] TM Li, The Will to Improve (Durham, NC dan London: Duke University Press, 2007), hal. 230-269.
[xx] Li, The Will…, hal. 232.
[xxi] Li, The Will…, hal. 238-239.
[xxii] Pada khususnya, teori konflik sosial, materialism baru dan beberapa pendekatan Gramscian.
[xxiii] Ministry of Home Affairs, Community Development Agency, KDP National Secretariat and National Management Consultants, “Kecamatan Development Program, Phase 1: 1998–2002, Final Report” (Jakarta: Ministry of Home Affairs, 2002), hal. 8.
[xxiv] Lihat, World Bank, “Indonesia Second Kecamatan Development Program Project Information Document”, dalam http://www-wds.worldbank.org/servlet/WDSContentServer/WDSP/IB/2001/01/18/000094946_0101170531251/Rendered/PDF/multi0page.pdf (diakses Januari 2006); World Bank, Indonesia Project Brief, 3rd Edition (Jakarta: The World Bank, 2003), hal. 38.
[xxv] Scott Guggenheim, Tatag Wiranto, Yogana Prasta, dan Susan Wong “Indonesia’s Kecamatan Development Program: A Large-Scale Use of Community Development to Reduce Poverty”, dalam http://www-wds.worldbank.org/servlet/WDSContentServer/WDSP/IB/2004/12/03/000090341_20041203153406/Rendered/ PDF/307790IND0KDP0cty0devt01see0also0307591.pdf (diakses Oktober 2005); World Bank, “Indonesia: Kecamatan Development Project 3B”, dalam http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/NEWS/0“contentMDK:20411876<“menuPK:34471<“pagePK:34370<“piPK:34424<“theSitePK:4607, 00.html (diakses Januari 2006).
[xxvi] Lihat, Li, “Government Through Community…”, hal. 2; World Bank, “Indonesia’s Debt and World Bank Assistance”, dalam http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/COUNTRIES/EASTASIAPACIFICEXT/INDONESIAEXTN/0“content DK:20994026<“pagePK:141137<“piPK:141127<“theSitePK:226309,00.html (diakses Maret 2009).
[xxvii] Lihat, Scott Guggenheim, “Crises and Contradictions: Understanding the Origins of a Community Development Project in Indonesia’. Culture and Public Action”, dalam http://www.cultureandpublicaction.org/bijupdf/guggenheim.pdf (diakses Oktober 2005), hal. 2.
[xxviii] Poin ini juga disampaikan pada saya oleh beberapa staf Bank di dalam unit pembangunan sosial; lihat, Scott Guggenheim, “Crises and Contradictions: Understanding the Origins of a Community Development Project in Indonesia’. Culture and Public Action”, dalam http://www.cultureandpublication.org/bijupdf/guggenheim.pdf (diakses Oktober 2005), hal. 4-6.
[xxix] Lihat, World Bank, “‘Indonesia Kecamatan Development Program”, dalam http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/COUNTRIES/EASTASIAPACIFICEXT/INDONESIAEXTN/0“content MDK:20026524<“menuPK:287113<“pagePK:141137<“piPK:141127<“theSitePK:226309,00.html (diakses Januari 2006).
[xxx] Guggenheim, et al. “Indonesia’s Kecamatan Development Program…”, hal 8.
[xxxi] Lihat, World Bank, “‘Indonesia Kecamatan Development Program”, dalam http://web. worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/COUNTRIES/EASTASIAPACIFICEXT/INDONESIAEXTN/0“contentMDK:20026524<“menuPK:287113<“pagePK:141137<“piPK:141127<“theSitePK:226309,00.html (diakses Januari 2006).
[xxxii] Lihat, World Bank, “‘Indonesia Kecamatan Development Program”, dalam http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/COUNTRIES/EASTASIAPACIFICEXT/INDONESIAEXTN/0“contentMDK:20026524<“menuPK:287113<“pagePK:141137<“piPK:141127<“theSitePK:226309,00.html (diakses Januari 2006).
[xxxiii] Guggenheim, et al. “Indonesia’s Kecamatan Development Program…”, hal. 8.
[xxxiv] World Bank, Kecamatan Development Program 2 Operational Manual (Jakarta: The World Bank, 2004), hal. 16.
[xxxv] World Bank, Kecamatan Development Program 2 Operational…, hal. 16.
[xxxvi] Guggenheim, et al. “Indonesia’s Kecamatan Development Program…”, hal. 7.
[xxxvii] Guggenheim, et al. “Indonesia’s Kecamatan Development Program…”, hal. 7.
[xxxviii] Guggenheim, et al. “Indonesia’s Kecamatan Development Program…”, hal. 7.
[xxxix] Guggenheim, et al. “Indonesia’s Kecamatan Development Program…”, hal. 7.
[xl] Guggenheim, et al. “Indonesia’s Kecamatan Development Program…”, hal. 7.
[xli] Guggenheim, et al. “Indonesia’s Kecamatan Development Program…”, hal. 9.
[xlii] Dalam suatu wawancara dengan seorang pejabat Departemen Dalam Negeri, yang sangat positif terhadap PPK, elemen kompetitif digunakan sebagai salah satu prinsip utama PPK (bersama dengan transparansi, desentralisasi, berpihak pada orang miskin, dan berkelanjutan); wawancara dengan staf Kementerian Dalam Negeri, 2005.
[xliii] Ketika saya tanyakan pada mereka apa yang bagus dari proyek itu, orang-orang menyatakan bahwa keterlibatan komunitas merupakan hal positif sehingga, berdasarkan kenyataan kurangnya dana di daerah tersebut, bentuk bantuan apapun dari pemerintah atau Bank Dunia secara umum akan disambut baik; pertemuan di Jawa Barat, 2005.
[xliv] Wawancara dengan Scott Guggenheim, 2005.
[xlv] Wawancara dengan Victor Bottini, 2005.
[xlvi] Wawancara dengan Victor Bottini, 2005; wawancara dengan Tatag Wiranto, 2005; wawancara dengan Richard Gnagey dan Prabowo Ekasusanto, 2005.
[xlvii] Guggenheim, et al. “Indonesia’s Kecamatan Development Program…”, hal. 9.
[xlviii] Guggenheim, et al. “Indonesia’s Kecamatan Development Program…”, hal. 9.
[xlix] Peran Bappenas (Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional) digantikan oleh “badan perencanaan dan pembangunan daerah; lihat, Guggenheim et al., “Indonesia’s Kecamatan Development Program…”, hal. 9.
[l] World Bank, World Development Report 2007, hal. 288, 290.
[li] Lihat, World Bank, “Indonesia’s Debt and World Bank Assistance”, dalam http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/COUNTRIES/EAST ASIAPACIFICEXT/INDONESIAEXTN/0“contentMDK:20994026<“pagePK:141137<“piPK:141127<“theSitePK:226309,00.html  (diakses Maret 2009).
[lii] Dana Bank, dalam US$, dalam anggaran PPK I, II dan III adalah sebagai berikut (akurat hingga November 2003): PPK I, $ 275 juta; PPK II, $ 320,2 juta; PPK III, $ 249,8 juta; lihat, Guggenheim, et al., “Indonesia’s Kecamatan Development Program…”, hal. 25. Dalam informasi proyek terbaru untuk PPK III, jumlah yang didanai Bank dinayatakan sebesar US$ 246.4 juta; lihat, World Bank, “Updated Project Information Document, Indonesia: Third Kecamatan Development Project”, dalam http://www-wds. worldbank.org/servlet/WDSCon-tentServer/WDSP/IB/2005/07/13/000090341_20050713092136/Rendered/PDF/329420PID1079156.pdf (diakses Januari 2006), hal. 17.
[liii] Wawancara dengan Gunawan Sumodiningrat, 2005; wawancara dengan Rahadi Wiratama, 2005.
[liv] Lihat, World Bank, “Indonesia’s Debt and World Bank Assistance”, dalam http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/COUNTRIES/EASTASIAPACIFICEXT/INDONESIAEXTN/0“contentMDK:20994026<“pagePK:141137<“piPK:141127<“theSitePK:226309,00.html (diakses Maret 2009); World Bank, “Indonesia: Kecamatan Development Program: Supplemental Credit”, dalam http://www-ds.worldbank.org/external/default/main?pagePK=64193027 & piPK=64187937 & the SitePK=523679 & menu PK= 64187510 & search Menu PK=64187283&siteName=WDS&entity ID=000094946_00111505394221 (diakses Januari 2006); World Bank, “Indonesia Second Kecamatan Development Program Project Information Document”, dalam http://www-wds.worldbank.org/servlet/WDSContentServer/WDSP/IB/2001/01/18/000094946_0101170531251/Rendered/PDF/multi0page.pdf (diakses Januari 2006); World Bank, “Indonesia: Kecamatan Development Project II (KDP II)”, dalam http://web.worldbank.
org/WBSITE/EXTERNAL/COUNTRIES/EASTASIAPACIFICEXT/ INDONESIAEXTN/0“content MDK:20026607<“menuPK:287113<“
pagePK:141137<“piPK:141127<“ the Site PK:226309,00.html (diakses Januari 2006); World Bank, “Indonesia: Third Kecamatan Development Project”, dalam http://web.worldbank. org/WBSITE/EXTERNAL/NEWS/0“contentMDK:20117081<“menu PK:34471<“pagePK: 40651<“piPK:40653<“theSitePK:4607,00.html (diakses Januari 2006); World Bank, “Indonesia: Kecamatan Development Project 3B”, dalam http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/NEWS/0“contentMDK:20411876<“menu PK:34471<“pagePK:34370<“piPK:34424<“theSitePK:4607,00.html (diakses Januari 2006).
[lv] Wawancara dengan Scott Guggenheim, 2005.
[lvi] Guggenheim, et al. “Indonesia’s Kecamatan Development Program…”, hal. 9.
[lvii] Guggenheim, et al. “Indonesia’s Kecamatan Development Program…”, hal. 12.
[lviii] Guggenheim mencatat bahwa ia melihat proyek tersebut sebagai suatu contoh yang memungkinkan penerapan tujuan progresif di dalam paradigma neoliberal; wawancara dengan Scott Guggenheim, 2005.
[lix] “Orde Baru” adalah istilah yang diberikan untuk tiga dekade pemerintahan Presiden Suharto.
[lx] Li, “Government through Community…”, hal. 9.
[lxi] Wawancara dengan salah seorang staf Bank Dunia, 2005.
[lxii] Guggenheim, “Crises and Contradiction…”, hal. 21.
[lxiii] Li, “Government through Community…”, hal. 14.
[lxiv] World Bank, “Updated Project Information Document, Indonesia: Third Kecamatan Development Project”, dalam http://www-wds.worldbank.org/servlet/WDSContentSer ver/WDSP/IB/2005/07/13/000090341_2005071 3092136/ Rendered/
PDF/329420PID1P079156. pdf (diakses Januari 2006), hal. 1.
[lxv] Lihat, World Bank, “Updated Project Information Document, Indonesia: Third Kecamatan Development Project”, dalam http://www-wds.worldbank.org/servlet/WDSContentServer/WDSP/IB/2005/07/13/000090341_20050713092136/ Rendered/PDF/329420PID1P079156.pdf (diakses Januari 2006).
[lxvi] Li, “Government through Community…”, hal. 9.
[lxvii] Anthony Bebbington, Scott Guggenheim, dan Michael Woolcock, “The Ideas–Practice Nexus in International Development Organizations: Social Capital at the World Bank”, dalam Anthony Bebbington, Michael Woolcock, Scott Guggenheim, dan Elizabeth Olson (eds.), The Search for Empowerment — Social Capital as Idea and Practice at the World Bank (Bloomfield, CT:
Kumarian, 2006), hal. 1-27; Guggenheim, “Crises and Contradiction…”, hal. 17.
[lxviii] Guggenheim, “Crises and Contradiction…”, hal. 18.
[lxix] Wawancara dengan Scott Guggenheim, 2005.
[lxx] Harriss, Depoliticizing…, hal. 81.
[lxxi] Harriss, Depoliticizing…, hal. 78-79.
[lxxii] Dalam dokumen informasi proyek terbaru untuk PPK III, bahasa informasi pendekatan teoritik terhadap NIE dibuktikan dalam salah satu areal pemerintahan yang hendak ditangani oleh PPK; lihat, World Bank, “Updated Project Information Document, Indonesia: Third Kecamatan Development Project”, dalam http://www-wds.worldbank.org/servlet/WDSContentServer/WDSP/
IB/2005/07/13/000090341_20050713092136/Rendered/PDF/329420PID1P079156.pdf (diakses Januari 2006), hal. 1.
[lxxiii] World Bank, “Updated Project Information Document, Indonesia: Third Kecamatan Development Project”, dalam http://www-wds.worldbank.org /servlet/WDSContentSer ver/WDSP/IB/2005/07/13/000090341_200 50713092136/ Rendered/
PDF/329420PID1 P079156. pdf (diakses Januari 2006), hal. 20-21.
[lxxiv] Wawancara dengan Rahadi Teguh Wiratama, 2005. Rahadi Wiratama dari LP3ES, suatu LSM berbasis Jakarta yang merupakan rekanan PPK, menganggap pemantauan media ini sebagai hal penting. Wiratama menyarankan bahwa sistem ini sukses dan unik, meskipun dia merasa tidak cukup banyak jurnalis melakukan pekerjaan itu; lihat juga, Guggenheim, “Crises and Contradiction…”.
[lxxv] World Bank, “Updated Project Information Document, Indonesia: Third Kecamatan Development Project”, dalam http://www-wds.worldbank.org/servlet/WDSContentServer/WDSP/IB/2005/07/13/000090341_20050713092136/ Rendered/
PDF/329420PID1P079156. pdf (diakses Januari 2006), hal. 20.
[lxxvi] Transparansi Internasional menempatkan Indonesia pada posisi 137 (dari 158 negeri) atas indeks persepsi korupsinya di tahun 2005; lihat, Transparency International, “Corruption Perception Index 2005”, dalam http://www.transparency.org/policy_and_research/surveys_indices/cpi/2005 (diakses Januari 2006).
[lxxvii] Wawancara dengan Scott Guggenheim, 2005.
[lxxviii] Scott Guggenheim, “B-Span Video Presentation”, Disajikan pada Konferensi Scaling up Poverty Reduction: A Global Learning Process, Shanghai, 25–27 Mei 2004.
[lxxix] Guggenheim, “B-Span Video…”.
[lxxx] Li, “Government through Community…”, hal. 11.
[lxxxi] Pertemuan di Jawa Barat, 2005.
[lxxxii] Wawancara dengan Tatag Wiranto, 2005; pertemuan di Jawa Barat, 2005.
[lxxxiii] Wawancara dengan Scott Guggenheim, 2005.
[lxxxiv] Vedi R Hadiz, “Decentralization and Democracy in Indonesia: A Critique of Neoinstitutionalist Perspectives”, dalam Development and Change 35 (4), 2004, hal. 706.
[lxxxv] Hadiz, “Decentralization and Democracy in Indonesia…”, hal. 700.
[lxxxvi] Wawancara dengan Scott Guggenheim, 2005.
[lxxxvii] Ministry of Home Affairs, Community Development Agency, KDP National Secretariat and National Management Consultants, “Kecamatan Development Program, Phase 1: 1998–2002, Final Report” (Jakarta: Ministry of Home Affairs, 2002), hal. 10.
[lxxxviii] Larry Chavis, “Decentralizing Development”, Kertas Kerja (Chapel Hill, NC: University of North Carolina Chapel Hill, 2006), hal. 10.
[lxxxix] Hadiz, “Decentralization and Democracy in Indonesia…”, hal. 711.