Baca

Baca

Kamis, 16 Maret 2017

Precariat, komoditas dan fleksibilitas (Precariat: Bagian 2)

Precariat: Liberalisasi Ketenagakerjaan di Era Globalisasi

Bagian 2: Precariat, komoditas dan fleksibilitas

Oleh: Candra

Tulisan ini merupakan lanjutan dari


Keterangan: Guy Standing, Occupy Washington DC, 2011 

Pada bagian sebelumnya telah diulas mengenai apa dan siapa precariat. Dari paparan Guy Standing dalam bukunya The Precariat: The New Dangerous Class (2011) tersebut, ternyata memang banyak orang yang potensial mengalami precariatisation dan ‘berubah’ menjadi precariat. Tidak heran jumlahnya sangat banyak, dan Standing menyebut mereka sebagai “the new dangerous class.”

“Apakah memang precariat sebuah kelas sosial yang baru?; Benarkah berbahaya?; Seberapa berbahayakah mereka?”

Precariat (kelas) berbahaya?

Menurut Standing, precariat sesungguhnya belum menunjukkan karakteristik sebagai kelas sosial tersendiri. Penyebabnya adalah karena mereka tidak mampu mengontrol kekuatan teknologi yang mereka hadapi. Precariat masih dalam proses pembentukan menjadi kelas. Dalam terminologi Marxis tentang kelas, Standing menyebut “precariat is a class-in-the-making, if not yet a class-for-itself.”

Sebagian orang mungkin khawatir dengan kemungkinan bahwa precariat dapat muncul menjadi kelas sosial yang berbahaya. Precariat menderita dalam situasi di mana mereka memperoleh informasi yang berlebihan namun tanpa disertai gaya hidup yang dapat memberi mereka kontrol dan kapasitas untuk menyaring apa yang berguna dari tidak berguna. Karenanya mereka dikhawatirkan dapat berkembang menjadi ketidakmampuan massa precariat untuk berpikir jangka panjang, yang disebabkan oleh probabilitas rendah untuk dapat mencapai kemajuan pribadi atau membangun karir. Sebagai sebuah kelompok sosial yang tidak melihat adanya jaminan identitas dan masa depan buat diri dan keluarganya, dan dengan rasa takut dan frustasi yang ditimbulkannya, dikhawatirkan dapat menyebabkan mereka menyerang balik pada segala hal yang mereka anggap telah merugikan diri mereka.

Namun demikian, dalam pandangan Standing, kalaupun mau disebut sebagai kelas, precariat bukanlah kelas yang utuh. Sebabnya karena selalu ada pertentangan di dalam kelompok besar itu sendiri. Selalu ada kemungkinan di mana salah satu kelompok menyalahkan kelompok lain atas kerentanan dan penghinaan yang mereka alami. Ketegangan dalam precariat membuat mereka saling bertentangan satu sama lain, yang pada akhirnya membuat mereka kurang menyadari bahwa struktur sosial dan ekonomi-lah yang telah menyebabkan mereka mengalami kerentanan.

Menurut Standing, akibat tekanan ekonomi dan sosial yang dialaminya, precariat mengalami ‘Empat A’: anger (marah), anomie (kekacauan), anxiety (kecemasan) dan alienation (keterasingan). Precariat merasa frustrasi bukan hanya karena dalam jangka waktu yang lama bekerja dalam kondisi yang labil tanpa rasa aman dalam hal pekerjaan dan pendapatan, tetapi juga karena pekerjaan-pekerjaan tersebut tidak melibatkan terciptanya hubungan saling percaya yang melekat dalam struktur atau jaringan yang bermakna. Precariat juga tidak memiliki jalur mobilitas sosial ke atas, yang menyebabkan mereka terus menerus berada dalam kondisi eksploitasi diri (self-exploitation) dan keterpisahan yang dalam.

Selain itu precariat hidup dengan kecemasan dan ketidakamanan kronis karena menyadari mereka senantiasa dalam kondisi krisis, di mana satu kesalahan atau nasib buruk dapat membuat mereka kehilagan segalanya. Meeka merasa tidak aman dan stres, sementara pada saat yang sama 'menganggur' atau terlalu banyak bekerja (multitasking dan overemployed) meskipun ternyata pendapatan yan diterima tetap tidak sebanding dengan upaya yang dilakukan. Mereka terasing dari pekerjaan, dan anomi, merasa tidak pasti dan putus asa. Karena takut kehilangan apa yang mereka miliki membuat mereka merasa frustrasi. Mereka akan marah tetapi biasanya pasif. Pikiran bahwa mereka mengalami precariatised sesungguhnya ditimbulkan dan dimotivasi oleh rasa takut.

Seperti halnya kaum proletar, para precariat juga mengalami keterasingan, yang berasal dari kesadaran bahwa bahwa apa yang mereka lakukan bukan ditujukan untuk tujuan atau kepentingan mereka sendiri, atau untuk nilai-nilai yang mereka hormati atau hargai. Karena pada dasarnya apa yang mereka lakukan semata untuk orang lain, dan atas perintah orang lain. Akibatnya, para precariat cenderung menjadi kurang menghargai diri dan pekerjaan mereka sendiri.

Dalam pandangan Standing, dampak lainnya adalah yang terkait dengan sikap kerja. Bagi para precariat, di satu sisi pekerjaan telah berubah menjadi serba fleksibel dan instrumental, dan di sisi lain upah yang mereka terima juga tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dampaknya, tidak ada lagi 'profesionalisme' di kalangan precariat yang sesuai dengan standar, kode etik dan saling menghormati di antara para anggotanya berdasarkan kompetensi dan menghormati norma-norma perilaku lama yang mapan. Menurut Standing, para precariat tidak dapat bertindak professional karena mereka tidak memiliki spesialisasi dan tidak dapat melakukan pengembangan diri dalam hal kedalaman kompetensi atau pengalaman. Mereka menghadapi ketidakpastian dalam hal pekerjaan dan hanya memiliki sedikit prospek untuk melakukan mobilitas sosial ke atas.

Akibat hanya mengerjakan pekerjaan yang hanya membutuhkan keterampilan ‘sederhana’ dan sering berpindah jenis dan tempat bekerja, atau bahkan mengerjakan beberapa jenis pekerjaan sekaligus (multitasking) untuk memperoleh penghasilan lebih, para precariat juga dapat menjadi lemah dalam hal ‘memori sosial’ (social memory). Menurut Standing, memori jenis ini merupakan bagian dari kesadaran umat manusia untuk mendefinisikan diri dengan apa yang telah dilakukan dan melakukan apa yang ingin dilakukan. Memori sosial menjadi milik kolektif/masyarakat yang direproduksi dari generasi ke generasi, dan menyediakan kode etik dan rasa mengenai makna dan stabilitas, emosional dan sosial. Memori sosial berakar dari kelas dan dimensi pekerjaan, yang  terkait dengan apa yang dicita-citakan. Situasi yang dihadapi precariat merupakan konstruksi sosial yang pada akhirnya dapat menghambat aspirasi mereka.

Standing mensinyalir, bahwa pada kondisi demikian itu, banyak diantara para precariat yang kemudian tertarik dengan retorika dari politisi populis bahkan para penganut neo-fasis, di mana kecenderungan ini  sudah terlihat jelas di seluruh Eropa, Amerika Serikat dan di banyak tempat lain. Inilah sebabnya mengapa Standing menyebut precariat sebagai kelas yang berbahaya.

“Jadi ada analisis bahwa jumlah precariat yang besar dikhawatirkan tergoda pada politik populisme dan fasis… Tapi apa sebenarnya yang menyebabkan meningkatnya jumlah precariat dalam beberapa dekade terakhir ini?”

Apa/siapa ‘pencipta’ precariat?

Dalam pandangan Standing, precariat muncul sebagai dampak dari transformasi global. Menurutnya, era globalisasi (1975-2008) adalah masa ketika ekonomi dikonstruksi melalui perubahan kebijakan dan kelembagaan oleh pemodal dan ekonom neo-liberal berusaha untuk menciptakan ekonomi pasar global berdasarkan daya saing dan individualisme. Sebagai konsekuensi dari komitmen untuk terlibat dalam ekonomi pasar terbuka dan tekanan untuk dapat lebih kompetitif, negara-negara industri dari negara industri baru (NIC) harus mampu menyediakan pasokan tenaga kerja murah. Komitmen terhadap prinsip-prinsip pasar terbuka tersebut mau tidak mau melahirkan sebuah sistem produksi global dengan jaringan perusahaan dan praktik tenaga kerja yang fleksibel.

Dalam hal ini Standing menyimpulkan bahwa aspek sentral globalisasi adalah 'komodifikasi,' di mana segala sesuatu dipandang sebagai komoditas, yang dapat diperjualbelikan, tunduk pada kekuatan pasar, dengan harga yang ditetapkan oleh mekanisme permintaan dan penawaran, serta tanpa kapasitas untuk menolak. Komodifikasi ini telah meluas pada seluruh aspek kehidupan, termasuk kebijakan perlindungan sosial keluarga, sistem pendidikan, perusahaan, lembaga tenaga kerja, pengangguran, penyandang disabilitas, masyarakat pekerja dan dunia politik.

Menurut Standing, dalam pandangan ekonomi neo-liberal, salah satu prinsip utamanya adalah bagaimana agar semua hambatan ekonomi pasar bebas dapat diatasi. Untuk itu, salah satunya adalah gagasan bahwa diperlukan peraturan untuk mencegah kepentingan kolektif yang dapat menjadi hambatan untuk kompetisi. Hasrat untuk melemahkan institusi kolektif tersebut mencakup mengubah perusahaan dari perannya sebagai lembaga sosial, serikat pekerja sebagai wakil dari karyawan, masyarakat kerja sebagai serikat kerajinan dan profesi, pendidikan sebagai kekuatan untuk pembebasan dari kepentingan diri sendiri dan komersialisme, keluarga sebagai lembaga timbal balik dan reproduksi sosial, dan pegawai negeri sipil sebagai dipandu oleh etika pelayanan publik.

Standing berpendapat bahwa di era globalisasi ini yang sesungguhnya terjadi bukanlah de-regulasi, tapi re-regulasi, yaitu pemberlakuan berbagai peraturan baru yang sepenuhnya diabdikan untuk mendukung berjayanya ekonomi pasar bebas. Di pasar tenaga kerja dunia, sebagian besar peraturan baru tersebut bersifat direktif, yang memberitahu orang-orang apa yang mereka bisa dan tidak bisa lakukan, dan apa yang mereka harus lakukan untuk menjadi penerima manfaat dari kebijakan negara. Dampak dari kebijakan baru tersebut adalah  berubahnya pengaturan tenaga kerja dan terciptanya fragmentasi pada kelas pekerja. Situasi tersebut semakin mulus dengan adanya proses 'tertiarisasi' (tertiarisation) kerja dan tenaga kerja, yang terkait dengan penurunan di bidang manufaktur dan pergeseran ke tenaga kerja ke jasa/layanan.

Selain re-regulasi dan tertiarisasi, ada salah satu dari aspek kapitalisme global yang menurut Standing juga telah memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan precariat, yaitu komodifikasi perusahaan. Ketika perusahaan juga telah menjadi komoditi, maka perusahaan dapat diperjualbelikan melalui merger dan akuisisi. Perusahaan dapat diperdagangkan, dipecah-gabung dan dikemas ulang. Konsekuensinya, semakin banyak perusahaan yang dimiliki oleh pemegang saham asing. Dengan komodifikasi perusahaan, maka pemilik dan tim managemen perusahaan sangat mungkin berganti-ganti setiap saat. Di sisi lain, perusahaan juga tidak memandang perlu memiliki banyak pekerja tetap. Hubungan kerja menjadi fleksibel. Akibatnya, komitmen dan tanggung jawab perusahaan terhadap tenaga kerjanya menjadi semakin sulit untuk dipegang.

Komodifikasi juga telah membuat pembagian kerja dalam perusahaan menjadi lebih cair. Jika kegiatan perusahaan lebih murah jika dilakukan di satu lokasi, maka akan ada pilihan apakah pekerjaan itu akan di-'offshored' (relokasi bisnis ke tempat/negara lain) atau dengan 'outsourcing' (melalui perusahaan mitra atau pihak lain). Namun kondisi tersebut ternyata berpengaruh terhadap proses kerja di mana struktur pekerjaan dan 'karir' internal menjadi terganggu, karena ada ketidakpastian mengenai apakah pekerjaan akan dilakukan secara offshored atau outsourcing. Sebagai komoditas, perusahaan juga menjadi lebih portabel dan fleksibel, dalam hal kemampuannya untuk beralih usaha atau kegiatan. Sementara, banyak karyawan tidak dapat dengan mudah berganti atau pindah pekerjaan. Hal ini tentunya mengganggu karir kerja mereka, yang pada akhirnya akan cenderung mendorong mereka lebih ke dalam kondisi dan pekerjaan precariat.

Jadi, menurut Standing, liberalisasi ekonomi pasar global-lah yang telah menciptakan precariat, yaitu ketika dalam urusan ekonomi, bisnis dan ketenagakerjaan telah di re-regulasi, terkomodifikasi, dan dibuat menjadi serba fleksibel. Bagi pengusaha/perusahaan, fleksibilitas ternyata bermakna sebagai hubungan ketenagakerjaan yang longgar dan tanggungjawab yang lebih sedikit. Semua telah menjadi komoditas, bahkan perusahaan dan tenaga kerja juga adalah komoditas belaka.

“Sebenarnya, terkait ketenagakerjaan, dalam hal apa fleksibilitas itu terjadi?”

Fleksibilitas nan ganas

Standing menulis bahwa hubungan kerja yang fleksibel telah menjadi penyebab langsung utama pertumbuhan precariat global. Aspek yang mempercepat pertumbuhan precariat adalah tiga serangkai fleksibilitas yaitu flesibilitas  numerik, fleksibilitas fungsional dan fleksibilitas sistem upah.

Bentuk dominan precariat adalah fleksibilitas numerik, yaitu melalui bentuk tenaga kerja 'atipikal' atau 'non-standar.' Ini adalah sebuah fitur fleksibilitas berupa meningkatnya penggunaan tenaga kerja sementara, yang memungkinkan perusahaan untuk mengubah kerja secara cepat, sehingga mereka dapat beradaptasi dan mengubah unit/divisi kerja mereka. Tenaga kerja sementara memberi keuntungan bagi perusahaan, yaitu: upah lebih rendah, upah tanpa mempertimbangkan pengalaman kerja sebelumnya, berkurangnya kewajiban perusahaan memberi imbalan diluar upah (asuransi, bonus, tunjangan, dll.), dan sebagainya. Meskipun dalam pandangan Standing tetap ada sedikit risiko, yaitu jika mempekerjakan  seseorang tanpa komitmen yang kuat --pada kasus tertentu-- mungkin akan memberi resiko tersendiri juga bagi perusahaan, namun itu kurang signifikan dibandingkan keuntungan yang diperoleh perusahaan dari diterapkannya sistem ketenagakerjaan yang baru ini.

Seperti sudah disebutkan sebelumnya, situasi tersebut dipengaruhi oleh adanya tertiarisasi atau pergeseran orientasi bisnis/industri secara global dari manufaktur ke jasa/layanan. Menurut Standing, dalam industri jasa ada kecenderungan tenaga kerja akan lebih berorientasi jangka pendek. Hal ini berdampak pada fluktuasi permintaan tenaga kerja, sehingga ada kebutuhan untuk menggunakan tenaga kerja sementara –yang dapat juga dimasukkan ke dalam kategori setengah pengangguran (underemployment)--. Ada juga faktor lain yang sedikit banyak mendorong peningkatan kondisi tersebut. Bagi pengusaha, jika dibandingkan dengan pekerja tetap, para pekerja kontrak sementara ini lebih mudah untuk didorong agar bekerja lebih keras, terutama jika pekerjaan tersebut sifatnya lebih intens. Pengusaha senang karena pekerja tetap dapat dikurangi. Selain itu pekerja kontrak sementara  dapat dibayar lebih sedikit untuk jam kerja yang juga lebih sedikit ketika pekerjaan/proyek/order sedang berkurang, misalnya. Mereka juga dapat lebih mudah dikontrol melalui ancaman pemecatan, dll.. Jika pekerjaan/proyek/order suatu ketika hanya membutuhkan sedikit tenaga kerja, mereka juga dapat diberhentikan dengan mudah, dengan prosedur dan biaya yang lebih mudah.

Standing mengutip penulis lain (seperti Amoore, 2000; Sklair, 2002; Elger dan Smith, 2006; Royle dan Ortiz, 2009) yang menggambarkan bagaimana perusahaan multinasional mencoba untuk membentuk model kerja baru di tempat-tempat di mana mereka mendirikan anak perusahaan. Contohnya, best practice model dari jaringan restoran fastfood McDonald yang melibatkan pembentukan pekerja dengan keterampilan spesifik yang terbatas (deskilling), penghapusan karyawan lama, pelarangan serikat pekerja (union busting), serta upah dan bonus yang lebih rendah dari perusahaan. Model ini kemudian banyak ditiru oleh perusahaan lain di lokasi mereka beroperasi.

Menurut Standing, pergeseran tenaga kerja sementara ternyata juga disertai dengan meningkatnya jumlah pelaku/perusahaan yang menjadi agen dan penyalur tenaga kerja. Merekalah yang telah berperan besar membantu perusahaan untuk mengganti tenaga kerja tetap dengan tenaga kerja sementara dan tenaga kerja dari kontraktor/perusahaan lain.

Saya kira apa yang ditulis Standing tersebut dapat menjelaskan fenomena menjamurnya perusahaan yang menyediakan tenaga outsoucing di Indonesia dalam dua dekade belakangan. Hampir semua perusahan besar, pusat perkantoran, pusat perbelanjaan dan bahkan kantor pemerintahan tertentu menggunakan tenaga “alih daya” untuk mengurus keamanan, kebersihan, kurir, catering, dll., karena oleh perusahaan penyewanya, mereka dipandang lebih efisien (baca: lebih murah dan kurang merepotkan).

Sementara itu, dalam bukunya tersebut Starling menulis bahwa bentuk umum dari fleksibilitas fungsional adalah kontrak tanpa jam kerja (zero hour contracts), yaitu ketika pekerja diberi kontrak namun tidak diatur secara spesifik berapa lama jam kerja mereka, apa persisnya jenis pekerjaannya, dan berapa banyak mereka akan dibayar. Bentuk lain dari fleksibilitas jenis ini adalah penerapan kontrak individual. Ketika kolektivitas menyusut, yang ditandai dengan melemahnya serikat pekerja dan perundingan bersama, maka maraklah model kontrak individual. Hal ini memungkinkan perusahaan untuk memberikan perlakuan yang berbeda pada tiap pekerja, dalam hal derajat jaminan dan status, yang menggiring sebagian besar pekerja Salariat (penerima gaji dengan pekerjaan stabil) ke status precariat. Kontrak Individu memungkinkan pengusaha untuk memperketat kondisi untuk meminimalkan ketidakpastian perusahaan, yang ditegakkan melalui ancaman hukuman jika pekerja melanggar kontrak.

Dalam pandangan Standing, kontrak individual, kasualisasi dan bentuk lain dari fleksibilitas eksternal diterapkan bersama-sama dalam 'tertiarisasi’ (tertiarisation) yang merangkum kombinasi beberapa bentuk fleksibilitas. Tertiarisasi ini ditandai dengan adanya pembagian kerja yang bersifat cair, tempat kerja menyatu dengan rumah dan/atau tempat umum, jam kerja berfluktuasi dan orang-orang dapat menggabungkan beberapa status pekerjaan dan memiliki beberapa kontrak secara bersamaan. Hal ini mengantarkan sistem kontrol baru, berfokus pada penggunaan waktu masyarakat. Kondisi ini menurut Foucault (1977) disebutnya sebagai 'pabrik sosial', di mana masyarakat merupakan perluasan dari tempat kerja (Hardt dan Negri, 2000).

Pada dasarnya fleksibilitas fungsional dan tertiarisasi telah menyebabkan berkembangnya pola  kerja jarak jauh, yang menurut Standing hal tersebut telah memecah kelompok pekerja dan cenderung mengisolasi mereka. Namun sebagian  pekerja menyambut ini sebagai kesempatan untuk bekerja dari rumah. Karyawan semakin memiliki 'roaming profile', yang memungkinkan mereka untuk mengatur dan mentransfer file dari komputer di ‘ruang kerja virtual’ yang mereka gunakan. Pengaturan ini sangat menguntungkan bagi perusahaan, karena selain dapat berhemat dari kebutuhan menyediakan ruang dan perlengkapan kantor, dapat memperoleh tenaga terampil dari mana saja dan dengan kondisi yang lebih fleksibel (ibu rumah tangga yang bekerja di rumah, misalnya), memungkinkan untuk memperpanjang jam dan hari beroperasi nya perusahaan, mengurangi politik kantor dan gangguan rekan kerja, dan lebih ramah lingkungan. Kelemahannya, model kerja macam begini menyebabkan berkurangnya kegiatan berbagi informasi secara informal dan kurangnya esprit de corps.

Selain fleksibilitas fungsional dan bekerja jarak jauh (distance work), perubahan struktur kerja telah mengganggu kapasitas masyarakat untuk mengontrol dan mengembangkan potensi kerja mereka. Di era globalisasi, peran pemerintah diam-diam dikurangi oleh lembaga-lembaga profesi dan kerajinan yang menetapkan aturan mereka sendiri. Lembaga-lembaga tersebut menetapkan standar mereka sendiri, membuat mekanisme untuk dapat masuk dalam skema pekerjaan tertentu, membangun dan mereproduksi etika dan cara melakukan sesuatu, mengatur tingkat upah dan hak, membangun cara mendisiplinkan dan sanksi anggotanya, membuat prosedur untuk promosi dan untuk bentuk lain dari kemajuan karir, dll.

Liberalisasi ekonomi disertai dengan liberalisasi pekerjaan (liberalisation of occupations), yang diatur dalam berbagai perjanjian perdagangan bebas regional maupun internasional. Pasar nasional kemudian menjadi terbuka untuk persaingan dengan pekerja asing di pekerjaan di sektor jasa di negara-negara yang sebelumnya memiliki yurisdiksi nasional mengenai siapa yang dapat berlatih menjadi seorang pengacara, akuntan, arsitek, tukang ledeng atau apa pun. Akibatnya, bahkan pekerjaan yang sebelumnya dimiliki oleh kelas penerima gaji dan profician menyembunyikan kecenderungan untuk juga menjadi precariat, melalui karir yang terpotong.

Standing mengkritisi kecencerungan ini. Dalam persaingan global, dan revolusi teknologi yang sedang berlangsung, dapat dimengerti mengapa perusahaan ingin melakukan hal tersebut dan mengapa pemerintah mendukungnya. Namun, model tersebut menurutnya telah membawa perubahan yang menyakitkan dan meningkatkan jumlah precariat di dunia. Jika fleksibilitas numerik menghasilkan ketiadaan jaminan ketenagakerjaaan (employment insecurity), maka fleksibilitas fungsional mengintensifkan ketiadaan jaminan kerja (job insecurity).

Fitur terakhir dari trio fleksibilitas ini adalah fleksibilitas upah. Fitur ini tidak hanya membuat tingkat pendapatan yang diterima oleh sebagian besar pekerja menjadi turun, namun sekaligus membuat ketidakamanan pendapatan mereka menjadi meningkat. Pendapatan sosial para pekerja juga mengalami restrukturisasi. Upah di negara-negara industri telah mengalami stagnasi selama  beberapa dekade. Terjadi kesenjangan upah (wage gap) yang sangat besar, termasuk perbedaan antara karyawan tetap dan kalangan precariat.

Di sisi lain, Standing mencatat bahwa globalisasi telah mendorong perusahaan untuk mengubah tren dari upah (wages) menjadi manfaat (benefits). Sementara kaum Salariat selain menerima gaji juga menerima berbagai manfaat dari perusahaan (seperti bonus, cuti medis, asuransi kesehatan, libur dibayar, transportasi bersubsidi, perumahan bersubsidi, dll.), kaum precariat tidak mendapatkan itu sama sekali, dan hanya hidup mengandalkan dari upah yang diterima saja. Dalam hal ini, pada intinya perusahaan telah mengurangi biaya tenaga kerja dan memindahkan risiko serta biaya pada pekerja. Kehidupan kaum precariat menjadi lebih riskan lagi. Sementara di sisi lain, terbatasnya penghasilan dan kurangnya dukungan dari perusahaan menyebabkan kaum precariat semakin kesulitan untuk dapat memiliki asuransi kesehatan/jiwa yang memadai.

Standing berpendapat bahwa yang paling menderita dari rezim fleksibilitas upah ini adalah kaum precariat. Karena, upah yang mereka terima menjadi mereka lebih rendah, lebih bervariasi dan lebih tak terduga, di mana variabilitas tersebut tidak mungkin berkorelasi positif dengan pemenuhan kebutuhan pribadi dan keluarganya. Ketika kaum precariat memiliki kebutuhan keuangan di atas normal, seperti ketika mereka memiliki penyakit atau kebutuhan keluarga lainnya, mereka juga cenderung untuk bersedia bekerja dengan upah di bawah rata-rata. Dan ketidakpastian ekonomi mereka diintensifkan dengan cara kerja kredit perbankan/lembaga keuangan lainnya yang tidak mendukung. Kesulitan memperoleh pinjaman di lembaga keuangan formal akan mendorong mereka untuk meminjam uang dari rentenir dengan tinggi bunga lebih tinggi dan dengan jadwal pembayaran yang tidak realistis. Akibatnya kaum precariat kerap terjerat hutang yang kronis.

Bersambung ke
Bagian 3: Jebakan Precariat

----------
Referensi:

Standing, Guy (2011). The Precariat: The New Dangerous Class. Bloomsbury, London.