Baca

Baca

Kamis, 14 Agustus 2014

"Sindrom Pra dan Pasca-Pemilu"


Sindrom Pra dan Pasca-Pemilu

Candra Kusuma

Mungkin nggak suatu peristiwa politik tertentu bisa mempengaruhi kondisi psikologis seseorang?  Kalau iya, bisa nggak gangguan psikologis akibat peristiwa politik itu juga dialami oleh banyak orang, sehingga tidak lagi hanya menjadi masalah individual tetapi juga menjadi masalah sosial? Kayaknya memang bisa begitu ya. Manusiawi banget orang bisa mengalami gangguan jiwa (ringan ataupun berat) akibat kecewa, sedih, dll. Kalau orang patah hati aja bisa galau, politisi gagal pasti juga bisa stress kan…?

Peristiwa politik seperti Pemilihan Umum (Pemilu, di dalamnya termasuk Pilkada, Pileg dan Pilpres) yang melibatkan banyak orang dan diliput media massa secara luas, kayaknya bisa jadi juga dapat mempengaruhi kondisi psikologis dan kesehatan mental banyak orang. Kita bisa baca, dengar dan lihat dari media massa dapat diketahui banyaknya kasus politisi (dari tingkat desa, kabupaten/kota provinsi sampai tingkat nasional), tim sukses atau para pendukung fanatik yang mengalami stres, gangguan pikiran dan suasana hati atau perubahan perilaku akibat terlalu terlibat dalam proses politik tersebut.

Political Stress Syndrome

Sebagian orang menyebut kondisi gangguan kejiwaan (psychiatric disorder) tersebut sebagai Political Stress Syndrome (PSS). Istilah ini --dan beberapa istilah turunannya berikutnya-- bisa jadi memang bukan (atau belum?) jadi istilah ‘resmi’ dalam disiplin psikologi, dan lebih sebagai istilah yang populer di kalangan jurnalis, penulis media/blog dan pengamat serta aktivis sosial/politik saja.

Political Stress Syndrome yang terkait dengan Pemilu bisa dibagi dua:

(1)    Sindrom Pra-Pemilu

Pernah merasa muak dan sebel denger atau nonton berita kampanye Pemilu kemarin? Pernah meng-unfriend, di-unfried sama temen di media sosial yang marah gara-gara sering mostingin atau dipostingin berita kampanye Pemilu?  Kalau pernah, itu kemungkinan ada hubungannya dengan sindrom yang oleh sebagian orang disebut sebagai Pre-Election Stress Syndrom (PrESS).

Gejala permukaannya (bukan diagnosis langsung sama psikolog/psikiater sesungguhnya lho…) yang bisa dilihat orang awam, seperti:
  • Kekhawatiran atau kecemasan bila terkena imbas kampanye (mendengar/melihat informasi seputar kampanye, melihat media kampanye Pemilu, dll.);
  • Atau sebaliknya menjadi terlalu asyik dan menjadi terlalu terlibat dengan kampanye politik, dan kesulitan untuk mengambil jarak dari proses kampanye politik;
  • Perasaan kelelahan jika mendengar atau terlibat dalam pembicaraan politik, dan menjadi merasa kurang tertarik untuk terlibat dalam Pemilu (misalnya, menjadi sangat frustrasi dan tidak lagi ingin memberi suara dalam Pemilu);
  • Merasa kecewa, jijik, atau depresi terhadap: (a) Keadaan negara; (b) Integritas rakyat; atau (c) Masa depan diri sendiri;
  • Keinginan untuk menghabiskan waktu berlibur di negara lain selama masa Pemilu dan jauh dari berita dan pembicaraan politik. (Lihat http://www.drstephaniesmith.com/pre-election-stress-disorder-do-you-have-it/ )

(2)    Sindrom Pasca-Pemilu

Sebagian orang menyebut sindrom pasca-Pemilu ini sebagai Post-Election Stress Syndrom (PoESS). Tapi, ternyata ada banyak sekali istilah yang digunakan para penulis terkait sindrom tersebut, diantaranya: Post-Election Stress (PES); Post-Election Syndrome (PES); Post-Election Depression (PED); Post-Election Stress Syndrome (PESS); Post-Election Loss Syndrome (PELS); Post-Election Depression Syndrome (PEDS); Post Election Traumatic Syndrome (PETS); Post-Election Selection Trauma (PEST); Post-Election Stress Disorder (PESD); Post-Election Stress Syndrome (PESS); Post Election Selection Syndrome (PESS); Post-Election Withdrawl Syndrome (PEWS); Post-Election Stress and Trauma Syndrom (PESTS); Post-Election Traumatic Stress Disorder (PETSD).

Sindrom ini tidak sebatas dialami oleh pihak yang kalah saja, tapi juga bisa terjadi di kubu yang menjadi pemenang Pemilu, meskipun kelihatannya memang lebih banyak dialami oleh kubu yang kalah tadi. Penyebabnya bisa sangat beragam, yang diantaranya: Merasa telah memenangi Pemilu, tapi kemenangan itu telah dicuri oleh pihak pesaing; Merasa menang, dan kemenangannya dicuri pihak pesaing politik; Kekecewaan karena angan-angan dan harapan mereka untuk memperoleh jabatan, kehormatan, gaji yang tinggi  dan fasilitas yang berlimpah tidak dapat dicapai; Ketidakpuasan dengan proses dan hasil Pemilu; Kesulitan menerima kemenangan pihak pesaing;  Keengganan menerima dan mengakui kekalahan; Dll.

Ekspresi dari sindrom pasca-Pemilu ini bisa jadi berbeda bentuk dan kadarnya pada tiap-tiap orang. Stress-nya seorang Calon Presiden yang kalah dalam Pilpres bisa jadi beda bentuknya dengan stress-nya Calon Kepala Desa yang gagal atau sekedar pendukung ‘fanatik’ yang cuma aktif di media sosial saja. Meskipun istilah yang digunakan juga sangat beragam, namun semuanya memiliki kemiripan karena merujuk pada sejumlah gejala (symptoms) yang di dalamnya termasuk --tapi tidak terbatas pada--:

--> Perasaan tertekan dan kosong setelah hari pencoblosan; sibuk membuka link internet tanpa tujuan, mencari-cari sesuatu yang tidak jelas; merasa lelah tanpa sebab yang jelas; menarik diri; merasa tidak peduli; merasa terganggu melihat simbol-simbol kampanye Pemilu; perasaan terisolasi; marah; emosional dan kepahitan; kebencian; bicara kasar, agresif atau pasif-agresif; berkomentar sembarangan yang bernada menghina atau merendahkan pihak ‘lawan politik’ di media sosial; melamun; kehilangan nafsu makan; sulit tidur; mimpi buruk; kemurungan mendalam termasuk merajuk tak berujung; menjadi terlalu khawatir tentang arah dan masa depan negara; merasa kehilangan harga diri; dll. Dalam skala yang akut, sindrom dapat berupa dorongan melakukan bunuh diri, melakukan amuk publik (public tantrums), atau menghasut orang lain untuk berbuat kerusuhan, dll.

Bisa dibilang bahwa yang terjadi mirip dengan efek ‘pasca-pesta’ yaitu perasaan sepi setelah secara tiba-tiba semua histeria, keramaian, kehebohan, kegaduhan, dan ketegangan mereda atau usai, dan harus menerima realitas dan kembali melanjutkan hidup. Orang atau individu yang terkena sindrom ini kemungkinan dapat terlibat dalam kegiatan irasional impulsif, yang akhirnya dapat menyebabkan terganggu bahkan hilangnya kehidupan sosial dan kehancuran ekonominya. Sementara kelompok masyarakat yang menderita sindrom ini juga dapat terjebak pada histeria massa, panik dan hiruk-pikuk kegilaan yang tindakannya mereka tidak dapat secara dijelaskan secara rasional, yang ujung-ujungnya juga dapat menimbulkan kerusakan yang luas dan susah dikendalikan (lihat http://worldnewsvine.com/2013/08/raila-suffering-from-acute-post-election-loss-syndrome/).

Sindrom macam begini kayaknya terjadi di semua negara ya. Media di Taiwan melaporkan terjadinya peningkatan yang tidak biasa sebanyak 10% pada pasien yang mengalami depresi atau kecemasan pasca-Pemilu tahun 2004.  Para dokter di sana menyimpulkan bahwa para penderita mengalami "gangguan penyesuaian" yaitu, tekanan mental yang disebabkan oleh gangguan dalam pandangan seseorang tentang realitas. Pemilu bagi para politisi dan pemilih di Taiwan taruhannya memang selalu tinggi, yaitu kelangsungan hidup pemerintah, kelangsungan hidup partai politik, dan ancaman konflik dari hubungan Taiwan dengan China yang memang masih selalu tegang (lihat http://atimes.com/atimes/China/FL01Ad03.html). Sementara pasca-Pemilu tahun 2008 di Malaysia, banyak warganya yang mengaku kesulitan untuk kembali ke rutinitas harian mereka. Bahkan, banyak diantaranya yang mengaku sudah merasa cemas untuk menyambut Pemilu berikutnya (lihat http://www.mysinchew.com/node/64068).

Kasus serupa juga terjadi di Kenya. Pasca-Pemilu di Kenya 2007-2008 juga dilaporkanya banyaknya politisi yang mengalami sindrom ini, sampai harus menerima pengobatan dan perawatan rumah sakit. Dalam kasus yang ekstrem bahkan dapat berakibat pada munculnya kesakitan dan kematian yang tak terjelaskan, serta reaksi-reaksi tak rasional yang ditunjukkan oleh para politisi dan pendukung fanatiknya yang kalah dalam Pemilu (election losers’ illnesses and irrational post-election reactions). Di negara-negara Afrika, sindrom tersebut diyakini sebagai pemicu dari meningkatnya kekerasan, gelombang petisi atau gugatan ke pengadilan pasca-Pemilu, dan bahkan kudeta, khususnya oleh pihak militer (lihat http://worldnewsvine.com/2013/08/raila-suffering-from-acute-post-election-loss-syndrome/).

Gangguan kejiwaan akibat Pemilu juga dialami oleh politisi dan para pendukungnya di Amerika Serikat. Pasca-Pemilu Presiden tahun 2004 banyak pendukung Calon Presiden John Kerry yang juga merasa mengalami sindrom tersebut. Menurut American Health Association (AHA), gejala yang dilaporkan mirip dengan gangguan stres pasca-trauma. Meskipun ada sebagian analis lain kurang setuju penggunaan istilah trauma –yang terkait dengan gangguan psikologis yang mendalam dan berimplikasi kompleks--, dan lebih memandang kondisi tersebut sebagai kesedihan dan kecemasan yang bersifat sementara saja. Karenanya para terapis (psikolog dan psikiater) di AHA kemudian memberikan kesempatan konsultasi gratis bagi siapapun yang merasa mengalami ‘post-election selection trauma.’ Reaksi AHA tersebut dipicu oleh adanya kasus bunuh diri yang diduga terkait dengan kekalahan Kerry dalam Pilpres tersebut. Gangguan psikologis tersebut tetap perlu disembuhkan melalui konsultasi dan pendampingan, namun diyakini akan menghilang seiring para pendukung politisi yang kalah tersebut mulai dapat menerima realitas politik yang ada (lihat http://www.freerepublic.com/focus/fr/1300571/posts). (Catatan: Ulasan tentang reaksi psikologis pasca-Pemilu yang perspektif dari teori Elisabeth Kübler-Ross tentang empat tahap kesedihan diantaranya lihat http://haicandra.blogspot.com/2014/07/pilpres-2014-denial-anger-bargaining.html).

Namun demikian, selain Post-Election Stress Syndrom (PoESS) yang identik dengan kondisi yang dialami kubu yang kalah dalam Pemilu, ada pula dikenal sindrom lain yang umumnya diidap oleh pihak pemenang, yaitu  Post-Election Victory Syndrome (PEVS). Sindrom ini mewujud dalam perilaku ‘merasa penting, superior dan berkuasa’ (sense of self-importance, superiority complex, newly found aura of confidence and ungrounded sense of power) (lihat http://worldnewsvine.com/2013/08/raila-suffering-from-acute-post-election-loss-syndrome/). Namun sindrom yang paling parah di kalangan pemenang Pemilu ini sesungguhnya adalah ‘Sindrom Lupa Janji’ yang pernah digembar-gemborkan sebelumnya pada saat kampanye Pemilu.

Bagaimana di Indonesia?

Persaingan dan kegaduhan politik selama Pilpres 2014 di Indonesia saat ini juga dapat memicu persoalan kejiwaan. Bahkan sebelum hari pencoblosan 9 Juli 2014 lalu, Kementerian Kesehatan RI juga sudah memprediksi bahwa jumlah orang yang mengalami gangguan jiwa atau setidaknya mengalami gejala  stres ringan bertambah. Stres  itu kemungkinan akan terjadi pada orang  yang ikut atau terlibat dengan terlalu  memikirkan masalah Pilpres (lihat http://www.republika.co.id/berita/Pemilu/berita-Pemilu/14/07/09/n8fjvt-pilpres-membuat-penderita-). Masalahnya, sindrom ini dapat terjadi pada semua orang, dari mulai cuma para penggembira di sosial media sampai dengan para  Calon Presiden dan Wakil Presiden itu sendiri.

Sebelumnya berkenaan dengan Pemilu Legislatif 2014 juga banyak diberitakan mengenai Calon Legislatif yang stres akibat tidak terpilih, merasa kecewa dan dikhianati oleh orang/pihak yang sebelumnya berjanji mendukungnya namun tidak terbukti. Selain itu stress juga akibat banyaknya hutang biaya kampanye dan janji ke banyak pihak yang sulit mereka penuhi. Peluang stress lebih besar terjadi pada Caleg yang baru pertama kali mencalonkan diri dalam Pemilu (lihat http://health.kompas.com/read/2014/04/08/1359548/Kalah.Pemilu.Caleg.Berpotensi.Stres.dan.Gangguan.Jiwa). Pakar Kejiwaan Prof. Dadang Hawari memprediksi jumlah calon legislatif (caleg) yang mengalami gangguan jiwa pada Pemilu Legislatif 2014 April lebih banyak dibandingkan Pemilu 2009 (lihat http://www.gatra.com/lifehealth/sehat-1/48540-diprediksi-banyak-caleg-alami-gangguan-kejiwaan-di-Pemilu-2014.html).

Dari pengalaman pasca-Pemilu 2009, ada cukup banyak Caleg yang dirawat di rumah sakit (jiwa), di tempat-tempat pengobatan tradisional, dan panti rehabilitasi mental karena mengalami gangguan jiwa (lihat http://pelita.or.id/baca.php?id=68604).  Dari data yang dikeluarkan oleh kementrian Kesehatan (kemenkes) pada Pemilu 2009 lalu kurang lebih ada 7.736 Caleg yang mengalami gangguan jiwa berat alias gila. Sebanyak 49 orang Caleg DPR, 496 orang Caleg DPRD Provinsi, 4 Caleg DPD dan 6.827 orang Caleg DPRD Kabupaten/Kota. Sementara untuk Pemilu Legislatif 2014, dr. Teddy Hidayat, psikiater yang juga Ketua Penanggulangan Narkoba RS Hasan Sadikin Bandung, meramalkan jumlah caleg yang stres akan mencapai 30%. Menurutnya,  baik Caleg yang terpilih maupun gagal sama berpeluang untuk mengalami stress (lihat http://www.gatra.com/lifehealth/sehat-1/48540-diprediksi-banyak-caleg-alami-gangguan-kejiwaan-di-Pemilu-2014.html).

Sindrom ini umumnya telah diabaikan oleh para ilmuwan sosial, psikiater dan psikolog, karena takut dan kurangnya minat dalam mempelajri perilaku politik pemain kunci dan dampak sosial dari dinamika politik nasional. Dampaknya adalah bahwa sebagian besar rakyat hanya menjadi korban dari persaingan kepentingan politik individu/politisi, dan negara mereka berubah menjadi ladang pertempuran untuk memenuhi citra diri pribadi, harga diri dan gelembung ego (lihat http://worldnewsvine.com/2013/08/raila-suffering-from-acute-post-election-loss-syndrome/).

Situasi paling akhir dari sengketa hasil Pemilu Presiden 2014 saat ini adalah masih dalam tahap persidangan di Mahkamah Konstitusi. Kelihatannya masih banyak pihak yang sejauh ini masih dirundung sindrom pasca-Pemilu, baik Post-Election Loss Syndrome (PELS) maupun Post-Election Victory Syndrome (PEVS). Semoga saja tidak menjadi bertambah akut dan bisa segera pulih ya. Dan semoga bisa seperti di beberapa negara lain yang ada fasilitas gratis untuk konsultasi dan pendampingan kalau ada anggota masyarakat yang merasa terkena sindrom politik macam ini. Semoga pula masalah psikologis yang dialami individu-individu tidak berakumulasi menjadi masalah sosial yang meluas. Masalah akan menjadi lebih rumit jika para pemimpin politik yang terkena sindrom politik ini, justru secara sadar atau tidak malah ‘menularkan’-nya kepada para pendukungnya. Seperti orang bilang, ‘ikan busuk mulai dari kepalanya,’ dan sebaliknya, ‘kebaikan dimulai dari teladan para pemimpinnya.’

Pada akhirnya kuncinya memang hanya satu: gimana kubu yang kalah ya bisa realistis dan ngaku kalah, dan kubu yang menang juga nggak jumawa…  Dan yang paling penting dari itu semua adalah, gimana agar yang jadi pemenang tidak lupa dan serius mencoba merealisasikan semua janji kampanye mereka tentunya… :)

Disclaimer:
Saya bukan psikolog atau psikiater. Tulisan ini hanya kompilasi dari beberapa sumber di internet.

----------------------------------
Sumber:

http://pelita.or.id/baca.php?id=68604

http://www.republika.co.id/berita/Pemilu/berita-Pemilu/14/07/09/n8fjvt-pilpres-membuat-penderita-

http://www.drstephaniesmith.com/pre-election-stress-disorder-do-you-have-it/