Baca

Baca

Sabtu, 21 November 2015

"Filsafat Intelijen Indonesia: Diantara Pancasila, Velox, Exactus, Tumultus dan Iustitium"


Candra Kusuma

Harian KOMPAS tanggal 13 November 2015 menurunkan berita bahwa Kementerian Pertahanan tengah menyusun kurikulum pendidikan Bela Negara. Tiga hal utama yang akan dimasukkan ke dalam kurikulum tersebut, yaitu: (1) Bidang Studi Dasar, yang mencakup materi tentang ketatanegaraan seperti wawasan kebangsaan, sistem ketahanan semesta, dan kepemimpinan; (2) Intelijen Dasar, yang mencakup pendidikan dalam hal kemampuan mengumpulkan dan melaporkan informasi, termasuk teknik menyusun laporan intelijen; (3) Konten Lokal, yang muatannya disesuaikan dengan karakteristik peserta dan lokasi yang diajarkan.

Membaca berita tersebut, saya lantas segera teringat pada satu buku yang ditulis oleh Abdullah Makhmud Hendropriyono --atau lebih dikenal dengan nama A.M. Hendropriyono, selanjutnya agar ringkas saya singkat saja menjadi AMH-- pada tahun 2013 yang kebetulan juga diterbitkan oleh KOMPAS, berjudul  Filsafat Intelijen Negara Republik Indonesia.[1] Waktu itu saya beli buku ini semata karena didorong oleh rasa penasaran. Di sampul bagian belakang buku ini AMH meng-klaim bahwa selain negara-negara komunis, tidak ada negara lain selain Indonesia yang memiliki filsafat intelijen. Bahkan tidak ada buku lain yang berjudul ‘filsafat intelijen.’ Bisa jadi benar, karena penelusuran di internet memang tidak ada buku lain baik di dalam maupun luar negeri yang berjudul demikian.

Intelijen

AMH mengutip teori Ludwig Wittgenstein (1885-1951) yang menyebutkan bahwa istilah ‘intelijen’ (intelligence) berasal dari kata ‘intelijensia’ yang berarti kecerdasan yang tinggi. Karena itu, agen intelijen mestilah orang-orang yang mempunyai pikiran atau akal yang tajam. Intelijen terkait erat dengan informasi dan pengetahuan, di mana intelijen berbasis pada epistemologi sosial yang memandang pengetahuan sebagai produk dari praktik sosial (h.26).

Menurut AMH, istilah ‘intelijen’ mencakup pengertian yang sangat luas, dalam banyak kegiatan dan berlangsung terus menerus. Kata ‘intelijen’ dapat merujuk pada pelaku (orang, lembaga), pekerjaan, kegiatan, dll. Intelijen dapat dimaknai sebagai subjek, ilmu, metode, dan sekaligus juga objek. Karenanya cakupan intelijen juga sangat luas, di mana ada beragam jenis intelijen, contohnya: intelijen pertahanan; militer; kepolisian/kriminal; ekonomi dan perdagangan, marketing/pemasaran, imigrasi dan kependudukan, kejaksaan, moneter dan keuangan, fiskal dan perpajakan; bea dan cukai; media massa; ideologi, politik, doktrin dan pendidikan; diplomatik; kesehatan; nuklir, biologi, kimia dan radio aktif; seni budaya; penerbangan dan luar angkasa; teknologi dan dunia maya; dll. (h.28-29)

AMH menyebutkan, bahwa terdapat perbedaan pengertian antara intelijen negara (state intelligence) dan intelijen nasional (national intelligence), yang berkaitan dengan lingkup sasaran yang ingin dicapai. Intelijen negara RI adalah menjaga pertahanan dan keamanan dan mendukung fungsi negara dalam pembangunan, dengan cara menjalankan operasi intelijen negara dengan siasat yang brilian dan berkeadaban (h.5). Sasaran intelijen negara terbatas pada pertahanan dan keamanan saja, sementara sasaran dari intelijen nasional lebih luas mencakup ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya termasuk aspek pertahanan-keamanan tadi (h.10-11).

Selain itu dapat dibedakan pula antara intelijen militer dan nonmiliter. Fungsi utama intelijen militer terutama dalam keadaan perang, untuk mempertahankan atau merebut ‘teritori fisik’ (territorial/wilayah) tertentu, dalam situasi konflik eksistensial membunuh atau dibunuh. Karena doktrin militer terhadap musuh (personel tempur atau kombatan) adalah: cari, kejar dan hancurkan, maka watak intelijen militer adalah berupaya mencari informasi sebanyak-banyaknya untuk menemukan musuh, menghambat serangan musuh dan melumpuhkan atau menghancurkan musuh, dengan tujuan untuk memenangkan pertempuran. Dalam intelijen militer lebih banyak dibenarkan penggunaan cara-cara kekerasan yang nyaris terlarang untuk digunakan dalam pelaksanaan fungsi intelijen nonmiliter.

Sementara, intelijen nonmiliter fokusnya adalah untuk memperoleh informasi yang bersifat strategis bagi terlindunginya ‘teritori nonfisik’ (ipoleksosbud).  Pihak musuh adalah nonkombatan, seperti pengusaha agen asing, ilmuwan agen asing, yang berupaya menggerogoti kedaulatan ideologi, politik, ekonomi, sosial atau budaya sebuah bangsa. Musuh merupakan ‘medan kritis’ (tempat atau sesuatu yang menguntungkan jika dapat dikuasai), sebagai sumber informasi yang penting dan harus diselamatkan agar tetap berguna jika dapat dikuasai. Situasinya bukan konflik eksistensial, sehingga tujuannya adalah untuk menguasai musuh (friendly enemy). Fungsi intelijen nonmiliter adalah memberi dukungan terhadap pengguna (user) dengan info yang bersifat intelijen (yaitu info yang telah diolah dan benar) untuk memenangkan kompetisi, persaingan ataupun kehendak (h.12-14).

Dengan keragaman tersebut, juga ada perbedaan terkait agen intelijen yang terlibat. Menurut AMH, agen intelijen ada dua jenis, yaitu agen intelijen organik dan agen intelijen non-organik. Di Indonesia, agen intelijen organik diperoleh dari Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) dan Institut Intelijen Negara (IIN). Ada juga direkrut agen intelijen non-organik dari kalangan mahasiswa, birokrat, pengusaha, wartawan, aktivis, pengamat, dan kalangan professional. Selain itu, khususnya di Badan Intelijen Negara (BIN) juga didukung oleh Dewan Analis Strategis (DAS) yang personilnya adalah para mantan menteri, duta besar, dirjen, dll. JIka di BIN para Deputi bertugas melakukan analisis dan menghasilkan produk intelijen berdasar data dari publik berupa perkiraan intelijen (Kirintel), maka DAS bertugas memberikan menghasilkan ramalan data perkiraan intel strategis (Kirintelstra) bagi Kepala BIN (h.16-19)

Filsafat Intelijen

Secara teoritis, filsafat dapat dilihat dari dimensi ontologis, epistemologis, aksiologis dan etika. Pemaknaan ontologis tentang intelijen adalah pembacaan tentang intelijen dan segala siasatnya, dalam disiplin filsafat negara (h.10). Dimensi ontologis intelijen (keberadaan intelijen itu sendiri) diibaratkan sebagai otak dan pancaindera dari tubuh manusia. Dalam bukunya tersebut, AMH berulang-ulang menegaskan bahwa prinsip dan karakteristik dari institusi dan operasi intelijen di dunia --termasuk di Indonesia-- sebagai sifat dari ontologis intelijen ini  adalah Velox (dari bahasa Latin, artinya ‘kecepatan’) dan Exactus (‘keakuratan’). Artinya intelijen harus mampu secara cepat mendeteksi setiap potensi ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan (ATHG), dan mampu bertindak akurat untuk mencegah, mengeliminir atau bahkan menghancurkan ancaman tersebut (h. 64, 96, 188, 189).[2]

Epistemologi atau filsafat pengetahuan intelijen adalah bersifat ‘deteksi dini’  dan hasilnya adalah ‘peringatan dini’ dan tindak lanjutnya adalah ‘cegah dini’ (h.191). Epistemologi intelijen adalah kebenaran yang bersandar pada ilmu pengetahuan (science) dan menolak metafisika. Kebenaran dalam intelijen ditentukan oleh tinggi rendahnya derajat kebenaran yang dikandung oleh sumber pengetahuan tersebut. AMH memberi contoh: informasi dari agen yang ditanam di kelompok teroris memiliki derajat kebenaran tertinggi (nilai A), sementara informasi dari informan derajatnya lebih rendah (nilai B atau C), dan informasi dari sumber lain seperti diluar kelompok teroris itu, misalnya dari pengamat, derajat kebenarannya lebih rendah lagi (nilai C atau D). Menurut AMH, kebenaran sumber pengatahuan intelijen harus berkorespondensi dengan pengetahuan yang telah disampaikannya, dan harus koheren atau diperkuat dengan kebenaran sebelumnya. Karenanya semua pengetahuan intelijen harus dapat diverifikasi secara empirik (h.193).

Pengetahuan dan kebenaran intelijen diperoleh melalui penarikan kesimpulan dari sederet informasi yang diterima. Penarikan kesimpulan intelijen tidak dapat dilakukan secara induktif, seperti halnya dalam metode penelitan ilmiah di dunia akademis pada umumnya. Sebabnya adalah karena intelijen tidak dapat mengumpulkan bukti-bukti khusus secara signifikan dalam waktu yang terbatas, sementara persoalan yang ada harus segera dianalisis, disimpulkan dan ada solusinya.

Proses penarikan kesimpulan intelijen menggunakan ‘logika penyimpulan’ menuju penjelasan terbaik (inference to the best explanation), yang berangkat dari premis yaitu proposisi mengenai hasil observasi intelijen mengenai kondisi atau kenyataan tertentu. ‘Penjelasan’ adalah klaim mengenai “mengapa sampai muncul kondisi atau kenyataan itu?.” Penyimpulan menuju penjelasan terbaik tadi tidak bersifat absolut, tetapi dapat memberikan argumentasi yang paling kokoh, setidaknya untuk sementara. Pola penyimpulan ini mirip dengan penalaran ‘induktif enumeratif’ dan ‘induktif analogis.’ AMH memberi contoh pola penalaran ‘induktif enumeratif’: “Jika X persen anggota grup A memiliki properti B; maka X persen semua anggota grup A kemungkinan besar memiliki properti B.” Contoh pola ‘induktif analogis’: “Jika benda A memiliki properti P1, P2, P3 dan P4; dan benda B memiliki properti P1, P2, dan P3; maka benda B kemungkinan besar memiliki properti P4.” Sementara pola penyimpulan menuju penjelasan terbaik, contohnya adalah: “Ada fenomena Q; di mana E memberi penjelasan terbaik tentang Q; maka kemungkinan besar E adalah benar” (h.194-195).

Sementara dimensi aksiologis dalam intelijen adalah berupa tindakan atau operasi intelijen yang menggunakan berbagai bentuk dan tingkatan power (kekuatan atau kekuasaan). Dalam dunia militer dan politik dikenal adanya tiga jenis kekuatan atau kekuasaan, yaitu: (a) Kekuasaan keras (hard power), dengan menggunakan kekuatan fisik militer, kepolisian, kejaksaan dan pengadilan; (b) Kekuasaan lunak (soft power), berupa kekuasaan untuk mempengaruhi dan meyakinkan (the power to persuade), yang umumnya berkenaan dengan dunia gagasan, nilai-nilai, pendidikan, budaya, agama dan musik; (c) Kekuasaan cerdas (smart power), berada diantara hard power dan soft power, yang pada umumnya berupa tindakan memberi imbalan uang, barang, keuntungan materi, pangkat dan jabatan (h.42-43)

AMH juga menyebutkan bahwa secara umum ada tiga fungsi intelijen, yang merupakan wujud dari unsur aksiologis intelijen, yaitu: (a) Penyelidikan (detection) berupa kegiatan pengumpulan keterangan-keterangan, terutama mengenai keadaan dan tindakan apa yang akan dilakuka pihak lawan, yang setelah diolah dan dinilai dinamakan ‘intelijen’; (b) Pengamanan (security) terhadap personil, material dan keterangan (termasuk dokumen), yaitu kegiatan melindungi, mengurangi potensi gangguan dan membatasi ruang gerak dan kesempatan lawan. Pengamanan juga untuk mencegah pihak lawan dapat mengetahui keadaan dan rencana pihak kita. Ada tindakan pengamanan aktif (contra intelligence) dan pengamanan pasif (seperti dengan kamuflase atau penyamaran); (c) Penggalangan (conditioning). Ada dua jenis. Pertama, ‘operasi penggalangan keras’ berupa serangan bersenjata, teror, penculikan, sabotase dan subversi. Ada juga ‘operasi penggalangan cerdas’ atau operasi psikologi (Perang Urat Syaraf/PUS), yang sifatnya lebih untuk mempengaruhi dan mengubah persepsi orang/pihak lain sesuai keinginan kita (h.39-41; 207-208). Menurut AMH, pada masa perang melawan teror saat ini, senjata yang paling ampuh adalah dengan penggalangan, yang harus dilakukan dengan cepat, tepat dan senyap (h.163).

Operasi-operasi intelijen yang disebutkan AMH tadi dibedakan menjadi dua, yaitu: (a) Operasi intelijen dengan sasaran luar negeri atau negara musuh, menggunakan pendekatan keras dan kadang didukung pendekatan lunak dan cerdas. Operasi pengalangan keras seperti teror, pembunuhan (assassination) dan sabotase, termasuk adu domba dan rekayasa. Di Indonesia, operasi intelijen strategis (Ops. Intelstrat) ditangani oleh Pasukan Sandi Yudha (Passandha) dalam Komando Pasukan Khusus (Kopassus); (b) Operasi intelijen dengan sasaran dalam negeri, yaitu warga negara yang menjadi agen atau mata-mata musuh. Di Indonesia, operasi intelijen dalam negeri ini dijalankan oleh intelijen kepolisian/reserse, yang khusus untuk terorisme dibantu oleh Bais TNI dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Metode yang digunakan dengan pendekatan cerdas (seperti upaya pendidikan untuk deradikalisasi) dan pendekatan lunan (seperti membantu memenuhi kebutuhan hidup, dll.). Namun jika diperlukan juga digunakan pendekatan keras, yang dilakukan oleh Densus 88 (h.29-31). Langkah pencegahan dan penanggulangan aksi intelijen disebut operasi kontra-intelijen (counter intelligence operations). Intelijen dalam negeri ini umum juga disebut intelijen territorial. Menurut AMH:

Intelijen territorial juga kerap berfungsi mencegah meluasnya penyebaran kebencian (spreading hatred) dalam masyarakat oleh intelijen musuh, yang biasanya melakukan propaganda dan agitasi yang bersifat menghasut. Musuh dalam intelijen militer pada umumnya bukan bangsa asing saja, tetapi juga oknum-oknum bangsa sendiri yang menjadi kaki tangan mereka. Dalam sejarah perjuangan bangsa-bangsa di dunia, mereka biasa disebut sebagai pengkhianat negara…” (h.39)

AMH juga memaparkan bahwa dalam dunia intelijen secara umum dikenal tiga metode, yaitu: (a) ‘Metode Putih’ atau disebut aksi terbuka. Dalam intelijen negara biasanya dilakukan oleh kalangan diplomat di negara tempat mereka ditugaskan. Sementara dalam intelijen musuh umumnya menggunakan tangan wartawan, yang baik sadar atau tidak menulis berita tertentu yang diinginkan oleh musuh, contohnya berita tentang terorisme yang justru turut menyebarkan ketakutan di masyarakat.  Atau memang wartawan yang memang telah dibina menjadi agen intelijen, karena media massa dipandang sebagai titik kritis (critical point), artinya dapat memberikan keuntungan bagi siapapun yang menguasainya (h.70). Termasuk dalam hal ini kalangan NGO yang dapat dipengaruhi dan/atau digunakan musuh untuk mengangkat isu tertentu yang menguntungkan musuh; (b) ‘Metode Hitam’ atau aksi tertutup, adalah operasi rahasia, yang dilakukan secara diam-diam dan tidak diekspose ke publik; (c) ‘Metode Kelabu’ yang menggabungkan aksi terbuka dan tertutup. Seperti kelompok bersenjata atau teroris (metode putih) yang juga melakukan gerakan bawah tanah (metode hitam) atau klandestin (clandestine). Intelijen yang melakukan penyergapan dan sekaligus melakukan upaya penggembosan kelompok bersenjata juga dapat dikatakan menggunakan metode ini (h.35-36). Kombinasi dari metode putih, hitam, abu-abu, resmi, illegal, terbuka ataupun senyap sangat umum digunakan dalam dunia intelijen (h.37).

Filsafat Intelijen Berasas Pancasila

Terkait dengan fungsi intelijen tersebut, menurut AMH, filsafat intelijen negara RI bukanlah merupakan cabang dari ilmu filsafat yang berlaku universal, namun suatu dasar pijakan moral untuk beroperasi di bawah berbagai macam bentuk kekuasaan politik (h.4).

AMH berpendapat bahwa sebagai intelijen dari negara yang berfilsafat Pancasila, maka intelijen negara RI adalah intelijen Pancasila, bukan intelijen yang bebas dari nilai dasar (value free). Pancasila sebagai filsafat negara menjadi panduan moral bagi filsafat dan siasat intelijen negara RI, yang tertuang dalam kebijakan dan strategi serta “Pola Operasi Intelijen” (taktik dan teknik intelijen) (h.4, 7).

Secara epistemologis, intelijen negara RI merupakan derivasi dari Pancasila, bukan hanya sekedar  dari perspektif Pancasila. Dengan berpedoman pada filsafatnya itu sendirilah, maka intelijen negara RI sekaligus juga mengandung makna sebagai intelijen nasional, yang tidak hanya berfungsi di bidang pertahanan-keamanan saja (h.7-8).

Dalam melaksanakan norma-norma hukum, intelijen tetap harus terikat juga pada norma moral dan etika (h.47). Nilai dasar intelijen negara adalah perasaan untuk bisa merasa, berempati dan tidak menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya (h.54). AMH berpendapat, bahwa intelijen Indonesia juga harus menghormati HAM, terlebih karena sejak tahun 2006 Indonesia sudah menjadi anggota Dewan HAM PBB. Konsekuensinya, intelijen harus bekerja dalam koridor penghormatan terhadap HAM (h.64). Pendekatan kekerasan merupakan teori intelijen yang sudah lapuk (h.45).

Teori intelijen di negara Pancasila, bukan teori intelijen yang berlaku di negara-negara totaliter yang bersifat Machiavelistik. Operasi intelijen di dalam negeri, tidak membenarkan fungsi-fungsi intelijen yang berpendekatan kekerasan. Intelijen telah terbukti dapat menuai hasil yang jauh lebih baik, tanpa harus menyiksa orang yang menjadi sasarannya atau membuat derita keluarga mereka” (h.47)

AMH tidak menampik bahwa praktik intelijen negara di Indonesia kerap kali dipersepsikan sebagai sesuatu yang “hampa nilai.” Artinya, praktik intelijen dikira dapat menghalalkan segala cara, demi tercapainya sebuah tujuan. Tujuan itu sendiri dibiarkan tak terperiksa sehingga rentan untuk ditunggangi kepentingan sektoral, kelompok atau pribadi (h.57).

Absennya basis etis bagi intelijen demikian membuat praktik intelijen seringkali disebut “intelijen-hitam” (bukan metode hitam). Intelijen hitam adalah operasi yang dilakukan tanpa otorisasi (self-tasking) maupun kontrol dari otoritas intelijen. Kegiatan ini dilakukan secara individual, bersifat partisan dan tidak disertai adanya rules of engagement sebagaimana seharusnya mekanisme dan prosedur intelijen.” (h.57-58)

AMH menyebut “praktik intelijen negara yang tidak terikat pada moral Pancasila, merupakan praktik intelijen yang liar” (h.26). Menurutnya, teori intelijen yang liar, yaitu intelijen yang bebas liar, merupakan akar penyebab terjadinya berbagai penyimpangan dalam praktik intelijen (h.45-46). Praktek semacam ini justru akan melemahkan intelijen. Memandulkan intelijen adalah melakukan aksi intelijen tanpa menggunakan intelijen, contohnya adalah penggunaan Operasi Khusus (Opsus) pimpinan Ali Murtopo dalam kasus Komando Jihad (h.52).

Filsafat intelijen negara juga mengandung nilai-nilai dasar bagi kontra-intelijen, untuk menghindarkan dirinya secara permanen dari serangan intelijen musuh dan praktik intelijen liar pihak sendiri. Praktek intelijen liar terhadap pihak sendiri tersebut merupakan predator, bagi eksistensi intelijen negara Republik Indonesia yang bersendikan Pancasila.” (h.214)

Karenanya, intelijen Indonesia juga harus memiliki legitimasi dan sesuai dengan koridor hukum dalam segala tindakannya. Karena menurutnya, di negara-negara maju sekalipun, ternyata hukum masih banyak dijadikan sebagai alat bagi pemerintah demi kepentingan kekuasaan politik (h.198). Karena itu AMH berpandangan bahwa:

Kegiatan intelijen yang legitimate bukan hanya harus berada di bawah payung hukum positif di suatu negara, tetapi juga harus berada di bawah payung yang lebih besar lagi, yaitu payung hukum moral. Payung hukum moral adalah etika… Etika umum membahas tentang prinsip-prinsip moral dasar, sedangkan etika khusus seperti etika intelijen… menerapkan prinsip-prinsip moral dasar tersebut di bidang intelijen.” (h.198)

Menurut AMH, moral adalah habitat intelijen negara RI, karena moral menilai apakah seorang intelijen baik atau buruk (h.200).

Kedaruratan dan ruang hampa hukum

Namun, sesuai dengan dimensi ontologis dan epistemologis dari intelijen itu sendiri, maka diyakini ada diskresi atau pengecualian tertentu yang ‘dibenarkan’ dalam dunia intelijen. Prinsip intelijen yang ‘menjunjung moral dan etika’ dapat berubah menjadi sangat ‘pragmatis.’ Karena, menurut AMH, aksiologi intelijen sesungguhnya merupakan nilai bagi suatu negara yang bersifat pragmatis (h.200). Dalam situasi semacam ini, hukum positif dapat dikesampingkan, sebab “mengandalkan intelijen semata-mata pada hukum positif dapat mereduksi kemampuan intelijen dalam melakukan deteksi dini, apalagi cegah dini terhadap bahaya yang mengancam masyarakat” (h.200). Menurut AMH, pragmatisme dalam intelijen ini adalah untuk kepentingan negara.

Dalam ranah hukum tidak pernah ada kompromi, karena yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah… Tetapi dalam konteks intelijen, kebenaran dam kesalahan kerap kali harus dapat dikompromikan demi mencapai tujuan… Sikap dasar intelijen yang mandiri di luar ranah hukum, tetapi tetap dalam ranah moral Pancasila… Pragmatisme dalam intelijen dapat lebih dimengerti, sebagai sifat yang mengedepankan kepentingan daripada hal-hal lainnya” (h.48)

Singkatnya, dalam kondisi darurat, maka hukum dan moral yang berlaku dalam situasi ‘normal’ menjadi tidak berfungsi, sehingga tercipta situasi atau ruang hampa hukum, di mana intelijen dimungkinkan untuk bersikap pragmatis dalam menyikapi situasi tersebut (h.54, 64). Namun disini AMH memberi catatan, bahwa pragmantisme ini adalah dalam konteks menghadapi musuh dari eksternal, karena intelijen Indonesia tidak boleh mengorbankan siapapun diantara rakyat sendiri (h.62).

Kedaruratan dapat memunculkan tindakan yang tidak masuk akal. Oleh karena itu, dalam suasana kedaruratan, hukum tidak lagi dikenal. Untuk mengatasi hal ini intelijen tidak perlu bergantung secara kaku pada hukum positif (iusconstitutum) yang dibuat untuk negara dalam keadaan normal. Dalam situasi chaos dan anarkis, yang diperlukan adalah kecepatan dan ketepatan dalam memutuskan dan bertindak untuk menyelamatkan manusia. Langkah demikian merupakan cikal bakal hukum baru, yang dapat langsung berlaku demi menyelematkan jiwa manusia. Keselamatan sesama manusia harus selalu lebih diutamakan, karena situasi darurat tidak mengenal hukum” (h.167).

Terkait dengan hal tersebut, AMH merujuk pada pandangan Santo Romano (hakim dari Italia di awal abad 20), yang menolak pendasaran kedaruratan pada hukum, karena kedaruratan adalah dasar hukum itu sendiri. Ungkapan “necessitas non habet legem” bermakna bahwa kedaruratan tidak mengenal hukum. Kedaruratan telah membuat hukumnya sendiri (h.203). Dalam hal ini, kedaruratan memiliki basis etika yang khusus yaitu utilitarianisme dengan prinsip yang berbunyi: “kebahagiaan terbesar adalah bagi sebanyak mungkin orang” (h.214).

Sejarah hukum mengenai kedaruratan ini dapat dilacak pada hukum bangsa Romawi, yang mengatur mengenai iustitium (keadaan hampa hukum) dan  tumultus (kedaruratan). Kedaruratan ini --dalam berbagai bentuk dan sebabnya-- merupakan keadaan yang pasti akan dialami oleh semua negara hukum manapun di dunia. Namun, sebagian besar negara modern saat ini tidak secara khusus mengatur soal kedaruratan dalam konstitusi mereka. Contoh negara yang mengatur soal itu dalam konstitusinya adalah Perancis (h.201-202). Dalam situasi yang ‘darurat’, tindakan pemerintah seperti membubarkan Parlemen, menindak tegas separatis dan teroris, atau lainnya tidak tergolong sebagai tindakan diktatorial karena dilakukan pada masa iustitium (h.203).

AMH mengutip Adian (2011) yang merujuk pandangan Derida, yang menyatakan bahwa ‘keadilan berjalan setapak di depan hukum tertulis.’ Karenanya menurut AMH, “kebenaran filosofis intelijen tidak selalu berdasarkan hukum” (h.194). Namun jika kemudian tindakan intelijen itu dianggap salah dan harus dihukum, maka itu adalah pengorbanan untuk kebaikan banyak orang.

Demi kesadaran moral dan hati nurani seorang warga negara yang bertanggung-jawab kepada keselamatan masyarakat, dalam prakteknya terkadang terpaksa harus “melanggar” hukum. Apabila karena pelanggaran itu intelijen yang bersangkutan harus dihukum, sama sekali tidak berarti intelijen itu buruk… Pengorbanan intelijen yang sampai menjadi seorang terhukum adalah semata-mata demi tercapainya tujuan hukum itu sendiri, yaitu menjamin keadilan untuk keselamatan, keamanan dan ketertiban semua orang.” (h.196)

Kesan pembaca awam

Buat saya, buku AMH ini cukup informatif, dan dapat memberi sedikit gambaran tentang dunia intelijen bagi orang awam seperti saya ini. Tapi saya juga tidak tahu pasti, apakah isi buku ini hanya merupakan ‘karya ilmiah’ dari AMH atau memang merupakan acuan dan cerminan dari institusi dan kerja intelijen negara di Indonesia.

Menyandingkan Pancasila dengan institusi dan operasi intelijen --yang kemudian melahirkan apa yang disebut AMH sebagai ‘filsafat intelijen berasas Pancasila’-- juga rasanya bukan hal yang aneh dan baru. Melabelkan semua hal yang dianggap benar, sah, penting atau nasionalistis dengan Pancasila sangatlah lazim dilakukan di Indonesia, khususnya oleh para pejabat sipil maupun militer yang dibesarkan di era Orde Baru.

Namun --sebagai orang awam-- saya menangkap kesan bahwa keberadaan dan praktik intelijen di Indonesia juga tidak berbeda dengan intelijen di negara lainnya. Asas dan koridor normatifnya bisa disebut apa saja --entah moral, kemanusiaan, HAM, Pancasila, hukum nasional, atau lainnya--, tapi semua itu akan dapat segera disisihkan ketika ada situasi yang dinilai sebagai kondisi darurat yang menciptakan kondisi hampa hukum dan menjadi pembenaran bagi intelijen untuk bertindak pragmatis, meskipun itu melanggar moral dan hukum yang berlaku di masa ‘normal’.

Muncul sejumlah pertanyaan awam: Bagaimana proses penetapan suatu keadaan dapat disebut sebagai memenuhi unsur kedaruratan?; Siapa yang memberi otorisasi untuk suatu operasi intelijen, dan bagaimana dapat menjamin bahwa otoritas itu dijalankan sesuai dengan mandatnya?; Bagaimana menjamin bahwa institusi intelijen tidak dimanfaatkan oleh kepentingan penguasa dan/atau elit berpengaruh lainnya?; Bagaimana membedakan suatu operasi intelijen itu ‘resmi’ atau ‘liar’?; Jika kemudian suatu operasi intelijen ternyata merupakan operasi yang liar, lantas bagaimana pertanggungjawabannya kepada korban dan rakyat?.

Membaca buku ini membuat saya menjadi sedikit tahu tapi juga merasa semakin tidak tahu. Teringat begitu banyaknya peristiwa yang menurut banyak orang adalah bagian dari operasi intelijen di dalam negeri sendiri yang menggunakan pendekatan ‘operasi penggalangan keras’ dan banyak memakan korban jiwa di kalangan rakyat: G30S, Tanjung Priok, Talangsari-Lampung, Petrus,  ‘Kudatuli’, kerusuhan 1998, penculikan aktivis, Semanggi, Poso, Theys Eluay-Papua, Munir, dan lainnya. Saya hanya dapat mengira-ngira, apa “logika penyimpulan menuju penjelasan terbaik” yang digunakan untuk membenarkan semua operasi intelijen tersebut.

Kembali ke berita KOMPAS mengenai pendidikan Bela Negara, mungkin ada baiknya bagi siapapun yang akan mengikuti kegiatan tersebut untuk juga membaca buku AMH ini. Lumayan buat bahan belajar awal. Siapa tahu, kalau dapat nilai bagus nanti bisa sekalian direkrut jadi ‘agen intelijen non-organik’, atau sekaligus dapat beasiswa kuliah di STIN, he..he..

-----
Sumber:

  


Endnotes:
[1] AMH lahir tahun 1945 di Yogyakarta, namun sejak kecil tinggal di Jakarta. Lulus AMN tahun 1967. Mengawali karier di Kopassandha (sekarang Kopassus). Pernah menjabat sebagai Direktur di Badan Intelijen Strategis (Bais), Pangdam Jaya, Komandan Kodiklat TNI AD, beberapa kali menjadi Menteri, dan terakhir menjadi Kepala BIN di era pemerintahan Megawati (2001-2004). Selain banyak mengikuti pendidikan kemiliteran, AMH tampaknya juga ‘rajin kuliah.’ Dia memiliki empat gelar sarjana (ilmu adminisrasi, hukum, ekonomi dan teknik), dua gelar master (administrasi niaga dan hukum), dan menjadi doktor filsafat (dengan disertasi tentang terorisme). Pada tahun 2014, AMH diangkat menjadi Guru Besar dalam bidang Ilmu Intelijen dari Sekolah Tinggi Intelijen Indonesia (STIN), kampus yang ikut dirintisnya ketika menjadi Kepala BIN. Konon, AMH adalah guru besar intelijen pertama bukan hanya di Indonesia, tapi juga di dunia.
[2] Sebagai contoh, visi BIN adalah “Tersedianya Intelijen secara CEPAT, TEPAT dan AKURAT sebagai bahan pertimbangan pengambilan keputusan dalam menentukan kebijakan nasional.” Lihat http://www.bin.go.id/profil/visi_misi  

Rabu, 18 November 2015

"Teknik ‘Most Significant Change’ (MSC): Pendekatan Kualitatif dalam Monitoring dan Evaluasi Program/Lembaga"


Candra Kusuma

Sekitar dua tahun lalu, saya pernah mengikuti diskusi yang diselenggarakan oleh sebuah tim proyek pada sebuah lembaga donor. Saat itu tim proyek tersebut tengah merancang desain monitoring dan evaluasi untuk kegiatan yang akan mereka laksanakan. Konsultan yang di perbantukan dalam kegiatan tersebut menawarkan untuk menggunakan teknik The ‘Most Significant Change’ (MSC), atau secara bebas dapat diterjemahkan sebagai ‘Perubahan yang Paling Signifikan’ (PPS). Meskipun kemudian saya dengar gagasan untuk menggunakan MSC dibatalkan dalam proyek tersebut, saya cukup tertarik untuk mencari tahu mengenai teknik ini, sejalan dengan minat saya untuk mempelajari ragam teknik dalam pendekatan kualitatif yang dapat digunakan untuk melakukan penelitian, monitoring dan evaluasi program dan/atau lembaga.

Rujukan utama dari MSC dalah sebuah buku panduan yang ditulis oleh dua orang ‘penemu’ teknik ini, yaitu Rick Davies dan Jess Dart pada tahun 2004,  berjudul  ‘The ‘Most Significant Change’ (MSC) Technique: A Guide to Its Use.’ Dengan maksud agar dapat lebih mudah mempelajari teknik ini dan sekaligus dapat berbagi dengan orang lain yang mungkin memiliki minat yang sama, saya berinisiatif menerjemahkan panduan tersebut, sebatas kemampuan yang ada.

Teknik MSC berupaya mencari hal-hal yang dianggap sebagai perubahan paling siginifikan –atau dalam bahasa Inggris disebut ‘most significant change’-- dari suatu program/proyek/kegiatan. Ada Sembilan Bab dalam panduan tersebut, yakni: (1) gambaran awal tentang MSC; (2) hal-hal praktis berupa sepuluh langkah implementasi MSC; (3) panduan untuk mengatasi masalah; (4)  kapasitas yang dibutuhkan untuk meningkatkan efektifitas penggunaan MSC; (5) posisi MSC dalam siklus program dan bagaimana itu dapat berkontribusi bagi peningkatan program; (6) membahas mengenai validitas dan aspirasi dalam MSC; (7) perbandingan MSC dengan pendekatan lain; (8) sejarah MSC; dan (9) arah pengembangan MSC.

Teknik MSC pada dasarnya adalah salah satu bentuk monitoring dan evaluasi yang menggunakan pendekatan partisipatif. Dalam teknik ini, banyak melibatkan para pemangku kepentingan (stakeholder) dari lembaga/program/proyek, khususnya memetakan jenis perubahan yang diketahui dari cerita para penerima manfaat (beneficiaries).

Kegiatan utama dalam teknik ini adalah melakukan pengumpulan cerita/kisah mengenai perubahan signifikan (significant change/SC) yang berasal dari lapangan, dan kemudian memilih secara sistematis cerita-cerita yang dianggap paling signifikan, oleh sebuah panel stakeholder atau staf yang ditunjuk.

Rick Davies dan Jess Dart menguraikan teknik MSC dalam sepuluh langkah, yaitu:
  1. Bagaimana memulai dan meningkatkan minat;
  2. Mendefinisikan domain perubahan;
  3. Mendefinisikan periode pelaporan;
  4. Mengumpulkan cerita-cerita tentang perubahan signifikan;
  5. Memilih yang paling signifikan dari cerita;
  6. Umpan balik hasil dari proses seleksi;
  7. Verifikasi cerita;
  8. Kuantifikasi;
  9. Analisis sekunder dan meta-monitoring;
  10. Merevisi sistem.

Sementara dokumen Panduan dalam versi asli Bahasa Inggrisnya dapat diunduh di link: www.mande.co.uk/docs/MSCGuide.htm dan www.clearhorizon.com.au


Jumat, 13 November 2015

"International Citizens’ Tribunals: Ketika Warga Dunia Mencari Keadilan"


Pengantar Penerjemah:

Pada tanggal 10-13 November 2015 diselenggarakan The International People’s Tribunal for the 1965 Crimes Against Humanity atau tribunal rakyat internasional untuk kejahatan melawan kemanusiaan pada tahun 1965, yang diselenggarakan di kota Den Haag, Belanda. Pemerintah Indonesia menjadi tersangka dengan tuduhan telah melakukan pembunuhan, perbudakan, penahanan, penghilangan paksa orang-orang, dan penganiayaan melalui propaganda, yang berkaitan langsung dengan peristiwa 1965 (lihat "The International People’s Tribunal for the 1965 ...)

Untuk menambah pemahaman mengenai konsep tribunal tersebut, saya membaca kembali sebuah buku lama yang ditulis oleh Arthur Jay Klinghoffer dan Judith Apter Klinghoffer pada tahun 2002 yang berjudul International Citizens’ Tribunals: Mobilizing Public Opinion to Advance Human Rights. Agar lebih mudah membacanya bagi sebagian orang, saya berupaya menerjemahkan sebagian dari buku tersebut, yaitu pada Bab I yang berjudul “Citizens’ Power “ (hal.1-10).

Semua kesalahan dan kekurangan dalam terjemahan ini adalah karena keterbatasan saya semata. Bagi yang tertarik, ada baiknya membaca dan/atau membeli sendiri buku ini.

Salam

Candra





Bab I
Kekuatan Warga
(Citizens’ Power)

"'Kami akan menjadi hakim, Kami akan menjadi juri," kata Bertrand dengan amarah: Dan vonis baru saja kami rilis kepada pers'."[1]

Ode sarkastik ini dikirim ke Presiden Lyndon Johnson pada bulan Januari 1967 oleh ajudannya Joseph Califano. Pada saat itu, filsuf Inggris Bertrand Russell tengah sibuk menyiapkan tribunal internasional untuk menuntut Amerika Serikat dengan kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan genosida di Vietnam. Tribunal seperti tidak memiliki legal standing, tetapi pemerintah AS sangat khawatir dampak hubungan masyarakatnya. Kekuasaan seolah-olah sedang diserahkan ke tangan warga yang peduli, dan bahkan Amerika Serikat tidak bisa tidak juga menyadari adanya ancaman serius bagi kedaulatan dan status internasional-nya. Otoritas negara sedang ditantang atas dasar praktik hak asasi manusia, dan keadilan sedang dimainkan melintasi batas-batas nasional. Apakah proses tersebut latihan instruktif di pernyataan demokratis, kemenangan standar liberalisme tentang objektivitas, atau itu-seperti yang tersirat dalam lagu pendek-  sebuahbentuk baru dari  kangaroo court saja? Dapatkah cara populis ini mengangkat parodi terbesar keadilan dari penyimpangan negara?

Evolusi
Setelah Perang Dunia I, ada reaksi publik terhadap Realpolitik dan negarawan yang menjadi praktisi. Hukum dan etika tumbuh untuk kepentingan, seperti yang diserukan Woodrow Wilson pada masyarakat dunia yang diwujudkan dalam Liga Bangsa-Bangsa, yang bisa menyelesaikan perselisihan atas dasar hukum internasional. Opini publik menjadi dasar untuk  orde Wilsonian, karena presiden Amerika tidak membayangkan prospek Liga Bangsa-Bangsa sebagai pemerintahan dunia, melainkan sebagai kekuatan moral universal.

Walter Lippmann cepat membangun reputasinya sebagai ahli teori yang paling berpengaruh mengenai peran opini publik. Dia adalah seorang jurnalis lulusan Harvard dan intelektual publik yang membantu administrasi Wilson mempersiapkan konferensi perdamaian Versailles dan mempublikasikan pandangannya secara luas melalui kolom surat kabar, buku, dan perannya sebagai associate editor pada sebuah majalah liberal terkemuka, The New Republic. Lippmann menyadari bahwa intervensi opini dunia itu pasti akan bersifat intermiten (terputus-putus), dan bahwa orang-orang dengan keahlian tertentu dan "para penonton yang tertarik" pasti akan memimpin. Namun, warga negara internasional yang peduli adalah penting untuk memeriksa kekuasaan yang sewenang-wenang. Tujuannya adalah untuk mempengaruhi "jalannya urusan," tapi, tentu saja, publik hanya dapat menjadi aktor yang dilibatkan dan tidak dapat mengangkat masalah itu dengan sendirinya. Lippmann menjelaskan: "Opini publik pada ideal tertingginya akan membela orang-orang yang siap untuk bertindak atas alasan mereka melawan kekuatan yang mengganggu orang-orang yang hanya menyatakan keinginan mereka."[2]

Tekanan publik, terutama di Inggris, memberikan kontribusi untuk menuntut Kaiser Wilhelm II dari Jerman dengan kejahatan perang dan pemimpin Turki dengan kejahatan terhadap kemanusiaan atas kekejaman yang dilakukan selama pengusiran warga  Armenian.[3] Pertimbangan diplomatik dan masalah yurisdiksi domestik, menyebabkan, dengan cepat mengalihkan jalannya keadilan, dan tidak ada penuntutan yang berarti terhadap para pelaku.

Para pembela HAM membentuk komisi penyelidikan internasional selama periode antara sebagai penangkal terhadap tidak efektifnya hukum. Panel beranggptakan para intelektual ini meneliti lembaga-lembaga hukum Nazi Jerman dan Uni Soviet dengan menyelenggarakan dengar pendapat tentang Reichstag tahun 1933 dan acara persidangan Moskow 1936. Komisi seperti itu selaras dengan keyakinan Lippmann bahwa orang-orang dengan pengetahuan khusus dan pendidikan akan berada di garis depan pembentukan opini publik di bidang kompetensi khusus mereka. Bagian dari masyarakat yang kurang informasi hanya akan memiliki peran yang kecil dalam mempengaruhi urusan negara, karena ada kebutuhan untuk "sebuah organisasi ahli independen untuk membuat fakta-fakta yang tak terlihat dapat dimengerti oleh mereka yang harus membuat keputusan."[4]

Pendekatan elitis ini persis yang diadopsi oleh komisi tadi. Anggota mereka bukanlah warga negara rata-rata, seperti mereka yang bertugas menjadi juri di pengadilan, tapi adalah mereka yang memiliki kepribadian yang menonjol dengan keterampilan hukum dan memiliki kedudukan sosial dan politik yang cukup tinggi. Mereka menyadari keterbatasan resmi dari usaha mereka tersebut tetapi memiliki keyakinan yang kuat bahwa masyarakat akan mengkompensasi dengan mengerahkan pengaruh mereka terhadap jalannya keadilan.

The Russell Tribunal melanjutkan tradisi dua tribunal sebelumnya dalam arti memanfaatkan opini publik sebagai kendaraan bagi perjuangan hak asasi manusia. Ini berbeda, dengan bentuk hubungan antar negara di bawah hukum internasional -- sehingga setting arena untuk dengar pendapat nanti yang mengubah hukum tersebut ke arah radikalisme kiri. Dalam teori hukum yang muncul dari kalangan Kiri Baru, istilah "pengadilan rakyat internasional" (international people’s tribunals) telah menjadi standar sejak akhir 1970-an. Penggunaan istilah "rakyat" disini dengan konotasi ideologis dari konsep totaliter dan terroristik tentang keadilan, sayangnya merusak citra demokrasi yang oleh para pendukungnya coba didorong. Memang, Nazi memiliki "pengadilan rakyat" yang dapat menjatuhkan hukuman mati pada orang-orang yang dianggap anti-Hitler dengan cara apapun, dan Brigade Merah di Italia yang mementaskan "pengadilan rakyat" untuk menentukan nasib pejabat negara yang diculik. Penelitian ini, dalam rangka untuk menonjolkan norma partisipatif tapi non-extremis, karena itu akan mengacu pada badan kuasi-yudisial di bawah pemeriksaan "pengadilan warga internasional" (international citizen’s tribunals).

Tribunal macam ini sekarang semakin sering dilakukan, dan ruang lingkup mereka semakin luas dengan memasukkan hak-hak perempuan, hak masyarakat adat, dan hak-hak pekerja. Sebuah metamorfosis dinamik dari sistem hukum internasional sekarang sedang diupayakan, tapi hanya ada sedikit perhatian pada fenomena ini. Perbaikan diperlukan dalam rangka, agar  international citizen’s tribunals layak untuk diakui- seperti yang sudah dievaluasi secara kritis.

Peningkatan Humanitarian
Sebelum abad kedua puluh, individu-individu hanya menjadi objek dalam sistem hukum internasional yang berfokus pada negara. Saat ini mereka telah menjadi subyek sebagai akibat dari menurunnya kedaulatan negara dalam tatanan internasional yang baru. Kekurangan dari hukum internasional dalam mengatur perilaku negara telah terbukti sejak Sistem Hague (Hague System) gagal mencegah atau menghentikan Perang Dunia I, dan Liga Bangsa-Bangsa tidak mampu untuk mencegah Perang Dunia II.

Konflik antara negara telah, tentu saja, menjadi endemik selama ribuan tahun. Lebih penting bagi perkembangan hukum internasional meningkatnya kekhawatiran tentang bagaimana negara, melalui penyimpangan hukum dalam negeri mereka masing-masing, memperlakukan warga negara mereka sendiri. Nazi Jerman dan Uni Soviet Komunis telah menggunakan instrumen kekuasaan mereka untuk melakukan represi internal sehingga konsep totalitarianisme masuk ke dalam kosakata politik. Dalam keadaan seperti itu, legitimasi tribunal telah dipertanyakan oleh para intelektual liberal yang menekankan pada cara ketimbang tujuan, dan kebenaran obyektif daripada dogma ideologis. Hal demikian menjadi wajar saja ketika dua tribunal pada international citizens’ tribunals yang pertama kali diselenggarakan adalah yang berkaitan dengan Jerman dan Uni Soviet, yang dibentuk untuk menyelidiki proses hukum dalam konteks berkembangnya totalitarianisme. Intervensi sementara atas ketidakadilan tersebut masih sedang dilakukan yang mungkin dapat mempengaruhi proses peradilan atau, setidaknya, mengekspos kepalsuan yang dilakukan oleh sistem hukum totaliter.

Relatif suksesnya  Pengadilan Militer Internasional (International Military Tribunal) yang diselenggarakan di Nuremberg dan Tokyo setelah Perang Dunia II menandai titik balik yang penting dalam hubungan negara dan warga negara. Prinsip-prinsip hukum baru yang diterapkan mengenai yurisdiksi global terhadap masalah internal dan tanggung jawab individu atas tindakan negara-- termasuk penuntutan pejabat pemerintah atas tindakan-tindakan yang dilakukan sesuai dengan hukum nasionalnya. Pembentukan Komisi PBB tentang Hak Asasi Manusia (1946), Konvensi Genosida (1948), dan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi dan Sosial dan Hak Sipil dan Politik (1966) segera dijalankan.[5]

Tribunal Russell (The Russell Tribunal) terkait perang Vietnam (1967 ) mencoba melanjutkan tradisi Nuremberg. "Kejahatan terhadap kemanusiaan" (crimes against humanity) dan akuntabilitas hukum dari para pejabat pemerintah sepatutnya diakui. Jadi, juga, adalah pentingnya membangun struktur yuridis baru, seperti tribunal, yang sebelumnya tidak ada. PBB tidak termasuk badan/lembaga yang berwenang untuk memeriksa masalah seperti dugaan kejahatan perang Amerika di Vietnam. Dapat ditebak, Amerika Serikat tidak berniat atas kehendak sendiri untuk menyampaikan isu itu ke proses evaluasi yang dilakukan oleh panel supranasional, bahkan atas dasar standar hukum Nuremberg. Ini dikhawatirkan, secara realistis, bahwa dokumentasi dan fakta yang diajukan sebagai bukti dapat merusak basis etika dari kebijakan tersebut.[6]

Bagi para pendukung Russell Tribunal, hal itu merupakan titik kunci. Nuremberg adalah ex post facto, tapi tribunal mereka berpotensi mengubah tindakan Amerika dan menghentikan war.[7] Nuremberg itu dianggap "keadilan oleh para pemenang " (victors’ justice) yang diterapkan oleh para hakim dari pihak Sekutu, sedangkan Russell Tribunal termasuk panelis dari Amerika-- meskipun tidak mewakili pemerintahnya.[8] Hal yang paling signifikan disini adalah, bahwa warga dan bukan negara-negara yang menjalankan mesin keadilan itu. Russell, mengulang apa dipikirkan oleh Lippmann, dengan bangga berseru: "Tribunal kami, harus dicatat, tidak dijalankan oleh kekuasaan Negara. Juga tidak dilakukan oleh kekuatan para tentara pemenang perang. Tidak ada klaim lain selain otoritas moral."[9]

Sejak berakhirnya Perang Dingin, masyarakat internasional telah berusaha untuk menegaskan otoritas bagi kelanjutan hak asasi manusia. Intervensi militer PBB atas dasar Bab VII ketentuan Piagam PBB sekarang ditafsirkan sedemikian rupa sehingga tindakan internal dalam negara dapat dianggap ancaman terhadap perdamaian dan keamanan internasional karena menciptakan pengungsi lintas batas. PBB juga telah membentuk tribunal untuk menangani pelanggaran hak asasi manusia (termasuk genosida) di bekas negara Yugoslavia dan Rwanda, dan Mahkamah Pidana Internasional yang baru juga sedang dibentuk. Namun demikian, upaya tersebut memiliki cacat umum: Amerika yang memegang hak veto di Dewan Keamanan dapat membuatnya menghindar sebagai target. International citizens’ tribunals karenanya dapat berfungsi sebagai mekanisme korektif di mana intelektual publik memobilisasi opini publik dunia terhadap negara-negara kuat yang sebelumnya terlindung dari sanksi di bawah hukum internasional. Jika tidak adanya struktur hukum yang efektif dan permanen menjadi masalah, maka tribunal ini dapat menawarkan solusi yang tepat.

Tantangan Radikal
Tribunal yang menangani the Reichstag fire (pembakaran Reichstag yaitu gedung parlemen Jerman tahun 1933), Moskow Trials (pengadilan Moskow ala Stalin tahun 1936-1938), dan Perang Vietnam didasarkan pada konsep hukum yang agak tradisional. Sekarang sebagian pendukung tribunal (meskipun sesungguhnya mereka adalah para elit intelektual itu sendiri) mengajukan visi yang lebih radikal dan populis yang didasarkan pada konsep "demokrasi transnasional" (transnational democracy) dan "globalisasi dari bawah" (globalization from below), dan menggambarkan panel-panel itu sebagai kesatuan dari sebuah "kemunculan masyarakat sipil global" (emerging global civil society). Mereka menolak globalisasi yang diarahkan dari atas, dan secara pejoratif disebut sebagai "kapitalisme global." Tujuan utamanya adalah untuk mengubah hukum internasional sehingga keadilan dapat didasarkan pada menyuarakan mereka yang dianggap lemah dan tertindas. Sayangnya, ini mungkin dengan mengorbankan proses hukum.

Spesialis hukum internasional dari Universitas, Richard Falk, berpendapat bahwa "hukum milik kita semua" dan "kita harus merebut kembali dari kekuatan destruktif yang mengkristal dalam politik kekuasaan kekaisaran pada saat ini."[10] Pengacara dan politisi sosialis dari Italia, Lelio Basso, sekarang sudah meninggal, mengartikan tribunal sebagai "emanasi dari kehendak rakyat" dan menyatakan bahwa masyarakat sendiri, bukan negara, harus menjadi lokus kekuasaan dalam masyarakat internasional. Dia melihat legitimasi tribunal berasal dari interpretasi atas kesadaran moral.[11] Harvey Cox, profesor ilmu keagamaan Harvard, sama mendalilkan bahwa hukum alam harus dilakukan bahkan jika negara tidak menyusun prinsip-prinsip ke dalam hukum positif. Pemerintah yang gagal melindungi warganya dianggap melanggar hukum alam/kodrat.[12]

Sesuai dengan interpretasi ini, warga negara memiliki tanggung jawab sekunder untuk bertindak melawan ketidakadilan jika negara-negara dan organisasi internasional lalai untuk melaksanakan tanggung jawab utama mereka. Peraih hadiah Nobel Perdamaian Jose Ramos Horta dari Timor Leste menyatakan bahwa jika pemerintah tidak membela hak-hak rakyat, maka "kita harus menemukan bentuk-bentuk baru dari tindakan yang dibutuhkan."[13] Klausul Martens dalam Konvensi Den Haag 1907 dikutip sebagai preseden penting. Hal ini menunjukkan bahwa negara-negara terikat oleh penggunaan yang berasal dari "hukum kemanusiaan dan perintah dari hati nurani publik." Juga disajikan sebagai pembuktian untuk perkembangan pendekatan radikal ini adalah Pasal 1 dan 55 dari Piagam PBB dan Resolusi Majelis Umum 1514 (1960) , yang menyatakan bahwa semua orang berhak untuk menentukan nasib sendiri. Deklarasi Universal Hak-Hak Rakyat (The Universal Declaration of the Rights of Peoples), dirumuskan di Aljir pada tahun 1976, berfungsi sebagai fondasi ideologis gerakan radikal dalam hukum internasional.[14]

Richard Falk menyatakan bahwa "orang-orang di dunia menikmati kedaulatan tertinggi, termasuk hak untuk memiliki bentuk hukum yang sesuai, dan untuk membangun institusi dan prosedur sah yang diperlukan."Dia memandang kedaulatan dalam konteks teoritis Revolusi Perancis, di mana kehendak rakyat ditekankan dan bahwa negara didiskreditkan. Dalam interpretasinya tentang kontra traditional mengenai apa yang merupakan hukum internasional, kedaulatan rakyat secara bertahap diperluas untuk hak kelompok kolektif yang mengacu pada kedaulatan "rakyat." Falk menggambarkan hukum sebagai senjata "progresif", sebuah "alat politik" yang digunakan untuk memfasilitasi perubahan dan dia menyandingkan penafsirannya dengan analis mengenai kelompok "borjuis" yang menekankan pada prosedur dan beresiko jatuh menjadi hanya "legalisme kosong." Bagi Falk, hukum harus menjadi sarana pemberdayaan dan itu termasuk pada perjuangan kelas.[15] Fakta bahwa hukum "borjuis"dalam masyarakat demokratis berasal dari pertimbangan para wakil-wakil terpilih tidak disebutkan.

Masalah, seperti yang berhubungan dengan lingkungan, semakin memperoleh dimensi internasional dan praktik bisnis perusahaan yang semakin menjadi bersifat transnasional. Undang-undang negara, menurut ahli teori hukum Sally Engle Merry, karena itu harus diganti dengan "hukum jamak" (plural law) yang juga mencakup "hukum adat" dan "hukum hak asasi manusia global." International citizens’ tribunals dengan demikian menantang keutamaan hukum negara dan menunjukkan pengakuan dari "gagasan keadilan global." Merujuk pada tribunal tentang hak-hak masyarakat adat di Hawaii, Merry jelas menghubungkan konsep hukum dengan aktivisme politik ketika ia mengacu pada perampasan "bentuk dan simbol hukum dalam upaya untuk memanfaatkan kekuatan dan legitimasi hukum dalam gerakan perlawanan."[16]

International citizens’ tribunals tidak bisa memaksakan keputusan mereka yang melampaui batas negara, tetapi kelemahan ini jelas dapat berubah menjadi keuntungan-- setidaknya secara teoritis. Tribunal tersebut tidak berhutang budi kepada negara, mereka juga tidak dipengaruhi oleh negara-negara tersebut. Ketidakberdayaan demikian terbukti dapat menjadi atribut positif, dan memberi kontribusi bagi legitimasi. Bagaimanapun, militer Sekutu sebagai pemenang perang yang melakukan pengadilan Nuremberg dan Tokyo-- legitimasi mereka masih dipertanyakan saat ini. Tribunal harus secara hati-hati dibedakan dengan komisi kebenaran, meskipun keduanya beroperasi secara terpisah dari sistem pengadilan, karena pada yang terakhir tadi sanksi dijatuhkan oleh negara, didanai dan diselenggarakan sebagai investigation resmi.[17]

Gambaran Paralel
Ketika membandingkan international citizens’ tribunals, isu-isu hubungan masyarakat, waktu, dan efek pada negara yang menyediakan tempat menjadi sangat penting. Karena tribunal ini tidak memiliki kedudukan hukum dan mungkin tidak memberlakukan hukuman, dampak hubungan masyarakat melalui perhatian media adalah kunci untuk memajukan kasus hukum dan moral mereka. Seperti hasil pengamatan Lelio Basso: "Media massa merupakan saluran utama antara kami dan masyarakat internasional, yang sekaligus matriks dan lengan eksekutif kami."[18] Seperti yang akan ditunjukkan, tribunal telah mencoba untuk memaksimalkan cakupan dengan menekankan peran selebriti seperti Albert Einstein, John Dewey, Jean-Paul Sartre, dan Simone de Beauvoir, dan dengan mengakui bahwa perhatian media suatu negara dapat ditingkatkan ketika salah satu warganya yang memiliki kredibilitas tinggi dapat berperan sebagai anggota tribunal.

Terkait dengan waktu, adalah penting untuk juga mempertimbangkan apakah tribunal dilaksanaan untuk mempengaruhi putusan sidang yang sedang berlangsung. Jika demikian, perilaku negara bisa dimodifikasi dan tribunal dapat memiliki efek jera pada tindakan di masa depan melalui proses yang sama dengan pemberian sanction.[19] Sebaliknya, ex post facto tribunal yang berurusan dengan genosida Armenia tahun 1915 sampai1916 dan perlakuan terhadap penduduk asli Amerika di abad sebelumnya kurang memiliki dari dampak terhadap kebijakan kontemporer. Mereka tetap melakukan fungsi penting dari pengakuan publik, atau bahkan permintaan maaf.

Hal yang perlu dipertimbangkan juga adalah dampak bagi negara-negara yang menjadi tuan rumah pelaksanaan tribunal. Apa tujuan kebijakan luar negeri yang ingin dicapai ketika suatu negara mengizinkan international citizens’ tribunal untuk dilaksanakan di wilayahnya, dan bagaimana sesi tribunal tersebut berinteraksi dengan perpecahan politik internal yang terjadi negara itu? Selanjutnya, apa upaya yang dilakukan oleh negara-negara yang dituduh melemahkan organisasi tribunal?

Tribunal, sejauh ini, memiliki kekurangan yang telah menghambat keberhasilan, tetapi kebanyakan dari masalah tersebut dapat diperbaiki. Mereka dibentuk dalam cara yang agak elitis, bukan demokratis, oleh komite yang menunjuk dirinya dan mencoba untuk mengumpulkan para partisan. Akibatnya mungkin ada beberapa alasan politis yang tidak diumumkan ke publik selain dari alasan keadilan, dan panelis dapat dipilih berdasar kecenderungan ideologis dan bukan semata karena kejujuran hukum mereka. Bertrand Russell yang telah mencoba untuk menangani isu ini yang menjadi opini sebelum pengadilan diselenggarakannya tribunal Vietnam, mengakui bahwa mereka diundang untuk dapat memberi  keyakinan yang kuat. Dia mempertahankan, bagaimanapun, bahwa panelis tersebut adalah orang-orang yang memiliki karakter yang kuat dan dapat bersikap adil. Anda tidak perlu menjadi acuh tak acuh, menurut Russell, tidak memihak, dan tidak memiliki pikiran yang kosong untuk menjamin adanya sebuah pemikiran terbuka.[20] Mungkin dapat saja memang begitu, tapi penampilan mereka yang cenderung  memihak dapat merusak kredibilitas tribunal di mata media-- terutama ketika vonis yang dijatuhkan agak ekstrim, termasuk temuan genosida, diumumkan. Jelaslah bahwa panelis pada tribunal sering menalankan tugas mereka dengan keyakinan yang jelas bahwa ketidakadilan telah terjadi. Daripada mempertanyakan premis-premis dari kasus itu yang perlu mereka pertimbangkan, mereka lebih peduli dengan pengumpulan bukti yang dapat digunakan untuk memvonis (effect a remedy).[21]

Hal yang juga diperdebatkan adalah penolakan umum oleh pendukung tribunal dengan kesetaraan moral. Sama seperti halnya ketika kejahatan yang dilakukan Sekutu tidak diangkat dalam pengadilan Nuremberg atau Tokyo, international citizens’ tribunals yang kemudian ternyata juga tidak ingin memberikan status yang sama dengan kejahatan oleh mereka yang telah diidentifikasi sebagai korban. Mereka yang dalam posisi lemah, menurut para pendukung tribunal, namun mewakili kehendak rakyat dan karena itu mungkin mengambil jalan tindakan tindakan kekerasan sebagai "perlawanan." Setiap kejahatan perang yang dilakukan sebagai bentuk perlawanan tidak dianggap memiliki kesetaraan moral dengan tindakan oleh mereka yang memiliki kekuatan superior dan melanggar norma-norma internasional secara sistematis.[22] Namun, kegagalan untuk mengakui tanggung jawab ganda telah menjadi amunisi yang kuat bagi para pengkritik tribunal.

Meskipun international citizens’ tribunals  bukan merupakan badan peradilan formal, mereka tetap menekankan kepatuhan terhadap prosedur hukum dalam rangka meningkatkan legitimasi mereka. Ketika mengevaluasi keadilan mereka, perlu diajukan pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah ada anggota tribunal yang berkomentar sebelum dengar pendapat tentang masalah kesalahan (the matter of guilt)? Apakah pemeriksaan silang pada saksi diizinkan? Adalah panelis absen dari persidangan selama presentasi bukti? Apakah tuduhan pelanggaran hukum telah memperhitungkan perbedaan antara apa yang direncanakan terlebih dahulu dan konsekuensi yang tidak diinginkan? Hal yang juga dapat  bermasalah dalam konteks hukum adalah mengenai partisipasi para tertuduh. Mereka sering diundang tapi jarang setuju untuk muncul karena apa yang mereka anggap sebagai forum bias. Kadang-kadang, tribunal menunjuk seorang ahli untuk menyajikan kesaksian atas nama tertuduh-- namun pasti dari kubu penuntut tetap yang mendominasi jalannya tribunal. Absennya tertuduh kemudian cenderung menjadi norma (hal yang umum) dan bukan pengecualian.

Tribunal kadang-kadang sampai pada keputusan/vonis namun tanpa melalui musyawarah. Hal ini terutama berlaku dalam hal sesi yang berlangsung hanya satu atau dua hari-- termasuk didalamnya untuk mendengar pernyataan/testimoni dari para saksi. Hal ini menyebabkan munculnya kecurigaan bahwa putusan/vonis telah ditentukan sebelumnya, atau bahkan sudah ditulis sebelum tribunal dimulai. Meskipun tidak secara langsung mengacu pada pengadilan Reichstag fire, Moskow show trial, dan tribunal Vietnam, itu sayangnya hal semacam itu terjadi kasus lain. Sebagai contoh, sebuah tribunal yang menyelidiki bahaya globalisasi mengakui bahwa dakwaan telah disetujui dengan cepat, tapi mereka membenarkan tindakan tersebut dengan alasan bahwa para panelis sebelumnya telah memiliki pengetahuan yang cukup tentang masalah tersebut dan "tidak mulai lagi dari nol." Lebih jauh, ada juga dugaan yang kuat bahwa teks dakwaa telah disiapak sebelumnya, yang ditunjukkan oleh komentar bahwa "panel akan menandatangani surat dakwaan jika mereka setuju dengan maksudnya" (the panel will sign the indictment if they agree with its general tenor)[23]

Menerapkan terminologi legalistik dalam hal ini sering membingungkan. Komisi penyelidikan menonjolkan pencarian kebenaran karena mereka mengumpulkan bukti dan datang dengan "temuan;" mereka tidak terlalu menganggap fungsi yuridis, tapi jangan mencoba untuk mempengaruhi proses hukum yang sedang berlangsung. Sejak dengar pendapat Russell tahun 1967, istilah "tribunal" --dengan nuansa siding pengadilan-- telah menjadi standar yang digunakan. Tidak ada klaim mengenai otoritas aktual atau yurisdiksi, tapi format kuasi-legal ini telah menimbulkan kebingungan tentang peran anggota tribunal. Karena tidak ada struktur perdebatan hukum secara formal, mereka mungkin tampak bertindak seperti jaksa. Secara keseluruhan, di sana tidak akan ada tribunal dan yang ada hanyalah bukti-bukti kejahatan saja.

Gambaran anggota tribunal sebagai hakim atau juri adalah bertentangan dengan peran penuntutan.[24] Hakim cenderung mencerminkan orang yang memiliki pelatihan hukum dan mengajukan perbedaan pendapat. Juri adalah orang awam yang merumuskan vonis atas dasar konsensus. Mengacu pada Russell Tribunal, Sartre berkomentar bahwa anggota tribunal tidak akan mengenakan jubah, karena juri tidak memakai pakaian seperti itu. Namun Russell sendiri memiliki interpretasi yang agak berbeda, karena melihat para anggota tribunal lebih sebagai "saksi."[25] Pengamatan ini sejalan dengan argumen populis radikal bahwa anggota tribunal tidak harus mengambil tanggung jawab sebagai hakim, karena setiap orang berhak untuk menghakimi, terutama mereka yang terkena dampak langsung dari masalah yang disidangkan.[26] Melihat tribunal sebagai dewan juri mungkin paling tepat (instruktif). Mereka dapat menyaring melalui bukti untuk menentukan apakah sebuah surat dakwaan harus disusun, fungsi yang lebih cocok daripada menyiapkan putusan, karena pihak tertuduh jarang memiliki kesempatan untuk mempresentasikan kesaksiannya.

Refleksi
Pada tribunal Reichstag fire dan Moskow show trial ditekankan hak tertuduh untuk memiliki proses dengar pendapat  yang adil dan tidak memihak, dengan ketua panel terakhir, John Dewey, menekankan bahwa demokrasi adalah lebih sebagai proses daripada tujuan.[27] Dimulai pada Russell Tribunal, prosedur standar yang pragmatis telah memberikan cara untuk interpretasi yang lebih didasarkan pada penerapan hukum internasional (dengan kasus Mumia Abu-Jamal menjadi pengecualian).[28] ini adalah karena pengaruh dari pengalaman pengadilan Nuremberg, serta upaya universalisasi pedoman pengadilan. Hal ini penting untuk mengenali, bagaimanapun, bahwa kerangka hukum sejak Russell Tribunal telah didasarkan pada perkembangan baru dalam interpretasi radikal atas hukum internasional yang ditolak oleh banyak kalangan tradisionalis.

Tribunal telah bergeser dari pemeriksaan atas kesalahan dalam menegakkan keadilan (examinations of miscarriages of justice) terhadap individu tertentu menjadi dakwaan yang lebih luas terhadap "sistem." Anti-kapitalis, sikap dekonstruksionis secara jelas hadir dalam deskripsi mengenai tribunal berikut ini: "Mereka membantu pindah ke pengetahuan yang lebih dalam, menjalin bersama-sama analisis obyektif dengan kesaksian subjektif, pribadi dengan politik, menantang logika mengenai wacana dominan hak asasi manusia, pembangunan, globalisasi, dari semua yang hegemonik dan berkuasa."[29] Pada intinya, tribunal telah menjadi senjata dari kaum kiri radikal dalam pertempuran melawan "kapitalisme global"; jika negara-negara dapat bersatu untuk menciptakan kerangka G-7, maka anti-kapitalis dapat melawannya dengan tribunals.[30] Sampai dengan contoh yang barusaya terjadi yaitu dengar pendapat tentang komunisme Lithuania, tidak ada tribunal yang memiliki agenda politik sayap kanan dan infrastruktur untuk tribunal telah disediakan oleh kaum radikal melalui tribunal Russell II, Lelio Basso International Foundation yang berbasis di Italia, dan Permanent People’s Tribunal.

Para pendukung tribunal mendorong pendekatan baru dalam hukum internasional untuk mengidentifikasi faktor kelembagaan yang menjadi penyebab masalah, dan mengkritik kaum liberal yang mereka tuduh telah gagal untuk melakukannya, meskipun mereka sadar akan efeknya.[31] Konflik antara penekanan pada  tujuan ideologi dan dan konsentrasi kaum liberal pada cara mencapai tujuan, sekarang menjadi ciri dari pola sebelumnya. Sedikit perhatian perlu diberikan pada Arthur Garfield Hays dan John Dewey, para pendukung liberal dari dengar pendapat Reichstag fire dan Moskow show trial. Berkembangkannya hubungan antara international citizens’ tribunals dan platform populis radikal memiliki dampak negatif dalam hal hubungan masyarakat, yang ditunjukkan dengan berkurangnya perhatian media terhadap sejumlah kasus belakangan ini.

International citizens’ tribunals mengisi kebutuhan dalam sistem keadilan saat ini, dan tidak mengherankan bahwa jumlah mereka teru bertambah. Melalui pemeriksaan tiga contoh terobosan (path breaking) di abad kedua puluh lalu, ditambah sejumlah proses dengar pendapat pada beberapa tahun terakhir, penelitian ini mencoba untuk mengeksplorasi mengapa tribunal dibentuk, oleh siapa, prosedur apa yang mereka mengadopsi, dan apa hasil yang mereka hasilkan. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi cacat, dan kemudian mengusulkan solusi yang dapat memperkuat proses. Tribunal memang dapat berkontribusi untuk kepentingan publik, dan kondusif terhadap memajukan masyarakat sipil, tapi pertama mereka harus menjalani reformasi dan kembali ke prinsip dasar dalam mempromosikan nilai-nilai demokrasi dan keadilan tanpa memandang perbedaan ideologi (the ideological blindness of justice).



Endnote:
[1] Sajak Ogden Nash dikutip dari memo Joseph Califano kepada Lyndon Johnson, 12 January 1967 (White House Central Files, box 339, nama file [Russell], LBJL).
[2] Walter Lippmann, The Phantom Public (New York: Harcourt, Brace, 1925), pp. 55, 69–70, and 197.
[3] Henry Kissinger, Diplomacy (New York: Simon and Schuster, 1994), pp. 232, 235, and 247 and Gary Jonathan Bass, Staying the Hand of Vengeance (Princeton, NJ: Princeton University Press, 2000), chapters 3 and 4.
[4] Walter Lippmann, Public Opinion (New York: Macmillan, 1947), pp. 31 and 408. Buku ini diterbitkan pertama kali tahun 1922.
[5] Genosida disebutkan pada pengadilan Nuremberg, tapi tidak termasuk dalam dakwaan terhadap terdakwa dan bukan merupakan konsep hukum yang operatif. Untuk diskusi tentang evolusi konsep genosida dan penerapannya di pengadilan, lihat Arthur Jay Klinghoffer, The International Dimension of Genocide in Rwanda (London: Macmillan, 1998).
[6] John Duffett, ed., Against the Crime of Silence (New York: Simon and Schuster, 1970), p. 33; Frank Browning and Dorothy Forman, eds., The Wasted Nations (New York: Harper and Row, 1972), pp. vii–viii; dan Ebbe Reich, Ekstra Bladet, November 22, 1967.
[7] Duffett, p. 650.
[8] Russell in Duffett, p. 4 and Sartre in Duffett, p. 44.
[9] Bertrand Russell, War Crimes in Vietnam (London: Allen & Unwin, 1967), p. 125.
[10] Richard Falk adalah terotisi hukum yang paling menonjol dalam isu international citizens’ tribunals. Lihat The International People’s Tribunal, The People vs. Global Capital (New York: Apex, 1994) dan Marlene Dixon, ed., On Trial: Reagan’s War Against Nicaragua (San Francisco: Synthesis, 1985), p. 20. Lihat juga James Crawford, “Negotiating Global Security Threats in a World of Nations,” American Behavioral Scientist, Vol. 38, No. 6 (May 1995)–available in EBSCO.
[11] Lelio Basso, “Inaugural Discourse,” in William Jerman, ed., Repression in Latin America (Nottingham: Spokesman Books, 1975), pp. 4–5.
[12] Harvey Cox, “Foreword,” in Dixon, pp. ii–iii.
[13] “The 1997 People’s Summit on APEC,” http://www.vcn.bc.ca/summit/popindex.htm; Permanent People’s Tribunal, A Crime of Silence: The Armenian Genocide (London: Zed, 1985), p. 242; and Gunnar Myrdal in Browning and Forman, pp. vii–viii.
[14] Guenther Lewy, America in Vietnam (Oxford: Oxford University Press, 1978), pp. 224–25; Basso in Jerman, p. 5; dan Bill Bowring, “Socialism, Liberation Struggles and the Law,” http:// members.netscapeonline.co.uk/suzyboyce1/files/book1/3_9.htm
[15] The International People’s Tribunal, p. 4, and interview with Richard Falk, March 6, 2001.
[16] Sally Engle Merry, “Resistance and the Cultural Power of the Law,” Law and Society Review, Vol. 29, No. 1 (1995)—available in EBSCO.
[17] Duffett, pp. 15 and 43; Russell autobiography, p. 215; and Jean-Paul Sartre, “Imperialist Morality,” New Left Review. no. 41 (January–February 1967): 10. Untuk analisis yang sangat baik tentang komisi kebenaran, lihat Priscilla Hayner, Unspeakable Truths: Confronting State Terror and Atrocity (New York: Routledge, 2001), especially pp. 14, 16, 23, and 239.
[18] Basso in Jerman, p. 9.
[19] Priscilla Hayner menyatakan bahwa komisi kebenaran yang memeriksa kesalahan masa lalu harus dievaluasi, sebagian, atas dasar dampak kemudian mereka. Lihat Hayner, p. 252. International citizens’ tribunals, sebaliknya, berusaha untuk memiliki dampak yang lebih langsung karena mereka yang berharap untuk menghentikan ketidakadilan sementara hal itu masih berlangsung. Tentu saja, ini adalah tugas yang sulit, karena mengorganisir pengadilan memang memakan waktu.
[20] Bertrand Russell, The Autobiography of Bertrand Russell, Vol. III, 1944–1967 (London: Allen dan Unwin, 1969), p. 216; Russell, War Crimes in Vietnam, p. 126; and National Guardian, December 3, 1966.
[21] Falk interview.
[22] Dalam bahasa Perancis, tanpa keterangan penulis (10.5/384, BRA), dan Russell, War Crimes in Vietnam, p. 127.
[23] The International People’s Tribunal, pp. 5 dan 8.
[24] Duffett, p. 6; Russell, War Crimes in Vietnam, p. 127; and The International People’s Tribunal, p. 1.
[25] Duffett, pp. 32 and 315.
[26] Diana Russell dan Nicole Van de Ven, eds., Crimes Against Women: Proceedings of the International Tribunal (Millbrae, CA: Les Femmes, 1976), p. 240 dan The International People’s Tribunal, p. 123.
[27] Xenia Zeldin, “John Dewey’s Role in the 1937 Trotsky Commission,” Public Affairs Quarterly, Vol. 5, No. 4 (October 1991): 393.
[28] Mumia Abu-Jamal adalah seorang Afro-Amerika radikal yang dihukum pada tahun 1981 karena membunuh seorang perwira polisi Philadelphia, dan dijatuhi hukuman mati. Banding telah menyelamatkannya dari hukuman tersebut.
[29] http://www.grisnet.it/filb, p. 10. This passage appears in a commentary supporting a tribunal investigating sweatshop labor practices. Bagian ini muncul dalam sebuah komentar yang mendukung pengadilan yang menyelidiki praktek kerja sweatshop.
[30] The International People’s Tribunal, p. 124.
[31] The Citizens Commission of Inquiry, The Dellums Committee Hearings on War Crimes in Vietnam (New York: Vintage, 1972), p. 335.


Catatan dari penerjemah:
  • Kangaroo court adalah istilah untuk pengadilan yang tidak resmi dan tidak regular (an irregular unauthorized court).
  • Kangaroo Court adalah juga digunakan sebagai judul lagu dari sebuah grup musik bernama Capital Cities.
  • Ex Post Facto adalah terkait dengan penelitian untuk menyelidiki peristiwa yang telah terjadi, dan selanjutnya merunut ke belakang untuk mengetahui apa yang menjadi penyebab peristiwa tersebut.
  • Sweatshop adalah industri di mana buruh bekerja di pabrik dengan kondisi kerja yang buruk, upah rendah dan jam kerja yang panjang.