Baca

Baca

Rabu, 30 April 2014

"Pemilu sebagai budaya pop..."


Candra Kusuma

Masih seputar Pemilu. Jika awam maupun ilmuwan politik konvensional memandang Pemilu hanya sebagai moment politik, Chua Beng Huat --seorang  Professor di Departement of Sociology, The National University (NUS) – Singapore-- menawarkan cara pandang yang sama sekali berbeda, yaitu melihat Pemilu sebagai budaya pop. Chua bersama sejumlah peneliti meramu hasil penelitian mengenai peristiwa budaya dalam Pemilu di Korea (2002), Taiwan, Hong Kong, Indonesia, Philippina, Malaysia, India dan Jepang (seluruhnya di tahun 2004), serta di Thailand (2005).

Pemilu bukanlah semata masalah teknis bagaimana memilih politisi untuk jabatan publik. Pemilu juga dapat dilihat dari kacamata ekonomi. Adanya perilaku money politic atau vote buying selama proses Pemilu juga dapat dilihat sebagai satu periode singkat dari “redistribusi kekayaan” khususnya dalam lingkungan yang masih menonjol ketimpangan sosial dan ekonominya.

Dalam buku ini, Chua menawarkan perspektif lain, yaitu melihat Pemilu dari perspektif sosiologis. Pemilu bukan melulu urusan rasional sepenuhnya. Dimanapun Pemilu pasti memerlukan adanya kampanye yang dalam prakteknya tidak dapat dilepaskan dari unsur-unsur budaya lokal: “In presenting political elections as an expression of popular culture… electoral behavior as a meaningful cultural practice.” Masa Pemilu adalah masa pertarungan simbol-simbol politik. Lambang partai, warna dominan partai, gagasan, jargon, metafora, dll. merupakan bagian dari kontestasi antar sub-budaya. Pemilu adalah “event budaya”, seperti layaknya festival budaya atau keagamaan yang dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu.

pada BAB 3 di buku ini, Jennifer Lindsay menuliskan hasil pengamatannya terhadap proses Pemilu 2004 di Indonesia dalam tulisan judul  The Performance Factor in Indonesian Elections.”  Jennifer menilai, Pemilu di Indonesia sarat dengan unsur budaya lokal, yang menjadikan Pemilu ibarat festival musiman. Masa kampanye Pemilu di Indonesia umumnya diisi dengan konvoi kendaraan bermotor – Jennifer menyebutnya sebagai “Pawai: Motorized Parades” -- dari para pendukung partai atau calon presiden tertentu. Umumnya peserta konvoi ini menggunakan kostum dan berbagai pernak pernik yang identik dengan simbol dari Partai Politik atau politisi yang didukungnya.

Selain itu, kampanye Pemilu umumnya juga diisi dengan adanya panggung pertunjukan yang diisi dengan orasi dari tokoh-tokoh terkenal internal Partai ataupun figur-figur tertentu yang dikenal oleh massa, serta pertunjukkan live music yang menampilkan artis-artis yang populer di masyarakat, khususnya para penyanyi dan penari Dangdut. Di beberapa daerah juga ditampilkan pertunjukkan kesenian rakyat seperti wayang orang, wayang kulit, tarling, tayuban, dsb. Bahkan, acara kampanye bisa “menyusup” ke acara-acara sosial di masyarakat, seperti acara perkawinan, dll.

Pada saat puncak Pemilu berlangsung, banyak tempat pemungutan suara (TPS) yang dihias layaknya  pada pesta perkawinan. Para petugas pemilihan di TPS banyak yang berdandan dan berakting layaknya keluarga atau pihak penyelenggara perkawinan tersebut. Istilah “pesta” tersebut tidak dapat dipelaskan dari historis peninggalan rezim otoriter Suharto, di mana Pemilu diibaratkan sebagai “Pesta Demokrasi” atau Festival of Democracy (Pemberton, 1986; dan Little, 1996), sebagai kamuflase dari upaya mobilisasi pemilih selama periode Pemilu di masa Orde Baru.

Pada Pemilu 2004, Jennifer mencatat semakin maraknya keterlibatan kalangan selebriti (aktor/artis, penyanyi, pemain sinetron, pelawak, dll.) di ruang politik. Keterlibatan tersebut beragam, dari mulai sekedar membantu tim sukses partai, menjadi penampil atau juru kampanye, menjadi pengurus Partai, sampai benar-benar ikut menjadi kandidat di Partai tertentu yang turut bertarung dalam Pemilu. Menurut Jennifer ada semacam hubungan mutualisme antara pada selebriti dan Partai Politik tersebut, di mana para selebriti menjadi makin terkenal karena tampil bersama politisi atau bahkan sekaligus juga menjadi politisi, dan disisi lain para selebriti tersebut menjadi faktor penarik bagi Partai Politik dalam meraih suara pemilih (vote-getter).

Selain itu, Jennifer mencatat adanya beragam variasi baru dari wujud ekspresi budaya masyarakat dalam Pemilu. Contohnya adalah maraknya parodi debat politik di televisi yang menampilkan para pelawak, artis ataupun para selebriti lain yang bukan politisi. Di beberapa daerah, masyarakat bahkan juga membuat kegiatan-kegiatan serupa, seperti yang dilakukan oleh masyarakat Taggulsari di Solo, di mana pada 27 Juni 2004 mereka membuat acara debat dengan judul “Warga Tanggulsari Mencari Presiden: Audisi Calon Presiden.”

Sebaliknya, Jennifer juga mencatat bahwa para politisi juga berperan sebagai selebriti. Pada 19 Juni 2004, dalam acara Grand Final “Akademi Fantasi Indonesia,” juga ditampilkan bintang tamu Wiranto and Susilo Bambang Yudhoyono. Keduanya juga diminta bernyanyi untuk kemudian dikomentari oleh para juri kala itu, yaitu Trie Utami, Harry Roesli and Erwin Gutawa, yang mengomentari mengenai performance, pitch control, pilihan lagu, dll.

Selain itu, pada saat ada acara debat calon Presiden yang disiarkan oleh Metro TV pada 30 Juni dan 1 Juli 2004, juga disajikan acara sampingan yaitu adanya panel komentator (Harry Roesli, Butet Kartredjasa dan Arswendo Atmowiloto) yang mengomentari performance, bahasa tubuh, pitch control , dan lainnya dari para Calon Presiden tersebut.


Budaya Pop pada Pemilu 2014?

Menurut saya, konsep yang ditawarkan Chua dkk. mengenai budaya pop ini terasa kurang jelas, karena cenderung mencampur antara konsep budaya massa (mass culture) dan budaya populer (popular culture). Namun jika perspektif Chua Jennifer, dkk. tersebut coba digunakan untuk mencermati fenomen Pemilu 2014, tampaknya tidak banyak perubahan dari kondisi 10 tahun lalu. Bahkan, dengan semakin dominannya peran media massa dan sosial media sebagai sarana kampanye politik makin menguatkan sinyalemen Chua dkk. bahwa budaya pop sudah sangat melekat dalam kontestasi politik di Indonesia. Pada masa kampanye Pemilu Legislatif lalu, masih dominan diisi oleh kegiatan pawai ayau konvoi kendaraan bermotor, panggung hiburan, dan sejenisnya.

Pada Pemilu Legislatif 2014 khususnya pada pemilihan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), kemungkinan akan dimenangkan oleh para calon yang relatif sudah dikenal publik. Para anggota DPD periode sebelumnya, para selebriti yang biasa tampil di televise, atau para calon yang merupakan bagian dari keluarga  tokoh di daerah, berpeluang lebih besar untuk terpilih. Untuk kasus DPD, popularitas calon sangat signifikan menunjang elektabilitas mereka. Para politisi yang sudah dikenal publik -- dan relatif tidak memiliki banyak catatan buruk sebelumnya--, kemungkinan memperoleh suara yang cukup banyak. Meskipun ada beberapa pengecualian, seperti kasus terpilihnya Aceng Fikri, mantan Bupati Garut yang lengser akibat kasus nikah sirinya. Kondisi tersebut disebabkan karena para calon DPD  lain pada umumnya kurang atau bahkan tidak dikenal oleh calon pemilih.

Analisis yang sama tidak dapat digunakan untuk proses pemilihan anggota legislatif untuk DPRD dan DPR RI. Dari informasi mengenai perolehan suara sementara Pemilu Legislatif, menunjukkan bahwa para calon legislatif  yang partainya memiliki jaringan media massa dan/atau jor-joran membuat iklan politik di  media, tidak serta merta memperoleh suara yang siginifikan, seperti dapat dilihat dari perolehan suara Partai Hanura (yang menguasai jaringan media MNC Group) dan Partai Nasdem (yang menguasai jaringan media Metro TV, Media Indonesia, dll.). Dari berbagai informasi yang muncul di media massa, diduga bahwa faktor ketokohan dari ketua Partai dan Calon Presiden yang diajukan oleh Partai Politik, serta masih maraknya praktek vote buying yang dilakukan oleh para calon dan tim suksesnya, adalah faktor yang paling menentukan


(Bersambung nanti… kalau sempat ya…)

--------------
Judul    : Elections as Popular Culture in Asia
Penulis : Chua Beng Huat
Tahun  : 2007

Kamis, 10 April 2014

"Kisah yang Tercecer dari Timor Timur"


Oleh: Candra Kusuma

Apa jadinya, jika akibat berbagai sebab, anak terpisah dari orang tua dan lingkungan sosialnya?
Apa jadinya jika pemisahan tersebut  melibatkan ribuan anak, yang dilakukan secara sengaja,
baik karena terpaksa, bujukan atau dipaksa oleh pihak lain?


Kisah itulah yang diangkat dalam buku berjudul “Anak-anak Tim-Tim di Indonesia: Sebuah Cermin Masa Kelam.”  Buku ini ditulis oleh Helene van Klinken dari disertasi yang disusunnya di University of Queensland – Australia tahun 2009, dari hasil penelitiannya selama dua tahun (2003-2004), dibawah bimbingan Professor Robert Elson. Judul asli dari buku ini adalah “Making Them Indonesians: Child Transfer Out Of East Timor” yang diterbitkan Monash University Publishing tahun 2012. Helene sendiri merupakan istri dari Gerry van Klinken, seorang Indonesianis kelahiran Belanda dan mengajar di Australia.

Menurut pengakuannya, Helene menulis mengenai pemindahan anak-anak keluar Timor-Timur diinspirasi oleh masalah besar di negaranya sendiri, yaitu yang disebutnya sebagai “generasi yang hilang” (Stolen Generations) anak-anak Aborigin di Australia. Anak-anak tersebut dicabut dari akar keluarga dan budayanya dan dipaksa tinggal di panti-panti asuhan di sana. “Kebijakan” tersebut baru berakhir di tahun 1960-an.

Kisah pemindahan anak kerap diabaikan dalam sejarah-sejarah nasional, yang umumnya hanya diisi oleh kisah heroik dari mereka yang dianggap menjadi bagian dari gerakan perlawanan, diantaranya seperti Gusmão (2000), Carey (2003), Cristalis dan Scott (2005), Rei (2007) dan Conway (2010). Kisah mengenai pemindahan anak-anak yang rentan keluar Timor-Timur juga jarang diungkap.  Selain itu, sangat sedikit kajian dan informasi mengenai bagaimana kisah orang-orang Timor-Timur dalam hubunganya dengan orang Indonesia, khususnya mereka yang tidak dianggap menjadi bagian langsung dari gerakan perlawanan tadi.

Padahal, diperkirakan ada sekitar 4.000 anak-anak kecil Tim-Tim yang dipindahkan ke Indonesia antara 1975 –1999. Jika mengacu pada laporan Komisi Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi di Timor Leste (Comissão de Acolhimento, Verdade e Reconciliação de Timor Leste/CAVR), pada 2006 ada 4.534 anak yang kemungkinan telah dipindahkan ke Indonesia pada 1975 hingga 1999. Angka itu berdasarkan kasus yang dilaporkan kepada Komisi Tinggi PBB Urusan Pengungsi (UNHCR) dan Komite Internasional Palang Merah (ICRC).

Namun, sesungguhnya tidak ada data dan sumber informasi yang pasti mengenai masalah pemindahan anak-anak dari Timor Timur tersebut. Karenanya, penelitian Helene lebih mengandalkan sumber-sumber lisan dari para orang tua, keluarga, pihak gereja, aktivis dan lembaga kemanusiaan, dll. Helene mewawancarai sekitar 32 orang tua atau sanak-saudara anak-anak yang dibawa ke Indonesia. Banyak dari mereka masih mencari anak-anaknya yang hilang. Dia juga mewawancarai lebih dari 30 orang Timor Leste yang mengalami pemindahan paksa ke Indonesia ketika masih kecil. Sebagian besar dari mereka sudah kembali ke Timor Leste, tapi ada juga yang memutuskan tetap berada di Indonesia. Sebagian kecil masih mencari keluarganya.  Helene juga melakukan riset ke banyak tempat di Indonesia seperti beberapa panti asuhan di Bandung dan Makassar, juga di Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Kupang, dan Atambua.

Helene sendiri memilih untuk menggunakan istilah “pemindahan” yang menurutnya mencakup kejadian anak-anak yang “dibawa” dan “dikirimkan” ke Indonesia, atau “dipisahkan” dan “diculik” dari Timor Timur. Secara sadar Helene tidak menggunakan istilah generik ‘”trafficking” yang digunakan oleh PBB untuk menyebut semua bentuk pemindahan anak di bawah usia 18 tahun. Menurutnya, apa yang terjadi di Timor Timur tidak dapat digeneralisir sebagai sebuah kejahatan: “Sejarah pemindahan ini bukanlah kisah yang sederhana, juga tidak bisa digambarkan secara hitam putih. Sebagian anak-anak tidak dibawa karena keinginan mereka, sementara lainnya diselamatkan dari kematian; sebagian orangtua dipaksa dan ditipu untuk memberikan anak mereka, sementara lainnya menyetujui pemindahan anak mereka; sebagian anak-anak diperlakukan sebagai anggota keluarga oleh orang yang membawa mereka, sementara lainnya harus bekerja untuk keluarga angkat mereka, kadang-kadang dalam keadaan seperti budak.”

Dari hasil penelusurannya, Helene menyimpulkan bahwa, pelaku pemindahan anak-anak dari Timor Timur adalah perorangan, lembaga dan institusi negara seperti Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan institusi keagamaan. Kebanyakan kasus pengangkatan anak yang ditemukan Klinken dilakukan oleh tentara Indonesia. Meskipun sebagian besar tidak melalui prosedur yang benar, dan tentu saja tidak tercatat.

Kisah Biliki:

Biliki, lahir tahun 1969, dan karena suatu alasan harus tinggal bersama keluarga pamannya. Pada saat “kedatangan” tentara Indonesia tahun 1975, Biliki sempat bersembunyi di hutan sampai tahun 1978. Tinggal di barak pengungsian, sampai kemudian ada salah seorang Kopassus membawanya ke Dilli. Sempat beberapa kali berusaha melarikan diri namun gagal. Sampai kemudian si tentara Kopassus telah selesai masa dinasnya dan kembali ke Indonesia. Baliki juga dibawa pulang naik pesawat ke Indonesia, dan tinggal di kompleks Kopassus di Cijantung-Jakarta. Biliki kemudian diserahkan ke salah satu keluarga Kopassus lain di kompleks tersebut. Biliki merasa sangat tidak bahagia dengan penculikan tersebut. Terlebih keluarga yang menampungnya juga memiliki banyak anak dan kadang berlaku kejam kepadanya. Sampai kemudian Baliki bertemu dengan keluarga lain yang mau menampung dan bahkan menyekolahkannya. Saat ini Baliki sudah menikah dan memiliki tiga orang anak. Sampai kemudian, setelah tahun 1999, Baliki berusaha mencari informasi mengenai keluarganya di Timor-Timur. Dengan bantuan beberapa lembaga kemanusiaan, Baliki dapat bertemu dengan keluarganya disana. Namun kemudian Baliki menyadari bahwa dia sulit untuk kembali ke Timor-Timur, karena keluarganya yang sekarang ada di Indonesia. Baliki pada kenyataannya sudah terlalu di-Indonesia-kan, dan sudah menjadi orang Indonesia.


Helene juga menyimpulkan bahwa motivasi mereka yang melakukan pemindahan anak-anak tersebut sangatlah beragam:  “Orang-orang yang membawa anak-anak ini bertindak karena dorongan yang bermacam-macam dan berbeda-beda -- mulai dari rasa kasih sayang yang sungguh-sungguh dan niat baik sampai manipulasi tak berbelaskasih dan memanfaatkan anak-anak rentan itu untuk tujuan ekonomis, politis, dan ideologis.” Meskipun menurut Helene, hasil penelitiannya menunjukkan bahwa sesungguhnya tidak ada orang Timor Leste yang secara sukarela menyerahkan anak-anak mereka pada pihak lain. Kalaupun terpaksa, mereka akan menyerahkan anak-anak itu kepada keluarga atau pada gereja Katolik. Banyak diantara keluarga di sana saat itu yang merawat belasan bahkan ada yang sampai 20 anak-anak dari kerabatnya yang terlantar akibat konflik berkepanjangan. Sebagai ilustrasi, pada Tahun 1985/1986, ada sekitar 40.000 anak terlantar dari jumlah penduduk sekitar 650 ribu jiwa di Timor Timur.

Masalah utamanya adalah, hampir semua anak-anak yang dipindahkan yang tersebut sesungguhnya masih rentan karena secara usia masih sangat muda, dan tidak dapat hidup tanpa pengawasan keluarganya. Kala itu, banyak anak yang terpisah dari keluarganya dan terlantar. Sebagian merupakan  anak-anak yatim piatu dan miskin. Ada pula anak-anak dari keluarga anggota FRETILIN yang dianggap musuh negara Indonesia. Banyak anak-anak tersebut yang diambil karena memang tidak ada keluarga yang mengakui dan melindungi mereka. Banyak pula yang diambil lewat bujukan dan paksaan kepada orang tua, wali atau keluarganya. Sebagian keluarga memang membutuhkan barang-barang bantuan dari tentara, sebagian lagi mengaku karena takut untuk menentang “tawaran” dari kalangan tentara tersebut.

Banyak orang tua yang asli yang kemudian (di kemudian hari) merasa dibohongi, karena umumnya mereka merasa bahwa anak-anak tersebut suatu saat akan dikembalikan pada mereka. Namun pada kenyataannya, anak-anak tersebut bukan saja tidak kembali, bahkan terputus hubungan sama sekali dengan keluarganya. Namun menurut Helene sangatlah sulit untuk membuat penilaian mengenai tingkat keterpaksaan para orang tua di Timor Timur saat itu. Kemiskinan, kesulitan mencari keluarga dekat yang dapat dititipi anak, ancaman keselamatan dan tingginya tingkat ketidakpastian hidup akibat konflik, kebaikan personal dari sebagian orang Indonesia termasuk dari kalangan tentara yang bertugas di sana, merupakan sebagian kondisi faktual yang mereka hadapi saat itu.

Sadisnya, dalam penelitiannya Helene mendapat laporan dari banyak saksi mata bahwa banyak anak-anak tersebut yang dimasukkan ke peti besar oleh tentara Indonesia lalu diangkut dengan kapal yang akan pulang ke Indonesia. Mereka dimasukkan ke peti agar dianggap sebagai barang bawaan untuk menghindar pemeriksaan polisi militer karena tentara dilarang mengangkat anak (yatim piatu) tanpa ada surat yang ditandatangani oleh bupati.

Pada akhirnya, anak-anak yang dipindahkan tersebut berakhir menjadi anak pungut atau anak angkat, dan sekitar setengah dimasukkan ke panti-panti asuhan dan pesantren di Indonesia. Helene mengisahkan bagaimana pada tahun 1970-an salah satu yayasan Soeharto menyelenggarakan pengiriman 61 anak yatim piatu Timor Timur untuk diasuh dan disekolahkan. Anak-anak ini kemudian didatangkan ke kediaman Soeharto di Jalan Cendana – Jakarta. Pertemuan tersebut menjadi simbolis yang dipanggungkan di media massa Indonesia dan dunia. Sebagian anak-anak tersebut kemudian dikirim ke Panti Penyantunan Anak Taruna Negara (PPATN) di Bandung, Panti Asuhan Kinderdorf di Bandung, dan Panti Asuhan Santo Thomas di Semarang. Selain panti asuhan juga ada yang dititipkan ke pesantren.

Selain itu, dalam wawancaranya dengan TEMPO, Helene juga menceritakan bahwa banyak dari anak-anak itu kemudian dimasukkan ke pesantren, dan beberapa tahun kemudian berganti nama Islam, bahkan memeluk Islam. Helene memberi contoh dua anak perempuan kakak-beradik Olinda Soares dan Amelia Soares, misalnya, diganti nama menjadi Siti Khodijah dan Aminah. Anak-anak Timor Timur yang dididik dan dibesarkan di pesantren, menurut Helene, suatu waktu diharapkan bisa menyebarkan Islam di Timor Timur. Menurut Helene, mereka dipersiapkan menjadi pendakwah untuk meningkatkan jumlah populasi orang Islam di Timor Timur.

Dari hasil penelitiannya, Helene menemukan bahwa ada anggapan di kalangan tentara Indonesia saat itu bahwa membawa pulang seorang anak Timor Timur menjadi sebuah bukti keberhasilan menguasai Timor Timur. Para tentara itu--dari hasil penelitian Helene--kepada kawan dan tetangganya menyatakan bahwa anak-anak yang mereka bawa adalah anak-anak pejuang Timor Timur yang mati terbunuh saat bertempur melawan partai kiri FRETILIN. Mereka adalah anak pahlawan-pahlawan Timor yang telah berjuang mati demi keinginan integrasi dengan Indonesia. Padahal banyak yang sebaliknya. Justru mereka adalah anak-anak yang kehilangan bapak atau sanaknya karena operasi tentara Indonesia.

Yang tidak boleh diabaikan adalah bagaimana anak-anak itu dipaksa hidup di lingkungan yang sama sekali baru buat mereka. Sulit membayangkan bahwa anak-anak tersebut bahagia sepenuhnya dengan peristiwa yang mereka alami. Menurut Helene, ada sebagian yang justru mengalami diskriminasi bahkan pelecehan seksual dari orang-orang yang “menolong” mereka tersebut. Kekerasan fisik dan psikologis tersebut berpuncak pada dilema psikologis yang mereka hadapi. Ada seorang anak yang setelah dewasa baru menyadari bahwa orang tuanya  bukan orang tua sebenarnya. Justru yang paling sulit secara kejiwaan adalah anak-anak yang memiliki pengalaman baik dengan keluarga angkatnya dan kemudian menyadari bahwa orang tuanya yang selama ini membesarkan dengan kasih sayang ternyata adalah bagian dari korps yang membunuh orang tua aslinya. Secara sosiologis, anak-anak tersebut telah mengalami pemaksaan asimilasi dan eksklusi sosial (proses yang menghalangi seseorang atau kelompok untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial secara utuh), serta kekerasan fisik dan psikologis yang sangat kompleks.
 
Dari besarnya jumlah anak yang dipindahkan serta adanya keterlibatan lembaga pemerintah Indonesia, pada akhirnya Helene menyimpulkan bahwa ada sifat sistematis dari pemindahan anak-anak Timor-Timur ke Indonesia. Militer yang membawa jelas turut terlibat. Banyak panti asuhan yang nyatanya tidak tahu-menahu tentang status sebenarnya dari anak.”  Selain itu, menurutnya juga ada kesamaan tujuan politis dan ideologis -- meskipun tidak identik -- antara pemegang kekuasaan di Timor-Timur  dan Australia yang memindahkan anak-anak dari lingkungan asalnya. “Pemerintah Australia mau mengasimilasi anak-anak Aborigin ke dalam masyarakat kulit putih Kristen yang dominan; tujuan penguasa Indonesia adalah sama-sama mengintegrasikan anak-anak Timor-Timur, dan membuat mereka menjadi orang Indonesia.”

Helene juga menyimpulkan, bahwa pemindahan sekitar 4.000 anak yang masih kecil dan tergantung dari Timor Timur ke Indonesia selama periode 1975 – 1999 tersebut, merupakan salah satu bentuk dari bagaimana kekuasaan hegemonis menggunakan anak-anak untuk tujuan menguasai kelompok subordinat tertentu, di mana anak-anak itu dianggap menjadi bagian dari kelompok tersebut. “Tujuan pemindahan anak-anak tersebut ke Indonesia membungkus tujuan proyek integrasi dan niat pihak berwenang Orde Baru untuk semua orang Timor Timur yang mereka anggap seperti anak-anak –yaitu, membuat mereka menjadi orang Indonesia.”

Helene berharap masalah ini dapat dikaji dengan lebih mendalam, dengan menggunakan data dan informasi dari pemerintah Indonesia, khususnya dari pihak internal militer Indonesia. Tujuannya selain untuk lebih memberi pemahaman bagi semua pihak, juga membantu untuk menyatukan kembali hak-hak mereka (anak dan keluarganya) yang hilang akibat pemindahakan tersebut. Lebih jauh, bahkan mungkin dapat dilakukan pengusutan dan pengadilan terhadap personil-personil militer yang menculik paksa anak-anak tersebut, seperti pernah terjadi pada pengadilan kasus penculikan oleh aparat militer di pengadilan Argentina.

Sumber:
·         Helene van Klinken. Anak-anak Tim-Tim di Indonesia: Sebuah Cermin Masa Kelam. Kepustakaan Populer Granedia, Jakarta. Januari 2014.

Rabu, 02 April 2014

G.O.L.P.U.T.


Golongan Putih

Dalam suasana menjelang Hari-H Pemilu 2014, mulai terdengar lagi wacana mengenai “Golput.” Golput atau Golongan Putih adalah kelompok yang tidak ikut memilih dalam Pemilu, baik karena terpaksa, dibuat tidak memilih (tidak didaftar sebagai pemilih), ataupun karena memang secara sadar tidak mau memilih (choose not to elect). Golput ini oleh banyak ahli dipandang telah menjadi salah satu ancaman terbesar bagi demokrasi representatif, yang  tidak hanya terjadi di Indonesia tapi juga di seluruh negara demokratis di dunia, karena terutama dipandang dapat menggerogoti dan melemahkan legitimasi pemerintahan dan politisi terpilih dalam Pemilu. 

Golput karena terpaksa, misalnya saja karena tengah di perjalanan jauh atau tinggal jauh di pulau terpencil, umumnya masih dapat dimaklumi. Sebaliknya, Golput karena dipaksa tidak memilih, dipandang sebagai pelanggaran terhadap hak politik warga negara oleh  pemerintah/penguasa. Sementara jenis Golput  yang disebabkan karena kesadaran politiknya sendiri, oleh sebagian orang dipandang sebagai sebuah bentuk sikap politik yang juga harus diakui, yaitu sebagai kritik terhadap sistem demokrasi representatif yang makin oligarkis dan cenderung korup serta tidak mampu menyediakan calon-calon pemimpin yang sesuai dengan harapan rakyat.

Uniknya, dan ini mungkin hanya terjadi di Indonesia saja,  masalah Golput ini sampai terbawa  ke urusan “halal-haram.”  Belum lama ini Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur telah mengeluarkan fatwa, bahwa masyarakat yang tidak ikut Pemilu alias Golput adalah haram. MUI meminta masyarakat untuk ikut peran serta atau mencoblos di Pemilu 2014 nanti. Meskipun menurut Ketua MUI Jawa Timur, istilah yang digunakan dalam keputusan MUI bukanlah Golput. Akan tetapi, MUI menyatakan bahwa Nasbul Imamah atau mengangkat pemimpin itu hukumannya wajib. Artinya memilih pemimpin yang amanah, jujur, adil, beriman dan bertaqwa itu hukumnya wajib. Jika ada pemimpin yang memiliki sifat tersebut, maka wajib hukumnya untuk dipilih. Namun jika tidak dipilih, maka orang yang tidak memilihnya akan menanggung dosa. Tetapi, MUI Jawa Timur juga memfatwakan bahwa tindakan memilih politisi yang memiliki track record yang jelek, suka korupsi, akhlaknya jelek, juga termasuk berdosa. Sayangnya, dalam berita yang cukup banyak diliput media tersebut, tidak disebutkan bagaimana seharusnya sikap masyarakat jika merasa sulit atau bahkan tidak dapat menemukan politisi (Caleg dan Capres/Cawapres yang tidak sesuai dengan kriteria tadi, yaitu sebagai pemimpin yang amanah, jujur, adil, beriman dan bertaqwa tersebut. Lima tahun lalu (2009) sesungguhnya MUI Pusat sudah mengeluarkan fatwa wajib memberikan suara dalam Pemilu. MUI tidak mengeluarkan fatwa mengenai Golput.

Saya sendiri masih berniat ikut menggunakan hak pilih pada Pemilu kali ini. Tapi saya juga tergoda untuk membaca lagi mengenai tema Golput ini. Agar dapat berbagi, saya cuplik secara utuh bagian dari tulisan Bismar Arianto berjudul “Analisis Penyebab Masyarakat Tidak Memilih dalam Pemilu,” yang dimuat pada Jurnal Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan, Vol. 1, No. 1, 2011.

------------------------------------ 

Kerangka Teori

Dalam kajian perilaku pemilih hanya ada dua konsep utama, yaitu; perilaku memilih (voting behavior) dan perilaku tidak memilih (non voting behavior). David Moon mengatakan ada dua pendekatan teoritik utama dalam menjelaskan prilaku non-voting yaitu: pertama, menekankan pada karakteristik sosial dan psikologi pemilih dan karakteristik institusional sistem pemilu; dan kedua, menekankan pada harapan pemilih tentang keuntungan dan kerugian atas keputusan mereka untuk hadir atau tidak hadir memilih (dalam Hasanuddin M. Saleh, 2007).

Istilah Golput muncul pertama kali menjelang pemilu pertama zaman Orde Baru tahun 1971. Pemrakarsa sikap untuk tidak memilih itu, antara lain Arief Budiman, Julius Usman dan almarhum Imam Malujo Sumali. Langkah mereka didasari pada pandangan bahwa aturan main berdemokrasi tidak ditegakkan, cenderung diinjak-injak (Fadillah Putra, 2003: 104).

Golput menurut Arif Budiman bukan sebuah organisasi tanpa pengurus tetapi hanya merupakan pertemuan solidaritas (Arif Budiman). Sedangkan Arbi Sanit mengatakan bahwa Golput adalah gerakan protes politik yang didasarkan pada segenap problem kebangsaan, sasaran protes dari dari gerakan Golput adalah penyelenggaraan pemilu. Mengenai Golput alm. KH. Abdurrahaman Wahid pernah mengatakan “ kalau tidak ada yang bisa di percaya, ngapain repot-repot ke kotak suara? Dari pada nanti kecewa” (Abdurrahamn Wahid, dkk., 2009: 1).

Sikap orang-orang Golput, menurut Arbi Sanit dalam memilih memang berbeda dengan kelompok pemilih lain atas dasar cara penggunaan hak pilih. Apabila pemilih umumnya menggunakan hak pilih sesuai peraturan yang berlaku atau tidak menggunakan hak pilih karena berhalangan di luar kontrolnya, kaum Golput menggunakan hak pilih dengan tiga kemungkinan.

Pertama, menusuk lebih dari satu gambar partai. Kedua ,menusuk bagian putih dari kartu suara. Ketiga, tidak mendatangi kotak suara dengan kesadaran untuk tidak menggunakan hak pilih. Bagi mereka, memilih dalam pemilu sepenuhnya adalah hak. Kewajiban mereka dalam kaitan dengan hak pilih ialah menggunakannya secara bertanggungjawab dengan menekankan kaitan penyerahan suara kepada tujuan pemilu, tidak hanya membatasi pada penyerahan suara kepada salah satu kontestan pemilu (Arbi Sanit, 1992).

Jadi berdasarkan hal di atas, Golput adalah mereka yang dengan sengaja dan dengan suatu maksud dan tujuan yang jelas menolak memberikan suara dalam pemilu. Dengan demikian, orang-orang yang berhalangan hadir di Tempat Pemilihan Suara (TPS) hanya karena alasan teknis, seperti jauhnya TPS atau terluput dari pendaftaran, otomatis dikeluarkan dari kategori Golput. Begitu pula persyaratan yang diperlukan untuk menjadi Golput bukan lagi sekedar memiliki rasa enggan atau malas ke TPS tanpa maksud yang jelas. Pengecualian kedua golongan ini dari istilah Golput tidak hanya memurnikan wawasan mengenai kelompok itu, melainkan juga sekaligus memperkecil kemungkinan terjadinya pengaburan makna, baik di sengaja maupun tidak.

Eep Saefulloh Fatah, mengklasifikasikan Golput atas empat golongan. Pertama, Golput teknis, yakni mereka yang karena sebab-sebab teknis tertentu (seperti keluarga meninggal, ketiduran, dan lain-lain) berhalangan hadir ke tempat pemungutan suara, atau mereka yang keliru mencoblos sehingga suaranya dinyatakan tidak sah. Kedua, Golput teknis-politis, seperti mereka yang tidak terdaftar sebagai pemilih karena kesalahan dirinya atau pihak lain (lembaga statistik, penyelenggara pemilu). Ketiga, Golput politis, yakni mereka yang merasa tak punya pilihan dari kandidat yang tersedia atau tak percaya bahwa pileg/pilkada akan membawa perubahan dan perbaikan. Keempat, Golput ideologis, yakni mereka yang tak percaya pada mekanisme demokrasi (liberal) dan tak mau terlibat di dalamnya entah karena alasan fundamentalisme agama atau alasan politik-ideologi lain (dalam Hery M.N. Fathah).

Sedangkan menurut Novel Ali (1999:22)., di Indonesia terdapat dua kelompok Golput. Pertama, adalah kelompok Golput awam. Yaitu mereka yang tidak mempergunakan hak pilihnya bukan karena alasan politik, tetapi karena alasan ekonomi, kesibukan dan sebagainya. Kemampuan politik kelompok ini tidak sampai ke tingkat analisis, melainkan hanya sampai tingkat deskriptif saja. Kedua, adalah kelompok Golput pilihan. Yaitu mereka yang tidak bersedia menggunakan hak pilihnya dalam pemilu benar-benar karena alasan politik. Misalnya tidak puas dengan kualitas partai politik yang ada. Atau karena mereka menginginkan adanya satu organisasi politik lain yang sekarang belum ada. Maupun karena mereka mengkehendaki pemilu atas dasar system distrik, dan berbagai alasan lainnya. Kemampuan analisis politik mereka jauh lebih tinggi dibandingkan Golput awam. Golput pilihan ini memiliki kemampuan analisis politik yang tidak cuma berada pada tingkat deskripsi saja, tapi juga pada tingkat evaluasi.

Analisa Penyebab Golput

Berdasar pemaparan secara teoritis dan tinjauan penelitian sebelumnya ada perbedaan pendapat para ahli dan temuan hasil penelitian tentang fenomena Golput. Menurut David Moon ada perilaku non-voting yaitu pertama, menekankan pada karakteristik sosial dan psikologi pemilih serta karakteristik institusional sistem pemilu; dan kedua, menekankan pada harapan pemilih tentang keuntungan dan kerugian atas keputusan mereka untuk hadir atau tidak hadir memilih.

Merujuk pedapat Arbi Sanit Golput dapat diklasifikasi menjadi tiga yaitu Pertama, menusuk lebih dari satu gambar partai. Kedua ,menusuk bagian putih dari kartu suara. Ketiga, tidak mendatangi kotak suara dengan kesadaran untuk tidak menggunakan hak pilih. Sedangkan menurut Novel Ali dapat di bagi dua kelompok Golput awam dan kelompok Golput pilihan. Secara lebih detail diuraikan oleh Eep Saefulloh Fatah Golput teknis, Golput teknis-politis Golput politis dan Golput ideologis.

Hasil penelitian Tauchid Dwijayanto dalam kasus pilkada Jawa Tengah ada tiga yang menyebabkan terjadinya Golput yaitu lemahnya sosialisasi, masyarakat lebih mementingkan kebutuhan ekonomi dan sikap apatisme masyarakat. Berdasarkan hasil temuan Efniwati ada dua hal yang menyebabkan pemilih Golput yaitu faktor pekerjaan dan faktor lokasi TPS. Kemudian Eriyanto mengatakan ada empat alasan mengapa pemilih Golput yaitu karena administratif, teknis, rendahnya keterlibatan atau ketertarikan pada politik (political engagement) dan kalkulasi rasional.

Berangkat dari penjelasan ini dalam pemahaman penulis faktor yang menyebabkan masyarakat untuk tidak menggunakan hak pilihnya secara sederhana dapat di klasifikasikan kedalam dua kelompok besar yaitu faktor dari internal pemilih dan faktor ekternal. Faktor internal yang penulis maksud adalah alasan pemilih untuk tidak menggunakan hak pilih dalam pemilu bersumber dari dirinya sendiri, sedangkan ekternal alasan tersebut datang dari luar dirinya.

1. Faktor Internal
Tabel di atas menunjukkan tiga alasan yang datang dari individu pemilih yang mengakibatkan mereka tidak menggunakan hak pilih. Diantaranya alasan teknis dan pekerjaan pemilih.

a. Faktor Teknis
Faktor teknis yang penulis maksud adalah adanya kendala yang bersifat teknis yang dialami oleh pemilih sehingga menghalanginya untuk menggunakan hak pilih. Seperti pada saat hari pencoblosan pemilih sedang sakit, pemilih sedang ada kegiatan yang lain serta berbagai hal lainnya yang sifatnya menyangkut pribadi pemilih. Kondisi itulah yang secara teknis membuat pemilih tidak datang ke TPS untuk menggunakan hak pilihnya.

Faktor teknis ini dalam pemahaman dapat di klasifikasikan ke dalam dua hal yaitu teknis mutlak dan teknis yang bisa di tolerir. Teknis mutlak adalah kendala yang serta merta membuat pemilih tidak bisa hadir ke TPS seperti sakit yang membuat pemilih tidak bisa keluar rumah. Sedang berada di luar kota. Kondisi yang seperti yang penulis maksud teknis mutlak. Teknis yang dapat di tolerir adalah permasalahan yang sifatnya sederhana yang melakat pada pribadi pemilih yang mengakibat tidak datang ke TPS. Seperti ada keperluan keluarga, merencanakan liburan pada saat hari pemilihan. Pada kasus-kasus seperti ini dalam pemahaman penulis pemilih masih bisa mensiasatinya, yaitu dengan cara mendatangi TPS untuk menggunakan hak pilih terlebih dahulu baru melakukan aktivitas atau keperluan yang bersifat pribadi.

Pemilih Golput yang karena alasan teknis yang tipe kedua ini cenderung tidak mengetahui essensi dari menggunakan hak pilih, sehingga lebih mementingkan kepentingan pribadi dari pada menggunakan pilihnya. Pemilih ideal harus mengetahui dampak dari satu suara yang diberikan dalam pemilu. Hakikatnya suara yang diberikan itulah yang menentukan pemimpin lima tahun mendatang. Dengan memilih pemimpin yang baik berarti pemilih berkontribusi untuk menciptakan masa depan yang lebih baik pula.

b. Faktor Pekerjaan
Faktor pekerjaan adalah pekerjaan sehari-hari pemilih. Faktor pekerjaan pemilih ini dalam pemahaman penulis memiliki kontribusi terhadap jumlah orang yang tidak memilih. Sebagian besar penduduk Indonesia bekerja di sektor informal, dimana penghasilanya sangat terkait dengan intensitasnya bekerja. Banyak dari sektor informal yang baru mendapatkan penghasilan ketika mereka bekerja, tidak bekerja berarti tidak ada penghasilan. Seperti tukang ojek, buruh harian, nelayan, petani harian. Kemudian ada pekerjaan masyarakat yang mengharuskan mereka untuk meninggal tempat tinggalnya seperti para pelaut, penggali tambang. Kondisi seperti membuat mereka harus tidak memilih, karena faktor lokasi mereka bekerja yang jauh dari TPS. Maka dalam pemahaman penulis faktor pekerjaan cukup singifikan pada pada faktor internal membuat pemilih untuk tidak memilih. Pemilih dalam kondisi seperti ini dihadapkan pada dua pilihan menggunakan hak pilih yang akan mengancam berkurang yang penghasilannya atau pergi bekerja dan tidak memilih.

2. Faktor Eksternal
Faktor ektenal faktor yang berasal dari luar yang mengakibatkan pemilih tidak menggukan hak pilihnya dalam pemilu. Ada tiga yang masuk pada kategori ini menurut pemilih yaitu aspek administratif, sosialisasi dan politik.

a. Faktor Administratif
Faktor adminisistratif adalah faktor yang berkaitan dengan aspek adminstrasi yang mengakibatkan pemilih tidak bisa menggunakan hak pilihnya. Diantaranya tidak terdata sebagai pemilih, tidak mendapatkan kartu pemilihan tidak memiliki identitas kependudukan (KTP). Hal-hal administratif seperti inilah yang membuat pemilih tidak bisa ikut dalam pemilihan. Pemilih tidak akan bisa menggunakan hak pilih jika tidak terdaftar sebagai pemilih. Kasus pemilu legislatif 2009 adalah buktinya banyaknya masyarakat Indonesia yang tidak bisa ikut dalam pemilu karena tidak terdaftar sebagai pemilih. Jika kondisi yang seperti ini terjadi maka secara otomatis masyarakat akan tergabung kedalam kategori Golput.

Faktor berikut yang menjadi penghalang dari aspek administrasi adalah permasalahan kartu identitas. Masih ada masyarakat tidak memilki KTP. Jika masyarakat tidak memiliki KTP maka tidak akan terdaftar di DPT (Daftar Pemimilih Tetap) karena secara administtaif KTP yang menjadi rujukkan dalam mendata dan membuat DPT. Maka masyarakat baru bisa terdaftar sebagai pemilih menimal sudah tinggal 6 bulan di satu tempat.

Golput yang diakibat oleh faktor administratif ini bisa diminimalisir jika para petugas pendata pemilih melakukan pendataan secara benar dan maksimal untuk mendatangi rumah-rumah pemilih. Selain itu dituntut inisiatif masyarakat untuk mendatangi petugas pendataan untuk mendaftarkan diri sebagai pemilih. Langkah berikutnya DPS (Daftar Pemilih Sementara) harus tempel di tempat-tempat strategis agar bisa dibaca oleh masyarakat. Masyarakat juga harus berinisiatif melacak namanya di DPS, jika belum terdaftar segara melopor ke pengrus RT atau petugas pendataan. Langkah berikut untuk menimalisir terjadi Golput karen aspek adminitrasi adalah dengan memanfaatkan data kependudukan berbasis IT. Upaya elektoronik Kartu Tanda Penduduk (E-KTP) yang dilakukan pemerintahan sekarang dalam pandangan penulis sangat efektif dalam menimalisir Golput administratif.

b. Sosialisasi
Sosialisasi atau menyebarluaskan pelaksanaan pemilu di Indonesia sangat penting dilakukan dalam rangka meminimalisir Golput. Hal ini di sebabkan intensitas pemilu di Indonesia cukup tinggi mulai dari memilih kepala desa, bupati/walikota, gubernur pemilu legislatif dan pemilu presiden hal ini belum dimasukkan pemilihan yang lebih kecil RT/RW.

Kondisi lain yang mendorong sosialisi sangat penting dalam upaya meningkatkan partisipasi politik masyarakat adalah dalam setiap pemilu terutama pemilu di era reformasi selalu diikuti oleh sebagian peserta pemilu yang berbeda. Pada Pemilu 1999 diikuti sebanyak 48 partai politik, pada pemilu 2004 dikuti oleh 24 partai politik dan pemilu 2009 dikuti oleh 41 partai politik nasional dan 6 partai politik lokal di Aceh. Kondisi ini menuntut perlunya sosialisasi terhadap masyarakat. Permasalahan berikut yang menuntut perlunya sosialisasi adalah mekanisme pemilihan yang berbeda antara pemilu sebelum reformasi dengan pemilu sebelumnya. Dimana pada era orde baru hanya memilih lambang partai sementara sekarang selian memilih lambang juga harus memilih nama salah satu calon di pertai tersebut. Perubahan yang signifikan adalah pada pemilu 2009 dimana kita tidak lagi mencoblos dalam memilih tetapi dengan cara menandai.

Kondisi ini semualah yang menuntu pentingnya sosialisasi dalam rangka menyukseskan pelaksanaan pemilu dan memenimalisir angka Golput dalam setiap pemilu. Terlepas dari itu semua penduduk di Indonesia sebagai besar berada di pedesaan maka menyebar luaskan informasi pemilu dinilai pentingi, apalagi bagi masyarakat yang jauh dari akses transportasi dan informasi, maka sosiliasi dari mulut ke mulut menjadi faktor kunci mengurangi angka Golput.

c. Faktor Politik
Faktor politik adalah alasan atau penyebab yang ditimbulkan oleh aspek politik masyarakat tidak mau memilih. Seperti ketidak percaya dengan partai, tak punya pilihan dari kandidat yang tersedia atau tak percaya bahwa pileg/pilkada akan membawa perubahan dan perbaikan. Kondisi inilah yang mendorong masyarakat untuk tidak menggunakan hak pilihnya.

Stigma politik itu kotor, jahat, menghalalkan segala cara dan lain sebagainya memperburuk kepercayaan masyarakat terhadap politik sehingga membuat masyarakat enggan untuk menggunakan hak pilih. Stigma ini terbentuk karena tabiat sebagian politisi yang masuk pada kategori politik instan. Politik dimana baru mendekati masyarakat ketika akan ada agenda politik seperti pemilu. Maka kondisi ini meruntuhkan kepercayaan masyarakat pada politisi.

Faktor lain adalah para politisi yang tidak mengakar, politisi yang dekat dan memperjuangkan aspirasi rakyat. Sebagian politisi lebih dekat dengan para petinggi partai, dengan pemegang kekuasaan. Mereka lebih menngantungkan diri pada pemimpinnya di bandingkan mendekatkan diri dengan konstituen atau pemilihnya. Kondisi lain adalah tingkah laku politisi yang banyak berkonflik mulai konflik internal partai dalam mendapatkan jabatan strategis di partai, kemudian konflik dengan politisi lain yang berbeda partai. Konflik seperti ini menimbulkan anti pati masyarakat terhadap partai politik. Idealnya konflik yang di tampilkan para politisi seharusnya tetap mengedepankan etika politik (fatsoen).

Politik pragamatis yang semakin menguat, baik dikalangan politisi maupun di sebagian masyarakat. Para politisi hanya mencari keuntungan sesaat dengan cara mendapatkan suara rakyat. Sedangan sebagian masyarakat kita, politik dengan melakukan transaksi semakin menjadi-jadi. Baru mau mendukung, memilih jika ada mendapatkan keutungan materi, maka muncul ungkapan kalau tidak sekarang kapan lagi, kalau sudah jadi/terpilih mereka akan lupa janji. Kondisi-kondisi yang seperti penulis uraikan ini yang secara politik memengaruhi masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya. Sebagian masyarakat semakin tidak yakin dengan politisi. Harus diakui tidak semua politisi seperti ini, masih banyak politisi yang baik, namun mereka yang baik tenggelam dikalahkan politisi yang tidak baik.
------------------------------------ 
Referensi:
·     http://news.detik.com/pemilu2014/03/13/161554/2524913/1562/kpu-sambut-baik-fatwa-mui-jatim-soal-golput-haram