Baca

Baca

Kamis, 28 September 2017

Keperantaraan (Intermediaries) dalam Pengurangan Kemiskinan dan Ketimpangan

Oleh: Candra


Gagasan tentang keperantaraan (intermediaries) bukanlah sebuah konsep yang sama sekali baru. Secara teoritik, dalam sosiologi dikenal adanya konsep perantara (intermediary), seperti intermediary associations (Turner, 2006; Abercrombie, Hill & Turner, 2006), intermediary groups dan intermediary bodies (Boudon & Bourricaud, 1989) yang umumnya dimaknai sebagai aktor yang menghubungkan antara satu kelompok masyarakat dengan aktor dan entitas sosial lainnya. Sementara dalam ilmu ekonomi, konsep perantara secara historis dekat dengan konsep middleman, third party, broker, atau mediator (Howells, 2006; Lowitt, 2013; Wherry & Schor, eds., 2015). Dalam pengertian awam, istilah perantara biasanya digunakan untuk menyebut peran tengkulak, makelar atau calo, yang kerap dikonotasikan negatif, karena umumnya lebih berorientasi mengambil keuntungan sepihak semata, dan hanya memperpanjang rantai distribusi informasi/produk/jasa,  yang dalam tinjauan politik-ekonomi disebut sebagai “perantara predator” (predatory intermediaries) (lihat Lewis, 2014; Kostakis & Bauwens, 2014). Belakangan, istilah perantara ini memiliki pemaknaan yang agak berbeda, dan banyak dipengaruhi oleh perkembangan teori modernisasi (Wolfe, 2006).
Kelompok masyarakat, lembaga atau organisasi dan bahkan perusahaan atau sebuah negara tidak selalu memiliki sumberdaya dan kapasitas untuk secara mandiri mengupayakan pencapaian tujuan mereka. Karena itu umumnya mereka memerlukan dukungan dari pihak lain yang berperan sebagai penghubung dan perantara untuk membantu dalam mencapai tujuan mereka tersebut secara lebih efektif (Stanzon, 2003). Dalam hal ini perantara merupakan individu, organisasi, jaringan atau ruang yang menghubungkan orang, ide/gagasan dan sumberdaya (lihat www.socialinnovator.com). Perantara adalah mediator di antara beberapa kelompok dan memfasilitasi kolaborasi untuk mencapai tujuan bersama (Backhaus, 2010).
Sebagai contoh, dalam dunia perdagangan, intermediasi adalah proses transfer dana dari pemilik dana kepada peminjam (Liou, 1998). Dalam dunia perdagangan, perantara umumnya berperan sebagai penghubung antara penjual dan pembeli (Battisti & Williamson, 2015). Atau dalam proses mediasi, seperti mediator yang menjadi pihak ketiga ketika ada perundingan atau negosiasi antara beberapa pihak. Sementara dalam proses fasilitasi kelompok masyarakat, perantara menjadi penghubung atau pendukung dalam proses pemberdayaan tersebut.
Oleh karena itu, perantara dapat berperan lintas level dalam hal geografis dan yurisdiksi, termasuk dengan kelompok informal, kelompok masyarakat, kota, provinsi dan lintas negara. Mereka juga dapat berperan di ranah publik, privat dan non-pemerintah (Briggs, 2003; Schorr, Farrow & Lee, 2010). Sebagian menyebutnya sebagai perantara lokal, regional, nasional dan internasional (Anglin ed., 2004).
Van der Meulen, Nadeva & Braun (2005) mendefinisikan organisasi perantara (intermediary organisation) berdasarkan posisi struktural mereka, yaitu "perantara" adalah setiap organisasi yang menengahi (memediasi) hubungan antara dua atau lebih aktor sosial (organisasi, institusi, dan lain-lain). Oleh karena itu, setiap konseptualisasi (penteorian) organisasi perantara harus menjelaskan dua hal tersebut, tentang organisasi/institusi dan hubungan yang terjalin didalamnya. Kedua hal tersebut saling berhubungan dan saling bergantung atau mempengaruhi. Namun demikian, menurut Stanzon (2003) perantara tidak hanya merujuk pada satu individu, kelompok atau lembaga. Perantara juga dapat bersifat kolaborasi antara dua atau lebih lembaga untuk membentuk sebuah proyek atau program yang menjadi kepentingan bersama.
Penggunaan istilah, bentuk dan kegiatan perantara sangat beragam, antara lain:
a) Perantara keuangan (financial intermediaries), contohnya lembaga pemberi pinjaman untuk pengembangan usaha; lembaga keuangan mikro dalam penanggulangan kemiskinan (diantaranya lihat ADB, 2002), dan dukungan lembaga keuangan internasional dalam pengembangan usaha kecil dan menengah di negara berkembang (Dalberg Global Development Advisors, 2011);
b) Perantara informasi (information intermediaries), contohnya knowledge broker yang melakukan penelitian, kajian dan diseminasi dalam pengembangan pertanian (Andreoni & Ha-Joon, 2014; Addom, 2015);
c) Perantara dalam melakukan evaluasi lembaga (Stanzon, 2003);
d) Perantara sebagai aktor yang melakukan inovasi (Bendis, Seline & Byler, 2008; Backhaus, 2010; Smentyna, 2015);
e) Perantara yang mendukung kegiatan penelitian (Anthony dan Austin, 2008; Hitchman, 2010);
f) Perantara sebagai pendukung peningkatan kapasitas, seperti memberikan asistensi teknis dalam bentuk pelatihan, pendampingan dan masukan (Stanzon, 2003);
g) Perantara pengembangan masyarakat (community development intermediaries), contohnya peran NGO sebagai lembaga pendukung dalam pemberdayaan masyarakat dan peningkatan kualitas hidup masyarakat kemiskinan, termasuk dalam pengembangan usaha pengembangan masyarakat atau community development corporation-CDC yang banyak difasilitasi oleh pihak lain (lihat de Vita & Fleming, 2001; Walker, 2002; Anglin & Montezemolo, dalam Anglin ed., 2004; Rodrigez, Pereira & Brodnax, dalam Maurrasse & Jones eds., 2004; Frisch & Servon, 2006; Anglin, 2011; Baruah, 2015);
Weinberg, Pellow & Schnaiberg (2000:104) mengutip istilah  mediating institution dari Lamphere (1992). Contohnya adalah peran universitas sebagai mediating institution dalam kolaborasi antara dewan lingkungan/komunitas dengan dewan kota di USA (Kathi, Cooper & Meek, 2007). Lembaga semacam universitas ini disebut sebagai lembaga nirlaba sektor publik yang merupakan perantara antara sektor publik dan ekonomi sosial (Quarter & Mook (2010).
   
Dalam konteks pengembangan komunitas, perantara dimaknai sebagai organisasi yang mendukung satu atau beberapa organisasi/komunitas dengan sejumlah cara, seperti: membantu dalam meningkatkan keterampilan dan keahlian tertentu, pengetahuan, informasi, perencanaan, analisis, monitoring dan evaluasi, membangun jaringan, mobilisasi sumberdaya, proses belajar bersama, promosi/sosialisasi publik, akses ke layanan keuangan/perbankan, dll. (Schorr, Farrow & Lee, 2010). Aspek pemanfaatan teknologi pendukung (teknologi untuk produksi, pasca produksi, pengemasan, distribusi dan komunikasi/pemasaran) menjadi bagian integral dari bentuk dukungan tersebut.
Perantara ini menjembatani banyak fungsi di berbagai level masyarakat. Di USA, lembaga perantara menjadi penghubung antara kalangan akar rumput (grassroots) dengan kaum menengah-atas (grasstops), atau antara orang dan lembaga yang memiliki sumberdaya dan kekuasaan dengan mereka yang sumberdaya dan kapabilitasnya terbatas serta memerlukan dukungan (Briggs, 2003).
Peran perantara dalam proyek-proyek pembangunan dan pengembangan komunitas adalah melakukan tiga fungsi vital dalam hal, yaitu: (a) Melakukan mobilisasi modal, termasuk dukungan proyek dan operasi dan pembiayaan pembangunan; (b) Memberi bantuan teknis dalam pengelolaan keuangan, pengembangan proyek, dan pembangunan institusi lokal; dan (c) Memberi legitimasi pada kelembagaan komunitas, meningkatkan kompetensi teknis, dan mengurangi risiko bagi penyandang dana sektor publik dan swasta (Walker 1993, yang dikutip Liou, 1998).
Karakteristik inti dari perantara adalah: (a) Mereka memperoleh kepercayaan dari orang-orang dan lembaga dengan siapa mereka bekerja; (b) Memiliki legitimasi atas peran dan kapasitas mereka untuk melakukan fungsi tertentu secara umum diakui dan diterima (Schorr, Farrow & Lee, 2010:5).  Dalam hal ini, perantara dapat berperan menambahkan nilai secara tidak langsung, dengan menghubungkan dan mendukung pihak lain, yaitu dengan memungkinkan pihak lain dapat menjadi lebih efektif. Perantara dapat bertindak sebagai fasilitator, pendidik masyarakat, pembangun kapasitas, investor sosial yang mengumpulkan dana, manajer, pembangun koalisi, mengorganisir kelompok baru, dan banyak lagi (Briggs, 2003).
Pada praktiknya, perantara dapat dan telah memainkan banyak peran dalam mendukung pengembangan komunitas, seperti membantu dalam melakukan pembinaan, penelitian, perencanaan, peningkatan kapasitas, dan terkadang juga dalam hal pendanaan. Dengan demikian, perantara bisa lebih dari sekadar pembantu pasif. Mereka bisa sangat berpengaruh, membentuk perhatian, menyalurkan dana, memberikan dukungan politik, dan sumber daya berharga lainnya. Pengaruh tersebut dapat digunakan secara efektif atau tidak efektif, dan bahkan dapat juga disalahgunakan (Briggs, 2003).
Peran perantara sangat penting khususnya terkait kewirausahaan sosial (social entrepreneurship) dan pengembangan usaha sosial (social enterprise) yang erat kaitannya dengan aktivitas usaha kecil/mikro yang banyak melibatkan masyarakat miskin. Menurut Jenner (2016), dalam pengembangan usaha sosial, perantara tidak hanya dapat memberikan dukungan pendanaan, tetapi juga bantuan konsultasi, jaringan, pengembangan usaha dan pelatihan (Hines 2005; Lyon & Ramsden 2006; Peattie & Morley, 2008; Shanmugalingam et al., 2011). Hal ini penting karena usaha sosial umumnya belum siap memiliki kemampuan memadai dalam investasi dan membutuhkan dukungan perantara terutama di bidang-bidang tertentu, seperti strategi dan sumber daya (Sunley & Pinch, 2012).
Segmen usaha mikro biasanya hanya memiliki sedikit interaksi atau tidak formal dengan instansi pemerintah. Nyatanya banyak penelitian menunjukkan bahwa usaha tersebut dapat memainkan peran tidak langsung dalam membangun dan mempertahankan ekonomi nasional dan lokal dengan membantu menciptakan kondisi di mana usaha mikro dapat berkembang di sektor ekonomi informal. Dalam hal ini ekspansi mereka dapat difasilitasi oleh organisasi perantara non-pemerintah (Zuber-Skerritt, 2013).
Oleh karena itu, perantara juga harus memiliki kapasitas "transformasional" dan bukan semata-mata berorientasi bisnis dalam hubungannya dengan sektor yang memenuhi berbagai fungsi yang saling terkait, seperti peningkatan kapasitas, inovasi, advokasi, penelitian dan pengembangan kapasitas sektoral (Burkett 2013; Shanmugalingam et al., 2011). Karenanya, para perantara diharapkan dapat membantu mengembangan potensi "pembentukan pasar untuk usaha sosial", sehingga kapasitas mereka untuk mendukung aktivitas jaringan usaha sosial terutama dalam hubungan dengan pembuat kebijakan publik menjadi sangat penting (Shanmugalingam et al., 2011).
Terkait upaya pemberdayaan masyarakat dan penyelesaian masalah di komunitas, ada lima tipe lembaga keperantaraan yang dapat diidentifikasi, yaitu:
a) Pemerintah sebagai perantara (government-as-intermediary), diantaranya melakukan pembahasan dengan partai politik, memimpin proses partisipasi (civic process), mendidik masyarakat, menemukan sumberdaya di dalam dan di luar komunitas. Instansi pemerintah dan yayasan lokal terkadang melakukan kontrak dengan perantara eksternal untuk bekerja dengan kelompok masyarakat tapi terkadang mempekerjakan orang secara internal untuk melakukan hal yang sama;

b) NGO sebagai perantara (civic intermediaries), yang dapat memainkan sebagian peran yang sama dengan pemerintah, selain otoritas dalam mensahkan kebijakan dan anggaran publik;

c) Pemberi dana sebagai perantara (funder-intermediaries), seperti perusahaan atau yayasan amal atau pengumpul dana dari berbagai pihak, yang menyaring, memvalidasi, mencocokkan dan mengalokasikan dana untuk program pengembangan masyarakat;
d) Perantara yang fokus pada isu tertentu (issue-focused intermediaries), yang melakukan penelitian, advokasi, menyusun desain dan melaksanakan program pelayanan publik atau upaya mengatasi isu publik;
e) Perantara dalam peningkatan kapasitas (capacity-building intermediaries), yang menekankan pada pengembangan organisasi atau membangun kemampuan baru di masyarakat (lihat Ferguson, 1999; Briggs, 2003; Cordero-Guzmán & Auspos, 2006; The U.S. Department of Health and Service Center for Faith-Based and Community Initiatives, 2008; Delale-O’Connor & Walker, 2012).

Ferguson (1999) membagi perantara dalam tiga level, yaitu: (a) Level 1, perantara di tingkat komunitas/lokal; (b) Level 2, yaitu para peneliti, analis, pelaku advokasi dan cendekiawan di tingkat lokal, serta para penyokong dana dan pembuat kebijakan di tingkat lokal (termasuk pemerintah, yayasan, bisnis dan bank); (c) Level 3, penyokong dana dan pembuat kebijakan di tingkat nasional (termasuk pemerintah dan yayasan), serta para peneliti, analis, pelaku advokasi dan cendekiawan di tingkat nasional.
Secara teoritik, konsep ini dapat dikatakan dekat dengan model Penta Helix atau Quintuple Helix. Ada banyak versi mengenai model ini, namun pada dasarnya memiliki kesamaan pandangan bahwa inovasi dan pembangunan memerlukan kolaborasi dari setidaknya lima jenis stakeholder, yaitu: pemerintah sebagai pengelola administrasi publik; masyarakat dan NGO; pelaku bisnis; serta lembaga yang terlibat dalam pengelolaan pengetahuan (akademisi, media, dll.) dan modal/keuangan. Keterlibatan kelima pihak tersebut dapat terjadi di tataran mikro (individu/rumah tangga), meso (masyarakat dan institusi lokal) dan makro (nasional, regional dan internasional) (diantaranya lihat Lindmark, Elof & Nilsson-Roos, 2009; Carayannis & Campbell, 2010; Barth, 2011; Muhyi et al., 2017; Tonković, Veckie & Veckie, 2017; Halibas, Sibayan & Maata, 2017; Linköping University, 2017).
Secara umum ada dua kemungkinan yang dapat dilakukan dalam mendefinisikan perantara, yaitu: (a) Definisi yang memfokuskan pada fungsi perantara; dan (b) Definisi yang difokuskan pada peran dari perantara (Rose, 1999). Fungsi dan peran perantara sangat mungkin berbeda dalam konteks masalah, isu atau sektor yang berbeda. Sebagai contoh, di USA perantara lokal umumnya berperan dalam hal melakukan dukungan layanan pada masyarakat, mempromosikan standar kualitas dan akuntabilitas, menghubungkan dan memanfaatkan sumber daya dan mempromosikan advokasi untuk kebijakan yang efektif (GCG, 2012).
Dalam konteks pengurangan kemiskinan dan kesenjangan melalui upaya pembangunan ekonomi lokal dengan menggunakan pendekatan penghidupan berkelanjutan, fungsi dan peran perantara, diantaranya sebagai berikut:



Kewirausahaan dan Bisnis Sosial dalam Penanggulangan Kemiskinan dan Pengurangan Ketimpangan

Kewirausahaan sosial (social entrepreneurship) dimaknai sebagai proses menciptakan solusi inovatif untuk menyelesaikan masalah sosial (Dees, 2001), yang merupakan kombinasi dari hasrat akan misi sosial dan bisnis, inovasi dan determinasi (Dees, 1998). Motivasinya adalah menolong sesama, di mana pelakunya cenderung berwatak altruistik dan pro-social (Manuel & Morfopoulos, 2010). Social entrepreneurs melakukan tindakan langsung (direct action) sekaligus berupaya melakukan perubahan di dalam sistem yang ada (indirect action), dengan cara menghasilkan produk/jasa dan sekaligus melakukan upaya menghilangkan kondisi societal yang kurang adil (Martin & Osberg, 2015).
Sementara usaha/bisnis sosial (social enterprise) dipandang sebagai ekspresi dari solidaritas atas misi sosial untuk dapat turut mengatasi masalah sosial. Dengan memanfaatkan keterampilan manajerial dan insentif kerja, kegiatan bisnis sosial mencoba untuk mendapatkan keuntungan tambahan, kemudian dapat digunakan sebagian untuk dapat terlibat dalam mengatasi masalah-masalah sosial, termasuk dalam hal penanggulangan kemiskinan dan mengurangi ketimpangan sosial. Bisnis sosial adalah institusi ekonomi yang bersifat “hybrid organization” yang berupaya menyeimbangkan antara pasar dan civil society. Dengan demikian bisnis sosial bukan berarti hanya dijalankan oleh NGO saja, tapi juga oleh swasta dan pelaku lain yang tidak semata berorientasi ekonom/profit tapi juga perbaikan kondisi sosial (Jäger, 2010).

Contoh Peran Perantara dalam Pengembangan Komunitas dan Penanggulangan Kemiskinan di Sejumlah Negara

Di USA pada awal 1990-an, di bidang pembangunan komunitas, menjadi perantara dimaknai sebagai bertindak untuk, diantara dan antar entitas yang memiliki kepentingan kesejahteraan masyarakat dan individu di masa depan yang saat ini masih terjebak dalam kemiskinan dan tidak memiliki kesempatan. Fungsi perantara adalah mencari dan mengumpulkan sumber daya dari investor (sumber daya yang kaya) dan mendistribusikannya ke organisasi nirlaba berbasis lokal (miskin sumber daya) untuk program dan proyek yang dapat meningkatkan kondisi dan peluang masyarakat berpenghasilan rendah (Kongres Nasional Untuk Pengembangan Ekonomi Masyarakat 1991). Community development intermediary membantu masyarakat dalam berhubungan dengan bank, investor sosial dan pihak lain yang memiliki modal finansial dan bisnis yang dapat membantu proyek pembangunan perumahan dan ekonomi dalam upaya revitalisasi lingkungan masyarakat berpenghasilan rendah, membantu pengadaan dana bantuan pendidikan untuk keluarga miskin, pengadaan pekerjaan, dll. Varian dari model ini disebut CEDI (Community Economic Development Intermediaries) yang fokus pada pengembangan ekonomi komunitas khususnya masyarakat miskin (lihat Briggs, 2003; Walker, 2002; Anglin, 2011). Lembaga publik pengelola dana pensiun menjadi salah satu mitra komunitas (community partner) yang melakukan investasi dalam pembangunan komunitas di kota di New York (Hagerman, Clark & Hebb, 2007). Ada yang disebut Gittel & Thompson (1999) sebagai program berbasis perantara atau intermediary-based program di mana perantara menjalankan peran penting dalam mendukung usaha berorientasi komunitas (Cordero-Guzmán & Auspos, 2006).
Di Amerika Latin, The Local Initiatives Support Corporation (LISC) membantu kegiatan pembangunan permukiman komunitas, dan the Community Employment Alliance (CEA) membantu masyarakat miskin dalam meningkatan kapasitas dan mengakses pekerjaan melalui pelatihan dan penempatan kerja (Rodrigez, Pereira & Brodnax, dalam Maurrasse & Jones eds., 2004).
Di India, kelompok simpan pinjam (self-help groups) sejak tahun 1992 dapat berperan sebagai financial intermediaries yang menghubungkan masyarakat miskin dengan bank pemerintah (the National Bank for Agriculture and Rural Development - NABARD) dalam program peningkatan akses keluarga miskin terhadap layanan perbankan (Tankha, 2002). Program yang menghubungkan kelompok masyarakat dan perbankan (linking-banks with self-help groups) semacam ini juga dilakukan oleh sejumlah pihak Indonesia, diantaranya yang didukung oleh GTZ-Jerman pada tahun 1999, yang diberi nama Pengembangan Hubungan Bank dengan Kelompok Swadaya Masyarakat (PHBK) yang melibatkan Bank Pembangunan Daerah (BPD) dan Bank Rakyat Indonesia (BRI) (diantaranya lihat Conroy & Budastra, 2005).
Di Australia, terdapat banyak pelaku perantara yang berperan sebagai konsultan, perantara terkait dukungan teknologi, organisasi yang melakukan mediasi, dan yang memberikan dukungan dalam pendanaan (Howrad Partner, 2007). Di Cina, koperasi petani berperan sebagai perantara dalam pengembangan ekonomi perdesaan (Huan, 2013). Sementara di Ukraina, lembaga pembangunan regional (regional development agency/RDA) menjadi lembaga perantara sebagai pusat inovasi pengembangan potensi komunitas lokal dalam pengembangan sosial dan ekonomi (Smentyna, 2015).

Persinggungan Konsep Community Economic Development (CED) dan Keperantaraan

CED merupakan upaya pembangunan ekonomi dan sosial yang bersifat bottom-up dan berbasis lokal, karena dilakukan di dan oleh komunitas sendiri, bersama dan dengan dukungan dari para pihak –pemerintah, NGO, swasta, lembaga keuangan, akademisi, dll.-- di berbagai level. Pembangunan komunitas melalui CED-CED dipercaya juga akan turut mendukung pembangunan di level yang lebih luas (kota/kabupaten, provinsi dan nasional). Dalam CED ada yang disebut lembaga usaha pengembangan komunitas, perantara pengembangan komunitas, lembaga keuangan pengembangan komunitas, dan pusat pembelajaran komunitas.




Perantara dapat dimaknai sebagai individu dan/atau lembaga (pemerintah, swasta, kelompok masyarakat, koperasi, NGO, lembaga donor, akademisi/perguruan tinggi, dll.) yang berperan sebagai mitra sekaligus pendukung dalam upaya pengembangan usaha ekonomi produktif masyarakat miskin di daerah, terkait akses pasar (market linkage, baik input dan terutama output), pengetahuan, keterampilan, jaringan, teknologi (produksi, pasca produksi dan komunikasi/pemasaran), pendanaan dan sarana prasarana pendukung.



Dari gambar di atas, perantara (baik pemerintah, swasta, NGO, individu, dll.) ini sangat mungkin juga tidak memiliki seluruh sumberdaya dan kapasitas yang diperlukan untuk mendukung usaha ekonomi produktif masyarakat miskin yang didampinginya. Sebagian perantara tersebut juga memiliki kepentingan dan kebutuhan untuk pengembangan diri/lembaga dan usaha mereka sendiri. Karenanya, diharapkan juga dapat terjalin hubungan timbal balik yang saling mendukung dan saling menguntungkan diantara semua pihak yang terlibat. Kolaborasi dan sinergi dari berbagai sektor, tingkatan dan pelaku (multisektor, multilevel dan multipihak/multiaktor) sangat diperlukan untuk dapat menghasilkan daya dukung yang positif dan memadai sehingga dapat menghasilkan dampak yang nyata dan cukup signifikan pada upaya penanggulangan kemiskinan dan pengurangan ketimpangan.

Perantara tersebut tentunya harus memiliki modalitas dan kapasitas tertentu sehingga dapat berperan efektif memberi dukungan bagi upaya pemberdayaan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan, sesuai dengan kebutuhan spesifik dari kelompok/lembaga yang didampingi. Beberapa karakteristik yang diharapkan ada pada perantara tersebut, antara lain: (a) Terlibat dalam kegiatan ekonomi produktif; (b) Memiliki kepedulian untuk mendukung upaya penanggulangan kemiskinan; (c) Memiliki pengalaman bekerja bersama masyarakat miskin; (d) Memiliki kemampuan di bidang tertentu, seperti dalam teknis produksi, peningkatan kapasitas, pendampingan (coaching), manajemen, pemasaran, teknologi/digital ekonomi, dll.; (e) Memiliki pengalaman dan jaringan yang memadai di bidang terkait; (f) Memiliki hubungan baik dan dapat berkolaborasi dengan pemerintah daerah, NGO, pelaku usaha dan masyarakat terkait.
-------------------
* Tulisan ini merupakan bagian dari laporan kajian Bappenas 2017 mengenai peran perantara dalam usaha ekonomi produktif masyarakat miskin terkait upaya pengurangan kemiskinan dan ketimpangan

Konsep Pengembangan Ekonomi Komunitas

Konsep Pengembangan Ekonomi Komunitas 
(Community Economic Development - CED)*

Oleh: Candra


Inisiatif community economic development (CED) sendiri sesunguhnya sudah mulai berkembang sejak terjadi perubahan kebijakan ekonomi  di era 1970-an. Di Inggris dan negara-negara Eropa pada umumnya, pendekatan CED menjadi alternatif dari pendekatan ‘trickle-down’ yang lebih banyak mengejar pertumbuhan ekonomi. CED memandang bahwa inklusi sosial dan kemajuan ekonomi, serta kohesi dan persaingan adalah lebih bersifat saling melengkapi dan bukan isu yang perlu dipertentangkan (Beer, Haughton & Maude eds., 2003). Sementara di USA, CED berkembang sebagai reaksi atas kegagalan sistem pasar dalam menjamin kesejahteraan masyarakat (Greer & Gonzales, 2017). Karenanya, sebagai sebuah kajian, CED merupakan area yang bersifat interdisipliner (Shaffer, Deller & Marcouiller, 2006).
Gagasan dasarnya adalah mengembalikan pembangunan ke komunitas, karena partisipasi warga yang lebih besar dalam semua tahap perencanaan dan pelaksanaan dipercaya akan menghasilkan transformasi ekonomi lokal dan memperbaiki kondisi bagi sektor masyarakat yang lebih luas. Kemajuan hanya akan terjadi ketika sebuah komunitas melihat dirinya bekerja atas namanya sendiri dan dipimpin oleh inisiatifnya sendiri (Fasenfest, 1993). Pendekatan CED bersifat ‘bottom-up’. Eversole (2003) menyebutnya sebagai “economic development from the bottom-up”. CED tidak bisa terwujud tanpa pembangunan masyarakat (community development). Keduanya berbeda namun saling terkait erat, karena meskipun sering memiliki tujuan utama yang berbeda, namun memiliki satu prinsip yang mendasar, yaitu: pengembangan orang dan wilayah yang terpinggirkan secara ekonomi, serta memperkuat dan meningkatkan peluang kehidupan masyarakat di komunitas berpendapatan rendah atau kurang sejahtera. Gagasan CED memprioritaskan keterlibatan komunitas dalam kemitraan pembangunan ekonomi antara pemerintah dan sektor swasta dalam membangun komunitas lokal (local community) atau lingkungan sekitarnya (neighborhood). Lingkungan dengan kualitas hidup yang baik, perumahan yang baik, dan masyarakat yang produktif merupakan fondasi bagi pembangunan daerah (Sherraden, Slosar & Sherraden, 2002; Anglin, 2011; Durnik 2012).
CED adalah gabungan dari “community development” dan “economic development”. Community development fokus pada upaya membangun modal sosial dan politik dari komunitas melalui pengorganisasian komunitas dan membangun institusi lokal (kepemimpinan, asosiasi bisnis, pemerintahan efektif, organisasi komunitas, dll.). Economic development fokus pada menciptakan lingkungan yang kondusif untuk kesempatan ekonomi. Ada dua pendekatan tentang CED, yakni: (a) “Bintang” dari Ron Shaffer (2006), yaitu sumber daya komunitas, peraturan, masyarakat, pasar, pengambilan keputusan dan ruang; (b) Kerangka modal komunitas (community capitals) dari Cornelia dan Jan Flora (2008), yaitu modal finansial, politik, sosial, manusia, budaya, alam dan fisik (Underwood, Hackney & Friesner, 2015)
CED merupakan salah satu varian dari konsep local economic development (LED). Helmsing (2001:69-70) mengutip Blakely (1994) yang berpendapat bahwa ada tiga kategori utama dari LED, yaitu: (a) Pengembangan ekonomi masyarakat atau CED, yang dapat diterapkan pada lingkungan pedesaan dan perkotaan. Intinya adalah untuk memfasilitasi diversifikasi kegiatan ekonomi rumah tangga sebagai cara utama untuk memperbaiki penghidupan dan mengurangi kemiskinan dan kerentanan; (b) Pengembangan usaha (enterprise development) terdiri dari inisiatif yang secara langsung menargetkan dan melibatkan cluster perusahaan. Berbeda dengan CED, kategori ini didasarkan pada spesialisasi dan mengatasi hambatan terhadap spesialisasi dalam konteks pasar; (c) Pembangunan lokal (locality development) yang mengacu pada keseluruhan perencanaan dan pengelolaan pembangunan ekonomi dan fisik suatu daerah.
Bessant (2005) mengutip definisi CED dari The Manitoba Departement of Rural Development dan Manitoba Community Development Corporations Association di Canada (1998), sebagai berikut:
CED adalah bentuk swadaya yang berusaha mengawinkan strategi pembangunan sosial dan ekonomi dengan membangun kapasitas di dalam masyarakat. Proses ini dapat dicapai hanya melalui inisiatif lokal. Kebutuhan dan kesempatan masyarakat ditentukan oleh input individu dan kolektif, yang mencerminkan sikap dan nilai lokal yang menjadi fokus dan minat setiap orang. Keterlibatan masyarakat dipicu saat anggota masyarakat menyadari adanya kebutuhan atau kesempatan dan tindakan untuk bertindak mengatasi situasi tersebut, dengan menggunakan sumber daya yang sesuai dan dapat diandalkan.


Nilai-nilai yang dikembangkan dalam CED, diantaranya: (a) CED dimulai dengan mobilisasi penduduk untuk perubahan dan kemandirian ekonomi; (b) Tujuan utama CED adalah membangun kekayaan bagi orang miskin dan daerah miskin melalui koordinasi modal sosial, politik, dan keuangan serta memanfaatkan talenta dan komitmen masyarakat. (Anglin, 2011). Dalam hal ini, CED memiliki sejumlah tujuan, yaitu: (a) Menstimulasi kebersamaan masyarakat; (b) Mempromosikan keswadayaan dan pemberdayaan; (c) Berkontribusi pada penciptaan lapangan kerja mandiri; (d) Memperbaiki kondisi kehidupan dan lingkungan kerja di permukiman; dan (e) Untuk menciptakan layanan publik dan masyarakat (Helmsing, 2001). Sedangkan prinsip-prinsip CED, diantaranya sebagai berikut:



Sementara menurut Hernandez (2013), karakteristik CED adalah: (a) Berbasis lokasi (place-based), karena aktivitas ekonomi dan relasi sosial terjadi di dan diantara tempat tertentu, yang memiliki karakteristik tertentu dan memerlukan respon tertentu pula. Strategi CED fokus pada memperkuat ekonomi ‘lokal’ dan ‘komunitas’, dan membangun strategi ketahanan local (local resilience) dengan menekankan pada penggunaan pengetahuan dan sumber daya lokal (Marley, Halseth, & Manson, 2008); (b) Partisipatori, di mana masyarakat teribat dalam seluruh proses (Brohman, 1996), dalam pengambilan keputusan yang berdampak pada mereka (Mbser, 1989); (c) Peduli dengan keberlanjutan. Partisipasi membuat pembangunan lebih berkelanjutan (Conyers, 1986). Keberlanjutan ini dapat menciptakan aktivitas ekonomi yang bertahan dalam jangka panjang dan menciptakan kestabilan ketenagakerjaan;, dan (d) Berbasis aset (asset-based). CED dimulai dari mengenali aset atau kekuatan yang sudah ada di komunitas (Markey et al., 2005; Mathie & Cunningham, 2003).
Nilai dan praktik CED membantu membangun landasan yang lebih kuat untuk mengatasi tantangan utama di masa depan, seperti: (a) Pembangunan yang peduli pada pelestarian lingkungan sekaligus membuka kesempatan bagi orang miskin untuk meningkatkan taraf hidupnya; dan (b) Mendukung upaya yang lebih besar dalam memperkuat daya saing ekonomi kota dan daerah. Karenanya, CED menjadi alat penting untuk melakukan revitalisasi wilayah dan masyarakat, yang mencakup berbagai kegiatan, institusi, dan kebijakan dalam upaya meningkatkan kualitas hidup dan mendorong peluang ekonomi bagi masyarakat berpenghasilan rendah. CED membantu warga terlibat dalam melakukan mobilisasi dan membangun aset yang akan memperbaiki masa depan individu dan kolektif mereka. Aset tersebut meliputi investasi publik dan swasta, investasi filantropi, modal manusia, jaringan sosial, sumber daya alam, tradisi budaya, dan kepemimpinan masyarakat (Anglin, 2011). CED mengkombinasikan tujuan untuk meningkatkan keuntungan yang tidak saja semata bersifat finansial namun juga inklusi dari aspek-aspek lain terkait kualitas hidup masyarakat setempat (Lejano & Wessels, 2006; Pigg, 2012; Gallardo, 2015)
Pembangunan ekonomi masyarakat terjadi ketika masyarakat di sebuah komunitas menganalisis kondisi ekonomi masyarakat tersebut, menentukan kebutuhan ekonominya dan peluang yang tidak terpenuhi, memutuskan apa yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kondisi ekonomi di masyarakat tersebut, dan kemudian bergerak untuk mencapai ekonomi yang disepakati, tujuan dan sasaran. Teori dan kebijakan pembangunan ekonomi cenderung berfokus secara sempit pada faktor-faktor produksi tradisional dan bagaimana cara terbaik untuk dialokasikan dalam dunia spasial. Namun, pengembangan ekonomi masyarakat harus lebih luas daripada hanya mengkhawatirkan tanah, tenaga kerja dan modal. Dimensi yang lebih luas ini mencakup modal publik, teknologi dan inovasi, masyarakat dan budaya, institusi, dan kapasitas pengambilan keputusan masyarakat (Shaffer, Deller & Marcouiller, 2006).


Dalam konsep CED dikenal apa yang disebut sebagai kelembagaan pengembangan ekonomi masyarakat atau community economic development institution (CEDIs).  CEDIs adalah istiah yang digunakan untuk menyebut berbagai macam organisasi berbasis lokal yang terlibat dalam pengembangan ekonomi masyarakat, yang umumnya merupakan organisasi berbasis komunitas (atau fokus pada komunitas) dengan misi untuk melakukan pembangunan fisik, sosial, dan ekonomi, sumberdaya manusia dan wilayah. Ada CEDIs utama yang secara langsung menangani pengembangan keterampilan tenaga kerja dan peningkatan kesejahteraan. Ada juga organisasi pengembangan masyarakat yang membangun jaringan, modal sosial, modal manusia, dan kualitas hidup masyarakat. Ada empat tipe CEDI, yaitu: (a) Lembaga usaha pengembangan komunitas (community development corporations - CDCs); (b) Perantara pengembangan komunitas (community development intermediaries - CDI); (c) Lembaga keuangan pengembangan komunitas (community development financial institutions - CDFIs); dan (d) Pusat pembelajaran komunitas (community colleges - CCs). Keempatnya setidaknya menjalankan enam fungsi pula, yakni: (a) Pengembangan bisnis; (b) Pembangunan perumahan dan ruang komersial; (c) Memberi pinjaman usaha; (d) Asistensi organisasional dan teknis CED; (e) Pengembangan ketenagakerjaan; dan (f) Program pengembangan komunitas lainnya (Anglin, 2011).


CDCs merupakan salah satu bentuk CEDI utama yang paling dikenal. Berkembang sejak tahun 1960-an dalam upaya revitalisasi kawasan perkotaan dan perdesaaan dan mendorong masyarakat keluar dari kemiskinan melalui upaya mandiri (self-help) dan upaya komunitas (community action) pasca Perang Dunia II (Anglin, ed., 2004). CDC adalah lembaga usaha masyarakat yang dikendalikan oleh penduduk untuk mengatasi keterbatasan dalam hal kelembagaan pada  masyarakat miskin, di mana mereka terlibat dalam merencanakan dan mengarahkan berbagai inisiatif dan program ekonomi lokal (Anglin, 2011). Model CDC termasuk: (a) Pengembangan yang berbasis, berorientasi dan dikontrol komunitas; (b) Integrasi tujuan ekonomi, sosial dan kultural (seperti: pengembangan bisnis dan ekonomi, ketenagakerjaan, pelatihan dan perumahan yang layak); (c) Ketergantungan pada waktu dan sumber daya (seperti: anggota dewan, komite kerja, dukungan administrasi, serta kepemimpinan dan keahlian lokal); (d) Pendanaan dari beragam sumber; (e) Reinvestasi di masyarakat; (f) Jaringan, kemitraan, dan kolaborasi antara institusi swasta dan publik; dan (g) Strategi jangka pendek dan jangka panjang dalam peningkatan kapasitas komunitas, seperti dalam proyek modal dan pengembangan aset (Bessant, 2005).
Kunci penggunaan CDC yang efektif dalam pembangunan ekonomi adalah menyadari bahwa mereka tidak dapat melakukan segala hal, dan tidak seharusnya diharapkan dapat menggantikan peran pemerintah atau sektor swasta. CDC dapat menjadi perantara masyarakat yang penting dengan cara yang unik dan tak tergantikan. CDC dapat memfokuskan suara masyarakat dalam perencanaan dan penyusunan program community development untuk meningkatkan pembangunan ekonomi masyarakat. Sementara community development intermediaries (CDI) muncul untuk mendukung kebutuhan pengembangan kapasitas (organisasi, teknis, dan akses terhadap modal) pada organisasi pembangunan berbasis masyarakat (community-based development organizations). Mereka efektif tidak hanya dalam menumbuhkan kapasitas organisasi lokal tetapi juga menjadi kekuatan untuk memberikan jaminan kualitas sehingga CED dapat mengupayakankan dukungan terus menerus dari sektor publik dan filantropi. Perantara juga dapat mendukung dalam hal pemikiran dan advokasi kebijakan bila diperlukan untuk memperluas dampak CED melalui kebijakan pemerintah (Anglin, 2011).
Perkembangan ekonomi masyarakat telah berkembang terutama, namun tidak eksklusif, sebagai strategi berbasis lokasi (place-based strategy). Hasil pembangunan diukur dengan hasil pembangunan perumahan yang terjangkau, usaha baru yang berjalan, dan lapangan kerja yang tersedia, di mana semua itu  mengarah pada pembangunan ekonomi di lokasi yang ditentukan secara geografis. CED dan CEDI sering kali bertindak sebagai mitra pembangunan sektor publik utama di masyarakat yang terpinggirkan. Dalam hal ini, CED merupakan inovasi kelembagaan yang penting di mana pemerintah telah bermitra dengan sektor swasta dan nirlaba untuk mengembangkan jaringan dan strategi kebijakan untuk mengurangi kemiskinan dan upaya meningkatkan kesejahteraan di masyarakat berpenghasilan rendah. Kolaborasi merupakan bagian integral dari CED (Sherraden, Slosar & Sherraden, 2002:2011; Anglin, 2011)
CED terdiri dari satu set perantara yang mendukung pembangunan masyarakat miskin. Beberapa perantara ini dikembangkan untuk membangun kapasitas lembaga pengembangan ekonomi masyarakat dari berbagai jenis. Institusi perantara (CDI) seperti lembaga keuangan pengembangan masyarakat (CDFIs), beberapa di antaranya mendahului pengembangan bidang pengembangan ekonomi masyarakat yang formal dan telah bekerja dengan organisasi pembangunan berbasis lokal. Misi utama mereka adalah menyediakan modal yang terjangkau bagi masyarakat miskin, berinvestasi pada usaha kecil, dan fasilitas di komunitas. CEDIs di tingkat nasional, regional, dan lokal mengakumulasi modal swasta dan publik untuk pengembangan masyarakat, menganjurkan kebijakan yang memperbaiki hasil, dan mempublikasikan pencapaian sistem secara keseluruhan. Sektor publik, filantropi, dan sektor swasta merasa lebih mudah untuk memberikan bantuan, hibah atau pinjaman kepada satu agen/lembaga yang dapat mendistribusikan sumber daya daripada berurusan dengan sejumlah organisasi.
Perantara --baik yang fokus pada dukungan organisasi, ataupun layanan keuangan-- semuanya dikembangkan dengan keterlibatan langsung dan berkelanjutan dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Inovasi sektor publik di sini adalah kepemimpinan pemerintah pusat dalam mendukung jaringan pemangku kepentingan yang diperluas, seperti filantropis, kelompok kepentingan, dan praktisi pembangunan ekonomi berbasis masyarakat, semua berupaya untuk menemukan berbagai cara untuk membangun kapasitas organisasi dan keuangan di masyarakat miskin. Kekuatan sistem ini adalah kapasitasnya yang tak tertandingi untuk memobilisasi modal untuk segala macam aktivitas pembangunan ekonomi (Anglin, 2011).

Contoh Pengalaman CED di Canada

Salah satu negara yang menonjol dalam pengembangan dan menerbitkan banyak literatur mengenai konsep dan pengalaman penerapan CED adalah Canada. Secara teoritik, CED adalah irisan dari sektor publik, sektor swasta dan organisasi masyarakat sipil (CSO). Inisiatif CED cenderung tidak mandiri dan mengandalkan dukungan dari pemerintah, yayasan, dan penyandang dana sektor swasta dalam tahap awal dan untuk mempertahankan diri mereka sendiri. CED telah menekankan penciptaan perusahaan sosial (social enterprise): perusahaan berbasis pasar yang dimulai oleh nirlaba atau tertanam dalam lembaga nirlaba (Quarter & Mook (2010).


CED adalah strategi di mana organisasi pembangunan lokal memobilisasi sumber daya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan sosial masyarakat. Mereka secara kolektif mencari peluang, melakukan investasi, inovasi dan mengembangkan kreativitas. Program pemerintah dan partisipasi sektor swasta dapat digunakan sebagai pendukung. Organisasi masyarakat yang mewakili kepentingan masyarakat setempat, baik sebagai inisiator  dan mengendalikan inisiatif tersebut (Loizides, 1994).
Di Canada, CED adalah gabungan antara tujuan ekonomi dan sosial. Pembangunan ekonomi dan kegiatan komersial dilakukan untuk mencapai tujuan sosial seperti pemberantasan kemiskinan atau pemberdayaan masyarakat, sementara tujuan sosial, seperti kemajuan pendidikan, dilakukan untuk mengembangkan ekonomi lokal (Mills, 1999; Jackson, 2004).
Dalam catatan Lamb (2011), CED tumbuh menjadi sektor yang signifikan dalam sosial ekonomi Canada karena melibatkan 1.200 organisasi CED dalam beragam aktivitas, seperti pengembangan usaha, pengembangan sumber daya manusia, peningkatan kapasitas komunitas (Toye & Chaland, 2006). Pemerintah federal dan provinsi di Canada menyadari peran penting CED tersebut dan memberikan dukungan dalam berbagai tingkatan. Hasil CED tidak hanya diukur dari aspek ekonomi dan fisik saja, namun juga harus melibatkan indikator kapasitas sosial, ekonomi dan ekologi dari komunitas, bersama dengan sikap masyarakat terhadap usaha yang dipilih (Koster & Randall, 2005)
Program CED dapat meningkatkan kualitas kehidupan ekonomi dalam hal: (a) Memperluas akses terhadap modal dan menstimulasi akumulasi aset; (b) Meningkatkan akses lokal terhadap barang dan jasa konsumen; (c) Memperluas basis wirausaha lokal; (d) Memperluas kesempatan kerja lokal; (e) Memberi lingkungan lebih banyak kendali atas kepemilikan sumber daya lokal; dan (f) Menghubungkan penghuni dan bisnis ke ekonomi daerah (Cordero-Guzmán & Auspos, 2006; Manitoba Government, 2017).

------------
* Tulisan ini menjadi bagian dari laporan kajian Bappenas 2017 mengenai pengurangan kemiskinan dan ketimpangan

Senin, 20 Maret 2017

Jebakan Precariat (Precariat: Bagian 3)

Precariat: Liberalisasi Ketenagakerjaan di Era Globalisasi

Bagian 3: Jebakan Precariat
  
Oleh: Candra

Sumber: https://www.weforum.org/agenda/2016/11/precariat-global-class-rise-of-populism/

Tulisan ini merupakan lanjutan dari


Pada bagian sebelumnya telah diulas mengenai precariat sebagai kelas yang tengah dalam proses pembentukan, juga mengenai komodifikasi dan fleksibilitas ketenagakerjaan. Dari paparan Guy Standing dalam bukunya The Precariat: The New Dangerous Class (2011) tersebut, disinggung mengenai kaitan precariat dan pengangguran.

“Tapi, bagaimana sesungguhnya hubungan dan siklus yang terjadi antara pengangguran dan precariat tersebut?

Pengangguran dan Precarity Trap

Di bagian sebelumnya Standing telah menyebutkan bahwa pengangguran juga menjadi bagian dari kehidupan kaum precariat. Jika di era pra-globalisasi para pengangguran dilihat sebagai akibat faktor ekonomi dan struktural, maka di era neo-liberal kaum pengangguran ini dianggap sebagai masalah tanggung jawab individu, yang pada sebagian kasus dipandang hampir dilakukan secara 'sukarela'. Perangkap pengangguran (unemployment trap) terjadi di banyak tempat, khususnya di negara yang menjalankan model negara kesejahteraan (welfare state) dengan program tunjangan penganggurannya.

Dalam hal ini Standing menjelaskan dampak dari dinamika ekonomi global terhadap meningkatnya pengangguran dan precariat. Dalam pandangan Standing, di pasar tenaga kerja yang mengglobal, resesi mempercepat pertumbuhan precariat tersebut. Saat ini ada lebih banyak tenaga kerja sementara dan pekerja tidak terlindungi lainnya. Sebagian karena mereka yang kehilangan pekerjaan kemudian masuk dalam situasi di mana pilihan yang tersedia hanyalah pekerjaan dengan jumlah pendapatan yang lebih rendah daripada pekerjaan mereka sebelumnya. Situasi ini semakin diperburuk karena banyak perusahaan telah menggunakan alasan resesi sebagai momentum untuk merestrukturisasi perusahaan, termasuk dengan cara offshoring dan outsourcing.

Di sini Standing menggunakan istilah ‘jebakan precariat’ (precarity trap) atau, yaitu situasi di mana ‘biaya’ yang harus dikeluarkan oleh pengangguran untuk memperoleh pekerjaan baru lebih besar dibandingkan dengan pendapatan yang diperoleh dari pekerjaan baru. Biaya tersebut termasuk kurangnya pendapatan di periode itu, waktu dan biaya yang terkait dengan mencari pekerjaan, waktu dan biaya selama belajar/beradaptasi pada pekerjaan baru, serta waktu dan biaya yang diperlukan dalam menyesuaikan kegiatan di luar pekerjaan untuk mengakomodasi tuntutan pekerjaan sementara yang baru tersebut. Di negara-negara yang menjalankan model negara kesejahteraan di mana pengangguran memperoleh tunjangan, situasi precarity trap  ini lebih menonjol, karena mereka akan terus ada dalam situasi dilema antara terus mengajukan tunjangan sosial atau mengambil pekerjaan sementara dengan upah rendah (dan kehilangan tunjangan tadi, dan ada ‘biaya’ selama proses mencari pekerjaan tadi).

Precariat trap  diperburuk dengan semakin berkurangnya dukungan sosial dari lingkungan baik keluarga maupun masyarakat.  Kondisi ini makin parah ketika ada masalah hutang dan penyakit sosial lain yang kerap mengikuti ketika situasi ekonomi sedang sulit. Ketidakstabilan ekonomi keluarga dapat menyebabkan stress akibat kehilangan harga diri dan ketidakmampuan memenuhi kebutuhan keluarga.

Precariat dan disfungsional sosial

Ketika penggangguran dapat mengalami precariat trap, mereka yang dapat bekerjapun tidak begitu jelas nasibnya. Menurut Standing, dalam ekonomi pasar terbuka yang mengglobal saat ini, dalam dunia ketenagakerjaan sangat umum adanya kontrak tidak resmi/informal, pekerjaan paruh waktu dan pekerjaan sementara, orientasi proyek dan jasa pribadi sangat kondusif bagi berkembangnya tenaga kerja bayangan (shadow labour).

Akibatnya, peluang mobilitas sosial ke atas yang didasarkan pada kemampuan (merit-based social mobility) menjadi berkurang. Salah satu penyebabnya adalah karena berkurangnya pekerjaan dengan penghasilan menengah, yang juga mengakibatkan gangguan pada kelas menengah (middle class) akibat ketiadaan jaminan penghasilan, dan pada akhirnya mereka juga terdesak menjadi precariat juga.

Standing mencermati bahwa ada perubahan signifikan dalam tradisi ketenagakerjaan pada umumnya. Menurutnya, pada masa sebelumnya masih ada semacam social compact (kesepatan untuk bekerjasama dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan bersama) di mana perusahaan/pekerja diharapkan untuk menerima pekerja fleksibel sebagai upaya untuk melestarikan pekerjaan sehingga mayoritas mengalami kenaikan standar hidup. Namun di akhir era globalisasi keberadaan social compact  tersebut telah rusak. Era precariat juga ditandai dengan rapuhnya loyalitas dan kepercayaan. Dengan semakin meningkatnya jumlah precariat juga menyebabkan semakin banyaknya aspek sosial yang tidak berfungsi (dysfunctional). Ketiadaan jaminan atau keamanan sosial menumbuhkembangkan penyakit sosial, kecanduan dan kecemasan anomi.

Precariat, perempuan, lembaga pendidikan dan magang

Uniknya, menurut Standing, para precariat tersebut tidak seluruhnya dapat disebut sebagai ‘korban.’ Sebagian diantaranya menjadi precariat karena mereka tidak ingin mengambil alternatif yang tersedia. Sebagian lagi karena menganggap menjadi precariat sesuai dengan keadaan khusus mereka pada saat itu. Penyebabnya beragam, antara lain: karena kecelakaan atau kegagalan; karena didorong ke dalamnya; karena berharap itu akan menjadi batu loncatan untuk pekerjaan yang lain, bahkan jika itu tidak menawarkan rute langsung; karena bersifat instrumental, termasuk di dalamnya orang berusia lanjut dan pelajar/mahasiswa yang ingin mendapatkan sedikit uang atau pengalaman; dan beberapa menggabungkan aktivitas precariat dengan kegiatan lainnya. Sementara sebagian lainnya menemukan bahwa apa yang telah mereka lakukan selama bertahun-tahun, atau apa pelatihan yang mereka ikuti, ternyata menjadi bagian dari proses menjadi precariat.

Dalam hal ini Standing secara khusus menyoroti keterlibatan perempuan, lembaga pendidikan dan mekanisme magang di dunia industri/usaha dan kaitannya dengan reproduksi precariat. Dalam pandangan Standing, di awal era globalisasi, terjadi feminisasi tenaga kerja (feminization of labour) di mana terjadi peningkatan proporsi perempuan di hampir semua jenis pekerjaan (Standing, 1989, 1999a). Fenomena ini bermakna ganda, bahwa selain lebih banyak perempuan terlibat dalam pekerjaan, juga lebih banyak pekerjaan berubah menjadi jenis yang bersifat fleksibel yang kemudian juga lebih banyak dikerjakan oleh perempuan. Kecenderungan ini tercermin dari meningkatnya informalisasi tenaga kerja (labour informalisation), meningkatnya pekerjaan jasa, dan penggunaan perempuan muda di zona pengolahan produk ekspor. Meski demikian, ketidakadilan masih dirasakan karena adanya upah berbasis gender dan perbedaan pendapatan sosial.

Kaum perempuan juga umumnya terlibat dalam pekerjaan paruh waktu dan pekerjaan sementara atau buntu (dead-end jobs), yang tidak memiliki prospek pengembangan kerja. Dengan meningkatnya keterlibatan perempuan sebagai precariat, banyak perempuan yang kemudian berperan sebagai pencari nafkah utama di keluarga, selain peran tradisional mereka dalam mengurus keluarga.

Selain itu, dalam amatan Standing ada tanda-tanda bahwa tengah terjadi restrukturisasi dan komodifikasi sistem pendidikan yang mendorong para pemuda untuk masuk ke dalam sistem tenaga kerja yang fleksibel. Pendidikan diklasifikasi menjadi tiga, yaitu pendidikan untuk kaum elit istimewa, kelas pekerja dan untuk pengembangan precariat. Precarity traps mencerminkan kejanggalan antara aspirasi anak-anak muda dan sistem persiapan 'modal manusia' melalui dunia pendidikan, karena kebanyakan pekerjaan yang ditawarkan sesungguhnya tidak memerlukan sekolah selama bertahun-tahun.

Begitu pula dengan dilema yang terjadi dalam mekanisme magang bagi pencari kerja. Standing melihat, pada masa sebelumnya perusahaan membuka peluang untuk pekerja baru yang disiapkan untuk menjadi pekerja tetap melalui proses belajar dan penyesuaian diri, katakanlan selama dua tahun (apprenticeship). Sementara saat ini yang lebih umum adalah yang disebut magang (internship), sekedar pengenalan suasana kerja dalam waktu singkat (sekitar beberapa minggu) dan tanpa orientasi menjadi pekerja tetap. Pada akhirnya pola internship ini menjadi jalan bagi terlibatnya para pemuda menjadi precariat dan strategi pengusaha untuk memperoleh tenaga kerja sementara yang bersedia dibayar murah.

Namun demikian, magang ternyata juga merupakan ancaman bagi precariat lainnya, karena mereka adalah calon precariat yang baru, yang dapat menggantikan precariat yang sudah bekerja sebelumnya. Nasib para pemagang ini juga tidak selalu beruntung. Tak jarang mereka ‘diberi kesempatan belajar bekerja’ tanpa menerima upah atau fasilitas lain (uang makan atau uang transport, misalnya). Bahkan jika peserta magang memperoleh upah sekalipun, mereka melakukan pekerjaan murah tanpa peluang pengembangan diri (cheap dead-end labour), di bawah tekanan untuk memperoleh upah lebih rendah, dan ancaman akan digantikan oleh tenaga kerja lainnya. Menurut Standing, magang adalah precariat yang menggantikan tenaga kerja biasa.

Bersambung ke
Bagian 4: Masa depan precariat

----------
Referensi:

Standing, Guy (2011). The Precariat: The New Dangerous Class. Bloomsbury, London.

Kamis, 16 Maret 2017

Precariat, komoditas dan fleksibilitas (Precariat: Bagian 2)

Precariat: Liberalisasi Ketenagakerjaan di Era Globalisasi

Bagian 2: Precariat, komoditas dan fleksibilitas

Oleh: Candra

Tulisan ini merupakan lanjutan dari


Keterangan: Guy Standing, Occupy Washington DC, 2011 

Pada bagian sebelumnya telah diulas mengenai apa dan siapa precariat. Dari paparan Guy Standing dalam bukunya The Precariat: The New Dangerous Class (2011) tersebut, ternyata memang banyak orang yang potensial mengalami precariatisation dan ‘berubah’ menjadi precariat. Tidak heran jumlahnya sangat banyak, dan Standing menyebut mereka sebagai “the new dangerous class.”

“Apakah memang precariat sebuah kelas sosial yang baru?; Benarkah berbahaya?; Seberapa berbahayakah mereka?”

Precariat (kelas) berbahaya?

Menurut Standing, precariat sesungguhnya belum menunjukkan karakteristik sebagai kelas sosial tersendiri. Penyebabnya adalah karena mereka tidak mampu mengontrol kekuatan teknologi yang mereka hadapi. Precariat masih dalam proses pembentukan menjadi kelas. Dalam terminologi Marxis tentang kelas, Standing menyebut “precariat is a class-in-the-making, if not yet a class-for-itself.”

Sebagian orang mungkin khawatir dengan kemungkinan bahwa precariat dapat muncul menjadi kelas sosial yang berbahaya. Precariat menderita dalam situasi di mana mereka memperoleh informasi yang berlebihan namun tanpa disertai gaya hidup yang dapat memberi mereka kontrol dan kapasitas untuk menyaring apa yang berguna dari tidak berguna. Karenanya mereka dikhawatirkan dapat berkembang menjadi ketidakmampuan massa precariat untuk berpikir jangka panjang, yang disebabkan oleh probabilitas rendah untuk dapat mencapai kemajuan pribadi atau membangun karir. Sebagai sebuah kelompok sosial yang tidak melihat adanya jaminan identitas dan masa depan buat diri dan keluarganya, dan dengan rasa takut dan frustasi yang ditimbulkannya, dikhawatirkan dapat menyebabkan mereka menyerang balik pada segala hal yang mereka anggap telah merugikan diri mereka.

Namun demikian, dalam pandangan Standing, kalaupun mau disebut sebagai kelas, precariat bukanlah kelas yang utuh. Sebabnya karena selalu ada pertentangan di dalam kelompok besar itu sendiri. Selalu ada kemungkinan di mana salah satu kelompok menyalahkan kelompok lain atas kerentanan dan penghinaan yang mereka alami. Ketegangan dalam precariat membuat mereka saling bertentangan satu sama lain, yang pada akhirnya membuat mereka kurang menyadari bahwa struktur sosial dan ekonomi-lah yang telah menyebabkan mereka mengalami kerentanan.

Menurut Standing, akibat tekanan ekonomi dan sosial yang dialaminya, precariat mengalami ‘Empat A’: anger (marah), anomie (kekacauan), anxiety (kecemasan) dan alienation (keterasingan). Precariat merasa frustrasi bukan hanya karena dalam jangka waktu yang lama bekerja dalam kondisi yang labil tanpa rasa aman dalam hal pekerjaan dan pendapatan, tetapi juga karena pekerjaan-pekerjaan tersebut tidak melibatkan terciptanya hubungan saling percaya yang melekat dalam struktur atau jaringan yang bermakna. Precariat juga tidak memiliki jalur mobilitas sosial ke atas, yang menyebabkan mereka terus menerus berada dalam kondisi eksploitasi diri (self-exploitation) dan keterpisahan yang dalam.

Selain itu precariat hidup dengan kecemasan dan ketidakamanan kronis karena menyadari mereka senantiasa dalam kondisi krisis, di mana satu kesalahan atau nasib buruk dapat membuat mereka kehilagan segalanya. Meeka merasa tidak aman dan stres, sementara pada saat yang sama 'menganggur' atau terlalu banyak bekerja (multitasking dan overemployed) meskipun ternyata pendapatan yan diterima tetap tidak sebanding dengan upaya yang dilakukan. Mereka terasing dari pekerjaan, dan anomi, merasa tidak pasti dan putus asa. Karena takut kehilangan apa yang mereka miliki membuat mereka merasa frustrasi. Mereka akan marah tetapi biasanya pasif. Pikiran bahwa mereka mengalami precariatised sesungguhnya ditimbulkan dan dimotivasi oleh rasa takut.

Seperti halnya kaum proletar, para precariat juga mengalami keterasingan, yang berasal dari kesadaran bahwa bahwa apa yang mereka lakukan bukan ditujukan untuk tujuan atau kepentingan mereka sendiri, atau untuk nilai-nilai yang mereka hormati atau hargai. Karena pada dasarnya apa yang mereka lakukan semata untuk orang lain, dan atas perintah orang lain. Akibatnya, para precariat cenderung menjadi kurang menghargai diri dan pekerjaan mereka sendiri.

Dalam pandangan Standing, dampak lainnya adalah yang terkait dengan sikap kerja. Bagi para precariat, di satu sisi pekerjaan telah berubah menjadi serba fleksibel dan instrumental, dan di sisi lain upah yang mereka terima juga tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dampaknya, tidak ada lagi 'profesionalisme' di kalangan precariat yang sesuai dengan standar, kode etik dan saling menghormati di antara para anggotanya berdasarkan kompetensi dan menghormati norma-norma perilaku lama yang mapan. Menurut Standing, para precariat tidak dapat bertindak professional karena mereka tidak memiliki spesialisasi dan tidak dapat melakukan pengembangan diri dalam hal kedalaman kompetensi atau pengalaman. Mereka menghadapi ketidakpastian dalam hal pekerjaan dan hanya memiliki sedikit prospek untuk melakukan mobilitas sosial ke atas.

Akibat hanya mengerjakan pekerjaan yang hanya membutuhkan keterampilan ‘sederhana’ dan sering berpindah jenis dan tempat bekerja, atau bahkan mengerjakan beberapa jenis pekerjaan sekaligus (multitasking) untuk memperoleh penghasilan lebih, para precariat juga dapat menjadi lemah dalam hal ‘memori sosial’ (social memory). Menurut Standing, memori jenis ini merupakan bagian dari kesadaran umat manusia untuk mendefinisikan diri dengan apa yang telah dilakukan dan melakukan apa yang ingin dilakukan. Memori sosial menjadi milik kolektif/masyarakat yang direproduksi dari generasi ke generasi, dan menyediakan kode etik dan rasa mengenai makna dan stabilitas, emosional dan sosial. Memori sosial berakar dari kelas dan dimensi pekerjaan, yang  terkait dengan apa yang dicita-citakan. Situasi yang dihadapi precariat merupakan konstruksi sosial yang pada akhirnya dapat menghambat aspirasi mereka.

Standing mensinyalir, bahwa pada kondisi demikian itu, banyak diantara para precariat yang kemudian tertarik dengan retorika dari politisi populis bahkan para penganut neo-fasis, di mana kecenderungan ini  sudah terlihat jelas di seluruh Eropa, Amerika Serikat dan di banyak tempat lain. Inilah sebabnya mengapa Standing menyebut precariat sebagai kelas yang berbahaya.

“Jadi ada analisis bahwa jumlah precariat yang besar dikhawatirkan tergoda pada politik populisme dan fasis… Tapi apa sebenarnya yang menyebabkan meningkatnya jumlah precariat dalam beberapa dekade terakhir ini?”

Apa/siapa ‘pencipta’ precariat?

Dalam pandangan Standing, precariat muncul sebagai dampak dari transformasi global. Menurutnya, era globalisasi (1975-2008) adalah masa ketika ekonomi dikonstruksi melalui perubahan kebijakan dan kelembagaan oleh pemodal dan ekonom neo-liberal berusaha untuk menciptakan ekonomi pasar global berdasarkan daya saing dan individualisme. Sebagai konsekuensi dari komitmen untuk terlibat dalam ekonomi pasar terbuka dan tekanan untuk dapat lebih kompetitif, negara-negara industri dari negara industri baru (NIC) harus mampu menyediakan pasokan tenaga kerja murah. Komitmen terhadap prinsip-prinsip pasar terbuka tersebut mau tidak mau melahirkan sebuah sistem produksi global dengan jaringan perusahaan dan praktik tenaga kerja yang fleksibel.

Dalam hal ini Standing menyimpulkan bahwa aspek sentral globalisasi adalah 'komodifikasi,' di mana segala sesuatu dipandang sebagai komoditas, yang dapat diperjualbelikan, tunduk pada kekuatan pasar, dengan harga yang ditetapkan oleh mekanisme permintaan dan penawaran, serta tanpa kapasitas untuk menolak. Komodifikasi ini telah meluas pada seluruh aspek kehidupan, termasuk kebijakan perlindungan sosial keluarga, sistem pendidikan, perusahaan, lembaga tenaga kerja, pengangguran, penyandang disabilitas, masyarakat pekerja dan dunia politik.

Menurut Standing, dalam pandangan ekonomi neo-liberal, salah satu prinsip utamanya adalah bagaimana agar semua hambatan ekonomi pasar bebas dapat diatasi. Untuk itu, salah satunya adalah gagasan bahwa diperlukan peraturan untuk mencegah kepentingan kolektif yang dapat menjadi hambatan untuk kompetisi. Hasrat untuk melemahkan institusi kolektif tersebut mencakup mengubah perusahaan dari perannya sebagai lembaga sosial, serikat pekerja sebagai wakil dari karyawan, masyarakat kerja sebagai serikat kerajinan dan profesi, pendidikan sebagai kekuatan untuk pembebasan dari kepentingan diri sendiri dan komersialisme, keluarga sebagai lembaga timbal balik dan reproduksi sosial, dan pegawai negeri sipil sebagai dipandu oleh etika pelayanan publik.

Standing berpendapat bahwa di era globalisasi ini yang sesungguhnya terjadi bukanlah de-regulasi, tapi re-regulasi, yaitu pemberlakuan berbagai peraturan baru yang sepenuhnya diabdikan untuk mendukung berjayanya ekonomi pasar bebas. Di pasar tenaga kerja dunia, sebagian besar peraturan baru tersebut bersifat direktif, yang memberitahu orang-orang apa yang mereka bisa dan tidak bisa lakukan, dan apa yang mereka harus lakukan untuk menjadi penerima manfaat dari kebijakan negara. Dampak dari kebijakan baru tersebut adalah  berubahnya pengaturan tenaga kerja dan terciptanya fragmentasi pada kelas pekerja. Situasi tersebut semakin mulus dengan adanya proses 'tertiarisasi' (tertiarisation) kerja dan tenaga kerja, yang terkait dengan penurunan di bidang manufaktur dan pergeseran ke tenaga kerja ke jasa/layanan.

Selain re-regulasi dan tertiarisasi, ada salah satu dari aspek kapitalisme global yang menurut Standing juga telah memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan precariat, yaitu komodifikasi perusahaan. Ketika perusahaan juga telah menjadi komoditi, maka perusahaan dapat diperjualbelikan melalui merger dan akuisisi. Perusahaan dapat diperdagangkan, dipecah-gabung dan dikemas ulang. Konsekuensinya, semakin banyak perusahaan yang dimiliki oleh pemegang saham asing. Dengan komodifikasi perusahaan, maka pemilik dan tim managemen perusahaan sangat mungkin berganti-ganti setiap saat. Di sisi lain, perusahaan juga tidak memandang perlu memiliki banyak pekerja tetap. Hubungan kerja menjadi fleksibel. Akibatnya, komitmen dan tanggung jawab perusahaan terhadap tenaga kerjanya menjadi semakin sulit untuk dipegang.

Komodifikasi juga telah membuat pembagian kerja dalam perusahaan menjadi lebih cair. Jika kegiatan perusahaan lebih murah jika dilakukan di satu lokasi, maka akan ada pilihan apakah pekerjaan itu akan di-'offshored' (relokasi bisnis ke tempat/negara lain) atau dengan 'outsourcing' (melalui perusahaan mitra atau pihak lain). Namun kondisi tersebut ternyata berpengaruh terhadap proses kerja di mana struktur pekerjaan dan 'karir' internal menjadi terganggu, karena ada ketidakpastian mengenai apakah pekerjaan akan dilakukan secara offshored atau outsourcing. Sebagai komoditas, perusahaan juga menjadi lebih portabel dan fleksibel, dalam hal kemampuannya untuk beralih usaha atau kegiatan. Sementara, banyak karyawan tidak dapat dengan mudah berganti atau pindah pekerjaan. Hal ini tentunya mengganggu karir kerja mereka, yang pada akhirnya akan cenderung mendorong mereka lebih ke dalam kondisi dan pekerjaan precariat.

Jadi, menurut Standing, liberalisasi ekonomi pasar global-lah yang telah menciptakan precariat, yaitu ketika dalam urusan ekonomi, bisnis dan ketenagakerjaan telah di re-regulasi, terkomodifikasi, dan dibuat menjadi serba fleksibel. Bagi pengusaha/perusahaan, fleksibilitas ternyata bermakna sebagai hubungan ketenagakerjaan yang longgar dan tanggungjawab yang lebih sedikit. Semua telah menjadi komoditas, bahkan perusahaan dan tenaga kerja juga adalah komoditas belaka.

“Sebenarnya, terkait ketenagakerjaan, dalam hal apa fleksibilitas itu terjadi?”

Fleksibilitas nan ganas

Standing menulis bahwa hubungan kerja yang fleksibel telah menjadi penyebab langsung utama pertumbuhan precariat global. Aspek yang mempercepat pertumbuhan precariat adalah tiga serangkai fleksibilitas yaitu flesibilitas  numerik, fleksibilitas fungsional dan fleksibilitas sistem upah.

Bentuk dominan precariat adalah fleksibilitas numerik, yaitu melalui bentuk tenaga kerja 'atipikal' atau 'non-standar.' Ini adalah sebuah fitur fleksibilitas berupa meningkatnya penggunaan tenaga kerja sementara, yang memungkinkan perusahaan untuk mengubah kerja secara cepat, sehingga mereka dapat beradaptasi dan mengubah unit/divisi kerja mereka. Tenaga kerja sementara memberi keuntungan bagi perusahaan, yaitu: upah lebih rendah, upah tanpa mempertimbangkan pengalaman kerja sebelumnya, berkurangnya kewajiban perusahaan memberi imbalan diluar upah (asuransi, bonus, tunjangan, dll.), dan sebagainya. Meskipun dalam pandangan Standing tetap ada sedikit risiko, yaitu jika mempekerjakan  seseorang tanpa komitmen yang kuat --pada kasus tertentu-- mungkin akan memberi resiko tersendiri juga bagi perusahaan, namun itu kurang signifikan dibandingkan keuntungan yang diperoleh perusahaan dari diterapkannya sistem ketenagakerjaan yang baru ini.

Seperti sudah disebutkan sebelumnya, situasi tersebut dipengaruhi oleh adanya tertiarisasi atau pergeseran orientasi bisnis/industri secara global dari manufaktur ke jasa/layanan. Menurut Standing, dalam industri jasa ada kecenderungan tenaga kerja akan lebih berorientasi jangka pendek. Hal ini berdampak pada fluktuasi permintaan tenaga kerja, sehingga ada kebutuhan untuk menggunakan tenaga kerja sementara –yang dapat juga dimasukkan ke dalam kategori setengah pengangguran (underemployment)--. Ada juga faktor lain yang sedikit banyak mendorong peningkatan kondisi tersebut. Bagi pengusaha, jika dibandingkan dengan pekerja tetap, para pekerja kontrak sementara ini lebih mudah untuk didorong agar bekerja lebih keras, terutama jika pekerjaan tersebut sifatnya lebih intens. Pengusaha senang karena pekerja tetap dapat dikurangi. Selain itu pekerja kontrak sementara  dapat dibayar lebih sedikit untuk jam kerja yang juga lebih sedikit ketika pekerjaan/proyek/order sedang berkurang, misalnya. Mereka juga dapat lebih mudah dikontrol melalui ancaman pemecatan, dll.. Jika pekerjaan/proyek/order suatu ketika hanya membutuhkan sedikit tenaga kerja, mereka juga dapat diberhentikan dengan mudah, dengan prosedur dan biaya yang lebih mudah.

Standing mengutip penulis lain (seperti Amoore, 2000; Sklair, 2002; Elger dan Smith, 2006; Royle dan Ortiz, 2009) yang menggambarkan bagaimana perusahaan multinasional mencoba untuk membentuk model kerja baru di tempat-tempat di mana mereka mendirikan anak perusahaan. Contohnya, best practice model dari jaringan restoran fastfood McDonald yang melibatkan pembentukan pekerja dengan keterampilan spesifik yang terbatas (deskilling), penghapusan karyawan lama, pelarangan serikat pekerja (union busting), serta upah dan bonus yang lebih rendah dari perusahaan. Model ini kemudian banyak ditiru oleh perusahaan lain di lokasi mereka beroperasi.

Menurut Standing, pergeseran tenaga kerja sementara ternyata juga disertai dengan meningkatnya jumlah pelaku/perusahaan yang menjadi agen dan penyalur tenaga kerja. Merekalah yang telah berperan besar membantu perusahaan untuk mengganti tenaga kerja tetap dengan tenaga kerja sementara dan tenaga kerja dari kontraktor/perusahaan lain.

Saya kira apa yang ditulis Standing tersebut dapat menjelaskan fenomena menjamurnya perusahaan yang menyediakan tenaga outsoucing di Indonesia dalam dua dekade belakangan. Hampir semua perusahan besar, pusat perkantoran, pusat perbelanjaan dan bahkan kantor pemerintahan tertentu menggunakan tenaga “alih daya” untuk mengurus keamanan, kebersihan, kurir, catering, dll., karena oleh perusahaan penyewanya, mereka dipandang lebih efisien (baca: lebih murah dan kurang merepotkan).

Sementara itu, dalam bukunya tersebut Starling menulis bahwa bentuk umum dari fleksibilitas fungsional adalah kontrak tanpa jam kerja (zero hour contracts), yaitu ketika pekerja diberi kontrak namun tidak diatur secara spesifik berapa lama jam kerja mereka, apa persisnya jenis pekerjaannya, dan berapa banyak mereka akan dibayar. Bentuk lain dari fleksibilitas jenis ini adalah penerapan kontrak individual. Ketika kolektivitas menyusut, yang ditandai dengan melemahnya serikat pekerja dan perundingan bersama, maka maraklah model kontrak individual. Hal ini memungkinkan perusahaan untuk memberikan perlakuan yang berbeda pada tiap pekerja, dalam hal derajat jaminan dan status, yang menggiring sebagian besar pekerja Salariat (penerima gaji dengan pekerjaan stabil) ke status precariat. Kontrak Individu memungkinkan pengusaha untuk memperketat kondisi untuk meminimalkan ketidakpastian perusahaan, yang ditegakkan melalui ancaman hukuman jika pekerja melanggar kontrak.

Dalam pandangan Standing, kontrak individual, kasualisasi dan bentuk lain dari fleksibilitas eksternal diterapkan bersama-sama dalam 'tertiarisasi’ (tertiarisation) yang merangkum kombinasi beberapa bentuk fleksibilitas. Tertiarisasi ini ditandai dengan adanya pembagian kerja yang bersifat cair, tempat kerja menyatu dengan rumah dan/atau tempat umum, jam kerja berfluktuasi dan orang-orang dapat menggabungkan beberapa status pekerjaan dan memiliki beberapa kontrak secara bersamaan. Hal ini mengantarkan sistem kontrol baru, berfokus pada penggunaan waktu masyarakat. Kondisi ini menurut Foucault (1977) disebutnya sebagai 'pabrik sosial', di mana masyarakat merupakan perluasan dari tempat kerja (Hardt dan Negri, 2000).

Pada dasarnya fleksibilitas fungsional dan tertiarisasi telah menyebabkan berkembangnya pola  kerja jarak jauh, yang menurut Standing hal tersebut telah memecah kelompok pekerja dan cenderung mengisolasi mereka. Namun sebagian  pekerja menyambut ini sebagai kesempatan untuk bekerja dari rumah. Karyawan semakin memiliki 'roaming profile', yang memungkinkan mereka untuk mengatur dan mentransfer file dari komputer di ‘ruang kerja virtual’ yang mereka gunakan. Pengaturan ini sangat menguntungkan bagi perusahaan, karena selain dapat berhemat dari kebutuhan menyediakan ruang dan perlengkapan kantor, dapat memperoleh tenaga terampil dari mana saja dan dengan kondisi yang lebih fleksibel (ibu rumah tangga yang bekerja di rumah, misalnya), memungkinkan untuk memperpanjang jam dan hari beroperasi nya perusahaan, mengurangi politik kantor dan gangguan rekan kerja, dan lebih ramah lingkungan. Kelemahannya, model kerja macam begini menyebabkan berkurangnya kegiatan berbagi informasi secara informal dan kurangnya esprit de corps.

Selain fleksibilitas fungsional dan bekerja jarak jauh (distance work), perubahan struktur kerja telah mengganggu kapasitas masyarakat untuk mengontrol dan mengembangkan potensi kerja mereka. Di era globalisasi, peran pemerintah diam-diam dikurangi oleh lembaga-lembaga profesi dan kerajinan yang menetapkan aturan mereka sendiri. Lembaga-lembaga tersebut menetapkan standar mereka sendiri, membuat mekanisme untuk dapat masuk dalam skema pekerjaan tertentu, membangun dan mereproduksi etika dan cara melakukan sesuatu, mengatur tingkat upah dan hak, membangun cara mendisiplinkan dan sanksi anggotanya, membuat prosedur untuk promosi dan untuk bentuk lain dari kemajuan karir, dll.

Liberalisasi ekonomi disertai dengan liberalisasi pekerjaan (liberalisation of occupations), yang diatur dalam berbagai perjanjian perdagangan bebas regional maupun internasional. Pasar nasional kemudian menjadi terbuka untuk persaingan dengan pekerja asing di pekerjaan di sektor jasa di negara-negara yang sebelumnya memiliki yurisdiksi nasional mengenai siapa yang dapat berlatih menjadi seorang pengacara, akuntan, arsitek, tukang ledeng atau apa pun. Akibatnya, bahkan pekerjaan yang sebelumnya dimiliki oleh kelas penerima gaji dan profician menyembunyikan kecenderungan untuk juga menjadi precariat, melalui karir yang terpotong.

Standing mengkritisi kecencerungan ini. Dalam persaingan global, dan revolusi teknologi yang sedang berlangsung, dapat dimengerti mengapa perusahaan ingin melakukan hal tersebut dan mengapa pemerintah mendukungnya. Namun, model tersebut menurutnya telah membawa perubahan yang menyakitkan dan meningkatkan jumlah precariat di dunia. Jika fleksibilitas numerik menghasilkan ketiadaan jaminan ketenagakerjaaan (employment insecurity), maka fleksibilitas fungsional mengintensifkan ketiadaan jaminan kerja (job insecurity).

Fitur terakhir dari trio fleksibilitas ini adalah fleksibilitas upah. Fitur ini tidak hanya membuat tingkat pendapatan yang diterima oleh sebagian besar pekerja menjadi turun, namun sekaligus membuat ketidakamanan pendapatan mereka menjadi meningkat. Pendapatan sosial para pekerja juga mengalami restrukturisasi. Upah di negara-negara industri telah mengalami stagnasi selama  beberapa dekade. Terjadi kesenjangan upah (wage gap) yang sangat besar, termasuk perbedaan antara karyawan tetap dan kalangan precariat.

Di sisi lain, Standing mencatat bahwa globalisasi telah mendorong perusahaan untuk mengubah tren dari upah (wages) menjadi manfaat (benefits). Sementara kaum Salariat selain menerima gaji juga menerima berbagai manfaat dari perusahaan (seperti bonus, cuti medis, asuransi kesehatan, libur dibayar, transportasi bersubsidi, perumahan bersubsidi, dll.), kaum precariat tidak mendapatkan itu sama sekali, dan hanya hidup mengandalkan dari upah yang diterima saja. Dalam hal ini, pada intinya perusahaan telah mengurangi biaya tenaga kerja dan memindahkan risiko serta biaya pada pekerja. Kehidupan kaum precariat menjadi lebih riskan lagi. Sementara di sisi lain, terbatasnya penghasilan dan kurangnya dukungan dari perusahaan menyebabkan kaum precariat semakin kesulitan untuk dapat memiliki asuransi kesehatan/jiwa yang memadai.

Standing berpendapat bahwa yang paling menderita dari rezim fleksibilitas upah ini adalah kaum precariat. Karena, upah yang mereka terima menjadi mereka lebih rendah, lebih bervariasi dan lebih tak terduga, di mana variabilitas tersebut tidak mungkin berkorelasi positif dengan pemenuhan kebutuhan pribadi dan keluarganya. Ketika kaum precariat memiliki kebutuhan keuangan di atas normal, seperti ketika mereka memiliki penyakit atau kebutuhan keluarga lainnya, mereka juga cenderung untuk bersedia bekerja dengan upah di bawah rata-rata. Dan ketidakpastian ekonomi mereka diintensifkan dengan cara kerja kredit perbankan/lembaga keuangan lainnya yang tidak mendukung. Kesulitan memperoleh pinjaman di lembaga keuangan formal akan mendorong mereka untuk meminjam uang dari rentenir dengan tinggi bunga lebih tinggi dan dengan jadwal pembayaran yang tidak realistis. Akibatnya kaum precariat kerap terjerat hutang yang kronis.

Bersambung ke
Bagian 3: Jebakan Precariat

----------
Referensi:

Standing, Guy (2011). The Precariat: The New Dangerous Class. Bloomsbury, London.