Baca

Baca

Jumat, 14 Maret 2014

"Habis berapa...?": Balada Para Pencari Suara...



“Ente’ piro…?”  
(Bahasa Jawa: Habis berapa?)

 Oleh: Candra Kusuma
Diolah dari hasil penelitian lapangan tahun 2012

Tahun 2012 lalu, saya melakukan sebuah penelitian kecil (tanpa sponsor lho ini…)  mengenai relasi sosial dan politik masyarakat terkait dengan Pemilukada di sebuah daerah di Jawa Barat. Tujuannya adalah untuk melihat pengalaman mereka dalam membangun institusi warga, dan dalam membangun kontak dengan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta peran mereka dalam memantau proses pemerintahan dan pembangunan di daerah oleh Bupati/Wakil Bupati terpilih dalam Pemilukada.

Karena berurusan dengan Pemilukada, mau tidak mau akhirnya ngobrolin soal bagaimana pengalaman mereka (warga dan Cabub/Cawabub) berkaitan dengan “isu” politik uang dalam Pemilu secara umum: termasuk Pilpres, Pileg, Pemilukada bahkan Pildes. Sebagai sebuah penelitian kualitatif, datanya memang bersifat anekdotal saja, dan tentu tidak dapat dibuat gambaran penuh tabel dan diagram berwarna yang fancy ala lembaga-lembaga survei di televisi ya… 

Pola politik uang berubah: Rakyat Matre’?
Dari beberapa responden yang ditemui, baik dari kalangan aktivis warga maupun Cabub/Cawabub, ternyata punya pandangan yang sama bahwa DULU partai politik dan politisi hanya mengembangkan pola interaksi politik transaksional menjelang Pemilu atau Pemilukada saja. Tapi SEKARANG polanya sudah berubah sama sekali. Rakyat/pemilih cenderung LEBIH AKTIF, dalam arti mereka memulai terlebih dahulu terjadinya transaksi politik, berupa permintaan uang, barang, atau dukungan pembangunan fisik dan kegiatan di lokasi mereka.

Dahulu, di Kabupaten X mobilisasi politik dipandang lebih mudah dilakukan oleh para elit daerah, baik melalui pemanfaatan pengaruh para tokoh masyarakat, birokrasi, dan kekuatan uang. Kultur masyarakat dan birokrasi yang paternalistik mempermudah berlangsungnya proses pengendalian politik masyarakat. Dalam waktu lama, hubungan antara pemerintah dan masyarakat dikelola dalam relasi dimana salah satu pihak menganggap dirinya sebagai pemimpin yang harus mengarahkan, mengawasi dan mengendalikan, dan pihak lain sebagai yang harus diarahkan, diawasi dan dikendalikan. Relasi patron-client diciptakan dengan sengaja dalam hubungan antara masyarakat dan elit, dan warga dengan pemerintah.

“Peran birokrasi, dari mulai Bupati sampai dengan Kepala Desa itu sangat berperan besar… dengan menggunakan instrumen kekuasaan… anggaran, dan lain sebagainya, untuk memanipulasi kehendak rakyat. Jadi yang terjadi sesungguhnya adalah manipulasi kehendak rakyat, padahal itu kehendak segelintir elit tertentu saja… Nah kenapa terjadi proses pembodohan seperti itu, ya karena memang rakyat tidak tahu, sangat miskin dengan informasi kan… Siapa calon, calon yang tepat untuk dipilih seperti apa… kan mereka masih abu-abu… sehingga ketika Kepala Desa, Camat, birokrasi berperan, dan digerakkan oleh kekuatan tertentu, akhirnya rakyat menentukan pilihannya berdasarkan arahan elit-elit tersebut, karena tidak ada yang menyadarkan… Disitu money politics segala macem… Politicking anggaran kan terjadi…” (Kusnadi, nama samaran, Cabub)

Namun, perubahan perilaku politik yang terjadi di masyarakat Kabupaten X sangat menarik untuk dicermati. Menurut para informan penelitian ini, perilaku politik yang transaksional saat ini tampaknya terjadi merata di semua lapisan dan pelosok masyarakat, baik di perkotaan maupun perdesaan, baik mereka yang berpendidikan rendah maupun lebih tinggi. Dalam pengalaman mereka, perilaku tersebut bukan monopoli atau sepenuhnya inisiatif para politisi atau partai politik. Inisiatif untuk membuka ruang transaksional tersebut saat ini justru lebih banyak muncul dari masyarakat. Pengalaman dari calon independen yang mencoba membangun relasi politik non transaksional (tidak dengan “membeli suara”) menunjukkan sulitnya mengajak masyarakat untuk membangun relasi politik yang sehat. Diantaranya adalah pasangan Cabup dan Cawabup, sebut saja Jaka dan Toto (nama samaran), yang mengaku tidak mau terlibat transaksi politik uang, menyatakan kegelisahannya, sbb.:

Kemudian, sejauhmana respon masyarakat terhadap semua yang diomongkan calon… dan tuntutan masyarakat seperti apa?…. Itu dimana-mana, ketika saya omong ke sana omong ke sini, semua yang disampaikan itu usulan, seakan-akan kita ini adalah tim perencanaan anggaran, dan kita ini punya segudang duit untuk diimplementasikan di lapangan. Bahkan dia mintanya bukan setelah jadi, sebelum jadi dia sudah minta… Saya datang kesana, “Pak InsyaAllah lah, suara kami ke bapak. Tapi saya minta satu saja sekarang, punten itu jembatan kami diperbaiki…”. Nah itu… itu yang hampir selalu muncul… jadi udah ngga nyambung…”  (Jaka, nama samaran, mantan Cawabub)
----------------------------------------
“Intinya mah itu, masyarakat kita sebagian besar masih matre lah… urusannya duit… Jadi itu karena sebelumnya mereka kan merasa banyak dikhianati juga… Janji-janji kan banyak yang tidak terealisasi… Jadi apa yang bisa kepegang saja… Ya uang… Istilah mereka, lagi butuh aja nggak ngasih, nggak inget… apalagi nanti kalau sudah terpilih… pasti bohong… Logikanya sudah terbalik-balik seperti itu… Nah, di hari-hari terakhir menjelang pemilihan, tim sukses kita di lapangan itu termasuk calon-calon saksi menelpon, ‘Pak Toto, calon-calon lain mah ngasih beras 5 kg, 10 kg, plus uang Rp 20.000 an ke masyarakat … cik atuh barang Indomie-Indomie sabungkus atuh, sebagai tanda kita inget mereka….’ Tuntutannya tuh cuma Indomie barang sebungkus… Tapi saya tegas, selain juga nggak punya duit… Seorang satu Indomie, tapi kalau banyak kan tetap saja… Saya bilang, ‘Kalau memang nggak ikhlas milih, ya nggak usah milih… Saya tuh iklas mencalonkan diri mau melayani rakyat itu… Jadi saya juga butuh keikhlasan…,’itu aja jawaban saya…”  (Toto, nama samara, Cabub)
----------------------------------------
 “Bahkan warga di Kompleks Y yang orang-orang kaya, dan terdidik… Cina kaya, pribumi terdidik… Disitu orangnya kritis memang… Dari sekian calon, mereka melirik saya… Terus saya diundang… Wah kayak sidang ujian tesis… Gabungan warga beberapa RW… Tapi ujung-ujungnya mereka keukeuh wae mintaan duit… Nggak gede sih, minta buat biaya penyelenggaraan… Katanya mereka mau jadi relawan tim sukses tapi minta dana buat operasional… Tapi nggak menang saya disitu, tapi waktunya memang udah mepet, seminggu menjelang pemilihan baru ngundang saya… Ada suara untuk saya disitu, nggak besar, tapi minimal nggak nol-lah… Kelihatan ada bekas usaha mereka itu tadi…” (Toto, nama samaran, Cabub)
----------------------------------------
“Jadi memang money politics itu bukan cuma dari politisinya, tapi rakyat sendiri seperti itu… Itu pengalaman saya… Merata itu… Tapi ada yang tersentuh ya… Yang tersentuh itu yang militan… Jadi angka 4,9% suara yang dukung saya teh, saya yakin itu angka orang-orang idealis… Da’ pasti mereka kan digoda uang sama calon yang lain, tapi bertahan… Saya yakin mereka orang yang tegar… Suara murni lah… Jadi ya money politics itu bukan sistem… Orang pada nyalahin sistem dan politisinya yah… Tapi saya mah nyalahin rakyatnya juga… Tapi memang itukan ada sebab juga yah, kenapa rakyat jadi begini… Itu suatu persoalan sendiri…” (Toto, nama samaran, Cabub)

Pendidikan politik yang buruk dari para tokoh agama
Selain itu, dalam pandangan mereka, banyak tokoh agama dan lembaga keagamaan (khususnya pada agama yang dianut mayoritas penduduk Kabupaten X) yang justru seakan memberi contoh perilaku tersebut. Satu ungkapan menarik dari salah seorang calon mengenai hubungan antara fiqih (Keterangan: salah satu bidang ilmu dalam syariat yang secara khusus membahas persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun kehidupan manusia dengan Tuhannya) dengan perilaku politik transaksional pragmatis:

“Perilaku fiqih itu berpengaruh sekali terhadap perilaku politik orang… Perilaku fiqih yang akomodatif, cenderung perilaku politiknyapun akomodatif… Jadi ada Persxx, Muhaxxxxxxxx, Syarexxx Isxxx, Nahxxxxx Ulaxx,… Jadi semakin akomodatif perilaku fiqih, itu semakin mudah sekali untuk kesana kemari…” (Kusnadi, nama samaran, Cabub)
----------------------------------------
“Yang non formalnya, karena saya lihat di pendidikan non formal seperti pesantren, ini juga yang kemudian turut merusak pendidikan politik masyarakat. Jadi yang namanya kyai itu, semua calon itu diterima., ha…ha… Itukan di pesantren, disaksikan santrinya… Dan itu, kyai kan selalu pidato… selalu menerima calon, dan ujung-ujungnya minta pesantren dibereskan… mesjid dibereskan… Inikan selalu terjadi… momentum Pilkada… apalagi Pileg… Pileg itukan banyak calon… Calon ini diterima, itu diterima… begitu saja terus… didagangkan di depan majelis taklimnya, santri-santrinya…” (Kusnadi, nama samaran, Cabub)
----------------------------------------
“Dan yang paling parah itu di kalangan Nahxxxxx Ulaxx, itu paling parah…he..he.. Jadi, mereka itu sudah deklarasi pada Putaran Kedua, menyatakan dukungan… kemudian kita lihat, tiga hari menjelang pemilihan, incumbent itu ngasih, ngasih, ngasih… kita cek, pada orang dekat kyai itu, sudah rubah… cepet sekali itu perubahannya… Karena Nahxxxxx Ulxxx struktural kan dukung kita… Tapi basis mereka ini kan pesantren…Sampai ada teman saya Nahdliyin yang bilang, “Sayah mah Pak, mending pake tim sukses residivis… Daripada kyai, pusing Pak… Kalau residivis kan kalau A ya A… dan murah… cukup dikasih rokok, paling uang saku Rp 50.000… langsung jalan…. Tapi kalau kyai, udah mahal, sambil ngga jelas lagi…”, ha…ha…” (Kusnadi, nama samaran, Cabub)
----------------------------------------
“Saya melihat pesantren sekarang mengalami degradasi dalam hal partisipasi politik… Jadi kalau bicara politik, bersentuhan dengan pesantren, ya semua bakal tertipu habis… Kyai itu efektif sih ke santri atau jamaahnya… karena dianggap punya barokah… Jadi kalau berbicara politik, saya lebih percaya teman-teman daripada ke pak kyai…”  (Kusnadi, nama samaran, Cabub)
----------------------------------------
“Pesantren jangan ikut kemudian ikut mencemari perpolitikan… tapi harus mencerdaskan perpolitikan…Ada konsekuensi logis dari perilakukan politik kyai sekarang… Jadi kalau dulu kan, ketika Kyai X itu mengambil sikap, itu dampaknya puluhan ribu… Tetapi kalau kyai sekarang paling seribu dua ribu… Sekarang itu masih kuat, ada tokoh lain, berimbang sekarang… ada tokoh nasional, ada kyai… Nah sekarang masyarakat sudah menilai kan, kok begini..? Di mimbar ini suruh dukung ini… besoknya jadi rubah, sudah mulai bergeser… Karena harga mahal kyai itukan pada istiqomah… Begitu dia tidak istiqomah dia ditinggal… Lamun ceuk Sunda mah, ‘ulah murucan nu teu eucrek’… Jadi jangan memberi contoh buruk, karena pengawal moralitas bangsa itukan kyai… jadi kalau kyai sudah memberikan contoh buruk kepada masyarakat, itu pasti akan menggerus kharisma mereka… (Kusnadi, nama samaran, Cabub)

Biaya politik mahal
Biaya politik menjadi sangat tinggi, di mana pada akhirnya kekuatan uanglah yang menjadi faktor utama penentu kemenangan dalam Pemilukada. Konon, setidaknya setiap Cabup/Cawabub yang bertarung dalam Pemilukada 2010 di Kabupaten X tersebut harus keluar uang Rp 5 – 10 milyar.

Rakyat menerima pendidikan politik yang salah
Terjadinya perubahan perilaku rakyat sebagai pemilih tentu bukan tanpa sebab. Kondisi tersebut justru harus dipandang sebagai akibat dari gagalnya atau bahkan tidak adanya pendidikan politik yang sehat dari negara dan institusi politik khususnya partai-partai politik. Pendidikan politik selama Orde Baru hanya menghasilan pemilih yang hanya bisa “mencoblos” saja. Setelah “Reformasi” ternyata pendidikan politik bagi rakyat juga tidak sehat. Anggotannya, parlemen dan pemerintahan yang terpilih banyak yang justru menunjukkan perilaku yang tidak terpuji: banyak yang mangkir dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, serta menunjukkan perilaku snob serta banyak diantaranya yang terlibat kasus korupsi. Pada akhirnya rakyat juga “meniru” perilaku para politisi dan pejabat tersebut. Ungkapan “wani piro?” yang populer belakangan ini menjadi simbol dari perubahan perilaku dan relasi antara rakyat dan politisi dan pejabat tadi.

Sementara upaya pendidikan politik umumnya dilakukan NGO atau CSO, yang tentunya menjadi terbatas jangkauannya.

“Jadi pencerdasan-pencerdasan politik di kabupaten (ini) belum ada itu… Apalagi partai-partai politik yang melakukan pencerdasan politik itu cuma NGO-NGO kecil gitu kan… Ya dengan swadaya semampunya melakukan pencerdasanpencerdasan politik… Kalau partai politik ya gitu, yang diterapkan politik transaksionalnya, bukan pencerdasan masyarakat… Yang membawa visi misi untuk lima tahun ke depan gimana… jarang itu partai politik…” (Nanang, nama samaran, anggota Forum Warga)

Namun sebagai hiburan, perlu ditambahkan mengenai trend tersebut, yaitu bahwa fenomena vote buying juga terjadi dimana-mana di seluruh belahan dunia, meskipun secara normatif hal tersebut dipandang sebagai illegal. Uang dan politik memang saling terkait satu sama lain khususnya pada momentum pemilihan umum. Studi di Taiwan, Thaiand, dan Meksiko menunjukkan adanya jaringan broker politik yang berperan mempengaruhi jaringan sosial di masyarakat secara transaksional (Bryan dan Baer, eds., 2005). Sementara hasil studi di 22 negara Asia, Afrika, Eropa dan Amerika Latin oleh The National Democratic Institute (NDI), menggambarkan adanya keterkaitan antara politik uang saat Pemilu dengan korupsi yang terinstitusionalisasi dalam partai politik (Schaffer, ed., 2007). Dalam konteks Indonesia, temuan penelitian ini mengkonfirmasi kelemahan Pemilu/Pemilukada yang diulas Djojosoekarto dan Hauter (2003). Adanya jaringan broker politik dalam Pemilu/Pemilukada bahkan Pilkades juga dikemukan oleh Kusnadi, salah seorang Cabub yang menjadi informan dalam penelitian ini.

“Ente’ piro?"  -vs- “Entu’ piro?”
Apakah cerita tadi hanya anekdot yang terjadi di suatu tempat dan waktu tertentu saja? Atau ini juga yang dialami oleh para Calon Legislatif yang saat ini tengah “berjuang” merebut hati rakyat dalam Pemilu 2014? Bisa jadi ceritanya masih mirip-mirip ya.  Sangat menarik kalau ada yang mau share juga disini…  Singkat kata, kalau boleh tahu, Ente’ piro? (Bahasa Jawa: Habis berapa?) buat modal keliling dan kampanye?

Tapi mengikuti cara berpikir teman-teman yang selalu positive thinking, maka tentulah dilarang untuk pesimis…  Bisa jadi proses belajar masyarakat secara umum memang baru sanggup sampai di level ini ya… Selain itu, pastilah masih banyak Caleg yang berniat lurus dan dapat memperoleh dukungan suara yang tulus dari konstituennya. Berhubung banyak teman dari Sabang sampai Merauke yang saat ini menjadi Caleg, saya doakan semoga tabah dan sehat selalu (kesehatannya dan keuangannya tentu). Amiin…

Dan sebagai rakyat biasa, saya hanya bisa berharap, semoga setelah Pemilu 2014 nanti tidak sampai harus mengajukan pertanyaan tambahan, baik ke masyarakat maupun para Caleg  (terutama teman-teman yang jadi Caleg): “Entu’ piro?” (Bahasa Jawa: Dapat berapa?), baik mengenai perolehan suaranya, maupun hasil “pampasan perang”-nya… he...he...

"Mang, kumaha kabarna Porum ayeuna...?"



“Forum Warga”: Hidup Segan Mati Tak Mau

Oleh: Candra Kusuma
Dikemas ulang dari kumpulan tulisan “Renungan Depok” – Juli 2012

Pengertian Forum Warga
Dalam penelitiannya mengenai inisiatif masyarakat dalam mengembangkan forum warga di berbagai daerah di Indonesia, Sumarto (2009:36) mendefinisikan “Forum Warga” sebagai suatu forum konsultasi dan penyaluran aspirasi warga untuk urusan pembangunan dan pelayanan publik di tingkat lokal. Dalam hal ini ada sejumlah ciri dari forum warga, diantaranya: (a) Merupakan wadah yang digunakan untuk merumuskan dan mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi komunitas (seringkali berupa rekomendasi bagi pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan atau melakukan kebijakan tertentu), sekaligus menjadi media resolusi konflik di tingkat lokal; (b) Biasanya merupakan aliansi berbagai organisasi non pemerintah (NGO/LSM), organisasi berbasis komunitas, asosiasi/kelompok sektoral (seperti kelompok petani, buruh, pemuda, transportasi, pedagang kaki lima, perempuan, dll.) serta tokoh-tokoh lokal; (c) Biasanya bersifat sektoral, tetapi kebanyakan koalisi dibangun dengan basis teritorial, walaupun tidak selalu identik dengan wilayah administratif.[1]

Kehadiran forum-forum tersebut menambah alternatif arena partisipasi warga, setelah sebelumnya lebih banyak dimunculkan melalui berbagai NGO.[2] Tumbuhnya asosiasi atau forum warga ini dapat dipandang sebagai kritik atas kelemahan dari demokrasi representatif yang cenderung eksklusif dan tidak responsif terhadap kepentingan dan aspirasi warga. Kehadiran forum warga dalam juga dapat dipandang sebagai tumbuhnya kebutuhan akan adanya kelompok-kelompok penekan, yang menjadi bagian dari dinamika perkembangan civil society di Indonesia. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam penelitiannya Sumarto telah mengidentifikasi forum warga berdasar proses kelahirannya, yang dapat dikategorikan menjadi: (a) Forum yang lahir dari kebutuhan akan wadah komunikasi, pengorganisasian masyarakat, dan aksi bersama; (b) Forum yang lahir sebagai kelanjutan dari suatu program/proyek dari pemerintah, pemerintah daerah, perguruan tinggi, lembaga donor, atau lainnya; (c) Forum yang dibentuk sebagai “prasyarat” atau kewajiban yang harus dipenuhi untuk dapat terlibat dalam suatu program/proyek tertentu (Sumarto, 2009:38).

Dari hasil studi Sumarto (2005, 2008 dan 2009) dan USAID (2006), dapat dipetakan empat isu yang menjadi perhatian dan arena partisipasi Forum Warga, yaitu dialog, diskusi dan upaya terlibat dalam pengambilan keputusan mengenai atau dalam hal: (a) Masalah sosial atau isu publik di komunitas dan/atau daerah; (b) Perencanaan pembangunan/komunitas dan/atau daerah; (c) Penganggaran pembangunan di komunitas dan/atau daerah; dan (d) Monitoring dan evaluasi pembangunan di komunitas dan/atau daerah. Diantara keempat isu tersebut, dalam pengamatan saya sebagian besar forum warga terlibat dalam dialog dan diskusi mengenai masalah sosial atau isu publik dan penganggaran pembangunan atau participatory budgeting.

Efek Forum Warga
Hasil studi Sumarto (2005:372-373) mengenai keberadaan dan kiprah forum warga di Kabupaten Bandung dan Kota Solo diantaranya menjelaskan mengenai efek forum warga terhadap demokrasi lokal. Dengan mengacu pada pendapat Warren (2001:60-93) mengenai tiga dimensi perubahan dari adanya asosiasi semacam itu, studi Sumarto menemukan bahwa forum warga memiliki:
(a) Efek pengembangan individu-individu. Forum warga berpotensi membentuk, meningkatkan dan mendukung kepercayaan diri dan kapasitas warga untuk secara kolektif mengubah politik lokal. Perkembangan individu dimaksud yaitu pada aspek: merasa mampu/berhasil (a sense of efficacy), informasi, keterampilan politik, kebajikan (civic virtues) dan kemampuan berifikir/bersikap kritis (critical skills). Hasil studi Sumarto tersebut menunjukkan bahwa forum warga menjadi semacam ’school of democracy, melalui berbagai proses pembelajaran informal mengenai “civic culture”;
(b) Efek terhadap public sphere, dimana organisasi dapat memegang peran kunci dalam komunikasi publik dan deliberasi, serta merepresentasikan kesamaan dan perbedaan yang ada. Meskipun tantangannya adalah umumnya sulit bagi forum warga untuk terlibat dalam proses perencanaan pembangunan karena ruang/kesempatan untuk itu masih belum ada;
(c)  Efek institusional, dimana asosiasi memiliki potensi untuk menyeimbangkan representasi para pihak dalam sistem politik lokal, meningkatkan kemampuan warga untuk memperjuangkan aspirasinya, dan mengimplementasikan prinsip subsidiarity[3] pada pemerintahan lokal, meningkatkan koordinasi dan kerjasama diantara kepentingan yang berpotensi saling bersaing, dan meningkatkan legitimasi demokrasi.

Kendala Forum Warga
Dari berbagai penelitian yang telah diuraikan di atas, ada sejumlah catatan yang penting untuk dicermati berkenaan dengan keberadaan forum warga tersebut. Meskipun dibangun dengan semangat partisipatif dan bertujuan menciptakan kebijakan publik yang lebih berpihak pada kepentingan warga,[4] namun forum warga juga memiliki sejumlah kendala, antara lain:
(a) Kemungkinan terabaikannya masalah atau isu lain diluar isu utama yang menjadi fokus forum warga. Masalah ini sangat mungkin terjadi pada forum warga yang bersifat sektoral atau hanya mewakili wilayah tertentu;
(b) Keanggotaan forum warga yang umumnya berbasis tokoh masyarakat, kerap hanya memiliki legitimasi yang lemah dan tidak menjamin mewakili kepentingan masyarakat miskin/marginal. Forum tersebut menjadi elitis dan tidak terakses oleh warga kebanyakan;
(c)  Hambatan sosio-kultural terhadap kehidupan asosiasional, seperti kurangnya trust, adanya sebagian anggota/peserta yang oportunis (opportunism), krisis kepemimpinan dan hubungan patronase;
(d) Semangat kolektif anggota atau aktivis forum warga tidak stabil. Konflik kepentingan, rivalitas, orientasi/tujuan yang berubah tidak saja dapat mengganggu proses pengambilan keputusan dan membuat keberadaan forum tersebut menjadi rentan untuk mampu bertahan lama;
(e) Forum warga yang betul-betul muncul dan dikelola oleh masyarakat sendiri, kerap menghadapi masalah keterbatasan sumberdaya untuk menggerakkan organisasi dan kegiatan forum;
(f)  Pembentukan forum warga tidak jarang lebih condong dikembangkan dalam skema proyek, sehingga kerap bergantung pada pihak sponsor yang mendanainya;
(g)    Hambatan pada struktur pemerintahan lokal dan terbatasnya ruang politik.[5]

Secara khusus, peluang dan hambatan yang berasal dari birokrasi memang perlu dicermati, karena dapat turut mempengaruhi berhasil atau tidaknya proses deliberasi di daerah. Dalam hal ini, perlu dipetakan tingkat keterbukaan birokrasi terhadap gagasan partisipasi warga dalam proses perumusan dan kontrol atas  pelaksanaan kebijakan publik di daerah.[6] Pandangan tersebut sejalan dengan hasil studi empirik Yang dan Callahan (2007:259) yang menginformasikan bahwa faktor terpenting terkait upaya pelibatan warga dalam pengambilan keputusan adalah perilaku para manajer publik (birokrat) dalam menyikapi prinsip-prinsip partisipasi.[7] Namun, pemahaman aparatus birokrasi di Indonesia mengenai prinsip partisipasi publik dan secara umum mengenai good governance masih menjadi pertanyaan besar. Hasil studi empirik BAPPENAS (2003:33) menunjukkan bahwa dari empat belas prinsip tata pemerintahan yang baik yang dikembangkan oleh BAPPENAS,[8] prinsip transparansi dan prinsip demokratis serta berorientasi pada konsensus merupakan prinsip-prinsip yang paling kurang dipahami oleh aparatur pemerintahan daerah.

Jika birokrasi di daerah khususnya kepala daerah -- oleh berbagai sebab -- bersifat tertutup terhadap gagasan tersebut, maka upaya deliberasi dapat dikatakan hanya akan menjadi aksi sepihak saja. Karenanya menjadi penting untuk mencermati karakter dan kecenderungan dari birokrasi yang menjadi bagian dalam proses deliberasi ini. Yang dan Callahan (2007:250) mengutip Meier dan O’Toole (2006) yang menyatakan bahwa bureaucratic value adalah lebih penting daripada faktor-faktor politik lainnya dalam menjelaskan keputusan-keputusan birokrasi. Masalahnya, banyak pimpinan atau pejabat publik takut untuk merespon partisipasi karena dianggap dapat menurunkan efektifitas lembaganya (King dan Stivers, 1998; Vigoda, 2002). Karenanya, seperti yang dikutip Yang dan Callahan dari More (1995), idealnya birokrasi jangan bersikap pasif terhadap gagasan partisipasi, karena partisipasi dapat digunakan untuk membangun dinamika politik dan meningkatkan legitimasi institusi.

Untuk itu, pemahaman para stakeholder atau aktor yang terlibat dalam proses deliberasi mengenai efek dari partisipasi publik juga perlu ditelaah lebih jauh. Dalam hal ini hasil studi empirik oleh Halverson (2003) dapat dijadikan salah satu pijakan, bahwa partisipasi publik yang berkualitas dapat mempengaruhi persepsi atau kepercayaan publik terhadap birokrasi/pemerintah. Partisipan atau warga cenderung meningkat kepercayaannya bahwa pemerintah atau institusi public sudah dan akan bersikap responsif terhadap kepentingan publik. Selain itu, studi empirik dari Wang dan Wart (2007:276) menyimpulkan bahwa public trust (tingkat kepercayaan publik) meningkat ketika para pejabat publik menunjukkan integritas, kejujuran, dan kepemimpinan moral serta etis, yang terinstitusionalisasi dalam pemerintahan melalui proses partisipasi. Namun Wang dan Wart juga mengingatkan, bahwa meskipun partisipasi dapat mencapai konsensus publik, namun tidak dengan sendirinya dapat menciptakan public trust, karena realisasi atas kesepakatan itu harus dapat ditunjukkan oleh para pejabat publik kepada warga, bahwa proses partisipasi tersebut memang mewujud dalam hal yang konkret, misalnya peningkatan jangkauan dan kualitas pelayanan publik dari pemerintah (daerah) kepada warga.

Sementara berkenaan dengan kecenderungan di forum warga sendiri, hasil kajian Sumarto (2008:i) justru menyimpulkan adanya indikasi bahwa gairah berpartisipasi di beberapa daerah sedang mengalami proses erosi. Berkurangnya kemauan politik dari kepala daerah dan kejenuhan warga menjadi sebagian penyebab dari kondisi tersebut. Bahkan pada sejumlah kasus ada pendukung partisipasi yang beralih menjadi penentangnya karena merasa tidak lagi percaya akan keuntungan dari proses partisipatif. Akibatnya banyak forum-forum deliberatif yang pernah berkembang dan populer di era 2000-an kemudian menjadi vakum, atau mulai mengalami stagnasi atau pembelokan tujuan.



Endnotes:
[1] Sumarto (2009:37) mencatat bahwa sesungguhnya kehadiran forum warga belum diakui dalam kerangka legal formal. Pengakuan atas keberadaan forum-forum tersebut belum merata, khususnya pengakuan dari pihak pemerintah. Akibatnya tidak jarang upaya mereka membangun dialog dengan pihak-pihak tersebut kerap kurang ditanggapi serius atau bahkan diabaikan dan ditolak.
[2] Menurut Sumarto (2005:5), tidak ada data mengenai jumlah forum warga di di Indonesia, tapi diperkirakan ada ratusan jumlahnya. Beberapa diantaranya yang dapat disebutkan, seperti: Forum Masyarakat Majalaya Sejahtera di Bandung; Sarasehan Warga Bandung di Kota Bandung; Perekat Ombara di Lombok Utara; Forum Jatinangor di Sumedang; Forum Masyarakat Peduli Sanur di Bali; Solidaritas Masyarakat Pinggiran Surakarta; Forum Masyarakat Jepara; dll. (diantaranya lihat Sumarto, 2005, 2008 dan 2009; USAID, 2006).
[3] The Oxford English Dictionary mengartikan subsidiarity sebagai prinsip bahwa otoritas yang lebih tinggi hanya melakukan sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan oleh otoritas yang lebih rendah. Dalam konteks otonomi daerah, pemerintah pusat hanya menjalankan urusan yang tidak dapat dilaksanakan oleh pemerintah daerah.
[4] Tidak semua pihak memiliki pandangan positif atau moderat terhadap konsep demokrasi deliberatif dan keberadaan forum warga. Perspektif dan teori yang berbeda akan menghasilkan kesimpulan yang berbeda pula terhadap masalah yang sama. Chotim (2006) misalnya, melihat forum warga sebagai gagasan yang ditanamkan dari luar melalui program/proyek dari berbagai donor atau lembaga kerjasama pemerintah lainnya, yang dianggap sebagai model yang paling baik dalam menyelesaikan masalah di komunitas secara damai, melalui konsensus yang dapat diterima semua pihak. Sementara masalah pokok di komunitas mungkin lebih mendasar dari apa yang diperbincangkan, khususnya soal kontestasi kepentingan ekonomi diantara para aktor mengenai sumberdaya yang ada di suatu daerah. Konsep demokrasi dan partisipasi menjadi hegemonik, dianggap benar dan berlaku universal. Disini terlihat adanya perbedaan perspektif antara Chotim dengan Chandra (2003) dan Sumarto (2005, 2008, 2009) mengenai topik yang sama yaitu tentang Forum Masyarakat Majalaya Sejahtera (FM2S) di Kabupaten Bandung. Dalam konteks yang lebih luas, perspektif serupa misalnya dari Hadiz (2005:272-273) yang melihat demokrasi dan desentralisasi secara lebih luas di Indonesia, Menurutnya, konsep-konsep tersebut tidak lain hanyalah bagian dari pencangkokan gagasan neo-institusionalis yang dianggap varian dari aliran neo-liberalisme.
[5] Lihat Chandra, 2003 dan Sumarto, 2005.
[6] Menurut Dwiyanto et.al., (2007:328), proses konsolidasi menuju suatu kualitas tata pemerintahan yang baik dan mapan tergantung pada banyak faktor, diantaranya adalah kualitas kepemimpinan dan lingkungan penyelenggaraan pemerintahan yang ada di tiap daerah. Provinsi dan kabupaten/kota yang memiliki kualitas kepemimpinan yang baik dan pimpinan daerah yang memiliki kepedulian yang tinggi terhadap reformasi tata pemerintahan serta secara serius mengembangkan berbagai program untuk mendorong perubahan menuju pada kualitas tata pemerintahan yang baik cenderung memiliki kinerja yang lebih baik.
[7] Sebagai catatan, studi Yang dan Callahan (2007) juga menyatakan bahwa respon birokrasi terhadap partisipasi warga lebih rendah jika dibandingkan respon terhadap komunitas bisnis dan NGO.
[8] BAPPENAS merumuskan empat belas Prinsip Good Governance, yaitu: (a) Wawasan ke depan; (b) Keterbukaan dan transparansi; (c) Partisipasi Masyarakat; (d) Tanggung gugat/akuntabilitas; (e) Supremasi hukum; (e) Demokrasi; (f) Profesionalisme dan kompetensi; (g) Daya tanggap; (h) Efisiensi dna efektifitas; (i) Desentralisasi; (j) Kemitraan dengan dunia usaha swasta dan masyarakat; (k) Komitmen pada pengurangan kesenjangan; (l) Komitmen pada perlindungan lingkungan hidup; (m) Komitmen pada pasar yang fair.