Baca

Baca

Selasa, 31 Januari 2017

"Ada Apa Dengan Bigot?" (AADB: Bagian 1)

"Ada Apa Dengan Bigot?"
(AADB: Bagian 1)


Oleh: Candra


Ada satu istilah yang belakangan ini cukup sering muncul di media massa dan media sosial, yaitu Bigot dan Bigotry? Setahu saya itu bukan istilah baru dalam ilmu psikologi dan sosiologi. Tapi dalam satu dua tahun ini istilah tersebut rasanya makin sering digunakan oleh para pengamat, penulis dan kritikus sosial-politik, dan juga bukan cuma di Indonesia, tapi juga di dunia. Kalau diperhatikan, istilah ini juga hampir selalu disandingkan dengan banyak istilah lain yang umumnya berkonotasi negatif, seperti prasangka, stereotype, rasisme, intoleransi, diskriminasi, konservatisme, radikalisasi, dan bahkan terorisme.

Sebagai contoh, koran The Jakarta Post pada 6 Desember 2016 mengangkat isu ini dengan judul Bigotry haunts nation sebagai respon atas menguatnya aksi intoleransi oleh kelompok garis keras yang mencerminkan meningkatnya konservatisme di Indonesia. Sementara di Amerika Serikat, menjelang pemilihan Presiden di sana akhir tahun 2016 lalu, juga terbit sebuah buku yang ditulis oleh John K. Wilson berjudul Trump Unveiled: Exposing the Bigoted Billionaire. Wilson tampaknya berupaya mengingatkan publik AS tentang sosok Trump yang disebutnya “narcissistic, bigoted, even idiotic fool” setidaknya terkait dengan pernyataan dan agenda politiknya yang kontroversial mengenai kaum kulit berwarna, imigran, dan Muslim. Namun sejarah membuktikan bahwa dalam demokrasi rakyat juga bisa salah dalam memilih pemimpin mereka sendiri.

Istilah tersebut memang tampaknya belum lazim di Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring di situs http://kbbi.kemdikbud.go.id juga belum memasukkan istilah itu. Jadi memang sulit untuk mencari padanan kata-nya dalam Bahasa Indonesia. Sebagian orang mengartikan bigotry sebagai fanatisme, tapi mungkin kurang tepat juga, jadi saya memilih untuk tetap menggunakan istilah aslinya saja. Tidak heran pemahaman umum tentang bigot (sebagai subyeknya) dan bigotry (sebagai perilakunya) pastinya juga tidak seragam. Pemahaman awal saya tentang istilah itu ternyata juga tidak terlalu tepat benar. Sebelumnya saya memahami istilah tersebut berkaitan dengan cara pandang dan sikap yang dari satu atau sekelompok orang yang merasa dirinya paling penting dan benar, memandang rendah dan salah pihak lain, serta menyampaikan pernyataan kebencian serta bertindak diskriminatif, khususnya kepada pihak lain yang berbeda agama/keyakinan saja. Dari sejumlah literatur yang saya baca kemudian, aspek-aspek yang mempengaruhi perilaku bigotry tersebut ternyata sangat kompleks, terkait dengan stereotype dan prasangka (prejudice) terhadap individu atau kelompok lain yang berbeda ras, agama, gender, usia, dll. Jadi tidak semata soal kebencian terhadap pemeluk agama yang berbeda saja.

Salah satu referensi yang menurut saya penting dan menarik tentang bigot dan bigotry ini adalah buku berjudul The Bigot: Why Prejudice Persist yang yang ditulis oleh Stephen Eric Bronner pada tahun 2014. Broner menggambarkan karakteristik para bigot, perilaku dan asal-usul mereka. Konteksnya sebagian besar memang di US dan Eropa, tapi bisa membantu dalam memahami stuasi di Indonesia saat ini.

Menurut Bronner, asal-usul para bigot ini beragam, dan dapat berasal dari kalangan apa saja. Mereka tidak selalu berkulit putih, tidak selalu laki-laki, tidak selalu kaya, dan tidak selalu konservatif atau fasis. Mereka umumnya berasal dari kelas menengah ke bawah, pemilik toko kecil, atau petani, meskipun pekerja industri dan lainnya juga dapat menjadi rasis dan otoriter dalam orientasi. Tidak setiap kelompok sosial atau strata memiliki semua prasangka. Para bigot dalam satu kelompok sering menjadi sasaran prasangka dari para bigot di kelompok lain. Namun tujuan para bigot adalah selalu sama: untuk mengubah hidup, menghilangkan hak, mengeksploitasi, dan menganiaya kaum sublatern serta menjadikannya  obyek untuk mereka manfaatkan.

Selain itu, para bigot mungkin saja tidak mengelompok dalam satu organisasi tertentu, tetapi mungkin juga tersebar dan bergabung dengan berbagai partai politik dan gerakan. Gaya dan pola mereka juga tidak selalu sama di setiap zaman, namun cukup adaptif dan berubah menurut situasi sejarah yang ada pada masa tertentu.

Para bigot ini juga jarang hanya memiliki satu target sebagai sasaran kebencian mereka. Artinya target para bigot ini tidak spesifik pada satu kelompok tertentu, namun dapat siapa saja yang danggap berbeda dengan mereka.

Satu kesamaan diantara mereka, adalah adanya satu dorongan yang serupa untuk mengarahkan kebencian terhadap pihak lain yang mengancam (atau dianggap sebagai ancaman) terhadap hak istimewa, rasa eksistensialnya harga diri, dan dunia (imajiner) yang mereka miliki selama ini. Dengan kata lain, dunia bagi para bigot adalah dunia di mana mereka menjadi pemiliknya, memiliki hak untuk mengaturnya, subyek paling penting dan memiliki hak-hak istimewa, atau menjadi pewaris ajaran kebenaran berikut tafsir-tafsirnya. Kelompok atau pihak lain diluar kelompok mereka (para “Other”) adalah kaum subordinat atau sublatern yang status sosialnya lebih rendah sehingga harus tunduk pada sistem dunia di mana para bigot ini “berkuasa.”

Di dunia mereka tersebut, para bigot merasa nyaman, bahagia, dan bahkan dapat menunjukkan sikap ramah. Mereka sering terlibat dalam tindakan-tindakan kebaikan kecil individual terhadap para Other, yang kerap mereka pandang sebagai bentuk dari tanggung jawab sosial (noblesse oblige). Tapi sikap para bigot akan berubah setelah subaltern tersebut tidak lagi menerima hegemoni mereka. Karenanya, reaksi berupa meningkatnya kebencian terhadap kaum sublatern yang dianggap telah mengubah tatanan dunia mereka tersebut merupakan sebagai konsekuensi logis dari sistem dunia di mana bigot berkuasa.

Di mata para bigot, kelompok-kelompok sublatern menjadi satu ancaman luar biasa yang mencakup segala hal. Para bigot berupaya memerangi kelompok-kelompok sublatern tersebut dengan mempersempit peluang mereka, menolak untuk melihat mereka seperti apa adanya mereka, dan mengidentifikasi mereka sebagai inheren rendah dengan sifat-sifat tetap dan status tidak berubah. Dengan demikian para bigot dapat mengkonstruksi pihak lain sesuai keinginannya sendiri, yang sekaligus membangun jaringan stereotype yang membentuk citra tentang diri mereka sendiri.

Dalam pandangan Bronner, para bigot adalah orang-orang yang dibatasi oleh kerangka kognitif mereka sendiri, sekaligus menjadi tawanan dari prasangka (prejudice) yang mereka ciptakan sendiri. Untuk menjustifikasi klaim mereka atas dunia, para bigot memvalidasi diri dengan menggunakan mitos, stereotip, dan standar ganda. Bronner menyebutnya sebagai bentuk “konspirasi fetisisme.” Para bigot ini tidak mau dan tidak dapat terlibat dengan orang-orang lain yang mempertanyakan opini mereka atau menantang superioritas yang mereka miliki. Karena kerangka kognitif mereka yang terbatas ini, pemahaman akan dinamika dunia modern pada para bigot juga menjadi semakin sedikit. Pemahaman yang sedikit akan dunia tersebut justru membuat mereka semakin merasa menjadi tidak aman. Akibatnya, pilihan untuk menjadi lebih fanatik menjadi yang paling mungkin untuk diambil. Karenanya, tidak mengherankan jika para bigot harus sering muncul dalam peran tradisional yang terkait dengan komunitas organik imajiner: yaitu para true believer (taklid), para elitis, dan chauvinis. Peran tradisional pada individu bigot ini tidak saling eksklusif dan, pada kenyataannya, biasanya tumpang tindih. Artinya para bigot dapat memainkan satu, dua atau sekaligus ketiga peran tersebut.

Tingkat intensitas yang mereka mainkan bervariasi sesuai dengan keadaan dan selubung psikologis tiap individu. Tapi mereka semua rentan terhadap fanatisme, di mana sikap itu yang memberikan para bigot perasaan dan keyakinan bahwa mereka selalu berada di “jalan yang benar.” Tanpa itu, tindakan bermain peran yang mereka lakukan menjadi tidak masuk akal sama sekali. Sebagai true beliver sejati, para bigot mengaku mendengar suara Tuhan, dan dengan itu mereka mengutuk pihak lain yang tidak, atau menafsirkan sebaliknya. Sebagai kaum elitis, mereka merasa tahu segala hal, dan dengan demikian bersikeras bahwa mereka lebih unggul dibanding orang-orang dari ras, etnis maupun orientasi gender yang berbeda. Sementara dalam peran sebagai chauvinis, mereka menganggap sikap mereka itu sebagai ekspresi otentik dari komunitasnya.

Sebagian bigot mengklaim bahwa mereka menerima wahyu ilahi yang membenarkan superioritas mereka. Sebagian bigot lainnya masih merasa perlu membuat argumen lain yang mendukung klaim superioritas mereka tersebut. Namun bagi para bigot dari jenis chauvinis hanya membutuhkan sebuah narasi yang mereka buat untuk membenarkan dan melayani kepentingan diri mereka sendiri. Narasi tersebut didorong oleh nostalgia masa lalu, atau, umumnya, oleh bentuk masa lalu tertentu yang dibayangkan oleh para bigot. Ini adalah narasi di mana pihak lain (“Other”) menghilang, atau, eksploitasi dan diskriminasi yang diderita pihak lain itu menghilang. Menambah penganiayaan pada lain itu hanya akan merusak narasi.

Bronner berpendapat bahwa prasangka para bigot kepada pihak lain itu merupakan prasangka negatif, karena bersifat permusuhan, merusak, dan ganas. Prasangka tersebut merupakan kristalisasi dari banyak hal  buruk (sadar atau tidak sadar) yang didasari oleh ketakutan akan kehilangan hak istimewa mereka, yang kemudian diinternalisasi dalam pemikiran dan tindakan mereka. Mereka yang terlibat dalam prasangka negatif tersebut umumnya adalah individu dengan masalah psikologis yang khusus. seperti obsesif, narsisis, dll.  Setiap bigot memiliki neurosis atau ketidakseimbangan mental mereka sendiri, ataupun konflik dengan keluarga, kerabat, teman, lingkungan sosial, darta pengaturan geografis, memiliki target khusus dari kebenciannya.

Meskipun para bigot gemar menggertak, namun sesungguhnya ego mereka sangat rapuh. Mungkin hal ini yang menjelaskan mengapa mereka dapat merasa bahagia di rezim fasis atau otoriter. Namun, menurut Bronner, ternyata para bigot ini juga dapat bertahan dalam sistem demokrasi perwakilan dan bahkan dalam sistem pemerintahan dengan partisipasi masyarakat lokal yang luas. Para bigot bersedia untuk bergabung dengan gerakan apapun, apakah itu konservatif, fasis, liberal, sosialis, atau komunis. Dimanapun mereka berada, para bigot akan memainkan peran reaksioner yang sama dalam kehidupan publik.

Namun demikian, para bigot-pun dapat merasa frustasi terhadap dunia. Rasa frustrasi para bigot tersebut dapat dipahami, karena para intelektual, ahli, politisi, dan pihak luar lainnya tampaknya tidak menghormati pendapat dan tradisi para bigot tersebut. Bagi para bigot, musuh-musuh mereka adalah kaum ateis, orang asing, homoseksual, dan pelaku subversif lainnya yang semuanya selalu mencari cara untuk mengubah tatanan dunia di mana para bigot merasa nyaman dan berpangaruh. Sementara, masyarakat terbuka (open society) juga dapat mengancam hegemoni para bigot. Karenanya, para bigot kemudian terlibat dalam politik yang berupaya mempersempit ruang publik. Partisipasi harus dibatasi bagi kaum Other yang tidak seperti dan bukan bagian dari kelompok mereka. Semua pihak lain yang tidak seperti mereka dianggap hanya  akan bersekongkol melawan keberadaan dan kepentingan para bigot belaka.

Bagi para bigot, ini adalah pertempuran dari perang suci melawan “dunia lain” di luar kelompok mereka. Menurut Bronner, sebagai kelompok yang sebelumnya merasa sebagai penerima hak istimewa sosial (privielege), para bigot sekarang memandang dirinya sebagai pecundang, atau sebagai pemenang yang tengah dikepung oleh para musuhnya. Tak jarang ditemukan di mana para bigot kemudian menggunakan peristiwa imajiner yang mereka bayangkan untuk mendakwa seluruh ras, agama, kebangsaan, atau kelompok gender tertentu. Kebutuhan para bigot untuk mencari alasan dan pembenaran adalah satu hal yang tak berujung: semua hal selalu selalu tentang mereka dan tidak pernah tentang pihak lain atau korbannya. Para bigot memandang diri dan kelompok mereka sebagai pusat dunia. Karenanya, apa yang dialami oleh subaltern dianggap tidak relevan. Para bigot selalu menuntut lebih. Bagi mereka sudah waktunya untuk "bergerak" dan "mendapatkan lebih” dari apa yang sudah mereka miliki saat ini, yaitu pengaruh dan dominasi.

Dalam hal ini, Bronner melihat bahwa para bigot tak segan memutabalikkan sejarah, mengaburkan kebutuhan untuk tanggung jawab etis, dan berusaha untuk membasmi perbedaan antara korban dan penganiaya. Relativisme fabrikasi menyediakan para bigot sebuah "pseudo-orientasi dalam masyarakat terasing." Ini memberinya lapisan toleransi dan membenarkan ketidakpedulian parokial untuk nasib sublatern dan budaya lain, dan apa yang bisa dipelajari dari mereka.

Bronner menyimpulkan, bahwa secara umum para bigot adalah kaum relativis tapi bukan pluralis. Perbedaan ini penting, karena meskipun mungkin sama-sama menentang gagasan bahwa satu kebenaran tunggal akan menunjukkan jalan ke surga, namun ada perbedaan pandangan mengenai alternatifnya. Pluralisme menganggap lembaga liberal dan cita-cita yang universal akan memungkinkan individu untuk membuat penilaian yang masuk akal tentang budaya lain dan itu berarti bersedia menerima gaya hidup yang berbeda dengan apa yang diyakini dan dilakukannya sendiri. Sementara para bigot berbeda pandangan mengenai hal tersebut. Karena perhatian mereka sesungguhnya hanyalah bagaimana mempertahankan keunggulannya mereka sendiri, dan menemukan alibi kreatif untuk semua kegagalan atasnya.

Karena itu, bagi Bronner, para bigot sesungguhnya menderita defisit identitas dan rasa kurang percaya diri. Karenanya, dalam setiap pertemuan dengan pihak lain mereka selalu merasa harus terus-menerus mengkonfirmasi prasangka pra-reflektif dan keunggulan mereka sendiri. Mereka merasa harus selalu dapat menjadi pihak yang mendiktekan segalanya, tidak peduli apakah pada saat itu mereka tengah membela sesuatu yang legal atau ilegal, tindakan kekerasan atau persuasi, atau bahkan gagasan reformasi maupun revolusi. Para bigot adalah partisan yang bercokol tidak hanya pada organisasi tertentu saja. Pada satu ketika mereka melontarkan slogan-slogan nasionalis, namun pada waktu lain justru menyatakan solidaritas internasional dengan ras kulit putih. Kadang-kadang ia akan mendukung negara kesejahteraan, namun kadang juga tidak. Satu saat para bigot dapat muncul sebagai kaum elitis, yang arogan dan mengutuk massa, namun di saat yang lain mereka memainkan kartu populis yang mengamuk terhadap kaum liberal perkotaan, para bankir internasional, dan mengutuk intervensi pihak asing. Uniknya, seperti yang terjadi pada Kluk Klux Klan (KKK) di Amerika dan Nazi Jerman, para bigot ini juga dapat muncul sebagai elitis dan populis sekaligus.

Para bigot dapat saja berubah atau berpindah partai, namun para true believer, elitis, dan chauvinis masih terus bergumul dengan konstituen tradisional yang sama. Mereka masuk ke dalam bentuk-bentuk gerakan evangelis berkembang dan kelompok penjaga moral, pendukung teori ekonomi "menetes ke bawah" (“trickle down” economics) dan menentang konsep negara kesejahteraan, sekaligus sambil terus menyuarakan hyper-nasionalisme.

Penyebab para bigot dapat menggeser dan mengubah pandangan mereka dengan begitu mudahnya adalah karena, pada akhirnya, mereka sesungguhnya tidak memiliki pandangan spesifik sama sekali, kecuali semua yang sejalan dengan kepentingan dan prasangka yang saling memperkuat di dalam diri/kelompok mereka sendiri. Karenanya, para bigot tidak layak untuk berbicara tentang teori sosial --yang mengintegrasikan berbagai elemen menjadi visi global dan koheren masyarakat dan sejarah--. Para bigot justru akan mendistorsi teori-teori sosial tersebut. Bagi para bigot, segala hal dapat diterima atau ditolak  sesuai dengan kebutuhan ideologis mereka pada saat tertentu.

Dari hasil pengamatannya, Bronner melihat bahwa pada masa modern saat ini, para bigot telah melakukan mutasi besar-besaran. Taktik politik dari para bigot telah berubah dan retorika inflamasi yang sebelumnya cukup ampuh melukai pihak lain sekarang ini tidak lagi cukup efektif untuk memenuhi tujuan mereka. Kultus terhadap pemimpin tunggal juga telah hilang, dan kerinduan para bigot terhadap perubahan rezim sebagian besar telah mereka sembunyikan. Namun, menurut Bronner, para bigot adalah makhluk yang tangguh. Mereka tahu bagaimana cara menyembunyikan hasrat terdalam mereka. Para bigot yang tidak dapat lagi dengan mudah diidentifikasi dari sikap atau ciri-ciri psikologis tertentu, atau bahasa bermuatan intoleransi tertentu. Kata-kata dapat melukai, tapi kerusakan yang ditimbulkan dari kebijakan tertentu dapat lebih parah lagi. Prasangka tidak dibatasi oleh apa yang orang rasakan atau katakan, tetapi apa yang sebenarnya mereka lakukan. Hal tersebut memiliki dimensi ekonomi seperti halnya dimensi budaya dan politik. Hal tersebut terutama terjadi saat ini ketika ada banyak bentuk kamuflase bagi para bigot baik melalui media massa maupun lembaga politik tertentu, seperti munculnya Tea Party beraliran ultra konservatif di AS.

Para bigot selalu waspada dengan perkembangan modernitas yang ada saat ini. Karena dalam modernitas terkait erat dengan pertumbuhan ilmu pengetahuan, teknologi, dan rasionalitas instrumental, yang pada akhirnya akan mengkritisi segala hal yang sebelumnya hanya didasarkan pada iman atau prasangka tertentu saja. Dalam modernitas apa yang pernah diselimuti mitos dan kegelapan sekarang berpotensi menjadi terbuka dan memperoleh cahaya. Namun para bigot juga dapat masuk dalam modernitas, misalnya dalam hal pengguaan metode ilmiah seperti juga yang digunakan oleh para pengkritik mereka, seperti yang ditunjukkan oleh NAZI Jerman. Meskipun demikian  para bigot tidak pernah sepenuhnya merasa nyaman dalam menggunakan ilmu pengetahuan untuk mendukung prasangka mereka tersebut.

Para bigot tidak menyukai konsep universal dan kriteria objektif dalam membuat penilaian ilmiah. Menurut Bronner, para bigot lebih suka menggunakan prasangkanya sebagai pembenaran ilmiah, contohnya dengan membuat referensi phrenology –yaitu studi tentang struktur tengkorak yang digunakan untuk menentukan karakter dan kapasitas mental seseorang--, atau dengan menekankan pentingnya atribut fisik tertentu, sifat-sifat yang diwarisi, eugenika –filsafat sosial yang berpandangan bahwa untuk memperbaiki ras manusia makan orang-orang yang sakit atau catat harus disingkirkan--, dan hirarki antropologis. Karenanya, ilmu genetika memiliki daya tarik tertentu bagi para bigot dalam usaha mereka untuk menjelaskan tentang kecerdasan atau kreativitas, meskipun sesungguhnya tidak ada bukti untuk membenarkan adanya hubungan sebab-akibat antara biologi dan prestasi sosial.

Para bigot yang selalu merasa alergi mengenai gagasan tentang mengubah sesuatu dari yang tak terlihat menjadi terlihat, dari yang tak terlukiskan menjadi sesuatu yang diskursif, dan dari sesuatu yang tidak diketahui menjadi sesuatu yang dapat dipahami. Kalaupun dilakukan sebuah kajian atau penelitian, para bigot hanya akan mengambil kebenaran yang sesuai dengan prasangka dasar mereka saja. Karenanya, menurut Bronner, semua bentuk observasi dan bukti, hipotesis dan kesimpulan, konfirmasi dan validasi akan diseleksi sedemikian rupa oleh para bigot, dan digunakan untuk membenarkan apa yang oleh Cornel West telah disebut "pengecualian diskursif" (“the discursive exclusion”).

Meski mungkin tidak diakui secara terbuka, para bigot sesungguhnya adalah orang-orang oportunis, karena selain prasangka, mereka sesunggunya tidak memiliki keyakinan inti yang kukuh. Sebagai contoh, meskipun pada prinsipnya mereka mendukung ketidaksetaraan dan ide kompetisi, namun sikap itu hanya berlaku ketika mereka berada di atas (posisi yang diuntungkan) atau, ketika mereka percaya bahwa mereka berada di atas. Mereka akan menolak ide kompetisi tersebut ketika mereka menemukan bahwa diri mereka berada di bawah (posisi yang tidak diuntungkan). Kompetisi dipandang baik hanya jika itu menguntungkan mereka. Ketika tidak, para bigot akan bersikeras bahwa pesaing atau lawan mereka telah melakukan kecurangan, dan bahwa lawan mereka itu telah menipu yang merupakan sifat bawaan dari etnis, kebangsaan, atau ras mereka.

Bronner menyimpulkan, bahwa dengan segala bentuk kamuflase yang mereka lakukan, para true believer, elitis, serta chauvinis tampaknya memang cocok sempurna dan cenderung akan terintegrasi dengan arus utama (neo) konservatif. Dalam hal ini, prasangka mereka telah disamarkan untuk mendapatkan legitimasi, dan mungkin mereka bahkan tidak lagi menyadari ke-bigotry-an mereka sendiri. Kemunafikan dicampur dengan kepercayaan, dan oportunisme berkelindan dengan keyakinan. Tapi para bigot ingat siapa diri mereka sesungguhnya. Bronner mengingatkan, bahwa dengan dogmatisme agama, sikap elitisme anti-demokrasi, dan pemahaman sempit tentang masyarakat, para bigot masih berupa menunjukkan bahwa mereka juga adalah para pejuang revolusioner untuk kosmopolitanisme, kebebasan politik, dan kesetaraan sosial.


------------------- 
Referensi:

Senin, 16 Januari 2017

Belajar Kenal tentang Sustainable Livelihood Approach (SLA)

Konsep Pendekatan Penghidupan Berkelanjutan

Oleh: Candra

A. Latar Belakang Konsep Sustainable Livelihood
Gagasan dan konsep penghidupan yang layak (sustainable livelihood - SL) tidak dapat dilepaskan dari pemikiran Robert Chambers di pertengahan 1980-an, yang kemudian dikembangkan oleh Chambers, Conway, dan para ahli yang lain di awal tahun 1990-an. Konsep tersebut kemudian diadopsi oleh banyak lembaga internasional sebagai alternatif pendekatan pembangunan pada awal 1990-an yang dipicu dari maraknya kasus kelaparan dan kerawanan pangan di sejumlah negara pada tahun 1980-an (Haidar, “Sustainable Livelihod Approach: The Framework, Lessons Learnt from Practice and Policy Recommendations,” 2009)
Chambers dan Conway dalam “Sustainable rural livelihoods: Practical concepts for the 21st Century” (1991: i) memaknai livelihood sebagai orang-orang dengan kemampuan dan cara hidup mereka yang didalamnya termasuk juga makanan, pendapatan dan aset (baik tangible assets berupa sumberdaya dan perbekalan, dan intangible assets berupa klaim dan akses). Sebuah penghidupan dikatakan berkelanjutan secara lingkungan ketika dapat dikelola atau meningkatkan baik aset lokal maupun global di mana suatu penghidupan bergantung, dan dapat memberikan manfaat bagi penghidupan yang lain.
Konsep awal mengenai sustainable livelihood sebagaimana yang diajukan dalam laporan Advisory Panel of the World Comission on Environemnt and Development (WCED, 1987), yang menyatakan bahwa:
Livelihood didefinisikan sebagai persedian dan arus makanan dan uang tunai yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar. Keamanan (security) mengacu pada mengamankan kepemilikan, atau akses ke, sumber daya dan kegiatan yang menghasilkan pendapatan, termasuk cadangan dan aset untuk menghadapi risiko, mengurangi guncangan dan memenuhi kontinjensi. Berkelanjutan mengacu pada pemeliharaan atau peningkatan produktivitas sumber daya secara jangka panjang. Sebuah rumah tangga mungkin mendapatkan keamanan penghidupan berkelanjutan dalam banyak cara-melalui kepemilikan tanah, ternak atau anaman; hak untuk merumput, memancing, berburu atau mengumpulkan (meramu); melalui pekerjaan dengan upah yang memadai; atau melalui campuran beragam kegiatan.” (Chambers dan Conway, 1991)

Chambers dan Conway memodifikasi definisi WCED tersebut, dan mengajukan definisi sustainable livelihood, sebagai berikut:
"Penghidupan terdiri dari kapabilitas, aset (perbekalan, sumber daya, klaim dan akses) dan kegiatan yang dibutuhkan untuk sarana hidup: sebuah penghidupan dapat berkelanjutan jika dapat mengatasi dan pulih dari tekanan dan guncangan, dapat memelihara atau meningkatkan kemampuan dan aset, dan memberikan peluang menciptakan penghidupan berkelanjutan bagi generasi berikutnya; dan yang memberikan kontribusi berupa manfaat nyata ke penghidupan lain di tingkat lokal dan global, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.” (1991)

Menurut Guiterrez-Montes, Emery dan Fernandez-Baca (2009), ada sejumlah kesamaan antara pendekatan sustainable livelihood dengan Community Capitals Frameworks (CCF), di mana keduanya merupakan pendekatan yang berpusat pada manusia, mengedepankan prinsip partisipatori, fokus pada sumberdaya eksisting di masyarakat, dan berorientasi untuk membantu masyarakat menyiapkan diri mereka sendiri dalam mengidentikasi potensi strategis dan proses perubahan.

B. Prinsip-Prinsip Sustainable Livelihood
Ashley dan Carney, dalam Sustainable Livelihoods: Lessons from Early Experience (1999) mengemukakan prinsip-prinsip sustainable livelihood sebagai berikut: Bahwa dalam kegiatan pembangunan yang fokus pada kemiskinan harus:
  • Berpusat pada manusia/masyarakat (people-centred): Bahwa upaya mengurangi kemiskinan yang berkelanjutan akan tercapai hanya jika ada dukungan eksternal yang fokus pada apa yang penting bagi orang-orang, memahami perbedaan antara kelompok orang dan bekerja dengan mereka dengan cara yang sama dan sebangun dengan strategi penghidupan mereka saat ini, lingkungan sosial dan kemampuan untuk menyesuaikan.
  • Responsif dan partisipatif: Bahwa orang miskin itu sendiri-lah yang harus menjadi aktor kunci dalam mengidentifikasi dan mengatasi prioritas penghidupan. Orang luar harus terlibat dalam proses yang memungkinkan mereka untuk mendengarkan dan menanggapi orang miskin.
  • Multi-level: Penghapusan kemiskinan merupakan tantangan besar yang hanya akan diatasi dengan bekerja di berbagai tingkatan; dengan memastikan bahwa kegiatan di tingkat mikro dapat memberikan informasi pada penyusun kebijakan dan dapat menciptakan lingkungan yang yang efektif; dan bahwa struktur dan proses di tingkat makro juga mendukung masyarakat untuk membangun kekuatan mereka sendiri.
  • Kemitraan: Bahwa kemitraan ini harus dapat dibangun baik dengan publik dan sektor swasta.
  • Berkelanjutan: Bahwa ada empat dimensi kunci untuk keberlanjutan, yaitu: ekonomi, kelembagaan, sosial dan kelestarian lingkungan. Semuanya penting, dan harus ada  keseimbangan di antara mereka.Dinamis: Bahwa dukungan eksternal harus mengakui dang menghormati sifat dinamis dari strategi penghidupan, fleksibel dalam merespon perubahan situasi di masyarakat, dan mengembangkan komitmen jangka panjang

De Haan dalam “The Livelihood Approach: A Critical Exploration” (2012) menyebutkan bahwa konsep sustainable livelihood di Inggris yang dikembangkan oleh DFID dipengaruhi oleh pemikiran “Third Way” yang digagas oleh Anthony Giddens pada awal 1990-an, dan menjadi corak dari pemerintahan Partai Buruh pada masa pemerintahan Perdana Menteri Toni Blair. Konsep ini kemudian diadopsi oleh berbagai negara dan lembaga internasional, seperti UNDP, OXFAM, CARE, SIDA, World Bank, dll. (diantaranya lihat Ashley dan Carney, 1999; Narayan 2000, dikutip dari De Haan 2008; Haidar, 2009; De Haan, 2012). Dari situ, pendekatan sustainable livelihood kemudian diterapkan dalam berbagai program/proyek pembangunan di seluruh dunia yang pendanaannya didukung oleh negara dan lembaga donor internasional tersebut, termasuk di Indonesia.

C. Pentagonal Aset
            Penjelasan mengenai dasar-dasar sustainable livelihood umumnya digambarkan dalam bentuk diagram berbentuk pentagonal, yang dalam aplikasinya oleh berbagai ahli, institusi maupun program/proyek kemudian memiliki banyak varian, namun secara prinsip umumnya masih mengacu pada konsep awalnya. Kerangka kerja livelihood mengidentifikasi 5 (lima) kategori aset utama atau jenis-jenis modal di mana penghidupan dibangun, yang disebut sebagai The Assest Pentagon (Pentagonal Aset). Pentagon ini dikembangkan untuk memungkinkan informasi tentang aset masyarakat yang akan disajikan secara visual, yang dapat menggambarkan hubungan antar aset tersebut (DFID, 1999).
Kelima aset tersebut, yaitu:
(1)   Modal manusia (human capital), yaitu, kerja pertama dan terpenting tetapi juga keterampilan, pengalaman, pengetahuan dan kreativitas.
(2)   Modal alam (natural capital), yaitu, sumber daya seperti tanah, air, hutan dan padang rumput, tetapi juga mineral;
(3)   Modal fisik (physical capital), yaitu, rumah, alat dan mesin, stok pangan atau ternak, perhiasan dan peralatan pertanian;
(4)   Modal finansial (financial capital), yaitu, uang dalam rekening tabungan atau kaus kaki tua, pinjaman atau kredit; dan
(5)   Modal sosial (social capital), yang menunjuk pada kualitas hubungan antara orang-orang, misalnya, apakah seseorang dapat mengandalkan dukungan dari satu keluarga atau bantuan dari tetangga (mutual).
Modal alam dianggap sangat penting di daerah pedesaan, sementara di daerah perkotaan dianggap kurang relevan dibandingkan dengan tempat tinggal dan upah tenaga kerja. Selain itu, dalam studi penghidupan di perkotaan, infrastruktur dasar seperti transportasi, air dan energi sebagian besar termasuk dalam modal fisik bersama-sama dengan tempat tinggal dan peralatan produksi (De Haan 2000:344; lihat juga Dalal-Clayton, Dent and Dubois, 2003:16).
Pentagonal Aset tersebut pada dasarnya adalah sebuah diagram lama-laba (Web atau Radar Chart) dengan lima variabel (asset). Ketersediaan, akses dan kualitas dari tiap aset tersebut sangat mungkin akan berbeda-beda pada tiap keluarga, komunitas dan wilayah, sehingga ketika dilakukan pengukuran dan kemudian dipetakan maka bentuk pentagonal atau Radar Chart-nya juga akan menjadi berbeda pula.

D. Kerangka Kerja Sustainable Livelihood
Gambaran dasar dari konteks, struktur, proses, strategi dan outcome dari kerangka kerja sustainable livelihood yang diuraikan dalam “Sustainable Livelihoods Guidance Sheets,” DFID (1999), sebagai berikut:
Dalam guidance tersebut ditegaskan bahwa bentuk kerangka ini tidak dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa titik awal untuk semua livelihood (atau analisis penghidupan) adalah Konteks Kerentanan (Vulnerability Context) yang melalui serangkaian permutasi menghasilkan Outcome Penghidupan (Livelihood Outcome). Alasannya, karena livelihood dibentuk oleh banyak kekuatan dan faktor yang berbeda dan terus berubah. Analisis yang berpusat pada masyarakat (people-centred) kemungkinan besar dapat dimulai dengan investigasi secara simultan atas aset masyarakat, tujuan mereka (Livelihood Outcome yang mereka cari) dan Strategi Penghidupan (Livelihood Strategies) yang mereka adopsi untuk mencapai tujuan tersebut.
Umpan balik yang penting antara Transformasi Struktur dan Proses (Transforming Structures and Processes) dengan Konteks Kerentanan. Bahwa kondisi yang terjadi dalam struktur dan proses (politik, ekonomi, hukum, sosial, dll.) akan turut berpengaruh terhadap tingkat kerentanan masyarakat miskin. Umpan balik lainnya adalah antara Outcome Penghidupan dengan Aset Penghidupan (Livelihood Aset). Dalam hal ini, tingkat kesejahteraan pada akhirnya juga akan berpengaruh terhadap aset yang dapat dimiliki dan/atau diakses.
Kerangka kerja tersebut kemudian banyak diadopsi dan diadaptasi dalam berbagai program/proyek pembangunan di berbagai bidang dan sektor, baik di wilaya perdesaan maupun perkotaan, yang diinisasi oleh negara dan lembaga donor internasional (diantaranya lihat Carney, 2001; Krantz, 2001; Dalal-Clayton and Bass, 2002; Saragih, Lassa dan Ramli, 2007; IMM, 2008)
Salah satu adaptasi kerangka pemikiran dari pendekatan sustainable livelihood adalah yang diajukan oleh Dalal-Clayton, Dent dan Dubois (2003), berikut ini:
Rakodi dalam Rakodi, Carole and Lloyd-Jones (Urban Livelihoods: A People-centered Approach to Reducing Poverty, 2002) berpendapat bahwa penerapan pendekatan sustainable livelihood di daerah pedesaan berfokus pada peningkatan kesejahteraan rumah tangga petani pertanian miskin. Jika rumah tangga petani memiliki akses ke berbagai jenis modal, maka mereka akan mampu mencukup diri dalam hal penyediaan makanan, air, sanitasi, bahan bakar dan tempat tinggal, sehingga mereka dapat mencapai kesejahteraan dasar. Sementara penerapan pendekatan sustainable livelihood di daerah perkotaan, berfokus pada mengatasi kebutuhan rumah tangga miskin, di mana mereka memang lebih bergantung pada pasar (dan ekonomi tunai) untuk penyediaan tenaga kerja, lahan dan perumahan dan layanan terorganisir (untuk air, sanitasi dan energi). Interaksi rumah tangga miskin perkotaan dengan struktur pemerintahan demikian lebih cepat dan sehari-hari daripada kebanyakan rumah tangga pedesaan, tingkat pendapatan yang diperlukan untuk menghindari kemiskinan lebih tinggi karena tingginya biaya barang non-makanan, dan cara di mana pasar dan jasa beroperasi adalah hal yang penting bagi mereka.
Salah satu analisis terhadap sustainable livelihood untuk kawasan perdesaan yang ditawarkan Scooner (dalam “Sustainable Livelihoods from Theory to Conservation Practice…,” 2010). Scooner membuat model yang menghubungkan antara analisis kontekstual, sumberdaya, kelembagaan, strategi dan outcome dalam penerapan pendekatan sustainable livelihood di perdesaan.

Dari kerangka analisis tersebut, ada tiga strategi yang umum dilakukan dalam sustainable rural livelihood, yaitu:
(1)      Intensifikasi/ekstensifikasi pertanian. Strategi ini mempertimbangkan antara intentifikasi modal (seringkali didukung dengan input eksternal dan kebijakan) dan tenaga kerja (berdasarkan tenaga kerja sendiri dan sumber daya sosial dan proses yang lebih otonom).
(2)      Diversifikasi mata pencaharian. Strategi ini mempertimbangkan antara pilihan aktif untuk berinvestasi dalam diversifikasi dengan tujuan akumulasi dan reinvestasi, dan diversifikasi yang ditujukan untuk mengatasi kesulitan sementara atau adaptasi yang lebih permanen dari kegiatan livelihood, ketika pilihan lain gagal untuk memberikan penghidupan. Ada dua strategi, yaitu: (a) diversifikasi yang melibatkan upaya pengembangan portofolio pendapatan produktif yang luas dan mencakup semua jenis guncangan atau stres secara bersama-sama; (b) strategi yang fokus mengembangkan respon dalam menangani jenis tertentu dari guncangan atau stres umum melalui koping mekanisme  (coping mechanisms) yang baik.
(3)      Migrasi. Strategi ini melihat adanya perbedaan antara penyebab yang berbeda migrasi (contohnya, migrasi sukarela dan tidak sukarela), efek migrasi (contohnya, reinvestasi di bidang pertanian, perusahaan atau konsumsi di rumah atau lokasi migrasi) dan pola pergerakan (misalnya ke atau dari tempat yang berbeda).
  
E. Implikasi Kebijakan dari Pendekatan Sustainable Livelihood
Bagi Chambers dan Conway (1991), konsep sustainable livelihood memiliki implikasi kebijakan baik bagi si kaya maupun si miskin. Bagi orang kaya, prioritasnya adalah dengan mengubah gaya hidup mereka untuk mengurangi tekanan terhadap lingkungan. Jika orang kaya membuat kebutuhan yang lebih rendah, maka akan lebih banyak yang tersisa untuk orang miskin dan generasi mendatang. Sementara untuk si miskin ada lebih banyak hal yang perlu dilakukan, yaitu:
  1. Meningkatkan kapabilitas/kemampuan. Kemampuan penghidupan (livelihood capability) dalam konteks perubahan dan ketidakpastian yang membutuhkan kemampuan untuk menjadi mudah beradaptasi, fleksibel, cepat berubah, memilik akses informasi yang memadai, dan mampu memanfaatkan dan mengubah beragam sumber daya dan kesempatan. Ada implikasi praktis untuk penyediaan infrastruktur dan layanan, termasuk: (a) Pendidikan untuk kemampuan mata pencaharian terkait; (b) Kesehatan, baik preventif dan kuratif untuk mencegah disabilitas permanen; (c) Peluang lebih besar dan lebih baik untuk pertanian, dan dukungan untuk eksperimen petani; (d) Transportasi, komunikasi dan jasa informasi (tentang hak, pasar, harga, keterampilan); (e) Kredit yang fleksibel untuk usaha kecil baru.
  2. Meningkatkan ekuitas. Mengutamakan kemampuan, aset dan akses yang lebih miskin, termasuk kelompok minoritas dan perempuan. Implikasi praktis bagi kelompok ini termasuk: (a) Redistribusi aset nyata, terutama tanah, dan tanah untuk penggarap; (b) Kepastian hak atas tanah, air, pohon dan sumber daya lainnya, dan keamanan mewariskannya untuk anak-anak; (c) Perlindungan dan pengelolaan sumber daya milik umum dan hak-hak yang adil terkait akses untuk orang miskin; (d) Meningkatkan intensitas dan produktivitas penggunaan sumber daya, dan mengeksploitasi sinergi ekonomi skala kecil; (e) Hak dan akses yang efektif untuk layanan, terutama pendidikan, kesehatan dan kredit; (f) Menghapus pembatasan yang memiskinkan dan melemahkan orang miskin. Harcourt dalam Women Reclaiming Sustainable Livelihoods (2012) menegaskan pandangan Chambers dan Conway ini , yaitu mengenai pentingnya peran perempuan dalam mengaplikasikan pendekatan sustainable livelihood untuk mengatasi kemiskinan di masyarakat.
  3. Meningkatkan keberlanjutan sosial. Mengurangi kerentanan dengan menahan tekanan eksternal, meminimalkan guncangan, dan menyediakan jaring pengaman, sehingga orang miskin tidak menjadi lebih miskin. Langkah-langkah praktis meliputi: (a) Perdamaian, hukum yang adil dan ketertiban; (b) Pencegahan bencana; (c) Strategi mengatasi perubahan msim untuk menjamin ketersediaan makanan, pendapatan dan pekerjaan bagi orang miskin pada saat tertentu; (d) Dukungan cepat di pada tahun-tahun yang buruk, dan memberi harga tinggi untuk aset berwujud yang dijual masyarakat di masa yang sulit; (f) Pelayanan kesehatan yang mudah diakses dan efektif dalam musim yang buruk, termasuk pengobatan untuk kecelakaan; (f) Ketentuan untuk kesuburan rendah.


F. Kekuatan dan Keterbatasan dari Pendekatan Sustainable Livelihood
Pendekatan sustainable livelihood mencermati relasi antara konteks kerentanan, ketersedian aset (manusia, alam, keuangan, fisik dan sosial), pengaruh dan akses terhadap aset-aset tersebut terhadap transformasi struktur dan proses bagi strategi penghidupan untuk mencapai outcome penghidupan yang lebih baik, khususnya bagi orang miskin. Dari cakupan pendekatan ini dapat dikatakan lebih bersifat holistik dibanding beberapa pendekatan pembangunan lain yang sudah dikenal sebelumnya yang cenderung menekankan pada salah satu atau sebagian aset dan kapital saja, seperti sumberdaya daya fisik, alam atau ekonomi/keuangan saja.
Pendekatan ini juga membantu memberi pemahaman mengenai penyebab kemiskinan dengan berfokus pada berbagai faktor, pada tingkat yang berbeda, yang secara langsung atau tidak langsung menentukan atau membatasi akses orang miskin terhadap sumber daya/ aset dari berbagai jenis, dan dengan demikian berpengaruh terhadap penghidupan mereka. Selain itu, pendekatan ini juga menyediakan kerangka kerja yang lebih realistis untuk menilai efek langsung dan tidak langsung pada kondisi kehidupan masyarakat, untuk kriteria tertentu, misalnya, produktivitas atau pendapatan (lihat Krantz, “The Sustainable Livelihood Approach to Poverty Reduction: An Introduction,” 2001)
Pendekatan ini tidak bersifat rigid/kaku, namun dapat diterapkan fleksibel tergantung pada konteks negara/daerah. Karenanya, pendekatan ini dapat diterapkan di manapun dalam situasi di mana mata pencaharian perlu dipahami dan ditingkatkan sehingga membuatnya lebih berkelanjutan. Meskipun demikian, berdasarkan karakkteristiknya pendekaan ini hanya cocok dipraktekkan pada negara yang sedang berkembang (developing world) (lihat Morse, McNamara dan Acholo, 2009; Morse dan McNamara, 2013).
Sementara menurut Ashley dan Carney (1999), kelebihan dari pendekatan sustainable livelihood ini adalah tidak hanya dapat digunakan di tingkat program dan proyek saja, tetapi juga dapat digunakan di tingkat kebijakan. Beberapa cara di mana pendekatan sustainable livelihood dapat memberikan nilai tambah terhadap kebijakan, yaitu:
1.         Membantu untuk memastikan bahwa kebijakan tidak diabaikan: Dalam hal ini analisis sustainable livelihood dapat memberikan informasi penting tentang bagaimana struktur dan proses yang ada mempengaruhi penghidupan masyarakat. Dalam analisis sustainable livelihood umumnya juga mengidentifikasi dan merekomendasikan perlunya reformasi kebijakan tertentu.
2.         Menyediakan bahasa yang sama (common language) bagi para pembuat kebijakan dari berbagai sektor: Kerangka dan terminologi dalam pendekatan sustainable livelihood  dapat membantu dan menjadi bahasa bersama dalam analisis dari sektor-sektor yang berbeda, atau ketika membahas isu-isu lintas sektoral seperti kemiskinan, desentralisasi, pembangunan pedesaan dan reformasi sektor publik, yang memiliki dampak langsung ataupun tidak langsung terhadap penghidupan (livelihood). Demikian pula ketika menyusun kerangka kerja mengenai peran sektor swasta dalam mengurangi kemiskinan.
3.         Mendorong pendekatan yang lebih berfokus pada orang dalam penyusunan kebijakan: Dalam pandangan Ashley dan Carney, pendekatan sustainable livelihood dapat membantu pembuat kebijakan berpikir di luar kotak-kotak sektoral dan dapat melihat perubahan kebijakan dari perspektif orang/pihak lain. Termasuk menyoroti mengenai kebutuhan untuk melakukan konsultasi yang lebih luas tentang isu-isu kebijakan, terutama dengan orang miskin. Kerangka sustainable livelihood juga dapat menginformasikan program reformasi kebijakan dengan menggambarkan dampak kebijakaan saat ini dan di masa depan terhadap kehidupan masyarakat.
 Selain kekuatan, ada beberapa keterbatasan dari pendekatan sustainable livelihood ini. Menurut Krantz, (2001), dari hasil pengamatannya terhadap implementasi pendekatan sustainable livelihood oleh sejumlah lembaga internasional, menilai bahwa pendekatan ini kurang memberi gambaran yang lebih jelas dalam hal bagaimana mengidentifikasi orang-orang miskin yang menjadi subyek dari pendekatan ini. Keterbatasan lainnya adalah pada kurangnya penjelasan mengenai bagaimana caranya agar sumber daya dan peluang penghidupan lainnya dapat didistribusikan secara lokal, mengingat proses ini seringkali dipengaruhi oleh struktur informal dari dominasi sosial dan kekuasaan di dalam masyarakat itu sendiri.
Aspek lain yang juga dipandang kurang terelaborasi dalam pendekatan adalah sustainable livelihood ini mengenai keseimbangan gender. Umum dipahami bahwa gender merupakan aspek hubungan sosial dan dan relasi antara laki-laki dan perempuan yang kerap ditandai dengan adanya ketimpangan dan dominasi sosial. Kendala lain yang menurut Krantz juga mungkin dihadapi dalam implementasi pendekatan sustainable livelihood ini adalah sulit tersedianya suatu sistem perencanaan pembangunan yang fleksibel untuk dapat mengakomodasi proses analisis yang luas dan terbuka.
Sementara itu, Ashley dan Carney (1999) juga mengingatkan bahwa ada batasan dalam pendekatan sustainable livelihood di tingkat kebijakan, yaitu:
1.         Analisis penghidupan (livelihood analysis) untuk tingkat nasional adalah tidak praktis: Tidak mudah untuk melakukan analisis rinci dari penghidupan masyarakat di seluruh wilayah negara untuk mendukung pembuatan kebijakan nasional, karena kemungkinan adanya tingkat heterogenitas yang tinggi. Meskipun demikian, analisis sustainable livelihood secara umum dapat menyoroti kesenjangan kunci dalam informasi yang ada.
2.         Kesulitan membongkar dan memahami 'struktur dan proses': Kerangka sustainable livelihood sebagai cara untuk melakukan analisis tingkat rumah tangga yang lebih rinci dengan menggunakan pentagonal aset dan menyoroti hubungan antara komponen, sesungguhnya tidak dapat diberlakukan secara sama untuk masalah meso atau makro. Struktur dan proses kebijakan tingkat meso dan makro (aktor, peran dan relasi) terlalu luas dan kompleks.
3.      Masalah dalam mengatasi hambatan untuk mengubah kebijakan, struktur dan proses: Bahkan jika sustainable livelihood menyoroti perlunya perubahan dalam struktur dan proses, mereka tidak dapat membantu dalam melakukan perubahan tersebut. Tantangan menangani ketidaksetaraan, pertentangan dalam kepentingan sosial-ekonomi, atau kurangnya kapasitas pelaksanaan tetap besar, dengan atau tanpa sustainable livelihood. Ashley dan Carney menggarisbawahi bahwa berbagai keterampilan lain di pemerintahan, reformasi kelembagaan, resolusi konflik, peningkatan kapasitas dan negosiasi tetap dibutuhkan. Bahkan, ada mungkin sedikit prospek reformasi kebijakan atau pemerintah yang justru bertentangan dengan pencapaian luas mata pencaharian yang berkelanjutan. Hal ini dapat menempatkan kendala mendasar pada pekerjaan sustainable livelihood.
 Dari analisis terhadap pengalaman penerapan pendekatan ini di sejumlah negara, Norton dan Foster (2001) menyimpulkan bahwa ada beberapa kelemahan dan masalah yang telah diidentifikasi antara lain sebagai berikut:
  • Sifat holistik dari multi-dimensi dalam kerangka kerja pada pendekatan ini- dengan penekanan pada 'dunia yang kompleks' - dapat menyulitkan dalam membuat prioritas tindakan (ketika agenda yang ingin digarap menjadi  'terlalu besar');
  • Kemungkinan ada masalah dalam bahasa dan pemaknaannya dengan mitra kerja program, yang kerap menyulitkan pendekatan ini dapat menjadi agenda bersama (dalam kasus program yang diinisiasi oleh lembaga/negara donor);
  • Pendekatan ini mungkin kurang menarik bagi organisasi mitra utama yang berada pada jalur sektoral (yang mungkin bahkan melihatnya sebagai ancaman, karena pendekatan ini yang cenderung multi-dimensi/sektor);
  • Pendekatan ini kurang memberi perhatian yang memadai terhadap faktor sejarah dan politik;
  • Kerangka kerja dalam pendekatan ini tidak sepenuhnya disesuaikan dengan kebutuhan akan 'analisis nasional' dan karena itu kurang cocok digunakan untuk analisis makro;
  • Ada terlalu banyak variabel kunci untuk analisis kebijakan yang terkandung dalam satu 'kotak' dalam kerangka kerja pada pendekatan ini, dan panduan untuk membongkar keterkaitan makro-mikro (ekonomi, sosial dan politik) dipandang juga tidak cukup memadai.


G. Strategi Penanganan Kemiskinan dalam Pendekatan Sustainable Livelihood
Ada banyak strategi penanganan kemiskinan menggunakan pendekatan sustainable livelihood yang ditawarkan dan sudah dipraktekkan oleh berbagai program/proyek, perguruan tingi, lembaga non pemerintah dan lembaga/negara donor. Salah satu strategi yang dapat menjadi ilustrasi strategi dalam penanganan kemiskinan dengan pendekatan sustainable livelihood, yang dikembangkan oleh CGAP dan Ford Foundation (2006), sebagaimana dikutip oleh de Montesquiou et.al. dalam From Extreme Poverty to Sustainable Livelihoods (2014). Dalam pendekatan tersebut dibuat klasifikasi mulai dari melarat/fakir miskin (destitute), sangat miskin (extreme poor), agak miskin (moderate poor), rentan tidak miskin (vulnerable non-poor), tidak miskin (non-poor), dan kaya (wealth), yang dipisahkan oleh garis kemiskinan. (Pembahasan lebih lanjut mengenai Graduation Approach dapat dilihat pada CGAP, 2009; Hasjemi dan de Montesquiou, 2011; UNHCR, 2011; dan Moury, 2014).
 Ada tiga strategi yang digunakan, yaitu:
  1. Program perlindungan sosial (social protection). Strategi ini memiliki catatan jejak yang lebih baik untuk mencapai miskin ekstrim melalui berbagai intervensi, mulai dari jaring pengaman sosial (seperti, bantuan transfer tunai dengan syarat ataupun tanpa syarat, bantuan pangan, jaminan kerja) bagi mereka yang membutuhkan segera, sebagai pengaman agar tidak tergelincir ke kemelaratan.;
  2. Intervensi penghidupan (livelihoods interventions). Strategi ini mempromosikan penggunaan aset manusia dan material untuk mengembangkan sumber-sumber pendapatan dan "cara hidup" (seperti, menjadi petani atau tukang). Tujuan dari strategi promosi penghidupan adalah untuk menjaga orang-orang tetap bekerja dan produktif, dengan tetap terjaga martabat mereka, untuk jangka panjang. Tapi beberapa program pengembangan mata pencaharian telah membahas kebutuhan rumah tangga sangat miskin. Hal ini terutama terjadi di daerah pedesaan, di mana program pengembangan mata pencaharian cenderung fokus pada rumah tangga yang aktif secara ekonomi, biasanya orang-orang dengan lahan yang cukup untuk menghasilkan surplus yang dapat dijual ke pasar;
  3. Inklusi keuangan (financial inclusion). Strategi ini umumnya fokus pada yang masyarakat yang aktif secara ekonomi dan dengan demikian tidak menjangkau kaum sangat miskin (extreme poor). Mereka yang sangat orang miskin mungkin memilih untuk tidak meminjam karena mereka berpikir utang lebih mungkin justru akan memberatkan dan bukannya membantu mereka. Dalam jenis pendekatan dengan jaminan kelompok yang digunakan oleh beberapa penyedia jasa keuangan, anggota kelompok umumnya justru mengecualikan mereka yang termiskin, karena takut bahwa orang-orang seperti akan tidak mampu mengembalikan pinjamannya dan harus ditanggung oleh kelompok tersebut. Selain itu banyak penyedia jasa keuangan menganggap bahwa mereka termiskin itu terlalu mahal biaya pelayanannya, karena jumlah pinjaman umumnya kecil sementara biaya operasionalnya sama. Meskipun mereka mungkin diabaikan oleh penyedia jasa keuangan, orang yang sangat miskin tetap meminjam dan menyimpan uang, apakah secara informal (menyimpan uang tunai di rumah, meminjam uang dalam jumlah kecil dari teman atau keluarga yang memilikinya untuk cadangan) atau semi-formal melalui kelompok simpan pinjam berbasis masyarakat yang umum ada di komunitas miskin di seluruh dunia berkembang (Catatan: semacam kelompok arisan di Indonesia). Bahkan orang-orang yang sangat miskin juga merasa perlu menghemat uang, terutama karena itu menyangkut masalah kelangsungan hidup mereka sendiri. Tabungan adalah satu-satunya alat yang tersedia untuk melindungi terhadap guncangan (social and economic shocks) bagi orang-orang yang tidak memiliki akses ke asuransi, kredit darurat, atau apa pun selain sumber daya mereka sendiri (CGAP dan Ford Foundation, dalam de Montesquiou, 2006).


Pendekatan yang digunakan disebut “Graduation Approach” yang mencoba mengeluarkan masyarakat dari kondisi sangat miskin (extreme poverty) ke kondisi penghidupan berkelanjutan, yang dibangun pada elemen lima inti: dukungan konsumsi, tabungan, transfer aset, pelatihan keterampilan teknis, dan pendampingan regular mengenai keterampilan hidup (lihat de Montesquiou, 2006:22, dan UNHCR, 2014). Pendekatan mengacu pada aspek yang paling relevan perlindungan sosial, pengembangan mata pencaharian, dan inklusi keuangan untuk memberikan hasil dengan menggabungkan dan mengkomuninasikan dukungan untuk kebutuhan mendesak dengan modal dan aset manusia investasi jangka panjang. Tujuannya adalah untuk melindungi peserta dalam jangka pendek sambil mempromosikan kehidupan yang berkelanjutan untuk masa depan.



Pendekatan ini memiliki visi, yaitu:
  1. Investasi awal yang tinggi dari peserta program akan membantu keluarga yang sangat miskin dalam mengembangkan penghidupan yang berkelanjutan;
  2. Rumah tangga ini mengembangkan kapasitas mereka dalam meningkatkan pendapatan dan membangun aset, serta meningkatkan ketahanan mereka, dan seiring waktu kerentanan mereka terhadap guncangan juga akan berkurang. Ini dapat mengurangi risiko mereka untuk jatuh kembali ke dalam kemiskinan yang ekstrim;
  3. Keuntungan dalam jangka panjang akan bertambah baik untuk individu maupun keluarga yang terkena dampak langsung, dan juga untuk tujuan-tujuan sosial yang lebih luas, seperti memutus mata rantai kemiskinan lintas generasi dan mengurangi ketidaksetaraan.



Dari gambar tersebut, dapat dijelaskan sebagai berikut:
  • Dukungan konsumsi. Bantuan ini diberikan kepada masyarakat yang termasuk kelompok sasaran (hasil targeting), dalam bentuk uang saku tunai dalam jumlah kecil atau bahan makanan. Dukungan ini dapat memberikan mereka "ruang bernapas" dengan meringankan stres hidup sehari-hari;
  • Tabungan.  Setelah konsumsi pangan masyarakat stabil, mereka didorong untuk mulai melakukan penghematan, baik secara semi-formal melalui kelompok swadaya masyarakat (KSM), atau lebih formal melalui rekening pada penyedia jasa keuangan formal. Selain untuk membangun aset, tabungan juga bermanfaat menanamkan disiplin keuangan dan membiasakan peserta dengan layanan keuangan formal. Graduation Approach dapat menawarkan pelatihan literasi keuangan, mengajar peserta tentang kas dan manajemen keuangan, dan mengakrabkan mereka dengan tabungan dan kredit. Fitur ini mengajarkan tentang pentingnya penghematan dari bidang inklusi keuangan;
  • Analisa pasar dan pengalihan aset. Beberapa bulan setelah program dijalankan, setiap peserta menerima aset (misalnya, ternak jika mata pencaharian melibatkan peternakan; persediaan barang dagangan jika mata pencaharian adalah ritel) untuk membantu menmbangun satu atau lebih kegiatan ekonomi. Sebelumnya dilakukan identifikasi pilihan mata pencaharian yang berkelanjutan dalam rantai nilai yang dapat menyerap pelaku ekonomi baru. Dari daftar tersebut peserta memilih dari daftar menu aset, berdasarkan preferensi mata pencaharian dan pengalaman masa lalu;
  • Pelatihan keterampilan teknis. Peserta menerima pelatihan keterampilan dasar dalam hal memanfaatkan dan merawat aset serta menjalankan bisnis. Pelatihan tersebut sangat penting dalam mengelola usaha kecil yang sukses, serta dapat memberikan informasi mengenai bantuan dan layanan yang diperlukan (misalnya, dokter hewan, untuk peserta program yang banyak yang pilihan mata pencaharian melibatkan peternakan);
  • Pendampingan (life skill coaching).  Mereka yang berada dalam kondisi kemiskinan ekstrim umumnya kurang percaya diri dan terbatas modal sosial-nya. Diperlukan pendampingan secara kontinyu dalam waktu yang cukup (sekitar 18 sampai 36 bulan program). Selama pendampingan tersebut, peserta dibantu dalam melakukan perencanaan bisnis dan manajemen uang, bersama dengan dukungan sosial dan layanan kesehatan dan pencegahan penyakit. Dalam beberapa kasus, telah terbukti berharga untuk mengorganisir kelompok-kelompok dukungan sosial di masyarakat atau berhubungan dengan penyedia layanan kesehatan (de Montesquiou et.al., 2006).

Catatan:

Tulisan ini menjadi bagian dari desk study dalam sebuah laporan kajian tentang penghidupan berkelanjutan di Bappenas (2016).