Baca

Baca

Sabtu, 02 Agustus 2014

“Demokrasi: Antara Konsensus dan Disensus”



“Demokrasi: Antara Konsensus dan Disensus”

Candra Kusuma

Demokrasi minimalis umum dipahami hanya sebatas keikusertaan warganegara dalam Pemilu. Jika demokrasi tidak ingin dipahami secara minimalis sebagai demokrasi elektoral atau agregatif yang mengacu pada suara terbanyak dalam voting atau Pemilu, maka proses diantara dua Pemilu harus dilihat sebagai proses demokratis, yang menurut Jurgen Haberman, harus dilalui dengan upaya deliberasi atas keputusan dan kebijakan publik (F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif: Menimbang Negara Hukum dan Ruang Publik dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas, 2009: 132). Proses deliberasi dengan jalan dialogis yang rasional diantara para pihak secara setara dan terbuka, sampai dengan tercapainya konsensus bersama.

Namun proses deliberasi dalam demokrasi konsensus tersebut sesungguhnya tidaklah mudah untuk dilakukan jika mengikuti syarat dan prosedur ideal yang dianjurkan Habermas dan kawan-kawannya. Menurut para pengkritik teori demokrasi deliberatif, tidak semua warganegara memiliki kemampuan yang layak dan memenuhi syarat untuk melakukan dialog secara rasional dalam sebuah diskursus yang yang setara, yang akibatnya mereka menjadi tereksklusi dan terpinggirkan dari ruang politik. Bahkan oleh sebagian pemikir lain, idealisasi dari demokrasi konsensual tadi dipandang sulit dapat dicapai dan nyaris mustahil untuk dapat dipertahankan untuk waktu lama dalam riil politik.

Kritik terhadap demokrasi konsensus

Budiarto Danujaya dalam bukunya Demokrasi Disensus: Politik Dalam Paradoks (2012), --yang dikembangkan dari disertasinya yaitu Demokrasi Sebagai Politik Disensus (Utopia Koeksistensial di Era Paradoks) di Departemen Filsafat Universitas Indonesia (2010)-- mengkritisi obsesi akan konsensus dalam politik yang diusung oleh demokrasi konsensus. Keranjingan akan konsensus tersebut diyakini pada akhirnya akan mereduksi daya hidup dan kreasi dari demokrasi itu sendiri. Karenanya Danujaya menyodorkan konsep demokrasi disensus sebagai antithesis dari kecenderungan berlebihan terhadap gagasan demokrasi konsensus.

Menurut Danujaya, dalam demokrasi konsensus setiap warga diasumsikan sebagai individu yang merupakan agen rasional dan mandiri yang akan memberikan respon yang seragam dalam menanggapi keadaan yang diasumsikan sama, --sejauh tidak ada bias-- baik dalam bentuk hegemoni, delusi, ataupun parsialitas informasi (2012: xxiii). Karenanya dalam menghadapi perbedaan dan konflik, maka individu diyakini akan merespon dengan berupaya mencari kesepakatan atau konsensus yang disepakati bersama. Konsensus ini dimaknai sebagai adanya citarasa bersama (sensus communis atau common sense). Konsensus politik adalah kesepakatan politik yang sungguh mampu menggalang segenap warga  atau mampu mewadahi aspirasi sebagian besar warga, sehingga dapat diterima sebagai landasan bersama bagi segenap masyarakat, dan mampu menjembatani perbedaan kepentingan, ideologi, maupun doktrin komprehensif para pihak di dalamnya (2012: xix).

Danujaya mencatat bahwa demokrasi sebagai politik konsensus mempercayai kesanggupan sistem politik tertentu dalam mengatasi perbedaan akibat keragaman kepentingan, agama, ideologi dan doktrin komprehensif lainnya, dan dapat mencapai sebuah kesepakatan politik yang relatif dapat dimufakati bersama (2012: xvii). Ada dua aliran teori demokrasi konsensus ini, yaitu:

  1. Idealisasi kontrak sosial. Diantaranya yang diusung oleh John Rawls (antara lain lihat A Theory of Justice, 2000:14; Political Liberalism, 1996:192-193), yang menyatakan bahwa terlepas dari adanya kemajemukan, tetap ada kemungkinan untuk mencapai mufakat politik, asalkan masing-masing pihak yang terlibat bersikap nalar dalam upaya membangun landasan bersama (publik) melalui sebuah konsensus politik.
  2. Proses ideal. Diantaranya adalah teori demokrasi deliberatif yang diusung Jurgen Habermas (“The Public Sphere: An Encyclopedia Article,” dalam Blaug dan Schwarzmantel ed., Democracy: A Reader, 2001),  dan Seyla Benhabib (Democratic and Difference: Contesting the Boundaries of the Political, 1996), yang percaya bahwa kapasitas rekonstruktif dalam sistem politik akan mampu mencapai konsensus, asalkan dikelola lewat proses yang deliberatif, dalam arti adanya dialog yang mendalam dan hati-hati, bebas, terbuka serta rasional, sehingga memungkinkan kritik-diri berkelanjutan (Danujaya, 2012: xvii-xviii). (Catatan: Ulasan singkat tentang teori demokrasi deliberatif diantaranya lihat http://haicandra.blogspot.com/2014/03/belajar-teori-demokrasi-dari-mas.html).

Danujaya mengutip kritik yang diajukan oleh Nicholas Rescher (Pluralism: Againts the Demand for Consensus, 1995: 188-189), yang berpendapat bahwa orientasi metodis dari praksis demokrasi konsensus pada dasarnya lebih bertumpu pada pengupayaan bersusah-payah berkelanjutan untuk mencapai kesepakatan aktual dengan cara memaksimalkan jumlah individu yang menyetujui tindakan atau kebijakan yang akan ditempuh (Danujaya, 2012: xix). Karenanya, kedua pendekatan ideal tersebut (baik idealisasi kontrak sosial maupun proses ideal) memerlukan banyak prasyarat dan tidak senantiasa dapat diwujudkan.

Demokrasi disensus: cara pandang berbeda terhadap keberagaman dan oposisi

Danujaya banyak merujuk pada filsafat politik dari Ernesto Laclau, Chantal Mouffe dan Nicholas Rescher dalam merumuskan tafsirnya atas konsep demokrasi konsensus dan mengkontekskannya dalam politik kontemporer di Indonesia. Dalam hal ini, paradigma disensus memandang setiap warga sebagai individu yang unik (sebagai suatu ‘unikum’) dan berbeda dengan individu lain, yang tidak dapat terjembatani apalagi terleburkan dalam hubungannya dengan indivud-individu lain, sehingga mengakibatkan adanya otonomi radikal dalam korelasi tersebut (Danujaya, 2012: xxiii).

Kontras dengan pandangan para pemikir demokrasi konsensus, para pemikir  yang memandang demokrasi sebagai politik disensus justru tak mempercayai kesanggupan sistem politik untuk menggalang konsensus. Laclau dan Mouffe (dalam Hegemony and Socialist Strategy: Toward a Radical Democratic Politic, 1994: 127) berpendapat bahwa masyarakat tak mungkin dapat mewujud sebagai identitas utuh dan terpadu, karena masyarakat senantiasa berada di arena politik (Danujaya, 2012: xix).

Danujaya menyitir pandangan Mouffe (dalam The Democratic Paradox, 2000: 101) yang membedakan antara konsep ‘politikal’ dan ‘politik.’ Menurut Mouffe, ‘politikal’ terkait dengan dimensi antagonisme yang inheren dalam relasi antarmanusia, karena merupakan perwujudan ketegangan relasional antara kami dan mereka, yang selalu menandai relasi sosial, termasuk politik. Sementara ‘politik’ merujuk pada rangkaian praktik, wacana, dan institusi yang berusaha menegakkan tertib tertentu dan mengorganisasikan kondisi manusia yang hidup saling berdampingan dan dipengaruhi oleh dimensi ‘politikal’ tadi, sehingga juga cenderung antagonistis. Politik bertujuan menciptakan kesatuan dalam konteks konflik dan keberagaman. Masalah krusial dalam politik adalah mengubah relasi ‘kami dan mereka’ agar yang bersifat ‘kawan dan lawan’ menjadi lebih sekedar ‘kawan dan seteru’ (friend - adversary). Upaya menselaraskan tersebut bukan bertujuan menghapus antagonisme namun lebih sebagai upaya menyediakan koridor yang dapat menselaraskan antagonisme tersebut agar sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi pluralistik (Danujaya, 2012: xx).

Menurut para pemikir teori demokrasi disensus tersebut, perbedaan antara ‘aku’ dan pihak lain (the other, yang dalam bahasa Indonesia umum diterjemahkan sebagai ‘liyan’) tidak sepenuhnya dapat direduksi dan dijembatani. Perbedaan tersebut akan senantiasa ada. Keikutsertaan para pihak dalam keputusan politik bukan hanya bersifat senantiasa sementara, melainkan juga senantiasa terbuka terhadap kemungkinan artikulatif baru, sehingga sekedar  merupakan batu pijak menuju ketegangan disensual selanjutnya (Danujaya, 2012: xxi).

Rescher (1995: 189) berpendapat bahwa orientasi metodis dari praksisnya bertumpu pada ‘agoni disensual’ yaitu pengupayaan bersusah payah berkelanjutan untuk menampik ketaksepakatan yang kelewat tajam sehingga menghambat ketercakupan dalam keikutsertaan sementara itu dengan cara terus-menerus meminimalisasi kadar dan jumlah ketaksetujuan pada kebijaksanaan yang ditempuh. Relasi yang coba dibangun adalah lebih merupakan ‘hegemoni yang senantiasa terbuka’ (open-ended hegemony), dan bukan sebagai ‘konsensus yang senantiasa terbuka’ (open-ended consensus) (Danujaya, 2012: xxii).

Antagonisme tersebut merupakan konsekuensi bawaan dari keragaman sebagai sifat dasar relasi sosial yang tidak saja kompleks tapi juga penuh kepentingan seperti relasi politik, sehingga selalu menghambat setiap upaya mencapai ‘objektivitas sosial’ yang menjadi basis bagi tercapainya konsensus politik (Danujaya, 2012: xxv). Namun, mengandaikan dapat ditiadakannya disensus dalam relasi sosial politik justru dapat berbahaya karena akan menutup ruang konstitutif politik demokrasi, yaitu jarak yang senantiasa ada antara konsensus dan disensus, juga antara keputusan dan posibilitas perbedaan-perbedaan sebagai konsekuensi keragaman (Danujaya, 2012: xxvii). Dengan kata lain, orientasi pada konsensus mengandaikan adanya politik yang monosemi (bermakna tunggal), sementara realitas politik senantiasa terbuka sebagai polisemi (bermakna banyak).

Politik disensus memperlihatkan bahwa sebagai sebuah fenomena spasial, politik adalah ajang perebutan artikulatif manusia-manusia konkrit yang hidup dan nyata, sehingga antagonisme relasional adalah sebuah keniscayaan yang tak dapat dielakkan. Karenanya, keberadaan oposan bukan saja merupakan konsekuensi relasional wajar belaka, melainkan bahkan antagonisme laten pada sekutu atau kawan politik sekalipun juga wajar saja, karena sekedar perwujudan alteritas dan diskursivitas keliyanan masing-masing individu sebagai agen sosial belaka (Danujaya, 2012: 415).

Hasrat berlebih pada konsensus mendorong ke arah unipolaritas (politik satu kubu) yang menghadirkan ‘dilema politik tanpa seteru’ (Mouffe, 2000: 108-127). Kondisi tersebut pada akhirnya justru merugikan politik demokrasi karena mengebiri kapasitasnya sendiri untuk melakukan perbaikan dan pengembangan diri secara terus menerus, yang hanya dapat terlaksana jika ada dinamika ketegangan kreatif dalam relasi antar anasir yang berbeda atau bertentangan akibat adanya perbedaan kepentingan dan perbedaan artikulatif di dalamnya (Danujaya, 2012: xxxi).

Singkatnya, orientasi berlebih pada konsensus justru cenderung akan membuat demokrasi menafikan keragaman (pluralitas) yang ada di masyarakat. Dalam pandangan ini, ‘pluralism agonistic’ memiliki dua wajah, yaitu: (a) Di satu sisi, menjadikan politik sebagai perjuangan untuk merawat antagonisme relasional sebagai upaya terus membangun mekanisme kontrol, koreksi dan koreksi sehingga demokrasi dapat terus menerus meremajakan gagasan, manusia dan lembaganya; (b) Di sisi lain, menjaga agar antagonisme tersebut tidak menjadi liar dan senantiasa berada dalam koridor demokrasi pluralis (Danujaya, 2012: 415-416).

Demokrasi disensus di Indonesia

Jacques Rancière dalam Dissensus: On Politics and Aesthetics (2010: 38), menyatakan: “The essence of politics is dissensus.” Bahwa inti dari politik adalah manifestasi dari disensus. Menurutnya, disensus bukanlah konfrontasi antar kepentingan-kepentingan atau opini-opini. Akan tetapi merupakan manifestasi dari kesenjangan atas hal-hal yang masuk akal. Manifestasi tersebut membuat apa yang sebelumnya dianggap tidak rasional untuk eksis, justru dapat menyuarakan eksistensinya. Bagi Rancière, inilah alasan mengapa politik tidak dapat diletakkan dalam kerangka model tindakan komunikatif (communicative action) yang menjadi dasar bagi konsep demokrasi deliberatif seperti yang ditawarkan Habermas dan kawan-kawan, di mana mereka yang dipandang tidak mampu berdiskursus secara ‘benar’ maka dianggap tidak layak untuk terlibat dalam politik.

Penegasan akan pentingnya disensus juga disampaikan Donny Gahral Adian (Dosen Filsafat Politik di Universitas Indonesia) dalam artikelnya yang berjudul Demokrasi Tanpa Suara di Harian KOMPAS tanggal 25 Januari 2013. Adian berpendapat bahwa disensus adalah sebuah keniscayaan, karena konsensus sangat sulit dicapai dalam politik, dan kalaupun bisa namun sifatnya hanya sementara saja. Dalam artikel tersebut Adian menulis: “Satu hal yang paling sulit dipenuhi oleh politik adalah konsensus. Konsensus dalam politik adalah momen yang selintas datang. Demokrasi disesaki oleh momen-momen konsensus yang tidak pernah mengabadi. Sebab, dalam demokrasi, disensus adalah kodrat sehingga konsensus dibuat untuk dibatalkan.” Barangkali dapat dikatakan bahwa disensus dan konsensus sesungguhnya adalah sebuah siklus dalam politik.

Karenanya, menurut Danujaya, perlu ada perubahan paradigma di mana politik perlu lebih dilihat sebagai sebuah upaya pengelolaan konflik, dan demokrasi sebagai politik disensus. Menurutnya, perlu ada kesadaran historis bahwa bangsa Indonesia telah berulang kali mengalami krisis multidimensi, yang diantaranya disebabkan oleh berlebihannya dalam menerapkan politik harmoni dan demokrasi konsensus. Semua pihak perlu menyadari bahwa jargon-jargon politik demokrasi dalam paradigma konsensus, baik secara teoritis maupun praksis, terbukti mudah diselewengkan untuk melakukan pemusatan kekuasaan sehingga gampang tergelincir menjadi eksesis menuju totalitarian (Danujaya, 2012:  xxxv).

Persoalannya kemudian adalah “Bagaimana caranya untuk dapat mengelola disensus tersebut agar tetap ‘berada dalam koridor demokrasi pluralis’ seperti yang disitir Danujaya (2012: 416) sebelumnya?.” Dari berbagai pendapat para pemikir tersebut, ada beberapa prinsip yang dapat menjadi acuan, yaitu: 
(a)  Koeksistensial (pengakuan atas keberadaan pihak lain serta keberagamannya, dan kehendak untuk hidup berdampingan tanpa saling mengganggu), dan dialog yang terbuka serta memberi ruang partisipasi dan transparansi bagi publik untuk terlibat dan mengawasi proses politik dan pemerintahan;
(b) Agonisme, yang diperlukan agar tidak melihat politik secara hitam putih dan konstan, sehingga kurang menyadari pentingnya oposisi sebagai pembanding dan kontrol dalam sistem demokrasi. (Danujaya, 2012: 416);
(c) Kepastian dan penegakan hukum atau aturan main yang ‘disepakati’ menjadi panduan dalam kontestasi politik;
(d) Jika mengacu pada teori demokrasi, maka hal tersebut akan kembali pada praksis dari civic virtue atau keutamaan publik yang dianut dan menjadi panduan hidup untuk menjadi warganegara yang baik (good citizen), juga sebagai pemimpin yang baik (good leader), dan negarawan yang baik (good statesman). Pada saat itu, kebebasan dan kepentingan individu –sebagaimana dianjurkan oleh demokrasi liberal-- mesti mampu diubah menjadi prinsip kebaikan warganegara (diantaranya lihat Donny Gahral Adian, Demokrasi Substansial: Risalah Kebangkrutan Liberalisme, 2010: 118). Bisa jadi, civic virtue inilah sesungguhnya yang mampu menjadi landasan utama untuk membangun koridor bagi demokrasi pluralis dalam mengelola siklus disensus dan konsensus tersebut.

Sebagai contoh aktual, yaitu terkait dengan sengketa Pilpres 2014 yang tengah terjadi saat ini. Ketika hasil quick count oleh lembaga-lembaga survey politik dan real count oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) atas hasil perhitungan suara pemilih telah gagal mencapai konsensus yang dapat diterima semua pihak, maka sesungguhnya mekanisme disensus-lah yang harus dioperasikan. Meskipun menjadi catatan --dan masih menjadi perdebatan-- mengenai pernah dikeluarkannya pernyataan mengundurkan diri dari proses Pemilu oleh salah satu pasangan Capres dan Cawapres, namun langkah yang ditempuh pasangan tersebut yang mengadukan kasus sengketa Pilpres ke Mahkamah Konstitusi (MK) tetaplah perlu dihormati, sebagai penerapan dari prinsip koeksistensial yang disinggung sebelumnya. Langkah hukum tersebut --meskipun mungkin menyebalkan bagi sebagian orang-- adalah yang paling sesuai dengan mekanisme hukum yang ada terkait upaya penyelesaian sengketa Pilpres dan Pemilu pada umumnya. Langkah politik lain juga masih dimungkinkan, sejauh tidak menggunakan intimidasi dan kekerasan baik terhadap institusi penyelenggara Pemilu maupun kubu pesaingnya.

Hasil keputusan MK nantinya mungkin tidak akan memuaskan sebagian pihak. Dalam kondisi demikian, civic virtue dari semua pihak --khususnya pihak yang kalah-- pada akhirnya yang akan menentukan dan paling mampu menggiring ke arah konsensus yang baru, yaitu menerima keputusan hukum siapapun pihak/kubu yang dinyatakan sebagai pemenang Pilpres. Selain itu, bagi kubu yang kalah, masih ada ruang yang sama mulianya dalam demokrasi dan sejalan dengan prinsip ‘agonisme’ tadi, yaitu untuk berperan sebagai kontrol atau ‘oposisi’ bagi pemerintahan terpilih yang baru nanti.

------------------------
Sumber:

  • Budiarto Danujaya. Demokrasi Disensus: Politik Dalam Paradoks. Gramedia Pustaka Utama. 2012.
  • Donny Gahral Adian. Demokrasi Substansial: Risalah Kebangkrutan Liberalisme. Penerbit Koekoesan. 2010.
  • Donny Gahral Adian. Demokrasi Tanpa Suara. KOMPAS. 25 Januari 2013.
  • F. Budi Hardiman. Demokrasi Deliberatif: Menimbang Negara Hukum dan Ruang Publik dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas. Kanisius. 2009.
  • Jacques Rancière. Dissensus: On Politics and Aesthetics. Edited and translated by Steven Corcoran. Continuum. 2010.