Baca

Baca

Senin, 12 Mei 2014

"Milan Kundera dan Social Amnesia di Indonesia"



“Milan Kundera dan Social Amnesia di Indonesia”

Candra Kusuma

Saya ingat betul, buku ini saya beli di Gramedia – Bandung pada bulan Juni 2000. Terjemahan dari novel karya Milan Kundera berjudul “Kitab Lupa dan Gelak Tawa” ini memang pertama kali diterbitkan oleh Penerbit Bentang pada Mei 2000. Jadi barangkali saya termasuk rombongan awal pembacanya saat itu. Tentu saja saya ingat hal ini bukan karena saya memang punya ingatan kuat, tapi semata karena dulu saya terbiasa menulis tanggal dan tempat  pembelian buku. Maklum saja, karena memang kapasitas fiskal yang terbatas, dulu rasanya perlu perjuangan yang sangat besar untuk dapat membeli buku baru setiap bulannya.

Diantara semua karya Milan Kundera, novel ini tampaknya memang yang paling berpengaruh. Versi Inggrisnya berjudul “The Book of Laughter and Forgetting”. Saya sendiri baru dapat membaca versi Inggris-nya yang diterbitkan HarperPerennial (1996) beberapa tahun lalu. Buku ini pula membuat Kundera menjadi warga buangan seumur hidup. Diterbitkannya buku ini di luar negeri, membuat pemerintah Ceko mencabut kewarganegaraan Ceko-nya pada tahun 1979. Namun akibat tekanan politik yang dialami di tanah airnya sendiri,  Kundera dan istrinya sesungguhnya sudah menjadi exile di Perancis sejak tahun 1975.

Novel ini sesungguhnya adalah kumpulan cerita pendek, dengan tema sentral mengenai kekuasaan politik. Namun ketika berbicara tentang kekuasaan, Milan Kundera tidak sedang berbicara tentang kekuasaan pada umumnya. Ia bicara tentang kekuasaan yang disalahgunakan. Kekuasaan yang cenderung korup dan menindas. Dia tengah mencela totalitarianisme sebagai bentuk pelecehan kekuasaan yang mengancam kemanusiaan. Tidak heran, jika kemudian salah satu bagian yang paling banyak dikutip orang dari novel ini adalah ucapan salah satu tokoh di dalamnya: “The struggle of man against power is the struggle of memory against forgetting” (Milan Kundera, 1996:4). Bahwa perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa.

Tema yang diangkat dalam novelnya ini memang tidak lepas dari kisah hidup penulisnya sendiri. Milan Kundera lahir di Brno, Cekoslowakia tahun 1929. Tepat setelah Perang Dunia II, Milan Kundera masuk menjadi anggota Partai Komunis Ceko. Namun ketika terjadi pengambilalihan Praha tahun 1948, -- yang pada saat itu ia masih mahasiswa— Kundera memutuskan untuk keluar dari Partai tersebut. Ia kemudian bekerja sebagai buruh dan musisi jazz, untuk kemudian mengabdikan diri sepenuhnya pada kesusastraan dan film. Ia memang menjadi profersor di Prague Institute for Advanced Cinematographic Studies. Ia menulis kumpulan cerita berjudul “Laughable Loves” di Praha sebelum tahun 1968.
Setelah invasi Rusia buan Agustus 1968, ia kehilangan pekerjaannya dan buku-bukunya dicekal. Namun bintangnya justru bersinar di tempat lain. Novelnya yang berjudul “Life is Elsewhere” menjadi novel asing terbaik di Perancis tahun 1973. Sementara novel lainnya berjudul “The Farewell Party” menjadi novel asing terbaik di Italia tahun 1976.

Dalam novel ini tampaknya Kundera ingin bercerita bahwa invasi informasi yang bertubi-tubi mengenai berbagai peristiwa yang terjadi di sekitar kita telah membuat manusia menjadi familiar dan akhirnya permisif dengan berbagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang menimbulkan kerusakan dan kejahatan sosial dan kemanusiaan. Singkatnya, manusia menjadi gampang lupa dengan berbagai tragedi kemanusiaan yang justru terjadi akibat perbuatan manusia lainnya. Dalam salah satu bagian Kundera menulis:

Dalam masa ketika sejarah masih bergerak secara perlahan, peristiwa-peristiwa begitu sedikit dan jarang terjadi dan dengan mudah diingat. Peristiwa-peristiwa itu membentuk latar belakang umum bagi adegan-adegan petualangan yang mendebarkan dalam kehidupan pribadi. Dewasa ini sejarah bergerak dengan kecepatan tinggi. Sebuah peristiwa sejarah, meskipun segera terlupakan, menerangi pagi berikutnya dengan embun kebaruan. Tak ada lagi latar belakang – latar belakang itu kini menjadi petualangan itu sendiri, sebuah petualangan yang mengambil tempat di hadapan latar belakang kebanalan kehidupan pribadi yang telah diterima begitu saja.” (Milan Kundera, 2000:10-11)

Beruntung, pada novel terjemahan Indonesia-nya, dilampirkan juga sebagian hasil wawancara Philip Roth (General Editor of the Penguin Books, 1974-1989) dengan Kundera, di mana ada banyak hal yang dapat dipelajari dari cerita di balik novel ini. Dari wawancara tersebut, saya menangkap kesan bahwa Kundera mengangkat tema “Lupa” yang berkaitan dengan berkurang atau bahkan hilangnya ingatan kolektif (collective memory) suatu masyarakat atau bangsa akan masa lalunya. Ceritanya ini tidak dapat dilepaskan dari pengalamannya sendiri menyaksikan invasi Rusia ke Ceko pada tahun 1960-an, dimana terjadi apa yang saya sebut sebagai Rusianisasi yang beriringan dengan upaya De-Cekoisasi.

“…Lupa… Inilah masalah pribadi manusia yang besar, kematian sebagai hilangnya diri. Tapi apakah diri ini? Diri adalah keseluruhan dari segala sesuatu yang kita ingat. Jadi, yang membuat kita takut pada kematian bukanlah hilangnya masa depan, melainkan hilangnya masa lalu. Lupa merupakan sebentuk kematian yang hadir dalam kehidupan… Bangsa yang kehilangan kesadaran akan masa lalunya perlahan-lahan akan kehilangan dirinya.”

Kundera melihat bahwa bangsanya sendiri di Cekoa telah dibius oleh janji-janji akan surga dunia. Sementara ideologi dan praktek kekuasaan totalitarianisme adalah justru yang akan membungkam kebebasan rakyatnya sendiri.

“Totalitarianisme bukan hanya neraka, tetapi juga impian akan surga – mimpi klasik mengenai sebuah dunia, di mana setiap orang akan hidup dalam kerukunan, disatukan oleh keyakinan dan kemauan bersama yang tunggal, tanpa rahasia antara satu sama lainnya… Jika totalitarianism tidak mengeksploitir arketip-arketip ini, yang tersimpan jauh dalam diri kita dan berakar kuat dalam semua agama, ia tidak akan pernah dapat menarik begitu banyak orang, terutama selama masa-masa awal keberadaannya. Sekali impian mengenai surga itu mulai berubah menjadi kenyataan, disana-sini mendadak bermunculan orang-orang merintangi jalannya. Dengan demikian, para pemimpin surga harus membangun gulag kecil di sebelah Eden. Seiring dengan berjalannya waktu, gulag ini pun tumbuh semakin besar dan sempurna, sementara surga yang berada di tengahnya semakin kecil dan menyedihkan.”

Menurut Kundera, totalitarianisme menjadikan sebuah masyarakat dan bangsa lupa akan masa lalu dan curiga pada pemikiran kritis.

“…Totalitarianisme, yang melepaskan orang dari memori dan, karenanya, menjauhkan mereka ke dalam bangsa anak-anak. Semua totalitarianisme melakukan ini. Dan mungkin segenap abad teknik kita melakukan ini, dengan pemujaannya pada masa depan, pemujaannya pada masa muda dan kanak-kanak, ketidakpeduliannya pada masa lalu dan kecurigaannya pada pemikiran. Di tengah masyarakat anak-anak yang tak berbelaskasihan, seorang dewasa yang dilengkapi memori dan ironi akan merasa seperti Tamina di pulau anak-anak.”

Sementara “Gelak Tawa” bagi Kundera adalah ibarat koin bersisi dua. Tawa adalah perlambang yang mewakili dua kubu yang bersebarangan, yaitu tawa kaum fanatik dan kaum skeptis.

“…manusia menggunakan manifestasi fisiologis yang sama –gelak tawa— untuk mengekspresikan dua sikap metafisis yang berbeda… Gelak tawa antusias dari pada malaikat yang fanatik, yang begitu yakin akan arti penting dunia mereka, sehingga mereka siap menggantung siapa saja yang tidak ikut bergembira bersama mereka. Dan gelak tawa yang lain, yang berbunyi dari sisi berseberangan, memproklamirkan bahwa segala sesuatunya sudah tidak punya makna, bahwa bahkan upacara pemakaman pun menjadi menggelikan dan grup seks hanyalah pantomim komikal belaka. Kehidupan manusia dibatasi oleh dua jurang: fanatisme di satu sisi, dan skeptisisme absolut di sisi lain.”

Bagi Kundera, senyum dan humor adalah pembeda sekaligus bentuk perlawanan terhadap totalitarinisme dan segala bentuk upaya penghilangan ingatan kolektif suatu masayarakat atau bangsa. Senyum dan humor adalah kemanusiaan yang perlu dipelihara diantara dunia jargon, janji, mimpi, disiplin, penyeragaman, dan kekerasan pikiran dan fisik yang menjadi instrumen standar yang digunakan  semua penguasa otoriter dan totaliter.

“Saya mempelajari nilai humor selama masa teror Stalin. Saya berusia dua puluh tahun waktu itu. Saya selalu bisa mengenali orang yang bukan Stalinis, orang yang tidak perlu saya takuti, hanya melalui caranya tersenyum. Rasa humor adalah tanda pengenal yang layak dipercayai. Sejak itu, saya takut pada dunia yang kehilangan rasa humornya.”

Bangsa Indonesia mengidap Social Amnesia?

Tema yang diangkat Milan Kundera dalam novelnya ini sangat dekat dengan konsep social amnesia yang dipopulerkan oleh Russel Jacoby dalam bukunya “Social Amnesia: A Critique of Contemporary Psychology” (1975). Social amnesia digunakannya untuk menyebut kondisi “a collective forgetting by a group of people” atau masyarakat yang lupa secara kolektif. Kondisi ini dapat diakibatkan oleh adanya paksaan (forcible repression) atas ingatan, perubahan kondisi ataupun akibat cepatnya perubahan-perubahan yang terjadi.

Dalam masyarakat yang mengalami social amnesia, masa lalu bukanlan sesuatu yang cukup bermakna dan penting untuk menjadi pertimbangan dalam menilai dan menjalani hari ini, dan dalam merancang masa depan. Hidup adalah untuk “masa depan” dan tidak peduli dengan apa yang terjadi kemarin dan apa yang harus dikorbankan hari ini.

Membaca novel Milan Kundera sangat mudah karena konteksnya sangat dekat dengan apa yang telah dan tengah terjadi di masyarakat dan bangsa Indonesia. Di Indonesia saat ini memang tidak terjadi invasi fisik oleh bangsa lain yang memaksakan satu ideologi tertentu. Namun represi memang bukan barang baru disini. Adanya bagian dari masyarakat Indonesia sendiri yang gemar memaksakan keinginan dan keyakinannnya sendiri, menginginkan adanya disiplin ketat dan penyeragaman pikiran, yang jika perlu dilakukan dengan kekuatan dan kekerasan, juga bukan sesuatu yang asing di negara ini. Adanya kekuasaan yang otoriter, pembunuhan politik, penculikan, pelarangan, sensor, korupsi, manipulasi, konspirasi, sesungguhnya adalah juga bagian dari sejarah di sini.

Manusia memang mungkin bisa mati berdiri jika terus mengingat semua yang pernah diketahui dan dialaminya. Dapat lupa adalah manusiawi, perlu untuk dapat tidur nyenyak dan dapat tetap menjaga kewarasan. Namun, ada banyak hal mendasar menyangkut kehidupan bersama sebagai masyarakat dan bangsa yang tetap perlu diingat dan menjadi dasar dalam menentukan langkah hari ini dan esok. Sementara, tekanan hidup sehari-hari mungkin memang gampang membuat manusia menjadi lupa dan permisif. Atomisasi kehidupan membuat persoalan yang menimpa orang lain, seburuk apapun, sejauh tidak terkait langsung dengan dirinya, dianggap bukan menjadi bagian dari persoalannya. Bahkan, persoalan buruk yang terjadi di masa lalu yang secara langsung dialaminyapun, mungkin coba dilihatnya lagi dengan cara berbeda, sehingga itu kemudian menjadi “bukan persoalan” lagi. Entah dengan rasionalisasi, ataupun kompensasi, banyak hal kemudian menjadi terlupa. Dengan kondisi tersebut terjadi secara massif, maka terbentuklan apa yang disebut Russel Jacoby tadi sebagai social amnesia.

Pada akhirnya, di masyarakat atau bangsa pengidap social amnesia ini, orang yang terbukti korupsi di masa lalu tetap mungkin bisa tetap menjadi pejabat publik. Orang-orang yang disangka sebagai pelanggar HAM di masa lalu mungkin bisa jadi Presiden. Bahkan mungkin, pelaku trafficking dan paedofil di masa lalu suatu saat bisa jadi Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di masa depan.

Semoga saja tidak… atau ternyata kita memang suka membiarkan bangsa ini menjadi bangsa yang tidak saja menderita social amnesia akut, tapi juga menjadi bangsa yang bodoh dan gila…

-------------------------
Referensi:
-          Milan Kundera. The Book of Laughter and Forgetting. Translated from the French by Aaron Asher. HarperPerennial. 1996.
-          Milan Kundera. Kitab Lupa dan Gelak Tawa. Bentang. 2000.
-          Russel Jacoby. Social Amnesia: A Critique of Contemporary Psychology. Transaction Publishers. 1975.