Baca

Baca

Kamis, 28 September 2017

Keperantaraan (Intermediaries) dalam Pengurangan Kemiskinan dan Ketimpangan

Oleh: Candra


Gagasan tentang keperantaraan (intermediaries) bukanlah sebuah konsep yang sama sekali baru. Secara teoritik, dalam sosiologi dikenal adanya konsep perantara (intermediary), seperti intermediary associations (Turner, 2006; Abercrombie, Hill & Turner, 2006), intermediary groups dan intermediary bodies (Boudon & Bourricaud, 1989) yang umumnya dimaknai sebagai aktor yang menghubungkan antara satu kelompok masyarakat dengan aktor dan entitas sosial lainnya. Sementara dalam ilmu ekonomi, konsep perantara secara historis dekat dengan konsep middleman, third party, broker, atau mediator (Howells, 2006; Lowitt, 2013; Wherry & Schor, eds., 2015). Dalam pengertian awam, istilah perantara biasanya digunakan untuk menyebut peran tengkulak, makelar atau calo, yang kerap dikonotasikan negatif, karena umumnya lebih berorientasi mengambil keuntungan sepihak semata, dan hanya memperpanjang rantai distribusi informasi/produk/jasa,  yang dalam tinjauan politik-ekonomi disebut sebagai “perantara predator” (predatory intermediaries) (lihat Lewis, 2014; Kostakis & Bauwens, 2014). Belakangan, istilah perantara ini memiliki pemaknaan yang agak berbeda, dan banyak dipengaruhi oleh perkembangan teori modernisasi (Wolfe, 2006).
Kelompok masyarakat, lembaga atau organisasi dan bahkan perusahaan atau sebuah negara tidak selalu memiliki sumberdaya dan kapasitas untuk secara mandiri mengupayakan pencapaian tujuan mereka. Karena itu umumnya mereka memerlukan dukungan dari pihak lain yang berperan sebagai penghubung dan perantara untuk membantu dalam mencapai tujuan mereka tersebut secara lebih efektif (Stanzon, 2003). Dalam hal ini perantara merupakan individu, organisasi, jaringan atau ruang yang menghubungkan orang, ide/gagasan dan sumberdaya (lihat www.socialinnovator.com). Perantara adalah mediator di antara beberapa kelompok dan memfasilitasi kolaborasi untuk mencapai tujuan bersama (Backhaus, 2010).
Sebagai contoh, dalam dunia perdagangan, intermediasi adalah proses transfer dana dari pemilik dana kepada peminjam (Liou, 1998). Dalam dunia perdagangan, perantara umumnya berperan sebagai penghubung antara penjual dan pembeli (Battisti & Williamson, 2015). Atau dalam proses mediasi, seperti mediator yang menjadi pihak ketiga ketika ada perundingan atau negosiasi antara beberapa pihak. Sementara dalam proses fasilitasi kelompok masyarakat, perantara menjadi penghubung atau pendukung dalam proses pemberdayaan tersebut.
Oleh karena itu, perantara dapat berperan lintas level dalam hal geografis dan yurisdiksi, termasuk dengan kelompok informal, kelompok masyarakat, kota, provinsi dan lintas negara. Mereka juga dapat berperan di ranah publik, privat dan non-pemerintah (Briggs, 2003; Schorr, Farrow & Lee, 2010). Sebagian menyebutnya sebagai perantara lokal, regional, nasional dan internasional (Anglin ed., 2004).
Van der Meulen, Nadeva & Braun (2005) mendefinisikan organisasi perantara (intermediary organisation) berdasarkan posisi struktural mereka, yaitu "perantara" adalah setiap organisasi yang menengahi (memediasi) hubungan antara dua atau lebih aktor sosial (organisasi, institusi, dan lain-lain). Oleh karena itu, setiap konseptualisasi (penteorian) organisasi perantara harus menjelaskan dua hal tersebut, tentang organisasi/institusi dan hubungan yang terjalin didalamnya. Kedua hal tersebut saling berhubungan dan saling bergantung atau mempengaruhi. Namun demikian, menurut Stanzon (2003) perantara tidak hanya merujuk pada satu individu, kelompok atau lembaga. Perantara juga dapat bersifat kolaborasi antara dua atau lebih lembaga untuk membentuk sebuah proyek atau program yang menjadi kepentingan bersama.
Penggunaan istilah, bentuk dan kegiatan perantara sangat beragam, antara lain:
a) Perantara keuangan (financial intermediaries), contohnya lembaga pemberi pinjaman untuk pengembangan usaha; lembaga keuangan mikro dalam penanggulangan kemiskinan (diantaranya lihat ADB, 2002), dan dukungan lembaga keuangan internasional dalam pengembangan usaha kecil dan menengah di negara berkembang (Dalberg Global Development Advisors, 2011);
b) Perantara informasi (information intermediaries), contohnya knowledge broker yang melakukan penelitian, kajian dan diseminasi dalam pengembangan pertanian (Andreoni & Ha-Joon, 2014; Addom, 2015);
c) Perantara dalam melakukan evaluasi lembaga (Stanzon, 2003);
d) Perantara sebagai aktor yang melakukan inovasi (Bendis, Seline & Byler, 2008; Backhaus, 2010; Smentyna, 2015);
e) Perantara yang mendukung kegiatan penelitian (Anthony dan Austin, 2008; Hitchman, 2010);
f) Perantara sebagai pendukung peningkatan kapasitas, seperti memberikan asistensi teknis dalam bentuk pelatihan, pendampingan dan masukan (Stanzon, 2003);
g) Perantara pengembangan masyarakat (community development intermediaries), contohnya peran NGO sebagai lembaga pendukung dalam pemberdayaan masyarakat dan peningkatan kualitas hidup masyarakat kemiskinan, termasuk dalam pengembangan usaha pengembangan masyarakat atau community development corporation-CDC yang banyak difasilitasi oleh pihak lain (lihat de Vita & Fleming, 2001; Walker, 2002; Anglin & Montezemolo, dalam Anglin ed., 2004; Rodrigez, Pereira & Brodnax, dalam Maurrasse & Jones eds., 2004; Frisch & Servon, 2006; Anglin, 2011; Baruah, 2015);
Weinberg, Pellow & Schnaiberg (2000:104) mengutip istilah  mediating institution dari Lamphere (1992). Contohnya adalah peran universitas sebagai mediating institution dalam kolaborasi antara dewan lingkungan/komunitas dengan dewan kota di USA (Kathi, Cooper & Meek, 2007). Lembaga semacam universitas ini disebut sebagai lembaga nirlaba sektor publik yang merupakan perantara antara sektor publik dan ekonomi sosial (Quarter & Mook (2010).
   
Dalam konteks pengembangan komunitas, perantara dimaknai sebagai organisasi yang mendukung satu atau beberapa organisasi/komunitas dengan sejumlah cara, seperti: membantu dalam meningkatkan keterampilan dan keahlian tertentu, pengetahuan, informasi, perencanaan, analisis, monitoring dan evaluasi, membangun jaringan, mobilisasi sumberdaya, proses belajar bersama, promosi/sosialisasi publik, akses ke layanan keuangan/perbankan, dll. (Schorr, Farrow & Lee, 2010). Aspek pemanfaatan teknologi pendukung (teknologi untuk produksi, pasca produksi, pengemasan, distribusi dan komunikasi/pemasaran) menjadi bagian integral dari bentuk dukungan tersebut.
Perantara ini menjembatani banyak fungsi di berbagai level masyarakat. Di USA, lembaga perantara menjadi penghubung antara kalangan akar rumput (grassroots) dengan kaum menengah-atas (grasstops), atau antara orang dan lembaga yang memiliki sumberdaya dan kekuasaan dengan mereka yang sumberdaya dan kapabilitasnya terbatas serta memerlukan dukungan (Briggs, 2003).
Peran perantara dalam proyek-proyek pembangunan dan pengembangan komunitas adalah melakukan tiga fungsi vital dalam hal, yaitu: (a) Melakukan mobilisasi modal, termasuk dukungan proyek dan operasi dan pembiayaan pembangunan; (b) Memberi bantuan teknis dalam pengelolaan keuangan, pengembangan proyek, dan pembangunan institusi lokal; dan (c) Memberi legitimasi pada kelembagaan komunitas, meningkatkan kompetensi teknis, dan mengurangi risiko bagi penyandang dana sektor publik dan swasta (Walker 1993, yang dikutip Liou, 1998).
Karakteristik inti dari perantara adalah: (a) Mereka memperoleh kepercayaan dari orang-orang dan lembaga dengan siapa mereka bekerja; (b) Memiliki legitimasi atas peran dan kapasitas mereka untuk melakukan fungsi tertentu secara umum diakui dan diterima (Schorr, Farrow & Lee, 2010:5).  Dalam hal ini, perantara dapat berperan menambahkan nilai secara tidak langsung, dengan menghubungkan dan mendukung pihak lain, yaitu dengan memungkinkan pihak lain dapat menjadi lebih efektif. Perantara dapat bertindak sebagai fasilitator, pendidik masyarakat, pembangun kapasitas, investor sosial yang mengumpulkan dana, manajer, pembangun koalisi, mengorganisir kelompok baru, dan banyak lagi (Briggs, 2003).
Pada praktiknya, perantara dapat dan telah memainkan banyak peran dalam mendukung pengembangan komunitas, seperti membantu dalam melakukan pembinaan, penelitian, perencanaan, peningkatan kapasitas, dan terkadang juga dalam hal pendanaan. Dengan demikian, perantara bisa lebih dari sekadar pembantu pasif. Mereka bisa sangat berpengaruh, membentuk perhatian, menyalurkan dana, memberikan dukungan politik, dan sumber daya berharga lainnya. Pengaruh tersebut dapat digunakan secara efektif atau tidak efektif, dan bahkan dapat juga disalahgunakan (Briggs, 2003).
Peran perantara sangat penting khususnya terkait kewirausahaan sosial (social entrepreneurship) dan pengembangan usaha sosial (social enterprise) yang erat kaitannya dengan aktivitas usaha kecil/mikro yang banyak melibatkan masyarakat miskin. Menurut Jenner (2016), dalam pengembangan usaha sosial, perantara tidak hanya dapat memberikan dukungan pendanaan, tetapi juga bantuan konsultasi, jaringan, pengembangan usaha dan pelatihan (Hines 2005; Lyon & Ramsden 2006; Peattie & Morley, 2008; Shanmugalingam et al., 2011). Hal ini penting karena usaha sosial umumnya belum siap memiliki kemampuan memadai dalam investasi dan membutuhkan dukungan perantara terutama di bidang-bidang tertentu, seperti strategi dan sumber daya (Sunley & Pinch, 2012).
Segmen usaha mikro biasanya hanya memiliki sedikit interaksi atau tidak formal dengan instansi pemerintah. Nyatanya banyak penelitian menunjukkan bahwa usaha tersebut dapat memainkan peran tidak langsung dalam membangun dan mempertahankan ekonomi nasional dan lokal dengan membantu menciptakan kondisi di mana usaha mikro dapat berkembang di sektor ekonomi informal. Dalam hal ini ekspansi mereka dapat difasilitasi oleh organisasi perantara non-pemerintah (Zuber-Skerritt, 2013).
Oleh karena itu, perantara juga harus memiliki kapasitas "transformasional" dan bukan semata-mata berorientasi bisnis dalam hubungannya dengan sektor yang memenuhi berbagai fungsi yang saling terkait, seperti peningkatan kapasitas, inovasi, advokasi, penelitian dan pengembangan kapasitas sektoral (Burkett 2013; Shanmugalingam et al., 2011). Karenanya, para perantara diharapkan dapat membantu mengembangan potensi "pembentukan pasar untuk usaha sosial", sehingga kapasitas mereka untuk mendukung aktivitas jaringan usaha sosial terutama dalam hubungan dengan pembuat kebijakan publik menjadi sangat penting (Shanmugalingam et al., 2011).
Terkait upaya pemberdayaan masyarakat dan penyelesaian masalah di komunitas, ada lima tipe lembaga keperantaraan yang dapat diidentifikasi, yaitu:
a) Pemerintah sebagai perantara (government-as-intermediary), diantaranya melakukan pembahasan dengan partai politik, memimpin proses partisipasi (civic process), mendidik masyarakat, menemukan sumberdaya di dalam dan di luar komunitas. Instansi pemerintah dan yayasan lokal terkadang melakukan kontrak dengan perantara eksternal untuk bekerja dengan kelompok masyarakat tapi terkadang mempekerjakan orang secara internal untuk melakukan hal yang sama;

b) NGO sebagai perantara (civic intermediaries), yang dapat memainkan sebagian peran yang sama dengan pemerintah, selain otoritas dalam mensahkan kebijakan dan anggaran publik;

c) Pemberi dana sebagai perantara (funder-intermediaries), seperti perusahaan atau yayasan amal atau pengumpul dana dari berbagai pihak, yang menyaring, memvalidasi, mencocokkan dan mengalokasikan dana untuk program pengembangan masyarakat;
d) Perantara yang fokus pada isu tertentu (issue-focused intermediaries), yang melakukan penelitian, advokasi, menyusun desain dan melaksanakan program pelayanan publik atau upaya mengatasi isu publik;
e) Perantara dalam peningkatan kapasitas (capacity-building intermediaries), yang menekankan pada pengembangan organisasi atau membangun kemampuan baru di masyarakat (lihat Ferguson, 1999; Briggs, 2003; Cordero-Guzmán & Auspos, 2006; The U.S. Department of Health and Service Center for Faith-Based and Community Initiatives, 2008; Delale-O’Connor & Walker, 2012).

Ferguson (1999) membagi perantara dalam tiga level, yaitu: (a) Level 1, perantara di tingkat komunitas/lokal; (b) Level 2, yaitu para peneliti, analis, pelaku advokasi dan cendekiawan di tingkat lokal, serta para penyokong dana dan pembuat kebijakan di tingkat lokal (termasuk pemerintah, yayasan, bisnis dan bank); (c) Level 3, penyokong dana dan pembuat kebijakan di tingkat nasional (termasuk pemerintah dan yayasan), serta para peneliti, analis, pelaku advokasi dan cendekiawan di tingkat nasional.
Secara teoritik, konsep ini dapat dikatakan dekat dengan model Penta Helix atau Quintuple Helix. Ada banyak versi mengenai model ini, namun pada dasarnya memiliki kesamaan pandangan bahwa inovasi dan pembangunan memerlukan kolaborasi dari setidaknya lima jenis stakeholder, yaitu: pemerintah sebagai pengelola administrasi publik; masyarakat dan NGO; pelaku bisnis; serta lembaga yang terlibat dalam pengelolaan pengetahuan (akademisi, media, dll.) dan modal/keuangan. Keterlibatan kelima pihak tersebut dapat terjadi di tataran mikro (individu/rumah tangga), meso (masyarakat dan institusi lokal) dan makro (nasional, regional dan internasional) (diantaranya lihat Lindmark, Elof & Nilsson-Roos, 2009; Carayannis & Campbell, 2010; Barth, 2011; Muhyi et al., 2017; Tonković, Veckie & Veckie, 2017; Halibas, Sibayan & Maata, 2017; Linköping University, 2017).
Secara umum ada dua kemungkinan yang dapat dilakukan dalam mendefinisikan perantara, yaitu: (a) Definisi yang memfokuskan pada fungsi perantara; dan (b) Definisi yang difokuskan pada peran dari perantara (Rose, 1999). Fungsi dan peran perantara sangat mungkin berbeda dalam konteks masalah, isu atau sektor yang berbeda. Sebagai contoh, di USA perantara lokal umumnya berperan dalam hal melakukan dukungan layanan pada masyarakat, mempromosikan standar kualitas dan akuntabilitas, menghubungkan dan memanfaatkan sumber daya dan mempromosikan advokasi untuk kebijakan yang efektif (GCG, 2012).
Dalam konteks pengurangan kemiskinan dan kesenjangan melalui upaya pembangunan ekonomi lokal dengan menggunakan pendekatan penghidupan berkelanjutan, fungsi dan peran perantara, diantaranya sebagai berikut:



Kewirausahaan dan Bisnis Sosial dalam Penanggulangan Kemiskinan dan Pengurangan Ketimpangan

Kewirausahaan sosial (social entrepreneurship) dimaknai sebagai proses menciptakan solusi inovatif untuk menyelesaikan masalah sosial (Dees, 2001), yang merupakan kombinasi dari hasrat akan misi sosial dan bisnis, inovasi dan determinasi (Dees, 1998). Motivasinya adalah menolong sesama, di mana pelakunya cenderung berwatak altruistik dan pro-social (Manuel & Morfopoulos, 2010). Social entrepreneurs melakukan tindakan langsung (direct action) sekaligus berupaya melakukan perubahan di dalam sistem yang ada (indirect action), dengan cara menghasilkan produk/jasa dan sekaligus melakukan upaya menghilangkan kondisi societal yang kurang adil (Martin & Osberg, 2015).
Sementara usaha/bisnis sosial (social enterprise) dipandang sebagai ekspresi dari solidaritas atas misi sosial untuk dapat turut mengatasi masalah sosial. Dengan memanfaatkan keterampilan manajerial dan insentif kerja, kegiatan bisnis sosial mencoba untuk mendapatkan keuntungan tambahan, kemudian dapat digunakan sebagian untuk dapat terlibat dalam mengatasi masalah-masalah sosial, termasuk dalam hal penanggulangan kemiskinan dan mengurangi ketimpangan sosial. Bisnis sosial adalah institusi ekonomi yang bersifat “hybrid organization” yang berupaya menyeimbangkan antara pasar dan civil society. Dengan demikian bisnis sosial bukan berarti hanya dijalankan oleh NGO saja, tapi juga oleh swasta dan pelaku lain yang tidak semata berorientasi ekonom/profit tapi juga perbaikan kondisi sosial (Jäger, 2010).

Contoh Peran Perantara dalam Pengembangan Komunitas dan Penanggulangan Kemiskinan di Sejumlah Negara

Di USA pada awal 1990-an, di bidang pembangunan komunitas, menjadi perantara dimaknai sebagai bertindak untuk, diantara dan antar entitas yang memiliki kepentingan kesejahteraan masyarakat dan individu di masa depan yang saat ini masih terjebak dalam kemiskinan dan tidak memiliki kesempatan. Fungsi perantara adalah mencari dan mengumpulkan sumber daya dari investor (sumber daya yang kaya) dan mendistribusikannya ke organisasi nirlaba berbasis lokal (miskin sumber daya) untuk program dan proyek yang dapat meningkatkan kondisi dan peluang masyarakat berpenghasilan rendah (Kongres Nasional Untuk Pengembangan Ekonomi Masyarakat 1991). Community development intermediary membantu masyarakat dalam berhubungan dengan bank, investor sosial dan pihak lain yang memiliki modal finansial dan bisnis yang dapat membantu proyek pembangunan perumahan dan ekonomi dalam upaya revitalisasi lingkungan masyarakat berpenghasilan rendah, membantu pengadaan dana bantuan pendidikan untuk keluarga miskin, pengadaan pekerjaan, dll. Varian dari model ini disebut CEDI (Community Economic Development Intermediaries) yang fokus pada pengembangan ekonomi komunitas khususnya masyarakat miskin (lihat Briggs, 2003; Walker, 2002; Anglin, 2011). Lembaga publik pengelola dana pensiun menjadi salah satu mitra komunitas (community partner) yang melakukan investasi dalam pembangunan komunitas di kota di New York (Hagerman, Clark & Hebb, 2007). Ada yang disebut Gittel & Thompson (1999) sebagai program berbasis perantara atau intermediary-based program di mana perantara menjalankan peran penting dalam mendukung usaha berorientasi komunitas (Cordero-Guzmán & Auspos, 2006).
Di Amerika Latin, The Local Initiatives Support Corporation (LISC) membantu kegiatan pembangunan permukiman komunitas, dan the Community Employment Alliance (CEA) membantu masyarakat miskin dalam meningkatan kapasitas dan mengakses pekerjaan melalui pelatihan dan penempatan kerja (Rodrigez, Pereira & Brodnax, dalam Maurrasse & Jones eds., 2004).
Di India, kelompok simpan pinjam (self-help groups) sejak tahun 1992 dapat berperan sebagai financial intermediaries yang menghubungkan masyarakat miskin dengan bank pemerintah (the National Bank for Agriculture and Rural Development - NABARD) dalam program peningkatan akses keluarga miskin terhadap layanan perbankan (Tankha, 2002). Program yang menghubungkan kelompok masyarakat dan perbankan (linking-banks with self-help groups) semacam ini juga dilakukan oleh sejumlah pihak Indonesia, diantaranya yang didukung oleh GTZ-Jerman pada tahun 1999, yang diberi nama Pengembangan Hubungan Bank dengan Kelompok Swadaya Masyarakat (PHBK) yang melibatkan Bank Pembangunan Daerah (BPD) dan Bank Rakyat Indonesia (BRI) (diantaranya lihat Conroy & Budastra, 2005).
Di Australia, terdapat banyak pelaku perantara yang berperan sebagai konsultan, perantara terkait dukungan teknologi, organisasi yang melakukan mediasi, dan yang memberikan dukungan dalam pendanaan (Howrad Partner, 2007). Di Cina, koperasi petani berperan sebagai perantara dalam pengembangan ekonomi perdesaan (Huan, 2013). Sementara di Ukraina, lembaga pembangunan regional (regional development agency/RDA) menjadi lembaga perantara sebagai pusat inovasi pengembangan potensi komunitas lokal dalam pengembangan sosial dan ekonomi (Smentyna, 2015).

Persinggungan Konsep Community Economic Development (CED) dan Keperantaraan

CED merupakan upaya pembangunan ekonomi dan sosial yang bersifat bottom-up dan berbasis lokal, karena dilakukan di dan oleh komunitas sendiri, bersama dan dengan dukungan dari para pihak –pemerintah, NGO, swasta, lembaga keuangan, akademisi, dll.-- di berbagai level. Pembangunan komunitas melalui CED-CED dipercaya juga akan turut mendukung pembangunan di level yang lebih luas (kota/kabupaten, provinsi dan nasional). Dalam CED ada yang disebut lembaga usaha pengembangan komunitas, perantara pengembangan komunitas, lembaga keuangan pengembangan komunitas, dan pusat pembelajaran komunitas.




Perantara dapat dimaknai sebagai individu dan/atau lembaga (pemerintah, swasta, kelompok masyarakat, koperasi, NGO, lembaga donor, akademisi/perguruan tinggi, dll.) yang berperan sebagai mitra sekaligus pendukung dalam upaya pengembangan usaha ekonomi produktif masyarakat miskin di daerah, terkait akses pasar (market linkage, baik input dan terutama output), pengetahuan, keterampilan, jaringan, teknologi (produksi, pasca produksi dan komunikasi/pemasaran), pendanaan dan sarana prasarana pendukung.



Dari gambar di atas, perantara (baik pemerintah, swasta, NGO, individu, dll.) ini sangat mungkin juga tidak memiliki seluruh sumberdaya dan kapasitas yang diperlukan untuk mendukung usaha ekonomi produktif masyarakat miskin yang didampinginya. Sebagian perantara tersebut juga memiliki kepentingan dan kebutuhan untuk pengembangan diri/lembaga dan usaha mereka sendiri. Karenanya, diharapkan juga dapat terjalin hubungan timbal balik yang saling mendukung dan saling menguntungkan diantara semua pihak yang terlibat. Kolaborasi dan sinergi dari berbagai sektor, tingkatan dan pelaku (multisektor, multilevel dan multipihak/multiaktor) sangat diperlukan untuk dapat menghasilkan daya dukung yang positif dan memadai sehingga dapat menghasilkan dampak yang nyata dan cukup signifikan pada upaya penanggulangan kemiskinan dan pengurangan ketimpangan.

Perantara tersebut tentunya harus memiliki modalitas dan kapasitas tertentu sehingga dapat berperan efektif memberi dukungan bagi upaya pemberdayaan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan, sesuai dengan kebutuhan spesifik dari kelompok/lembaga yang didampingi. Beberapa karakteristik yang diharapkan ada pada perantara tersebut, antara lain: (a) Terlibat dalam kegiatan ekonomi produktif; (b) Memiliki kepedulian untuk mendukung upaya penanggulangan kemiskinan; (c) Memiliki pengalaman bekerja bersama masyarakat miskin; (d) Memiliki kemampuan di bidang tertentu, seperti dalam teknis produksi, peningkatan kapasitas, pendampingan (coaching), manajemen, pemasaran, teknologi/digital ekonomi, dll.; (e) Memiliki pengalaman dan jaringan yang memadai di bidang terkait; (f) Memiliki hubungan baik dan dapat berkolaborasi dengan pemerintah daerah, NGO, pelaku usaha dan masyarakat terkait.
-------------------
* Tulisan ini merupakan bagian dari laporan kajian Bappenas 2017 mengenai peran perantara dalam usaha ekonomi produktif masyarakat miskin terkait upaya pengurangan kemiskinan dan ketimpangan

Konsep Pengembangan Ekonomi Komunitas

Konsep Pengembangan Ekonomi Komunitas 
(Community Economic Development - CED)*

Oleh: Candra


Inisiatif community economic development (CED) sendiri sesunguhnya sudah mulai berkembang sejak terjadi perubahan kebijakan ekonomi  di era 1970-an. Di Inggris dan negara-negara Eropa pada umumnya, pendekatan CED menjadi alternatif dari pendekatan ‘trickle-down’ yang lebih banyak mengejar pertumbuhan ekonomi. CED memandang bahwa inklusi sosial dan kemajuan ekonomi, serta kohesi dan persaingan adalah lebih bersifat saling melengkapi dan bukan isu yang perlu dipertentangkan (Beer, Haughton & Maude eds., 2003). Sementara di USA, CED berkembang sebagai reaksi atas kegagalan sistem pasar dalam menjamin kesejahteraan masyarakat (Greer & Gonzales, 2017). Karenanya, sebagai sebuah kajian, CED merupakan area yang bersifat interdisipliner (Shaffer, Deller & Marcouiller, 2006).
Gagasan dasarnya adalah mengembalikan pembangunan ke komunitas, karena partisipasi warga yang lebih besar dalam semua tahap perencanaan dan pelaksanaan dipercaya akan menghasilkan transformasi ekonomi lokal dan memperbaiki kondisi bagi sektor masyarakat yang lebih luas. Kemajuan hanya akan terjadi ketika sebuah komunitas melihat dirinya bekerja atas namanya sendiri dan dipimpin oleh inisiatifnya sendiri (Fasenfest, 1993). Pendekatan CED bersifat ‘bottom-up’. Eversole (2003) menyebutnya sebagai “economic development from the bottom-up”. CED tidak bisa terwujud tanpa pembangunan masyarakat (community development). Keduanya berbeda namun saling terkait erat, karena meskipun sering memiliki tujuan utama yang berbeda, namun memiliki satu prinsip yang mendasar, yaitu: pengembangan orang dan wilayah yang terpinggirkan secara ekonomi, serta memperkuat dan meningkatkan peluang kehidupan masyarakat di komunitas berpendapatan rendah atau kurang sejahtera. Gagasan CED memprioritaskan keterlibatan komunitas dalam kemitraan pembangunan ekonomi antara pemerintah dan sektor swasta dalam membangun komunitas lokal (local community) atau lingkungan sekitarnya (neighborhood). Lingkungan dengan kualitas hidup yang baik, perumahan yang baik, dan masyarakat yang produktif merupakan fondasi bagi pembangunan daerah (Sherraden, Slosar & Sherraden, 2002; Anglin, 2011; Durnik 2012).
CED adalah gabungan dari “community development” dan “economic development”. Community development fokus pada upaya membangun modal sosial dan politik dari komunitas melalui pengorganisasian komunitas dan membangun institusi lokal (kepemimpinan, asosiasi bisnis, pemerintahan efektif, organisasi komunitas, dll.). Economic development fokus pada menciptakan lingkungan yang kondusif untuk kesempatan ekonomi. Ada dua pendekatan tentang CED, yakni: (a) “Bintang” dari Ron Shaffer (2006), yaitu sumber daya komunitas, peraturan, masyarakat, pasar, pengambilan keputusan dan ruang; (b) Kerangka modal komunitas (community capitals) dari Cornelia dan Jan Flora (2008), yaitu modal finansial, politik, sosial, manusia, budaya, alam dan fisik (Underwood, Hackney & Friesner, 2015)
CED merupakan salah satu varian dari konsep local economic development (LED). Helmsing (2001:69-70) mengutip Blakely (1994) yang berpendapat bahwa ada tiga kategori utama dari LED, yaitu: (a) Pengembangan ekonomi masyarakat atau CED, yang dapat diterapkan pada lingkungan pedesaan dan perkotaan. Intinya adalah untuk memfasilitasi diversifikasi kegiatan ekonomi rumah tangga sebagai cara utama untuk memperbaiki penghidupan dan mengurangi kemiskinan dan kerentanan; (b) Pengembangan usaha (enterprise development) terdiri dari inisiatif yang secara langsung menargetkan dan melibatkan cluster perusahaan. Berbeda dengan CED, kategori ini didasarkan pada spesialisasi dan mengatasi hambatan terhadap spesialisasi dalam konteks pasar; (c) Pembangunan lokal (locality development) yang mengacu pada keseluruhan perencanaan dan pengelolaan pembangunan ekonomi dan fisik suatu daerah.
Bessant (2005) mengutip definisi CED dari The Manitoba Departement of Rural Development dan Manitoba Community Development Corporations Association di Canada (1998), sebagai berikut:
CED adalah bentuk swadaya yang berusaha mengawinkan strategi pembangunan sosial dan ekonomi dengan membangun kapasitas di dalam masyarakat. Proses ini dapat dicapai hanya melalui inisiatif lokal. Kebutuhan dan kesempatan masyarakat ditentukan oleh input individu dan kolektif, yang mencerminkan sikap dan nilai lokal yang menjadi fokus dan minat setiap orang. Keterlibatan masyarakat dipicu saat anggota masyarakat menyadari adanya kebutuhan atau kesempatan dan tindakan untuk bertindak mengatasi situasi tersebut, dengan menggunakan sumber daya yang sesuai dan dapat diandalkan.


Nilai-nilai yang dikembangkan dalam CED, diantaranya: (a) CED dimulai dengan mobilisasi penduduk untuk perubahan dan kemandirian ekonomi; (b) Tujuan utama CED adalah membangun kekayaan bagi orang miskin dan daerah miskin melalui koordinasi modal sosial, politik, dan keuangan serta memanfaatkan talenta dan komitmen masyarakat. (Anglin, 2011). Dalam hal ini, CED memiliki sejumlah tujuan, yaitu: (a) Menstimulasi kebersamaan masyarakat; (b) Mempromosikan keswadayaan dan pemberdayaan; (c) Berkontribusi pada penciptaan lapangan kerja mandiri; (d) Memperbaiki kondisi kehidupan dan lingkungan kerja di permukiman; dan (e) Untuk menciptakan layanan publik dan masyarakat (Helmsing, 2001). Sedangkan prinsip-prinsip CED, diantaranya sebagai berikut:



Sementara menurut Hernandez (2013), karakteristik CED adalah: (a) Berbasis lokasi (place-based), karena aktivitas ekonomi dan relasi sosial terjadi di dan diantara tempat tertentu, yang memiliki karakteristik tertentu dan memerlukan respon tertentu pula. Strategi CED fokus pada memperkuat ekonomi ‘lokal’ dan ‘komunitas’, dan membangun strategi ketahanan local (local resilience) dengan menekankan pada penggunaan pengetahuan dan sumber daya lokal (Marley, Halseth, & Manson, 2008); (b) Partisipatori, di mana masyarakat teribat dalam seluruh proses (Brohman, 1996), dalam pengambilan keputusan yang berdampak pada mereka (Mbser, 1989); (c) Peduli dengan keberlanjutan. Partisipasi membuat pembangunan lebih berkelanjutan (Conyers, 1986). Keberlanjutan ini dapat menciptakan aktivitas ekonomi yang bertahan dalam jangka panjang dan menciptakan kestabilan ketenagakerjaan;, dan (d) Berbasis aset (asset-based). CED dimulai dari mengenali aset atau kekuatan yang sudah ada di komunitas (Markey et al., 2005; Mathie & Cunningham, 2003).
Nilai dan praktik CED membantu membangun landasan yang lebih kuat untuk mengatasi tantangan utama di masa depan, seperti: (a) Pembangunan yang peduli pada pelestarian lingkungan sekaligus membuka kesempatan bagi orang miskin untuk meningkatkan taraf hidupnya; dan (b) Mendukung upaya yang lebih besar dalam memperkuat daya saing ekonomi kota dan daerah. Karenanya, CED menjadi alat penting untuk melakukan revitalisasi wilayah dan masyarakat, yang mencakup berbagai kegiatan, institusi, dan kebijakan dalam upaya meningkatkan kualitas hidup dan mendorong peluang ekonomi bagi masyarakat berpenghasilan rendah. CED membantu warga terlibat dalam melakukan mobilisasi dan membangun aset yang akan memperbaiki masa depan individu dan kolektif mereka. Aset tersebut meliputi investasi publik dan swasta, investasi filantropi, modal manusia, jaringan sosial, sumber daya alam, tradisi budaya, dan kepemimpinan masyarakat (Anglin, 2011). CED mengkombinasikan tujuan untuk meningkatkan keuntungan yang tidak saja semata bersifat finansial namun juga inklusi dari aspek-aspek lain terkait kualitas hidup masyarakat setempat (Lejano & Wessels, 2006; Pigg, 2012; Gallardo, 2015)
Pembangunan ekonomi masyarakat terjadi ketika masyarakat di sebuah komunitas menganalisis kondisi ekonomi masyarakat tersebut, menentukan kebutuhan ekonominya dan peluang yang tidak terpenuhi, memutuskan apa yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kondisi ekonomi di masyarakat tersebut, dan kemudian bergerak untuk mencapai ekonomi yang disepakati, tujuan dan sasaran. Teori dan kebijakan pembangunan ekonomi cenderung berfokus secara sempit pada faktor-faktor produksi tradisional dan bagaimana cara terbaik untuk dialokasikan dalam dunia spasial. Namun, pengembangan ekonomi masyarakat harus lebih luas daripada hanya mengkhawatirkan tanah, tenaga kerja dan modal. Dimensi yang lebih luas ini mencakup modal publik, teknologi dan inovasi, masyarakat dan budaya, institusi, dan kapasitas pengambilan keputusan masyarakat (Shaffer, Deller & Marcouiller, 2006).


Dalam konsep CED dikenal apa yang disebut sebagai kelembagaan pengembangan ekonomi masyarakat atau community economic development institution (CEDIs).  CEDIs adalah istiah yang digunakan untuk menyebut berbagai macam organisasi berbasis lokal yang terlibat dalam pengembangan ekonomi masyarakat, yang umumnya merupakan organisasi berbasis komunitas (atau fokus pada komunitas) dengan misi untuk melakukan pembangunan fisik, sosial, dan ekonomi, sumberdaya manusia dan wilayah. Ada CEDIs utama yang secara langsung menangani pengembangan keterampilan tenaga kerja dan peningkatan kesejahteraan. Ada juga organisasi pengembangan masyarakat yang membangun jaringan, modal sosial, modal manusia, dan kualitas hidup masyarakat. Ada empat tipe CEDI, yaitu: (a) Lembaga usaha pengembangan komunitas (community development corporations - CDCs); (b) Perantara pengembangan komunitas (community development intermediaries - CDI); (c) Lembaga keuangan pengembangan komunitas (community development financial institutions - CDFIs); dan (d) Pusat pembelajaran komunitas (community colleges - CCs). Keempatnya setidaknya menjalankan enam fungsi pula, yakni: (a) Pengembangan bisnis; (b) Pembangunan perumahan dan ruang komersial; (c) Memberi pinjaman usaha; (d) Asistensi organisasional dan teknis CED; (e) Pengembangan ketenagakerjaan; dan (f) Program pengembangan komunitas lainnya (Anglin, 2011).


CDCs merupakan salah satu bentuk CEDI utama yang paling dikenal. Berkembang sejak tahun 1960-an dalam upaya revitalisasi kawasan perkotaan dan perdesaaan dan mendorong masyarakat keluar dari kemiskinan melalui upaya mandiri (self-help) dan upaya komunitas (community action) pasca Perang Dunia II (Anglin, ed., 2004). CDC adalah lembaga usaha masyarakat yang dikendalikan oleh penduduk untuk mengatasi keterbatasan dalam hal kelembagaan pada  masyarakat miskin, di mana mereka terlibat dalam merencanakan dan mengarahkan berbagai inisiatif dan program ekonomi lokal (Anglin, 2011). Model CDC termasuk: (a) Pengembangan yang berbasis, berorientasi dan dikontrol komunitas; (b) Integrasi tujuan ekonomi, sosial dan kultural (seperti: pengembangan bisnis dan ekonomi, ketenagakerjaan, pelatihan dan perumahan yang layak); (c) Ketergantungan pada waktu dan sumber daya (seperti: anggota dewan, komite kerja, dukungan administrasi, serta kepemimpinan dan keahlian lokal); (d) Pendanaan dari beragam sumber; (e) Reinvestasi di masyarakat; (f) Jaringan, kemitraan, dan kolaborasi antara institusi swasta dan publik; dan (g) Strategi jangka pendek dan jangka panjang dalam peningkatan kapasitas komunitas, seperti dalam proyek modal dan pengembangan aset (Bessant, 2005).
Kunci penggunaan CDC yang efektif dalam pembangunan ekonomi adalah menyadari bahwa mereka tidak dapat melakukan segala hal, dan tidak seharusnya diharapkan dapat menggantikan peran pemerintah atau sektor swasta. CDC dapat menjadi perantara masyarakat yang penting dengan cara yang unik dan tak tergantikan. CDC dapat memfokuskan suara masyarakat dalam perencanaan dan penyusunan program community development untuk meningkatkan pembangunan ekonomi masyarakat. Sementara community development intermediaries (CDI) muncul untuk mendukung kebutuhan pengembangan kapasitas (organisasi, teknis, dan akses terhadap modal) pada organisasi pembangunan berbasis masyarakat (community-based development organizations). Mereka efektif tidak hanya dalam menumbuhkan kapasitas organisasi lokal tetapi juga menjadi kekuatan untuk memberikan jaminan kualitas sehingga CED dapat mengupayakankan dukungan terus menerus dari sektor publik dan filantropi. Perantara juga dapat mendukung dalam hal pemikiran dan advokasi kebijakan bila diperlukan untuk memperluas dampak CED melalui kebijakan pemerintah (Anglin, 2011).
Perkembangan ekonomi masyarakat telah berkembang terutama, namun tidak eksklusif, sebagai strategi berbasis lokasi (place-based strategy). Hasil pembangunan diukur dengan hasil pembangunan perumahan yang terjangkau, usaha baru yang berjalan, dan lapangan kerja yang tersedia, di mana semua itu  mengarah pada pembangunan ekonomi di lokasi yang ditentukan secara geografis. CED dan CEDI sering kali bertindak sebagai mitra pembangunan sektor publik utama di masyarakat yang terpinggirkan. Dalam hal ini, CED merupakan inovasi kelembagaan yang penting di mana pemerintah telah bermitra dengan sektor swasta dan nirlaba untuk mengembangkan jaringan dan strategi kebijakan untuk mengurangi kemiskinan dan upaya meningkatkan kesejahteraan di masyarakat berpenghasilan rendah. Kolaborasi merupakan bagian integral dari CED (Sherraden, Slosar & Sherraden, 2002:2011; Anglin, 2011)
CED terdiri dari satu set perantara yang mendukung pembangunan masyarakat miskin. Beberapa perantara ini dikembangkan untuk membangun kapasitas lembaga pengembangan ekonomi masyarakat dari berbagai jenis. Institusi perantara (CDI) seperti lembaga keuangan pengembangan masyarakat (CDFIs), beberapa di antaranya mendahului pengembangan bidang pengembangan ekonomi masyarakat yang formal dan telah bekerja dengan organisasi pembangunan berbasis lokal. Misi utama mereka adalah menyediakan modal yang terjangkau bagi masyarakat miskin, berinvestasi pada usaha kecil, dan fasilitas di komunitas. CEDIs di tingkat nasional, regional, dan lokal mengakumulasi modal swasta dan publik untuk pengembangan masyarakat, menganjurkan kebijakan yang memperbaiki hasil, dan mempublikasikan pencapaian sistem secara keseluruhan. Sektor publik, filantropi, dan sektor swasta merasa lebih mudah untuk memberikan bantuan, hibah atau pinjaman kepada satu agen/lembaga yang dapat mendistribusikan sumber daya daripada berurusan dengan sejumlah organisasi.
Perantara --baik yang fokus pada dukungan organisasi, ataupun layanan keuangan-- semuanya dikembangkan dengan keterlibatan langsung dan berkelanjutan dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Inovasi sektor publik di sini adalah kepemimpinan pemerintah pusat dalam mendukung jaringan pemangku kepentingan yang diperluas, seperti filantropis, kelompok kepentingan, dan praktisi pembangunan ekonomi berbasis masyarakat, semua berupaya untuk menemukan berbagai cara untuk membangun kapasitas organisasi dan keuangan di masyarakat miskin. Kekuatan sistem ini adalah kapasitasnya yang tak tertandingi untuk memobilisasi modal untuk segala macam aktivitas pembangunan ekonomi (Anglin, 2011).

Contoh Pengalaman CED di Canada

Salah satu negara yang menonjol dalam pengembangan dan menerbitkan banyak literatur mengenai konsep dan pengalaman penerapan CED adalah Canada. Secara teoritik, CED adalah irisan dari sektor publik, sektor swasta dan organisasi masyarakat sipil (CSO). Inisiatif CED cenderung tidak mandiri dan mengandalkan dukungan dari pemerintah, yayasan, dan penyandang dana sektor swasta dalam tahap awal dan untuk mempertahankan diri mereka sendiri. CED telah menekankan penciptaan perusahaan sosial (social enterprise): perusahaan berbasis pasar yang dimulai oleh nirlaba atau tertanam dalam lembaga nirlaba (Quarter & Mook (2010).


CED adalah strategi di mana organisasi pembangunan lokal memobilisasi sumber daya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan sosial masyarakat. Mereka secara kolektif mencari peluang, melakukan investasi, inovasi dan mengembangkan kreativitas. Program pemerintah dan partisipasi sektor swasta dapat digunakan sebagai pendukung. Organisasi masyarakat yang mewakili kepentingan masyarakat setempat, baik sebagai inisiator  dan mengendalikan inisiatif tersebut (Loizides, 1994).
Di Canada, CED adalah gabungan antara tujuan ekonomi dan sosial. Pembangunan ekonomi dan kegiatan komersial dilakukan untuk mencapai tujuan sosial seperti pemberantasan kemiskinan atau pemberdayaan masyarakat, sementara tujuan sosial, seperti kemajuan pendidikan, dilakukan untuk mengembangkan ekonomi lokal (Mills, 1999; Jackson, 2004).
Dalam catatan Lamb (2011), CED tumbuh menjadi sektor yang signifikan dalam sosial ekonomi Canada karena melibatkan 1.200 organisasi CED dalam beragam aktivitas, seperti pengembangan usaha, pengembangan sumber daya manusia, peningkatan kapasitas komunitas (Toye & Chaland, 2006). Pemerintah federal dan provinsi di Canada menyadari peran penting CED tersebut dan memberikan dukungan dalam berbagai tingkatan. Hasil CED tidak hanya diukur dari aspek ekonomi dan fisik saja, namun juga harus melibatkan indikator kapasitas sosial, ekonomi dan ekologi dari komunitas, bersama dengan sikap masyarakat terhadap usaha yang dipilih (Koster & Randall, 2005)
Program CED dapat meningkatkan kualitas kehidupan ekonomi dalam hal: (a) Memperluas akses terhadap modal dan menstimulasi akumulasi aset; (b) Meningkatkan akses lokal terhadap barang dan jasa konsumen; (c) Memperluas basis wirausaha lokal; (d) Memperluas kesempatan kerja lokal; (e) Memberi lingkungan lebih banyak kendali atas kepemilikan sumber daya lokal; dan (f) Menghubungkan penghuni dan bisnis ke ekonomi daerah (Cordero-Guzmán & Auspos, 2006; Manitoba Government, 2017).

------------
* Tulisan ini menjadi bagian dari laporan kajian Bappenas 2017 mengenai pengurangan kemiskinan dan ketimpangan